Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Mengenang Langit Emas Jakarta - Mahesa Rafian Syah

Mengenang Langit Emas Jakarta - Mahesa Rafian Syah

Mengenang Langit Emas Jakarta

Mahesa Rafian Syah




Senang rasanya menjadi salah satu pebisnis besar di sepanjang lintasan bersejarah yang kini telah diwarnai dengan adanya MRT. Beruang tiada batas, rumah beralaskan permata, mobil seharga rumah, dan berbagai macam pakaian berkilau. Namun tiba-tiba suara bising yang amat menyebalkan muncul dan semakin keras hingga pada akhirnya semua kebahagiaan itu lenyap bagaikan angin yang menghembus dan dunia menjadi gelap gulita.

Kemudian terbukalah mataku dan ku lihat alarm ponselku berdering sangat keras menunjukan waktu pukul 5 pagi dan tanpa sengaja kulihat pesan di bawahnya, yang bertuliskan "Dimas berkunjung ke Jakarta! Jangan lupa jadwalmu hari ini untuk mengunjungi dia". Pesan ini mengingatkanku akan janji yang telah kusepakati dengan teman lamaku Dimas, yang sedang berkunjung ke Jakarta dari kesehariannya di Amerika Serikat untuk mengajak aku menjadi pemandunya berkeliling Jakarta.

Segera kuangkat tubuhku dari ranjang dan kurapikan sejenak seprai dan bantalku. Langsung saja aku mengambil handuk dan segera pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Setelah bersih tubuhku, kupilih pakaian yang bagus namun terkesan sederhana, dan kupilihlah kaus putih bergambarkan logo Indonesia dengan warna merah putih dan celana jeans favoritku. Dan terakhir kukenakan aksesoris para lelaki, yaitu jam tangan.

Telah kusiapkan perutku untuk menahan rasa lapar, karena aku dan Dimas berencana untuk sarapan bersama. Kemudian kuambil kunci mobilku, dan segera pergi menemui Dimas di rumahnya sesuai dengan alamat yang dia kirimkan kemarin. Sepuluh menit berlalu dan tepat pukul 7 pagi, aku tiba di rumah pribadi Dimas. Kuketuklah pintunya dan ingatan lama kembali menghiasi pikiranku, di mana dulu aku sering bermain kelereng, makan sate ayam, dan berlari-larian di Monas. Dua puluh empat tahun lamanya kita tidak bertemu, rasanya bagaikan bertemu dengan orang awam.

Selama perjalanan, aku bertanya "Bagaimana kabarmu, Mas? Lama tidak bertemu dengan Dimas yang dulu sering beradu kelereng denganku." Dimas dengan cepat menjawab "Eits, aku Thomas, panggil aku Thomas, bukan Dimas. Aku baik-baik saja di Amerika sana. Bagaimana dengan mu, Rud?" Aku pun menjawab hal yang serupa "Agak aneh rasanya menanggilmu Thomas. Ya sudahlah karena nama aslimu dengan Thomas memiliki akhiran yang sama, jadi aku panggil Mas saja. Aku sehat dan baik-baik saja disini." Kami pun berbincang-bincang cukup seru selama perjalanan menuju restoran. Aku mengajaknya ke McDonalds, yang pastinya Dimas tentu sudah biasa dengan restoran ini.

Menurutku Dimas tidak tau, bahwa menu McDonalds Indonesia dengan Amerika Serikat mungkin sedikit berbeda. Pada saat itu, McDonalds menawarkan menu nasi uduk, yang identik dengan salah satu kuliner Jakarta. Kebetulan Dimas bertanya "Jadi, kita mau sarapan dimana, Rud?" Langsung saja ku jawab "Di McDonalds saja" Dimas sempat ragu dan menanyakan padaku "Apa tidak di tempat lain saja? Di Amerika sana aku sudah sering makan di McDonalds.." Aku pun menjawab "Tenang saja, McDonalds di sini aku yakin berbeda dengan McDonalds disana. Ada menu unik yang harus kamu coba." Akhirnya Dimas pun setuju dan beberapa lama kemudian, kami tiba.

Aku pun pergi ke kasir untuk memesan menu nasi uduk 2 porsi dan air mineral. Setelah makanan jadi, kubawa nampan yang berisi sarapan kami menuju meja makan. "Ini menu unik yang kamu bicarakan, Rud? Hanya nasi biasa dengan bawang diatasnya beserta telur, ayam, dan cabai?" Aku pun menjawab "Ya. Kamu coba dulu. Ini salah satu menu favoritku juga loh".

Satu sendok nasi uduk itu mengingatkan Dimas tentang masa lalunya. "Rasanya aku pernah memakan nasi dengan rasa seperti ini dulu. Memang sangat enak. Nasi apa ini Rud?" Aku menjawab "Itu  nasi uduk, dulu kita pernah makan bersama di warung Bu Tuti. Kamu masih ingat?" Dimas pun teringat dan menjawab "Apakah aku sering memesan kerupuk yang lebih banyak di warung itu?" Aku terkejut dan menjawab "Ya, Benar! Kamu selalu meminta kerupuk lebih bahkan sangat banyak!"

Kami pun melanjutkan sarapan dan berjalan kembali. Selama perjalanan. Aku teringat oleh cerita Dimas, di mana tepatnya pada tahun 1995, Dimas dan keluarganya bersilaturahmi ke rumah pamannya di Amerika Serikat. Sejak saat itu keluarganya sempat menetap di Amerika. Selama menginap, ibunya sering membaca berita Indonesia, dan ia membaca artikel yang berisikan tentang kerusuhan 1998. Sebagai keluarga non-muslim, keluarganya merasa khawatir. Jadwal pulangnya ke Indonesia akhirnya ditunda dua tahun lagi.

Tepat pada tahun 2000, Ayah Dimas memutuskan untuk mengajak pulang keluarganya kembali ke Jakarta. Namun, hal tersebut ditolak oleh Dimas. Dimas yang membaca artikel kerusuhan 1998 itu nampak sangat kesal terhadap Indonesia. Dia benci dengan masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di Jakarta yang mana dianggapnya sebagai perusak dan penghancur. Dirinya yang dahulu sangat mencintai Indonesia menjadi berubah seratus delapan puluh derajat melihat sisi negatif Indonesia. Akhirnya Dimas pun menetap di Amerika bersama dengan paman dan bibinya dan menjadi warga negara Amerika Serikat  sedangkan orang tuanya kembali ke Jakarta.

Seperti itulah cerita yang dicurahkan oleh ibu Dimas di hari ketika aku mengunjungi rumah keluarganya di Jakarta. Mengingat hal itu, aku pun terdorong untuk mengenalkan sejarah Jakarta di berbagai museum di Jakarta. Dimulai dari Museum Sejarah Jakarta di Kota Tua. "Setelah ini kita akan berjalan-jalan kemana, Rud?" Katanya dan aku menjawab "Aku tau sebuah tempat yang pasti kamu juga suka. Tempat ini indah, banyak turis yang berdatangan ke tempat ini untuk berfoto dan belajar."

Setibanya di sana, Dimas pun terdiam dan terpesona melihat keindahan Kota Tua dan berbagai hal yang ditampilkan di sana. Aku pun mengajaknya mengelilingi Museum Sejarah Jakarta, yang menjadi museum bersejarah paling penting di Jakarta. Dimas sempat bertanya, "Ini museum apa, Rud?" Dan aku pun mengatakan "Nama museum ini Museum Fatahillah". Kami pun berbincang-bincang mengenai museum itu. Dimas juga sempat bertanya, "Rud, Batavia itu apa? Nama sebuah kota di Indonesia? Atau sebuah benda?" Aku pun kecewa karena Dimas seorang mantan warga negara Indonesia tetapi tidak tau apa itu Batavia.

Aku pun menjawab "Batavia adalah sebuah kota yang didirikan Belanda yang kemudian berbuah menjadi yang kini kenal sebagai Jakarta." Aku sempat melihat Dimas terdiam melihat suatu artefak, aku tidak tau apakah ia merasa sangat terpesona atau terpikirkan tentang sesuatu. Seusai mengelilingi Museum Sejarah Jakarta, kami pun berbelanja berbagai souvenir unik Jakarta yang dijual di sekitar Musum Sejarah Jakarta.

Sebelum berpindah destinasi wisata, Dimas tidak lupa untuk mengajakku berfoto bersama meriam di depan Museum Sejarah Jakarta. Kami pun berjalan kembali dengan mobilku, dan selama perjalanan, aku mengatakan bahwa Museum Fatahillah yang tadi aku katakan kepada Dimas, merupakan Museum Sejarah Jakarta, yang merupakan museum di mana sejarah berdirinya Jakarta.

Sambil memikirkan destinasi selanjutnya aku tiba-tiba terpikirkan untuk mengajak Dimas ke rumah ibunya, yang sekarang sudah pindah karena ayahnya meninggal 3 tahun yang lalu. Tentu Dimas tidak akan tau karena ibunya sudah pindah dari rumah lamanya ketika Dimas tinggal di Amerika Serikat. Akhirnya aku setuju, walaupun agak aneh rasanya mengajak Dimas 'berwisata' ke rumah ibunya, namun inilah yang harus Dimas ketahui, setelah 24 tahun.

"Mas, setelah ini aku punya tempat terbaik dan terunik di Jakarta, bahkan di dunia! Apakah kamu setuju apabila aku mengajakmu ke sana?" Dimas dengan senang langsung menjawab "Tentu! Ajak aku kemana pun yang menurutmu adalah tempat yang unik, Rud!". Aku pun berjalan menuju rumah baru ibu Dimas. Sesampainya disana, Dimas masih terlihat biasa saja. Aku langsung mengetuk pintu rumahnya sambil berkata "Bu Rina, selamat siang bu, ini Rudi temannya Dimas."

Aku pun mendengar suara "Oh, Rudi! Sebentar Rud!" Lalu dibukakanlah pintu rumahnya dan menyapaku dan Dimas, yang mana ibu Dimas pikir adalah teman sekolahku. Sebelum masuk, aku langsung mengatakan, "Bu Rina, ibu kenal siapa dia." Ibu Dimas pun bingung "Benarkah? Apa kita pernah bertemu? Saya tidak ingat." Aku menjawab "Pernah bu, 24 tahun yang lalu dan ibu sering membicarakannya.". Mendengar kata-kataku, ibu Dimas terdiam memandangi orang di sebelahku.

Aku melihat matanya berkaca-kaca, sedangkan Dimas malah kebingungan siapakah ibu ini?. Ibu Dimas pun lantas bertanya "Bagaimana kabar Paman Aryo dan Bibi Lisa?" Tanpa menjawab apa-apa, Dimas pun terdiam dan langsung memeluk Bu Rina. Setelah 24 tahun akhirnya Dimas pun bertemu dengan ibunya, dan dirinya pun sempat bertanya "Bapak di mana, bu?" Ibu Dimas menjawab "Ia sudah tiada, nak" kesedihan Dimas pun semakin meningkat dan kami pun akhirnya masuk ke ruang tamu.

Dimas dan ibunya pun bercerita tentang kehidupannya di Jakarta, dibantu dengan penjelasanku yang mana aku sering sekali menemui Bu Rina untuk mengobrol. Bu Rina memberikan Dimas sebuah surat dari ayahnya sebelum meninggal, yang berisikan "Mas, kamu ingat cita-cita keluarga kita? berkunjung ke langit emas Jakarta? Bawa ibumu kesana jikalau ayah tidak mampu menahan rasa sakit ini. Jakarta memang menyebalkan, Mas. Tapi pergilah kesana dan kamu akan lihat Jakarta yang sebenarnya." membaca surat itu, Dimas pun menangis, teringat dengan janji ayahnya dulu untuk mengajak keluarganya pergi ke puncak Monas.

Tanpa berpikir panjang, Dimas pun langsung mengajakku ke Monas bersama dengan ibunya. Karena hari masih terang, sekitar pukul 3 sore, kami tiba di Monas, dan segera naik ke puncaknya. Setibanya di puncak Monas, Dimas pun menangis melihat keindahan Jakarta dari puncak Monas. Dirinya menyesali perbuatannya dulu karena tidak mengetahui hal ini. Langit emas Jakarta, sebuah ungkapan yang kini melekat di hatinya kini hingga selama-lamanya. Sepulangnya dari Monas, Dimas pun tinggal di rumah ibunya.

Sebulan kemudian Dimas membawa keluarganya ke Jakarta dan menetap menjadi warga negara Indonesia. Pada tanggal 22 Juni nanti, di hari ulang tahun Jakarta, Dimas bersama dengan keluarganya berfoto di langit emas Jakarta, yang menjadi kecintaan terbesarnya terhadap kota Jakarta, kota di mana ia dilahirkan.

 

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.