Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Petualangan di Ibu Kota - M. Irfan Dwi Putra

Petualangan di Ibu Kota - M. Irfan Dwi Putra

Petualangan di Ibu Kota

M. Irfan Dwi Putra

 


Kringggg.....

Bunyi bel bergema di seluruh penjuru sekolah; pertanda bahwa waktu istirahat telah tiba. Arya melangkahkan kaki menuju kantin untuk mengisi perutnya yang mulai keroncongan. Setibanya di kantin, ia langsung mengedarkan pandangannya ke arah jajaran kedai makanan dan ia mendapati tiga sahabatnya, Rara, Rivan, dan Lidya sedang menyantap gado-gado di kedai Bu Ani. Ia pun bergegas menuju kedai Bu Ani untuk memesan seporsi gado-gado dan menghampiri ketiga sahabatnya itu.

“Kalian ke kantin kok gak ajak gue sih,” ucap Arya sambil menepuk pundak Rivan.

“Ya maaf, gue kira lo gak ke kantin karena bawa bekal sendiri,” balas Rivan.

“Iya, lagi pula jarak kelas kita kan lebih dekat ke kantin dari pada harus ke kelas lo dulu,” timpal Lidya di sela-sela ia mengunyah.

Tak berapa lama, gado-gado pesanan Arya diantarkan oleh Bu Ani dan terhidang dengan cantik di atas meja. Arya yang sedari tadi sudah kelaparan langsung menyantapnya dengan sangat lahap. Obrolan hangat pun mengalir di saat mereka sedang mengunyah makanan khas Betawi itu.

“Oh iya, gue mau cerita mimpi aneh gue. Masa tadi malam gue mimpi mendapat misi untuk pergi ke salah satu gedung tua di Jakarta dan di sana gue harus menemukan sebuah kotak kayu. Aneh banget gak, sih?” tanya Arya dengan raut kebingungan di wajahnya.

“Lah, mimpi kita sama,” sahut ketiga sahabatnya secara bersamaan.

Terkejut dengan jawaban yang bersamaan, mereka berempat langsung menghentikan kunyahan. Bibir mereka terbuka lebar menampakkan keterkejutan dan saling memandang satu sama lain.

“Kok aneh, ya. Kita berempat bisa mendapat mimpi yang sama padahal kan kita gak janjian mau mimpi apa sebelum tidur,” ujar Rara yang masih tak percaya.

“Sepertinya ini bukan sekadar mimpi biasa, ada hal penting yang perlu kita cari tahu di sana,” balas Arya.

Obrolan mereka berlanjut membahas gedung tua yang dimaksud di dalam mimpi. Akhirnya mereka memutuskan untuk mendatangi sebuah gedung di Kawasan Kota Tua, yaitu Museum Fatahillah, gedung bersejarah yang menjadi saksi bagaimana perjalanan kota ini dimulai hingga menjadi metropolitan seperti saat ini.

Kringgggg.....

Bunyi bel masuk mengakhiri obrolan hangat itu. Mereka kemudian bergegas membereskan piring dan menyerahkannya kepada Bu Ani. Setelah itu mereka kembali ke kelas masing-masing untuk mengikuti pelajaran berikutnya

Keesokan harinya

Suasana Stasiun Kebayoran pagi itu cukup ramai. Banyak orang berlalu-lalang di pintu masuk stasiun. Puluhan orang mengantre di tempat pembelian tiket hingga antrean mengular cukup panjang. Di peron pun ada banyak orang yang sedang menunggu kereta tujuan mereka datang.

Setelah membeli tiket di mesin otomatis, Arya pergi ke tapping gate dan bergegas menuju peron dua tujuan Stasiun Tanah Abang. Di sana sudah ada ketiga sahabatnya yang datang lebih awal dari janji sebelumnya.

Tak berapa lama kemudian kereta tujuan Tanah Abang datang. Mereka berempat akhirnya masuk ke dalam gerbong setelah beberapa orang di dalamnya keluar. Rupanya di dalam gerbong berkapasitas ratusan orang ini penuh sehingga mereka harus berdesakkan dengan penumpang lainnya.

 “Eh, gue merasa beruntung banget terlahir di kota ini. Banyak hal yang bisa gue pelajari di sini,” ucap Rivan tiba-tiba saat kereta mulai berjalan.

“Gue juga merasa beruntung, walaupun gue gak terlahir di sini gue merasa beruntung tinggal di sini dan bertemu orang-orang macam kalian,” kata Rara.

“Gue malah merasa paling beruntung. Hidup di kota yang sangat berwarna dan majemuk, tapi masih bisa bersatu padu,” balas Lidya tak mau kalah.

“Eh, tumben lo dari tadi diem aja Ar?” tanya Rara heran.

“Gue laper nih,” jawab Arya sambil nyengir memamerkan giginya.

“Gue kira kenapa, astaga. Nanti langsung cari makan aja ya kalau udah sampai.”

Setelah satu jam berada di perjalanan dan dua kali transit untuk berganti kereta, mereka berempat akhirnya sampai di Stasiun Jakarta Kota. Stasiun kereta klasik di ibu kota yang telah dibangun sejak kota ini masih bernama Batavia.

“Wah, arsitekturnya keren banget.” Lidya yang kagum dengan gaya bangunannya tak henti-hentinya mengedarkan pandangannya menyuduri sudut-sudut stasiun.

“Ayo cepetan keluar, gue udah laper nih.” Arya yang merasa cacing di dalam perutnya sudah berdemo meminta ketiga sahabatnya untuk mempercepat langkah.

Di luar stasiun, lalu-lalang kendaraan menjadi pemandangan pertama yang menyambut mereka. Bunyi klakson yang saling bersahutan, beberapa pejalan kaki yang berlalu lalang di trotoar, dan pedagang-pedagang di sekitar stasiun menambah hiruk-pikuk Kota Tua. Di sinilah wajah lain ibu kota digambarkan dengan apik dan klasik.

Mereka berempat lalu berjalan ke Museum Fatahillah yang berada tepat di seberang Stasiun Jakarta Kota. Di samping wisata sejarah, Kawasan Kota Tua juga menjadi wisata kuliner jalanan atau street food di Jakarta. Sepanjang trotoar yang mereka pijak terdapat beragam makanan khas, baik yang berasal dari Betawi asli maupun dari luar Jakarta.

“Itu ada tukang kerak telor, katanya tadi laper Ar,” ucap Rara sambil menunjuk tukang kerak telor yang berada beberapa meter di depan mereka.

“Ayo,” balas Arya singkat.

“Gue beli gado-gado aja deh,” ucap Lidya yang diangguki oleh Rara.

 “Permisi, Bang. Saya mau beli satu porsi kerak telor, dong,” kata Arya kepada seorang penjual kerak telor.

“Eh kok cuma satu porsi, gue makan apa?” tanya Rivan.

“Oh, berarti dua porsi ya, Bang.”

“Tunggu sebentar ya,” balas tukang kerak telor tersebut.

            Beberapa menit kemudian, dua porsi kerak telor terhidang di hadapan Arya dan Rivan. Aroma kerak telor yang khas menggoda indera penciuman mereka berdua, terlebih bagi Arya yang sedari tadi memang sudah kelaparan. Mereka berdua pun langsung melahap makanan khas Betawi tersebut. Sementara Rivan dan Arya menikmati kerak telor, Lidya dan Rara juga sedang menyantap gado-gado tak jauh dari tempat tukang kerak telor.

            Tak butuh waktu lama, dua porsi kerak telor yang dipesan Rivan dan Arya langsung ludes. Cita rasa kerak telor yang gurih memang selalu menggoda bagi siapapun yang memakannya. Terlebih proses memasaknya yang masih tradisional membuat rasa kerak telor semakin khas.

            “Gue masih mau makan, nih. Tunggu gue beli satu porsi lagi ya,” pinta Arya kepada ketiga sahabatnya.

            “Nanti aja kita pulang mampir ke sini lagi,” kata Rara.

            “Yah, tapi janji ya nanti mampir lagi ke sini.”

            “Iya, astaga.”

            Mereka akhirnya berjalan menuju Museum Fatahillah yang berada tak jauh dari wisata kuliner itu. Nuansa gedung tua yang eksotis memanjakan mata mereka, ditambah dengan orang-orang yang bersepeda di pelataran museum. Romantisme kota klasik yang luar biasa.

            Usai membeli tiket masuk museum, mereka langsung menuju pintu masuk. Di dalam gedung museum, mereka disuguhkan dengan gaya arsitektur bangunan yang klasik khas Belanda. Lukisan-lukisan tokoh penting Batavia dan miniatur-miniatur kota terpampang dengan antik di dalam museum. Juga dengan furnitur-furnitur yang menjadi saksi bagaimana gedung ini menjadi pusat pemerintahan di masa Hindia Belanda menambah kesan klasik yang ada.

            Rivan mengedarkan pandangannya ke sebuah ruangan di lantai dua, ruangan yang konon dulunya merupakan kamar bagi seorang jenderal Belanda yang memerintah di Batavia. Tiba-tiba bola matanya menangkap sebuah kotak kayu antik yang terletak di atas meja di sebelah ranjang.

            “Eh, lihat deh kotak itu,” ucap Rivan sambil menunjuk kotak yang ia maksud.

            “Jangan-jangan itu kotak yang dimaksud dalam mimpi kita,” kata Rara yang mulai penasaran dengan kotak tersebut.

            “Tapi, di museum kan gak boleh menyentuh barang-barang antik yang dipajang,” timpal Lidya yang tadi sempat membaca aturan museum.

            “Coba tanya deh sama petugas museum ini, gue penasaran banget nih,” kata Rara.

            Arya kemudian menghampiri seorang pemandu museum yang berada di ruangan sebelah untuk menanyakan kotak yang ia curigai sebagai kotak dalam mimpinya.

            “Maaf, Pak. Kotak yang di atas meja kamar sebelah itu boleh dipegang gak ya, Pak?”

            “Kotak yang mana, ya?”

            “Hah, masa Bapak gak lihat, sih?” tanya Arya yang semakin merasa aneh.

            “Ah, kamu kali yang salah lihat. Dari dulu di kamar itu gak ada kotak apapun. Ya sudah saya mau ke bawah ya,” ucap petugas tersebut.

            “Aneh banget sih, masa petugas itu bilang gak ada kotak apapun,” ucap Arya kepada ketiga sahabatnya.

            “Kalau gitu buka aja, Riv,” ujar Rara kepada Rivan.

            Rivan pun mengambil kotak tersebut dan perlahan-lahan membukanya. Setelah dibuka, isi kotak tersebut hanyalah sebuah arloji kuno yang mempunyai tombol penyetel di sisinya. Dengan iseng Rivan memutar tombol penyetel tersebut.

            Tiba-tiba semua pengunjung museum menghilang dan hanya menyisakan mereka berempat. Mereka yang semula berada di gedung tua sekarang telah berada di puncak sebuah mercusuar dengan pemandangan pelabuhan yang sepi. Suasana langit yang semula cerah berubah menjadi gelap disusul dengan hujan sesaat kemudian. Tiba-tiba muncul armada-armada besar di laut yang berlayar menuju dermaga. Ketika kapal berhasil bersandar di dermaga, keluar orang-orang asing dari dalam kapal tersebut.

            Mereka berempat menyadari bahwa mereka sedang berada di masa lalu setelah Rivan memutar alat penyetel arloji kuno tersebut. Episode demi episode sejarah kota ini tampil jelas di hadapan mereka yang berada di atas mercusuar. Rekaman pertemuan bangsa Barat dan bangsa Timur, kedatangan pedagang-pedagang ke Sunda Kelapa, perjuangan mengalahkan penjajah oleh bangsa Indonesia, hingga geliat pertumbuhan kota ditampilkan jelas di hadapan mereka.

            Hingga tiba-tiba ada seseorang mendatangi mereka yang berpakaian seperti ksatria lengkap dengan pedangnya yang mengilap. Mendekat dengan langkah demi langkah yang gagah dan berani. Hingga akhirnya sampai di hadapan mereka berempat.

            “Kalian tak perlu takut padaku, sebab aku tak akan menyakiti kalian. Aku pernah menjadi saksi bagaimana perjuangan kota ini dan menjadi bagian dari sejarah kota ini. Kota ini pernah besar dan di tangan kalianlah kota ini akan jauh lebih besar. Aku hanya ingin berpesan, jagalah selalu kota ini karena kalian juga bagian dari sejarah kota ini.”

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.