Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Rawane, Menaruh Perempuannya - Rinidiyanti Ayahbi

Rawane, Menaruh Perempuannya - Rinidiyanti Ayahbi

Rawane, Menaruh Perempuannya
Cerpen: Rinidiyanti Ayahbi*


Masih pekat, kelopaknya tampak berat. Namun, tubuh dipaksakan untuk kuat, menuju kamar mandi berbilik sederhana, menghilangkan kantuk yang masih lekat. Menyiram tubuh yang menuju senja, dengan air seadanya karena sumur tak dekat, namun ia tak ada alasan untuk segera menunaikan salat.

Kerudung abu-abu yang dulu hitam, ia pasangkan dengan baik di wajahnya yang legam. Tak pernah ada polesan, murni legam karena seringnya disorot matahari. Satu-satu, bibirnya yang kering mulai memanggil kelima anaknya yang semua laki-laki. Si bungsu, berusia tujuh tahun menderita eksim menahun di kaki kanan. Setiap hari, ia bersihkan dengan air garam berharap esoknya mengering namun tetap tak mempan. Dibawa ke tabib pun tak ada uang, suaminya yang juga legam sudah berpulang, kini ia yang harus mencari segenggam beras untuk makan.

"Rau, ambilkan daun sirih di nampan, Nak. Mak, mau coba kasih sirih saja ke luka adikmu."
"Belum kering, Mak?" Rau, si sulung segera bangkit dari duduknya walau belum selesai makan.
"Belum, semoga sirih mampu, kasihan sekali. Kemarin saja lukanya berdarah, Dare sampai menangis tak keruan."
"Ini, Mak. Maaf tangan kiri, Mak. Tangan kananku kotor penuh makanan." Rau segera duduk menghadap makanannya kembali, sesekali sibuk mengatur ketiga adiknya yang juga sedang makan. Ia hanya tersenyum melihat lagak Rau menjadi pemimpin karena sebentar lagi ingin meminang kembang yang jadi rebutan.

"Auh, auuh, Maaak. Akiit, Maak!" Dare merengek-rengek ingin menarik kakinya.
"Diam dulu kau, Dare. Mau Mak kasihkan obat, lukamu!" Ia, bernama Rawane, perempuan menuju senja sedikit menghardik si bungsu yang tak mau diam.

Keempat anaknya sudah berangkat bekerja sebelum matahari meninggi. Tak ada yang sekolah. Mereka malah ingin meringankan beban Rawane, pulang menjelang tengah malam. Menjadi buruh kasar bangunan, tak heran berusia belasan namun bertubuh kekar juga legam. Rawane patut berbangga, keempat anak laki-lakinya demikian tak pernah berceraiberai. 

"Daree, Mak mau ambil air dulu di sumur. Kau di rumah saja, tidak boleh main ke rawa! Awas kalau melanggar, kupotong kakimu!" Dare hanya mengangguk, menahan perih eksim di kakinya. 

Rawane menarik beberapa kali tali pengait penadah dari dalam sumur. Dirasanya cukup, ia memanggul dua ember lumayan besar, dengan kayu di pundaknya. Langkahnya mantap, walau jalan sedikit becek karena hujan semalam. Gerakannya cekatan, karena memang setiap hari ia melakukannya. Setelah menyelesaikan urusan rumah, Rawane berangkat mencuci pakaian tetangga, membersihkan rumah mereka. Begitulah cara ia mencari nafkah. 

"Dare, kau diam-diam saja di rumah. Mak mau kerja sebentar, dekat, nanti siang Mak bawakan makanan." Dare, tak pernah menangis kalau Rawane berangkat kerja. Rawane cuma berpesan, laki-laki kuat harus mampu menjaga ibunya. Bagaimana mau menjaga kalau eksimnya tak mau sembuh? Dare, sekecil itu sepertinya sudah paham maksud Rawane. Begitu saja setiap hari, setiap masa, setiap gerakannya. 

Bulan penuh pun naik, Dare sudah lebih dulu memejamkan mata. Rawane menyiapkan makanan untuk keempat anaknya. Apabila mereka pulang untuk tidur, tidak dalam keadaan lapar. Tubuhnya baru terasa penat, ia berbaring memandang langit-langit yang kelihatannya ingin rubuh. Sejenak ia teringat Dami, suami yang kini mendiang. Secepat itu Dami sayang, menghilang.Terjatuh dari pohon kelapa saat menebas buahnya yang sudah layak panen. Kepalanya retak, napas putus tanpa sempat berteriak. Rawane hanya menghela napas panjang. Ia bangun, kemudian berdiri di depan cermin, mematut diri. Ia membuka kerudung, rambut panjangnya digerai. Disisirnya perlahan, ia bergumam, "Rau sebentar lagi mengambil anak orang, Dami. Untunglah, wanitanya tak banyak kali menuntut, semoga saja seterusnya." 

Rawane masih terus menyisir rambutnya, sambil mengenang Dami yang membelai rambutnya. Ada rasa tak keruan di dadanya apabila ia mengenang Dami.

"Terkadang ada rasa bosan sendirian, Dami. Adakah penggantimu?" Rawane mengelus pipinya yang tirus, membelai sendiri rambutnya yang lurus. Ia kembali menghela napas panjang. Rawane tersenyum memandangi dirinya sendiri.

"Tak ada penggantimu, Dami." Rawane menutup pikirannya dengan kuat. Sosok perempuan yang ingin mencari pengganti Dami, perlahan ia taruh di atas kepalanya. Ia tutup dengan kerudung berwarna paling hitam agar perempuan itu tak terlihat. Besok, ia adalah ibu dari lima anak laki-lakinya. Kembali menaruh sirih di eksim Dare dan kembali memanggul air di kedua pundaknya.


*Musisi dan penikmat sastra juga pemusikalisasi puisi, berdarah Aceh yang saat ini tinggal di Jakarta. Menulis di beberapa media seperti Serambi, Riaupos, Buletin Jejak, Nusantaranews, Harian Amanah, Pikiran Merdeka Aceh, IslamPos. Juga menulis di beberapa antologi, Rengkuh Aku Kekasih, Jarak Cinta, Manzilah-Manzilah, Subuh yang Paling Sunyi, Lelaki Pelangi, Kumpul Bocah, Ibu Sang Pemilik Cinta, Aksara Cinta Untuk Ayah, Etape Pejalan Larut, 6.5 SR Luka Pidie Jaya, Menderas Sampai Siak.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.