Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Syair Kampung Gelam Terbakar: Tinjauan Sosiologi Sastra

Syair Kampung Gelam Terbakar: Tinjauan Sosiologi Sastra

Syair Kampung Gelam Terbakar: Tinjauan Sosiologi Sastra


Syair berasal dari bahasa Arab: sya’ara, yang berarti orang yang menyanyikan lagu; penyanyi, penembang. Syair dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai salah satu jenis puisi atau sajak. Dalam bahasa Arab, syi’ir bermakna juga sebagai puisi atau sajak. Kekhasan syair terletak pada pembaitannya yang terdiri dari empat larik dengan rima akhir yang sebunyi: a-a-a-a. Pola tersebut berbeda dengan pantun yang lebih awal dikenal masyarakat Nusantara. Pantun, meski juga terdiri dari empat larik dalam setiap baitnya, mensyaratkan adanya sampiran dan isi dengan pola persajakan, a-b-a-b. Sampiran ditempatkan pada dua larik yang awal dan dua larik berikutnya merupakan isi atau pesan yang hendak disampaikan pantun yang bersangkutan.

Boleh jadi karena pembaitan dalam syair tidak seperti pantun yang mensyaratkan adanya sampiran dan isi dengan pola persajakan a-b-a-b, maka isi syair lebih bebas mengangkat persoalan apapun yang terjadi dalam kehidupan ini. Dengan adanya kebebasan itu pula, syair menjadi alat yang dapat dianggap lebih sesuai untuk menyampaikan kisah-kisah panjang atau berbagai peristiwa yang menuntut puluhan atau ratusan, bahkan juga ribuan bait. Oleh karena itu, hubungan antarbait dalam syair membangun sebuah narasi.

Syair “Syair Kampung Gelam Terbakar” dilihat dari konvensi puisi, memuat 132 bait, yang masing-masing baitnya, terdiri dari empat larik. Dari 132 bait itu, di dalamnya ada subjudul “Pantun Api di Kampung Gelam” memuat 26 bait (bait 111—126). Subjudul itu mengisyaratkan, bahwa di dalam syair itu, ada pula bentuk pantun. Ternyata, dari 26 bait di bawah sub judul itu, hanya lima bait yang memenuhi syarat pantun. Selebihnya dapat dikategorikan sebagai syair.

Selain subjudul tadi, ada pula subjudul “Ini Sya’ir Kampung Tengah Dimakan Api” yang isinya menceritakan, bahwa ketika Abdullah Munsyi menulis syair itu, terjadi pula kebakaran di Kampung Tengah. Maka, ditulislah peristiwa di Kampung Tengah dalam enam bait syair. Lalu, di bagian akhir syair itu, Abdullah menyataan: “Bahwa ketahuilah oleh segala tuan2 dan enci’2 yang membaca sya’ir ini kuringkaskan perkataannya kadar hendak mengingatkan sahaja.” Dari pernyataan itu, tampak bahwa Abdullah Munsyi lebih memusatkan perhatiannya pada peristiwa kebakaran di Kampung Gelam. Meskipun demikian, pada bait terakhir syair itu, digambarkan, bahwa penduduk Kampung Tengah pun termasuk masyarakat multi-etnik. Seseorang bernama Johnson—yang dari namanya dapat diduga sebagai orang kulit putih— ikut pula membantu memadamkan api yang menghanguskan kampung itu.

Dari perspektif ilmu sastra, “Syair Kampung Gelam Terbakar” ini dapat dijadikan sebagai bukti, bahwa syair dengan segala aturannya itu, tetaplah menunjukkan kreativitas penyairnya. Dengan demikian, pernyataan Sutan Takdir Alisjahbana, bahwa aturan dalam syair telah membelenggu kreativitas penyairnya, tidaklah terbukti. Dalam syair itu, kita menjumpai kepiawaian Abdullah dalam membangun tema syair melalui narasi yang runtut, kronologis, terperinci dengan tetap mempertahankan pilihan kata (diksi) dan keterkaitan peristiwa yang digambarkan dalam setiap baitnya. Jadi, ada kesadaran Abdullah untuk menyusun syairnya dengan konvensi dan estetika syair. Berdasarkan diksi yang digunakan, hubungan antar-bait dalam membangun tema dan konvensi syair, menegaskan, bahwa Abdullah tidak hanya berhasil mempertahankan estetika syair, tetapi juga mengembangkannya sebagai “potret” sosial dan semangat zamannya. Oleh karena itu, pernyataan Alisjahbana yang lain, bahwa syair (pantun dan puisi tradisional yang lain) sudah mati semati-matinya, lebih merupakan klaim atau tudingan tanpa bukti.

Berdasarkan pendekatan sosiologi sastra, “Syair Kampung Gelam Terbakar” tidaklah sekadar berisi kisah klangenan sebagai hiburan murahan yang dikatakan Alisjahbana biasanya dibacakan kaum perempuan (tua) sambil mengunyah sirih sebagai pengisi waktu, melainkan sebuah “potret” peristiwa yang menunjukkan keakraban hubungan antar-anggota masyarakat dalam masyarakat multi-etnik. Abdullah dalam syair itu telah bertindak sebagai pewarta tentang kehebohan masyarakat multi-etnik akibat terjadinya kebakaran. Dari gambaran yang dikisahkan Abdullah, kita tidak melihat adanya sentimen dan konflik etnik terjadi di Kampung Gelam. Yang tampak justru semangat gotong royong dan keinginan untuk saling menolong sesama warga masyarakat, tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, dan suku bangsa.

Di balik penggambaran yang seperti itu, melalui kajian sosiologi sastra, kita dapat pula menangkap ideologi atau keberpihakan Abdullah dan pesan tersirat yang hendak disampaikan dalam syair itu. Dalam hal ini, kita dapat mengungkapkan latar belakang dan latar depan tujuan Abdullah menulis syair itu. Termasuk di dalamnya kritik sosial yang muncul dalam syair itu berkenaan dengan tabiat dan kultur masyarakat yang hetorogen.


-Sumber: Syair Kampung Gelam Terbakar: Potret Toleransi Masyarakat Melayu, Bastian Zulyeno, Maman S. Mahayana, Ade Solihat, dan Suranta, TareBooks, Jakarta, 2019

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.