Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Tragedi Mako Brimob, Teror, dan Teori Empati - Mabda Dzikara

Tragedi Mako Brimob, Teror, dan Teori Empati - Mabda Dzikara


oleh Mabda Dzikara

#KAWACA.COM - Carl Rogers (w. 1987) seorang ahli psikologi-humanistik asal Amerika pernah mengatakan, bahwa jika kita ingin mengetahui suatu keadaan secara akurat, maka kita memerlukan empati. Empati sendiri menurut Carl adalah sikap menghadirkan 'as If' (pengandaian) dalam diri untuk dapat merasakan penderitaan atau kesenangan yang dirasakan orang lain; "Andaikata aku dalam posisi dia, bagaimana aku?", "Seandainya aku mendapatkan hal tersebut, apa jadinya aku?", "Jikalau aku..., seandainya aku..., andaikata aku..., dll". Sikap empati inilah yang kemudian akan memunculkan objektivitas dalam kita memandang sebuah hal, sehingga kesimpulan yang dihasilkan minimal lebih dekat kepada kebenaran.

Lain Carl, lain juga Martin L. Hoffman yang menjadikan empati sebagai tolak ukur perkembangan moral. Semakin tinggi moral seseorang, menurut Martin, akan semakin tinggi pula proposial (sikap saling toleran dan mengasihi) serta empatinya. Pun sebaliknya, turunnya tingkat empati seseorang, menandakan turunnya nilai moral pada diri orang tersebut.

Lebih jauh dari itu, berangkat dari teori Martin di atas,  kita dapat menyimpulkan bahwa masyarakat minim empati berarti adalah masyarakat dengan tingkat moralitas yang minim pula. Begitu juga sebaliknya.

Bersikap empati  tidak mesti membedakan antara seseorang yang dianggap kawan maupun lawan, sebab landasan empati adalah kelembutan hati dan kemanusiaan. Kepada siapapun dan dengan alasan apapun kita mesti berempati. Sikap ini harus dapat melintasi batas-batas negara, mazhab, agama, bangsa bahkan suku.

Berempati bukan juga berarti kita harus menghilangkan  identitas dan pandangan  kita terhadap sesuatu hal. Dengan berempati, paling tidak kita dapat memberikan penilaian yang  lebih dekat dengan objektif terhadap apa yang kita nilai, sebab secara tidak langsung kita juga berusaha merasakan apa yang lawan bicara kita sedang rasakan. Dalam bahasa berita, kita mengenal istilah 'both side'(dua sisi) dalam merangkum kesimpulan-kesimpulan kejadian.

Jatuhnya sejumlah korban pada kejadian di rutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok kemarin, baik dari pihak kepolisian maupun narapidana semestinya memantik sikap empati kita.  Dalam konteks kemanusiaan, menurut saya, nyawa menjadi hal yang sangat amat paling berharga melebihi apapun. Sehingga jatuhnya korban sekecil apapun itu, dan dari pihak manapun merupakan musibah atas kemanusiaan.

Bersikap nyinyir atau bahkan menutup mata bahwa ada korban yang jatuh pada kejadian itu jelas tidak bijak, apalagi sampai mencari pembenaran  yang tidak wajar; pengalihan isu; rekayasa; drama korea; dsb, sebab jelas-jelas kita melihat ada korban jatuh disana. Masalah pemantiknya adalah kelalaian polisi atau bangkitnya sel ISIS di dalam tahanan, itu soal kedua. Setidaknya berempatilah dulu atas kejadian berdarah itu, barulah kemudian kita bicara permasalahan apa yang terjadi disana.  Menghilangkan empati dan hanya bisa nyinyir dalam melihat kejadian ini merupakan sikap egois yang tercipta dari minimnya moral dan rasa.

Kejadian di Mako Brimob tentu ada penyebabnya. Hal yang paling logis dari masalah tersebut sejauh ini memang kelalaian pihak kepolisian dalam memberikan pelayanan terhadap narapidana, sehingga menimbulkan kericuhan yang kebetulan di blok yang banyak diisi napi kasus terorisme. Soal kemudian ISIS bangkit dan mendeklarasikan diri bagi saya hanya aspek 'aji mumpung' para teroris saja; mumpung ricuh; mumpung tidak terjaga; mumpung gudang alat bukti senjata terbuka, dan mumpung-mumpung yang lain.

Melihat itu sebagai kebangkitan  gerakan ISIS an sich sepertinya memang berlebihan dan tidak logis, sebab mengambil inisiatif perang di dalam pusat komando Brimob dengan jumlah relawan  yang  tidak seberapa, sama halnya dengan bunuh diri. Dan sikap tanpa perhitungan seperti ini tentu  jauh dari track record gerakan ISIS yang selama ini dikenal memiliki strategi perang yang lumayan mapan. Setidaknya, setengah wilayah Irak dan Suriah pernah mereka kuasai dalam  enam tahun terakhir. Tentu darisini saya tidak yakin jika mereka sampai melakukan kecerobohan semacam itu.

Jika itu kita katakan hanya tindakan spontanitas para narapidana, mungkin lebih masuk akal.  Para teroris  dari dulu memang berkeyakinan bahwa melawan aparat  merupakan tindakan jihad di jalan Allah swt.. Mati dalam keadaan  tersebut, dalam keyakinan mereka  akan berbuah  bidadari surga. Dan pada kericuhan itulah mereka memukan momennya. Aji mumpung  yang ditambah dengan provokasi-provokasi jihad itulah yang kiranya  memotivasi mereka untik melancarkan aksi serangan dan penyanderaan yang alhamdulillah berhasil digagalkan.

Melihat apa yang dilakukan para teroris kepada para perwira polisi kemarin sepertinya biasa saja. Atas nama agama dan Tuhan memang kelompok seperti ini terbiasa melakukan tindakan-tindakan tidak manusiawi saat berhadapan dengan orang yang bersebrangan dengan mereka. Saat ISIS menguasai Suriah, kelompok ini terbiasa menyemblih dan membunuh orang-orang yang menjadi lawaj mereka dengan sangat kejam. Kalau hanya dibacok, ditusuk atau dipukuli terlali biasa buat mereka. Dan anehnya semua itu dilakukan atas nama Tuhan dan agama. 

Kejadian di Mako Brimob (walaupun tidak terbukti merupakan gerakan kebangkitan ISIS secara masif) seharusnya menjadi pelajaran buat kita untuk lebih pro aktif melawan sikap ektsrem dan radikal dalam beragama. Bagaimana caranya? Mungkin bisa dimulai dari menjauhi mimbar-mimbar agama yang isinya hanya caci maki dan ujaran-ujaran intoleran.

Menghentikan radikalisme apalagi atas nama agama harus dimulai dari bagaimana kita memberikan asupan-asupan khazanah yang bermutu dan moderat untuk akal dan jiwa kita . Semakin banyak kita  mendengar ujaran-ujaran kebencian dan intoleran, semakin terasah pula jiwa kita untuk bersikap intoleran, sehingga hal tersebut akan merubah pribadi seseorang kepada sikap radikal. Apalagi jika narasi intoleran yang sudah tertanam itu dibumbui dengan prasangka politik yang membabi buta. Sudah tidak ada empati, intoleran, suudhan pula. Habislah sudah moralitas kita sebagai sebuah bangsa.

Para terduga teroris  bernuansa agama ini, mayoritas  mereka tidak mengakui Indonesia  sebagai negara Islam. Mereka menganggap sistem pemerintahan Indonesia adalah berhala kekafiran yang dengan memeranginya akan mendapatkan ganjaran  pahala. Slogan yang mereka gaungkan selalu jihad  yang bermaksud perang angkat senjata. Otak para kader-kader mereka sudah dicuci agar gampang membenci, mengkafirkan dan merasa paling benar. Guru mereka adalah ustadz dan Syeikh-syeikh yang selalu meneriakkan kebencian terhadap siapa pun yang berbeda dengan mereka. Mereka selalu menganggap bahwa pandangan mereka merupakan representasi dari islam yang sebenarnya. Tidak berakhlak, cendrung emosional,dan amat sangat berani untuk melakukan pembunuhan, perampokan dan penyerangan terhadap aparat serta instansi pemerintahan. Dan yang pasti salah satu tanda manusia yang terjangkit virus  ini adalah minim rasa empati dalam dirinya.

Sikap-sikap seperti ini sudah semestinya harus kita jauhi. Datang dan dengarkanlah para pendakwah islam yang moderat dan tidak mudah mencaci maki. Jika ada pendakwah yang mengajarkan kita untuk mencaci, bersikap ekstrem dan teror, tentu dapat dipastikan ada yang salah dalam substansi ajaran yang didakwahkannya. Islam sama sekali tidak membuka pintu untuk kebencian, caci maki apalagi melakukan teror. Agama harus menjaga kita dari berbuat dosa, sehingga teror atas nama apapun tidak akan pernah dibenarkan.

Lawan terorisme dan radikalisme!
#KamiBersamaPolri
#IndonesiaBersamaPalestina

Tabik!

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.