Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Sandal Lusuh Ikal - Teresa Stefany

Sandal Lusuh Ikal - Teresa Stefany

Sandal Lusuh Ikal

Teresa Stefany


 

 

Ini dia si Jali-Jali,

            Lagunya enak, lagunya enak merdu sekali..

            Capek sedikit tidak peduli sayang,

            Asalkan tuan, asalkan tuan senang di hati...

“Terima kasih, Bu,” ucap laki-laki kurus dengan rambut sedikit kribo itu sambil menerima uang yang diberikan ibu-ibu tadi. Kini dia sedang mengarak Ondel-Ondel di pinggir jalan. Walaupun sudah tiga jam mengarak, namun mereka tetap bersemangat.

“Semangat ya semuanye!” teriak Bani menggema. Mereka mengangguk kompak. Anisa dan Bani memegang ember kecil dan umbul-umbul untuk dijual. Fatur mendorong gerobak kecil berisi musik Betawi itu, dan Ikal berada di dalam tubuh Ondel-Ondel sambil menari-nari menyapa penonton. Ikal, laki-laki bertubuh kurus dan kulit sawo matang itu merupakan anak yatim piatu. Dia sudah ditinggalkan oleh orang tuanya sejak berumur tujuh tahun, dia tinggal bersama pamannya—Ayah anisa. Ayah Anisa dulu seorang pengerajin Ondel-Ondel terkenal di Jakarta pusat. Namun, seiring berjalannya waktu Ondel-Ondel sudah tidak diminati oleh masyarakat. Kini Ayah Anisa hanya bekerja serabutan, tetap saja mereka kekurangan pemasukan. Anisa, Ikal, dan teman-temannya memanfaatkan Ondel-Ondelnya itu untuk mengarak.

Mereka beristirahat di sebuah Masjid terdekat sambil melaksanakan shalat maghrib berjamaah. Setelah selesai salat, mereka duduk-duduk di balkon masjid sambil membagi hasil mengarak mereka tadi. Walaupun Ondel-Ondel itu milik Ayahnya Anisa, dia tetap membagi rata hasil mengaraknya. Mereka melanjutkan mengobrol dan bercerita bersama.

Ikal dan Anisa mereka pulang bersama sambil membawa Ondel-Ondel dan gerobaknya. Selama perjalanan mereka bercerita tentang kebudayaan Jakarta yang hampir punah, salah satunya Ondel-Ondel. Mereka bertekad untuk membuat Ondel-ondel lebih dikenal di masyarakat. Tak terasa mereka sudah sampai di rumah kumuh milik Anisa yang berukuran lima kali sembilan itu.

Yang pertama kali ia lihat adalah sosok wanita paruh baya yang sedang minum obatnya di atas kasur lusuhnya yang ditemani oleh seorang pria gendut yang memiliki kumis tebal itu menemaninya. Tubuhnya kurus, wajah cantiknya memudar dan keriput. Tetapi ada satu yang tidak hilang, yaitu senyum yang selalu terukir di bibirnya, seperti seseorang tidak pernah mengalami sakit separah ini.

Laki-laki berkaos melar itu berjalan ke arah Bibinya. Anisa tersenyum, mengikuti Ikal.

“Assalamualaikum,” ucapnya sambil mencium tangan Encang dan Encingnya.

“Wa’alaikumsalam, Tong,” jawab Encingnya tersenyum. Mata Ibu Anisa berhenti di sesuatu yang dipegang Ikal.

“Ngapa sendalnya dibawa ke dalem, Kal?” tanya Encingnya dengan suara sedikit parau. Mungkin karena sedang sakit.

“Oh ini, aku mau cuci Cing, ngeres soalnya.” jawab Ikal tersenyum.

“Wih, getol bener nyuci sendal. Sendal Encang lu aja udeh kena tai ayam di kandang kaga dicuci bertaun taun tuh.” Ucap Ayah Anisa sambil tertawa.

“Babe mah, males cuci sendal kalo bukan Enyak yang cuci,” cerocos Anisa sambil memutar bola matanya malas. Mereka tertawa bersama. Setelah itu, Ikal bergegas ke kamar mandi untuk mencuci sandalnya. Anisa berkutat di dapur untuk menyiapkan makanan instan.

Hari ini, hari Ahad. Ikal dan Anisa sudah bersiap-siap untuk mengarak kembali. Ikal menyiapkan sandal yang sudah ia cuci kemarin malam. Teman-temannya sudah berkumpul di halaman rumah Anisa. Karena Ondel-Ondel itu diletakan di rumahnya. Mereka pamit pada orangtua Anisa dan pergi meninggalkan kawasan rumah itu. Dari Kramat Pulo, Jakarta Pusat mereka membawa Ondel-Ondel yang beratnya hampir sembilan kilogram hingga ke Jakarta Barat. Bani menyiapkan ember kecil untuk menyimpan uang dan umbul-umbul untuk dijual. Tak lupa Ikal menyiapkan Ondel-Ondel dan USB yang berisikan lagu Sirih Kuning, Jali-Jali, Keroncong Kemayoran, dan Kicir-Kicir yang akan diputar. Mereka pergi menggunakan bajaj dan meletakan tubuh Ondel-Ondel di atap bajaj. Inilah kebiasaan mereka sehari-hari. Hanya Fatur yang masih bersekolah. Keluarganya masih mampu untuk membayar SPP yang ditagih setiap bulannya. Jika hari sekolah, biasanya Fatur tetap ikut mengarak setelah selesai pulang sekolah.

Mereka sudah berada di daerah Cengkareng, Jakarta Barat. Bajaj milik kakek Bani di titipkan ke bibinya yang ada di Kembangan. Di saat lampu merah, inilah kesempatan mereka untuk mendapatkan uang lebih banyak. Bani dan Anisa berkeliling ke pengendara sambil menawarkan umbul-umbul uniknya itu. Ikal berada di dalam tubuh Ondel-Ondel yang tingginya hampir dua meter sambil ditemani Fatur mendorong gerobak musiknya. Suara musik kami menggema di jalan raya pada siang itu. Panas terik matahari tidak menghalangi kami untuk berkeliling Jakarta. Banyak yang memperhatikan kami, dan tidak sedikit pula yang mengacuhkan kami. Sering sekali kami merasa tidak dihargai, tujuan kami untuk mengarak sekaligus mempromosikan Ondel-Ondel kami untuk dipesan. Namun kami rasa mereka tidak membutuhkan ini. Mereka hanya membutuhkan smartphone atau teknologi canggih yang dapat membuat mereka menjadi lebih modern dan tidak tertinggal oleh zaman. Padahal, Ondel-Ondel ini adalah salah satu kesenian budaya dari Jakarta, ibu kota Indonesia sekaligus tempat mereka tinggal.

Anisa melirik ke pewaktu lalu lintas, sisa lima detik lagi lampu hijau akan menyala. Anisa, Bani dan Fatur langsung menepi ke trotoar jalan, namun saat dia berbalik badan, dia melihat Ikal hampir terjatuh. Bani dan Fatur mendekat membantu Ikal.

Tiga...

Dua...

Satu...

BRUKK!!!

HEY MINGGIR LAH CEPAT! MENYUSAHKAN SAJA KALIAN!

JANGAN BERHENTI DI TENGAH JALAN DONG!

HEI PENGAMEN! MENYINGKIR LAH ATAU AKAN KU TABRAK KALIAN!

Ikal dan tubuh Ondel-Ondelnya terjatuh. Ondel-ondel dengan tinggi hampir dua meter itu menghalangi jalan pengguna. Sandal lusuh Ikal putus dan membuat Ikal tersandung kemudian jatuh. Ikal segera berdiri dan keluar dari tubuh Ondel-Ondel itu. Ikal mengambil sandalnya yang terputus. Wajahnya tampak memerah, seperti ingin menangis. Tiba-tiba ada seorang ibu-ibu turun dari mobilnya dan menghampiri Ikal. Ibu-ibu itu menghampiri kami sambil menuntun Ikal ke pinggir jalan. Bani dan Fatur mengambil Ondel-Ondel yang berada di tengah jalan itu.

“Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya ibu-ibu itu sambil memegang bahu Ikal. Ikal mengangguk. Kami semua lega Ikal tidak apa-apa. Namun pikiran kami bertanya-tanya, mengapa Ikal seperti ingin menangis? Dia terus memandangi sandal putusnya itu. Ibu-ibu itu memperhatikan Ondel-Ondel kami.

“Apakah ini Ondel-Ondel buatan Pak Kusman? Yang terkenal di Jakarta Pusat itu?” tanya ibu itu penasaran. Dari mana ia tahu kalau Ondel-Ondel ini milik Pak Kusman ya?

“Iya Bu. Benar,” jawab kami sopan. Matanya tampak berbinar. Senyumnya tak lepas dari bibirnya.

“Akhirnya saya menemukan juga. Apa Pak Kusman masih membuat Ondel-Ondel Nak?” tanyanya sambil memegang bahuku.

“Tidak Bu, tidak ada yang memesan lagi. Ondel-Ondel sudah jarang dipesan Bu,” jawab Fatur. Wajah yang sumringah tadi menjadi menciut. Ibu itu sedikit kecewa.

“Yah sayang sekali. Padahal Ondel-Ondel salah satu kesenian Jakarta. Dan itu patut dilestarikan,” katanya. Aku, Fatur dan Bani mengangguk setuju. Ibu ini memang benar, kesenian Jakarta patut dilestarikan. Agar kebudayaannya tidak diambil oleh negara asing.

“Oh iya Nak, kebetulan Ibu adalah pelatih tari di Sanggar Tari di Kemayoran. Besok, anak murid Ibu ikut menari di Teater Taman Mini dengan membawa tarian adat Betawi. Ibu mau pesan Ondel-Ondel untuk seterusnya, apakah bisa?” tanya ibu itu sambil tersenyum. Mereka melongo. Menatap tidak percaya. Sungguh Anisa sangat senang sekali. Mereka semua mengangguk mantap. “Bisa Bu!!” jawabnya kompak. Kecuali Ikal. Dia hanya diam saja. Tiba-tiba dia pergi meninggalkan kami.

Di warung Bi Ijem kami berisitirahat. Membicarakan tentang Ikal yang tiba-tiba pergi meninggalkan kami. Kami berencana setelah ini akan memberikan Ikal sandal yang baru, menggantikan sandal Ikal yang putus tadi.

Kami keluar dari toko sandal itu, dan segera menuju ke rumah masing-masing. Teman-temanku menitip salam maaf kepadaku untuk Ikal. Aku mengangguk, lalu pergi ke rumah. Sampainya di rumah, aku hanya lihat Ibu dan Ayahku. Di mana Ikal? Aku mencari ke seluruh ruangan, tidak ada Ikal. Satu-satunya yang belum aku cek, yaitu halaman kumuh belakang rumah. Dan ternyata Ikal sedang duduk di sana, sambil memegang sandalnya. Aku mendekatinya, dan mengulurkan tanganku dengan sebuah sandal baru yang dibungkus plastik itu. Ikal hanya diam, bahkan dia membuang muka padaku. Dia tidak melirik sama sekali sandal barunya.

“Kal, gua sama temen-temen minta maaf, karena sendal lu jadi putus. Kite udeh beliin yang baru. Nih,” ucapku sambil mengulurkan sekali lagi. Ikal menatap ku nanar. Matanya memerah seperti habis menangis. Dia kembali membuang muka kepadaku. Aku kesal sekali.

“Kal! ngapa lu kaga mau menerima ini? butut ye? Atau lu maunya yang harganye mahal?” tanya ku sedikit kencang. Aku kesal karena Ikal tidak mau menerima ini. dia tidak menghargai kami sama sekali.

Ikal berdiri.

“Bukan soal mahal atau kagak nye! Sandal ntu kado ulang tahun gua sebelum Enyak gua meninggal! Gua jagain! Sampe orang-orang anggep gua kaga menjes beli sendal! Lu kaga tau arti sendal ntu, Anisa!” bentak Ikal kepadaku. Aku membeku seketika. aku menyesal telah berkata seperti itu pada Ikal, pasti hatinya sangat tersakiti oleh ucapanku tadi.

“M-maapin gua.. Kal, Gua kaga tau.” Ucapku sambil berusaha meraih tangan Ikal. Namun dia menepisnya. Dia pergi meninggalkan ku.

“Ikal! Esok kite bakal anter Ondel-Ondel ke Teater, gua pengen lu ikut ke sono, Kal!” ucapku. Ikal berhenti sebentar kemudian berlari kembali.

Besoknya, kami sudah bersiap-siap kecuali Ikal. Kami tidak tahu di mana dia, setelah subuh tadi dia tidak ada di rumah. Kami ingin mencarinya, namun waktu kami tidak banyak lagi. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke Teater tanpa Ikal. Tentu saja kami sangat merasa bersalah atas kejadian kemarin, kami ingin meminta maaf. Termasuk aku, sejak kejadian di halaman belakang rumah kemarin, Ikal menjadi acuh padaku.

Kami sudah sampai di Teater, aku menyapu pandanganku. Tiba-tiba ada seseorang mengejutkanku dari belakang.

“HOY!” ucapnya berseru. Kami menoleh.

“IKAL!!!” ucap kami bersamaan. Kaget dan senang menjadi satu.

“Maapin gua ya kemarin, gua emosi bener,” ucap Ikal. Kami mengangguk dan berpelukan, sungguh indahnya memaafkan satu sama lain.

 

* * * * *

Jakarta, 21 Mei 2019

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.