Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Kebudayaan Berkembang Pesat Berkat Teknologi Canggih

Kebudayaan Berkembang Pesat Berkat Teknologi Canggih

Kebudayaan Berkembang Pesat Berkat Teknologi Canggih

Kebudayaan Berkembang Pesat Berkat Teknologi Canggih



KAWACA.COM |  Secara keseluruhan, Negara Republik Indonesia maju dengan pesat di segala bidang. Sektor ekonomi, perdagangan, teknologi dan ilmu pengetahuan, bahkan di bidang kebudayaan. Bahkan orang Indonesia sudah akan terbang ke ruang angkasa. Demikian sastrawan H.B. Jassin kepada Terbit, tentang kesan-kesannya setelah 41 tahun kemerdekaan RI.

Pertama sekali ia mengalami rasa bangga dan tercengang atas pembangunan ini adalah di tahun 1959. “Saya gemar naik bus tingkat setiap hari Minggu,” kata sastrawan 4 zaman itu. Hanya sekadar naik bus, dari terminal ke terminal. Ketika itulah ia tercengang melihat gedung-gedung bertingkat, jalan yang licin, panjang, luas.

“Saya termenung. Siapa yang membangun semua ini, siapa yang mengelolanya?” kata H.B.Jassin. Tak lain, tentu putra-putra bangsa Indonesia. Kemajuan dalam segala bidang seakan meloncat terbang, cepat, dan dalam tempo yang singkat. Di bidang ekonomi, Indonesia sangat menentukan dalam beberapa oraganisasi hasil bumi, badan pangan dunia, organisasi perminyakan. Bahkan menurut Jassin, di Asia Tenggara, Indonesia dianggap sebagai kakak sulung. Khususnya dalam percaturan politik di forum dunia.

Tahun 1939, ketika ia meninggalkan Medan pulang ke Gorontalo, masih menggunakan kapal Op Ten Noort yang kapten dan kru-nya orang-orang Belanda. Tetapi, ketika ia kembali dari Amerika dan mampir di Bangkok, ia tercengang. Sebab pilot yang menerbangkannya dari Bangkok ke Jakarta itu, ternyata putra Indonesia. “Saya kagum sekali, mendengar kapten pilot berbahasa Indonesia di Bangkok,” katanya mengenang kembali.

Kebudayaan 

Di sektor kebudayaan, perkembangannya sangat menggembirakan. Menurut sastrawan itu, ini semua berkat teknologi canggih yang telah mampu menghubungkan antardaerah Indonesia. Di daerah-daerah sudah ada pesawat televisi, dan SPK (Stasiun Pemancar Keliling) yang banyak menggali kebuadayaan masing-masing daerah. Kemudian, menghidangkannya untuk diketahui daerah lain.

Kemajuan ini kelak akan menumbuhkan bermacam kebudayaan yang masing-masing berkembang dengan akar yang semakin kokoh. Dari sana akan muncul kebudayaan nasional. Misalnya, kata Jassin, semula tari Bali hanya disenangi orang Bali. Tapi kini, muncul satu tarian yang berakar Bali, tetapi menjadi milik semua suku di Indonesia.

Demikian juga seni daerah yang lain, pada saatnya mungkin akan berubah dengan suatu corak tanpa melepaskan akarnya. Corak itu diterima secara nasional maka tumbuhlah sebuah seni milik bersama di Indonesia.

Di sinilah perlunya dan makna kata-kata “wawasan”, kata Jassin. Dulu kalau orang bertanya di luar negeri “di mana Indonesia, di Balikah, di Jakartakah,” sulit kita menjawabnya. Tetapi sekarang harus kita jawab, “Itu bagian dari Indonesia,” kata H.B. Jassin. Di sanalah kukuhnya wawasan itu.

Berbicara tentang pertumbuhan sastra, menurut H.B. Jassin, juga mengalami kemajuan pesat. Baik pertumbuhan literatur maupun kepenulisan para sastrawan, serta kelahiran penyair berkualitas dan semakin semarak. Pertumbuhan literatur itu ditandai dengan semakin banyaknya buku-buku sastra, baik karangan putra Indonesia maupun terjemahan dari luar.

“Kemampuan kita sudah semakin maju dalam hal menerjemahkan literatur-literatur asing,” katanya. Hal ini jauh mengalami kemajuan dibanding sebelum perang. Betapa sulitnya mencari buku-buku asing yang berbahasa Indonesia, kata H.B. Jassin.

Di bidang kepenulisan, khususnya dalam bidang seni sastra, jauh sekali mengalami kemajuan. Kalau sebelum perang, kata Jassin, pengarang kita hanya mampu menulis dengan “gaya realitas”, bahkan penyair dengan bahasa yang sangat pribadi. Ia menyebut beberapa penulis, seperti Marah Rusli, Nus St. Iskandar, St. Takdir Alisyahbana, dan penyair Chairil Anwar.

Sekarang, para penulis sudah mulai dari dalam. Orang sering tidak bisa mengerti kalau tidak menghayati benar, apa yang dibacanya itu. Sebab, penulis memulainya dengan liku-liku jalan pemikiran seseorang. “Ini juga merupakan satu kemajuan dalam dalam sastra Indonesia,” kata Jassin.

Akronim

Kini sudah tercapai, apa yang disumpahkan oleh para pemuda tahun 1928 itu, kata Jassin. Satu bahasa, satu bangsa, dan satu Tanah Air, sekarang benar-benar terasa. Satu wawasan, artinya mengakui satu Indonesia yang besar yang terdiri dari suku dan budaya yang banyak.

Satu bahasa, kini tampak jelas dalam sekian ribu massa media yang tumbuh di berbagai kota. Meski kita di Medan, dapat membaca koran yang terbit di Surabaya berkat satu bahasa yang semakin yakin menjadi pemersatu. Sebelum Jepang, kata Jassin, hanya satu majalah yang beroplag 7.000 eksemplar, yaitu Panji Pustaka, terbitan Balai Pustaka. Tapi sekarang, sudah menjamur.

Bahasa Indonesia sendiri semakin berkembang dengan pesat, bahkan ada gejala semakin berpacu dengan kebutuhan. Ada kalanya didesak oleh yaktu yang harus dengan tempo cepat, seperti ‘para wartawan’ membutuhkan singkatan-singkatan tersendiri. Muncullah akronim-akronim. “Ini banyak membantu,” katanya.

Tetapi Jassin mengharapkan, diterbitkannya buku kumpulan akronim, setidak-tidaknya akan menjadi penuntut bagi mereka yang belum tahu, terutama akronim yang sudah baku. Seperti Dikbud, Ebtanas, dan sebagainya, yang pada suatu saat mungkin timbul akronim yang sama dengan arti yang berbeda. “Karena itu dibutuhkan sekarang kamus akronim,” kata Jassin. (Anonim)

Sumber: Surat Kabar Terbit, Th. IX, No. 4302, Jakarta, Jumat, 15 Agustus 1986: 1.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.