Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Perjuangan - Elsa Sandrianis

Perjuangan - Elsa Sandrianis

Perjuangan

Elsa Sandrianis

 


Jika suatu saat aku pergi dan kembali lagi apakah semuanya kan terlihat masih sama?

Siluet itu menampakkan Ayah dan Ibu ku bertengkar, mereka selalu demikian saat ada masalah sedikitpun tak bisa tenangkan diri masing-masing, tapi malam ini rasanya lebih sakit dari pada malam-malam sebelumnya, aku terlelap dalam tidurku membiarkan semuanya terjadi sembari menjerit, menangis di balik bantal.

Pagi ini aku duduk di hadapan Ayah dan Ibu menatap mereka saling datar, aku Anak tunggal terlahir dari keluarga sederhana.

"Pulang sekolah, kau harus latihan bulu tangkis, Ayah sudah mendaftar. Kau masuk lomba internasional, tunjukkan pada dunia kalau hanya seorang dirimu bisa membawa nama Indonesia keseluruhan penjuru dunia." Ayah membuka pembicaraan, aku mulai tersenyum senang. Bulu tangkis adalah hidupku, Ayah punya keinginan besar padaku, untuk bisa juara dalam pertandingan bulu tangkis.

"Bagaimana bisa?! Dia masih kelas 2 SMA, seharusnya dia mencari tahu tentang kuliahnya." bentak Ibu pada Ayah. Mereka berbeda visi dan misi dalam mendidikku mau apa, dan mau jadi apa aku. Aku mulai melunturkan senyumku bahwa kutahu mereka akan bertengkar kemudian. "Lihat anak tetangga kita, dia mendapat beasiswa di Bandung. Apa kau tidak malu Alice?! Kau hanya dengar apa kata Ayahmu."

"Kau pikir dengan hanya kuliah, Alice akan kaya?! Kau juga harus membiayai uang sakunya. Coba kau pikir, di umurnya yang sekarang Alice bisa sangat hebatnya ikut pertandingan bulu tangkis, Alice punya potensi yang patut dibanggakan." jelas Ayah. Tanpa berkata apapun aku pergi meninggalkan mereka yang masih bertengkar dan mengabaikanku pergi.

Mereka selalu lari dari cinta untuk hidup, apakah aku harus lari dari hidup untuk cinta? Tuhan, ada apa dengan keluargaku? Apakah sejak dari lahir aku kedunia mereka selalu seperti ini? Begitu banyak tanya tapi tak satupun terjawab. Aku pergi ke sekolah pagi ini, dengan mengambil langkah seribu aku menuju ke sekolah. Setibanya, langsung kulihat papan pengumuman yang sudah dikerubungi banyak siswa-siswi.

Kuperhatikan satu per satu nama dari sekian banyak nama yang tertera. Akhirnya, kutemukan namaku "Alicia Moosa"

Aku tertunduk syukur berterima kasih pada Tuhan, semoga ini bisa menyatukan aku, Ayah dan Ibu.

Siang itu. Sepulang sekolah aku latihan bulu tangkis terlebih dahulu, menunda memberi tahu orang tuaku, lagi pula mereka sibuk bekerja siang malam. Aku mengganti seragam sekolahku dengan kaos khusus untuk latihan, aku berlatih tanpa mengenal letih untuk orang tuaku dan untuk negara ini, aku mengabdi padamu negeri.

"Bagus! Semakin hari semakin bagus saja Alice, kau peserta muda yang berkualitas. Dengan begini aku yakin kau menang." ujar pelatihku sembari tersenyum padaku. Aku pun membalas pelatih priaku yang jauh lebih tua dariku dengan senyumanku.

"Tak seperti biasanya Alice, seperti kau tidak memiliki beban apapun lagi." tambah pelatihku.

"Ya, tentu. Pak! Kau tahu? Aku mendapat beasiswa di sekolah" Ujarku. "Kau harus tahu!" Ledekku. "Itu bagus Alice, kau hebat. Beri tahu orang tuamu." "Ya. tentu, Pak!" "Jangan lupa, jaga kesehatanmu dua hari lagi kau harus mengikuti lomba. Bertanding melawan Laos. "Siap kapten!" Akupun pulang ke rumah selepas latihan, mereka masih belum pulang ini sudah jam 17.29 harusnya mereka telah tiba, kesempatanku membuat hidangan untuk mereka. Aku membuat tiga piring nasi goreng kesukaan mereka, selepas itu aku mandi dan menunggu mereka pulang. Setelah 45 menit nasi gorengku mulai menjadi nasi kering, Ibu tiba dan langsung duduk di meja makan.

"Kau yang membuat ini Alice?" Tanya Ibuku sembari menyantap masakanku, aku hanya mengangguk dan tersenyum.

"Ibu! Aku punya kabar baik untukmu." ujarku. "tapi, alangkah baiknya jika kita menunggu Ayah terlebih dahulu."

"Lagi-lagi Ayahmu, kapan kau berhenti mengucapkan namanya?!! Ibu sudah ajukan surat cerai dengan Ayahmu, tinggal Ayahmu menandatangani." bentak Ibu.

"Apa?!" Seketika aku lemas dan terkejut, ini tidak mungkin. aku menitihkan air mata, Ayahku pun datang .

"Apa ini?" Tanya Ayah melihat surat cerai.

"Surat cerai." ujar Ibu membalas pertanyaan Ayah.

"Kapan aku memintamu dan memberimu izin untuk bercerai?!! Aku sudah menafkahimu. Kita sepakat untuk bersama hingga mati." bentak Ayah "aku lelah, jadi, ku mohon jangan buat aku bertindak kasar."

"Ayah.." panggilku "Ibu.. bisa tidak, aku meminta sesuatu dari kalian berdua?"

"Apa yang kau minta sayang?" Ujar Ayah. "Dengarkan aku sekali ini saja" jawabku.

"Ayah, Ibu.. aku dapat beasiswa di salah satu universitas di Jakarta, aku ikut kompetisi bulan lalu dan aku menang." jelasku seketika suasana menjadi sunyi, aku hanya melihat ekspresi Ibu yang hanya memaksakan ia tersenyum.

"Bagus! Itu bagus! Setidaknya itu lebih baik dari pada kau setiap harinya harus melatih otot-ototmu!" Ujar Ibu yang biasa saja, bagaimana bisa? Ini keinginannya dan masih saja tidak menghargai jerih payahku.

"Tidak Alice! Kau harus memilih salah satu dari itu." ketus Ayah.

"Cukup Ayah! Cukup Ibu! Aku tidak bisa memilih antara kalian, kalian sama pentingnya bagi ku!! Aku suka bulu tangkis dan akupun juga mau kuliah. Intinya aku mau membuat kalian bangga pada ku! Tapi yang kalian lakukan setiap malam hanyalah meluapkan emosi. Kalian hanya berjalan dengan ego kalian masing-masing! Bahkan Aku muak dengan kalian!" Bentak ku sembari menangis.

Aku pergi ke kamar membereskan bajuku dan buku-bukuku, berniat untuk pergi dari rumah.

"Alice kau mau kemana?" Ujar Ibu, yang kulihat wajahnya khawatir padaku.

"Biarkan aku pergi, dan mengatakan semua tak baik-baik saja dan kau, kau berhentilah seolah-olah kau mengerti dukaku!" Ketusku yang tenggelam dalam laut amarah. Aku pergi beranjak dari rumah, arahpun tak menentu, biarkan angin yang membawaku bahkan mereka juga tidak mengejarku.

Kuputuskan untuk pergi ketempat aku latihan dan menetap di sana.

Dua hari sudah aku tinggal di tempat biasa aku latihan, kuhabiskan hari-hariku dengan latihan. Kini tiba saatnya aku memperjuangkan Indonesiaku tempat di mana aku lahir dan dibesarkan, tempat di mana aku mengabdi padanya.

Sekarang yang kuinginkan satu, orang tuaku bisa melihat aku bertanding di sini. Terdengar suara teriakan dari banyaknya pasang mata memuja "Indonesia!!..." Dengan suara lantang. Sekujur tubuhku gemetar dan bulu kudukku bangun seketika. Aku melihat sekelilingku berharap ada Ayah dan Ibu datang tapi tidak. Pertandingan babak pertama dimulai, aku menyiapkan kuda-kuda untuk menepis kok dari lawan.

27 menit sudah kami habiskan, Laos keluar sebagai pemenang dengan 23 skor, sementara Indonesia hanya 17, Semua pemain beristirahat untuk penentuan babak kedua. Laos keluar sebagai pemenang atau hasilnya akan seri.

"Ada apa Alice? Mana kemampuanmu? Mana semua ilmu yang gurumu berikan? Kau bodoh, kau payah" ujarku pada diriku sendiri.

"Tak apa Alice, kau hanya gugup tadi." Seru pelatihku dengan senyuman. "Ada sesuatu yang kau sembunyikan, beritahu aku!"

"Umm.. Pak, aku hanya ingin melihat orang tuaku di sini dan aku bicara kasar pada mereka kemarin." Ujarku murung.

"Kau yakin orang tuamu ada dalam hatimu, maka lakukanlah sebaik mungkin untuk Indonesia dari hatimu" jelas pelatihku.

Aku termenung seketika mendengar ucapan pelatihku. Babak kedua ku pastikan bisa mencapai skor tertinggi, kukeluarkan semua tenagaku. "Indonesia... Indonesia pasti menang!" teriak suporter Indonesia.

"Baiklah Alice, jangan kecewakan mereka." ujar batinku.  30 menit sudah kami, para pemain habiskan untuk bertanding dengan skor tertinggi Indonesia mendapat 16 dan Laos 12, sisa dua poin lagi Indonesia mencapai skor 17. Aku fokus pada kok terakhir tapi Laos menyusul menjadi 16, hasil imbang sebelum aku tergelincir dan kakiku terasa keram hebat. Ku teruskan pertandingan hingga semu tenaga yang kupunya terkuras habis, aku mendengar orang tuaku meneriakkan namaku. Aku menyemash kok terakhir.

Badanku digiring dengan tandu oleh para perawat. Aku melihat di ujung lorong dari tempat kutergeletak merasakan kakiku yang keram terasa amat sakit, orang tuaku menghampiriku.

"Alice, semangatlah, berjuanglah Ibu yakin kau bisa, nak!" Ujar Ibu. Tak disangka-sangka Ayah dan Ibu hadir

"Alice! Ayah dan Ibu di sini, berjuang untuk Indonesiamu, sayang. Ayah bangga padamu"

"Keram yang dirasakan Alice begitu hebat, dikhawatirkan Alice akan lumpuh" ujar perawat.

"Jika sudah tak kuat, jangan kau paksa Alice, kakimu lebih penting dari pertandingan ini" ketus pelatihku.

"Tidak! Hanya beberapa poin lagi, doakan aku! Perawat, tolong beri penanganan apa saja untukku. Ibu, Ayah.. mohon maafkan aku, maafkan semua perkataan kasarku pada kalian dan maaf jika aku tidak keluar sebagai pemenang" akupun mulai menitihkan air mata. "Tak apa Alice, Ayah dan Ibu yang salah, seharusnya kami yang minta maaf dan berperilaku baik padamu, nak." Ujar Ayah.

Aku mulai bangkit dari tempatku, sembari membawa raket di tangan kananku dan keluar dari tempat istirahat untuk menghadapi lawan.

"Di babak ini hanya menentukan 5 poin saja, hasil Laos dan Indonesia, imbang. Penentuan siapa yang akan keluar sebagai pemenang akan dibuktikan di babak akhir." Ujar moderator lewat speaker. Sembari terpincang-pincang, aku menerus pertandingan, akhirnya Indonesia keluar sebagai juara satu di olimpiade. Aku mendengar suara teriakan haru dari suporter menyeru haru nama Indonesia. Orang tuaku berlari menghampiriku dan memelukku.

"Kami bangga padamu Alice." Ujar Ibu sembari mencium keningku. "Terimakasih Ayah, Ibu! Kalian terbaik." Ucapku menangis haru. "Selamat Alice! Kau menang!" Seru pelatihku. "Bukan aku! Tapi kita, karena kita adalah satu Indonesia." Ujarku bahagia.

 

Tamat.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.