Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Puisi di Hari Filsafat Sedunia - Sofyan RH. Zaid

Puisi di Hari Filsafat Sedunia - Sofyan RH. Zaid

Puisi di Hari Filsafat Sedunia

oleh Sofyan RH. Zaid




Puisi dan filsafat, meski tampak berbeda dalam cara penyampaian, sebenarnya memiliki simpul yang erat dalam substansi. Bagi penyair Subagio Sastrowardoyo, puisi adalah larik-larik filsafat yang puitis. Dalam puisi, ada perenungan mendalam tentang eksistensi, moralitas, dan esensi kehidupan, yang merupakan inti dari filsafat. Maka, ketika saya diminta untuk membaca puisi pada acara Perayaan Hari Filsafat Sedunia (21 November 2024) pada 7 Desember 2024, saya merasa ini adalah kesempatan untuk merayakan simbiosis keduanya.

Acara ini diselenggarakan oleh Paramadina Graduate School of Islamic Studies (PGSI) dan Paramadina Center for Religion & Philosophy (PCRP) dengan tajuk yang menggugah: Filsafat Telah Mati? Membincang Ulang Peran Filsafat Dalam Kanvas Peradaban Kontemporer. Barangkali tajuk ini terinspirasi dari pernyataan kontroversial fisikawan Stephen Hawking yang menyebutkan bahwa filsafat telah mati karena sains telah mengambil alih perannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan besar. Namun, benarkah demikian? Ataukah filsafat hanya perlu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman?

Tajuk acara ini juga menjadi ajakan untuk merenungkan ulang peran filsafat dalam era kontemporer. Dalam dunia yang didominasi teknologi dan pragmatisme, filsafat mungkin terlihat kurang relevan. Namun, justru di tengah derasnya informasi, filsafat diperlukan sebagai kompas moral dan intelektual. Ia membantu kita mempertanyakan dasar-dasar dari apa yang kita anggap benar, baik, atau penting.

Acara yang berlangsung di Universitas Paramadina, Kampus Cipayung ini menghadirkan tiga narasumber yang memiliki kompetensi luar biasa di bidang filsafat. Pertama, Dr. Luh Gede Saraswati Putri, S.S., M.Hum., dosen filsafat Universitas Indonesia yang dikenal dengan pandangannya yang kritis dan progresif. Kedua, Dr. Budhy Munawar-Rachman, seorang pemikir yang mendalami teologi dan filsafat, sekaligus Direktur PCRP. Ketiga, Dr. Mohammad Subhi, M.Hum., Direktur PGSI sekaligus dosen Universitas Paramadina, yang membahas filsafat dari perspektif keislamanan. Bahkan beliau menyampaikan bahwa belajar filsafat itu -berdasarkan kaidah fikih- adalah wajib.

Berkaca pada sejarah, filsafat adalah akar dari banyak disiplin ilmu, termasuk sains yang sering dianggap menggantikan filsafat. Newton, Einstein, hingga Hawking pun tidak lepas dari pengaruh pemikiran filsafat. Maka, filsafat tidak mati; ia bertransformasi, mengikuti denyut peradaban, sama seperti puisi yang terus hidup meski bentuk dan temanya beradaptasi dengan zaman.

Selain itu, momen ini menjadi refleksi penting bagi saya, baik sebagai seorang pecinta puisi dan filsafat. Ketika filsafat menyajikan kerangka logis dan argumentatif, puisi menawarkan keintiman emosional dan estetika. Keduanya saling melengkapi, mengisi celah yang tak dapat dijangkau secara tunggal. Misalnya, filsafat bisa mendekati pertanyaan "Apa itu keadilan?" dengan logika dan teori, tetapi puisi dapat menghidupkannya melalui narasi, metafora, dan pengalaman manusia. 

Berikut puisi yang saya baca, puisi lama dari buku Pagar Kenabian, Sofyan RH. Zaid, (2015) dengan iringan gitar Ivan Eliyansah:

Sofyan RH. Zaid
HALAQAH PULOSIRIH
di bawah bintang pandawa
angin mempertemukan kita
Plato dan Sina berloncatan
dari kubang langit peradaban
Barat dan Timur bertemu
Iqbal dan Goethe bertamu
Suhrawardi membangun istana
berbatas lembah cahaya
Galileo jatuh dari bulan
Ghazali bergantung di awan
dalam gelas wiski
terlihat wajah Arabi
dari geletak buku
terdengar nyanyian ibu
kita bersulang bagi kebijaksanaan
dan berpelukan untuk kebebasan
biarlah Sadra melukis tembok
dengan arang rokok
Rilke dan Attar membaca
seperti menatap peta buta
sementara Rabiah menunggu
dalam kamar waktu
pintu terbuka lebar
ular purba menjalar
Adam meniup seruling
Hawa menutup kuping
membusuk buah khuldi
membentanglah jagat diri
Marx turun dari kabut
Rumi semakin larut
kita berciuman menukar ruh
bintang pandawa pun jatuh
bumi yang tua mengucap harap
lirih serupa ratap
lalu kita berjalan bertali tangan
kembali pulang pada ketiadaan

2014/2024

Dalam acara ini, saya berharap puisi yang saya bacakan mampu memberikan nuansa berbeda, menjadi jembatan yang menghubungkan konsep-konsep filsafat dengan kehidupan sehari-hari. Sehingga kita sebagai manusia modern tetap menjaga ruang untuk refleksi mendalam. Dalam dunia yang serba cepat dan instan, puisi dan filsafat mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, bertanya, dan menemukan diri.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.