Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Kehendak akan Makna - Alexander Aur

Kehendak akan Makna - Alexander Aur

Kehendak akan Makna
Catatan Kecil untuk Antologi Puisi Sublimasi Cinta Karya Martin da Silva
Alexander Aur *


Pengantar
Puisi-puisi yang ditulis oleh penyair manapun, di satu sisi dapat dilihat sebagai representasi intensi penyair yang bersangkutan, dan di sisi lain dapat pula diperlakukan sebagai sebuah teks terbuka dan bebas oleh pembaca atau penafsir. Demikian pula puisi-puisi dalam antologi puisi berjudul Sublimasi Cinta ini.
Puisi-puisi dalam antologi ini ditulis oleh penyair yang memilih hidup sebagai seorang klerikus atau pelayan rohani selibat (memilih untuk tidak menikah dan hidup untuk melayani Tuhan dan sesama manusia). Klerikus selibat merupakan sebuah bentuk panggilan hidup dalam Gereja Katolik. Keberadaan penyair sebagai klerikus selibat mempengaruhi/mewarnai pula tema-tema puisi dalam antologi ini. Dengan demikian, intensi-intensi penyair terintrusi dalam puisi-puisinya.
Perihal penyair mengintrusikan intensinya ke dalam puisi-puisinya, merupakan hal yang lazim dan wajar. Bahkan, intrusi intensi penyair ke dalam puisi menjadi “kewajiban” bagi penyair-penyair ballada dan realis. Intensi penyair adalah hal yang tak boleh lolos dari puisi-puisi ballada dan realis. Penyair-penyair ballada seperti W.S. Rendra dalam kumpulan puisinya berjudul Potret Pembangunan dalam Puisi (Burung Merak Press, 2008) dan Yoseph Yapi Taum dalam kumpulan puisinya berjudul Ballada Arakian (Penerbit Lamalera, 2015) adalah dua penyair dari sekian banyak penyair ballada lain di Indonesia, yang mengintrusikan intensinya dalam puisi-puisi ballada.
Akan tetapi catatan kecil ini tidak sepenuhnya bermaksud mengangkat ke permukaan intensi-intensi penyair. Penulis catatan kecil ini berusaha sedemikian rupa supaya intensi-intensi penyair tetap berkelindan dalam rima dan irama dari setiap kata dan kalimat dalam teks-teks puisi. Dengan kata lain, tidak terlalu mendesak untuk membabar seluruh intensi penyair dalam semua puisinya.
Penulis catatan kecil ini hanya mengambil dua puisi sebagai acuan untuk menulis epilog ini. Puisi-puisi yang diambil adalah puisi-puisi yang kuat mencerminkan/mewakili keseluruhan puisi dalam antologi ini, terutama berkaitan dengan tema-tema pokok dalam lima bagian dari kumpulan puisi ini. Dengan kata lain, puisi-puisi yang digunakan untuk menulis catatan kecil ini merupakan benang merah dari seluruh puisi dalam antologi ini. Ini juga berarti sebelum mengambil beberapa puisi sebagai pijakan atau acuan, penulis epilog sudah membaca dan menyimak seluruh puisi.
Antologi puisi ini terbagi dalam lima bagian. Bagian pertama bertema “Berawal dari Ketiadaan”. Bagian kedua, bertema “Kebijaksanaan Puisi”. Bagian ketiga bertema “Melukis Kehidupan”. Bagian keempat bertema “Kidung Kerinduan”, dan bagian kelima bertema “Madah Cinta.” Seluruh bagian itu dirangkum oleh penyair dalam tema besar “Sublimasi Cinta” yang menjadi judul antologi ini.
Tulisan epilog ini bertumpu pada pernyataan Viktor E. Frankl: motivasi utama manusia adalah mencari makna. Pernyataan Frankl itu menjadi tesis epilog ini. Dalam uraian di bawah ini, penulis epilog bermaksud membuktikan bahwa puisi-puisi dalam antologi ini berisi tentang usaha manusia mencari makna. Usaha mencari makna merupakan suatu cara berada manusia.
Puisi-puisi dalam antologi ini bersinggungan erat dengan diskursus filosofis dan teologis agama-agama Abrahamistik (Yudaisme, Kristianisme, dan Islamisme), khususnya Katolisisme. Tampak jelas bahwa puisi-puisi ini lahir dari suatu pergulatan filosofis dan teologis penyair dengan tema-tema besar diskursus filosofis dan teologis dalam tradisi berpikir Katolik dan dalam tradisi berpikir ilmu pengetahuan modern.
Dalam Sejarah Pemikiran Barat, pemikiran filosofis dan teologis Katolik merupakan corak dominan dalam pemikiran Zaman Pertengahan. Corak dominan itu tampak dalam pemikiran patristik dan skolastik. Pemikiran Katolik zaman itu tidak saja berkaitan dengan teologi tetapi menyangkut pula ilmu pengetahuan. Hal itu tak dipungkirkan karena pada zaman itu biara-biara dalam Gereja Katolik, selain mengembangkan pemikiran teologisjuga mengembangkan pemikiran dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada era itu, biara-biara adalah pusat-pusat ilmu pengetahuan.
Corak dominan pemikiran Katolik itu berubah ketika memasuki zaman modern. Pada zaman modern, pusat-pusat pengembangan pemikiran teologis, filosofis dan ilmu pengetahuan menyebar di berbagai kalangan di luar Katolik. Boleh dikatakan bahwa pada zaman modern, terjadi decentring Katolisisme. Katolik tidak lagi menjadi pusat pemikiran filsafat, teologis, dan ilmu pengetahuan. Katolisisme tidak lagi menjadi yang utama dalam ranah pemikiran teologis, filosofis, dan ilmu pengetahuan.
Meskipun terjadi decentring Katolisisme, Katolik yang sudah mempunyai sejarah panjang dalam pemikiran filosofis, teologis, dan ilmu pengetahuan tetap ada sebagai salah satu lumbungpemikiran pada zaman modern dan pada zaman ini. Oleh karena itu, pemikiran filosofis, teologis, dan ilmu pengetahuan tetap merupakan hal yang menjadi pergulatan manusia dewasa ini, khususnya orang-orang yang berada dalam jantung Katolisisme. Pergulatan itu merupakan upaya mencari makna dalam hidupnya. Pergulatan mencari makna itulah yang dapat kita temukan pada puisi-puisi dalam antologi ini.
Ada dua puisi dalam antologi ini, yang penulis epilog ambil untuk menunjukkan pergulatan filsofis, teologis, dan ilmu pengetahuan dalam mencari makna, khususnya dalam Gereja Katolik. Puisi-puisi yang dimaksud adalah “Berawal dari Ketiadaan” dan “Allah dan Charles Darwin.”

Memahami “Creatio ex nihilo”: Memaknai Keterciptaan Dunia dan Manusia
Perihal asal-usulalam semesta, hal itu sudah menjadi pergulatan dalam tradisi pemikiran Katolik (Katolisisme), terutama pada Zaman Pertengahan. Sebagai salah satu pemikiran, yang berada pada aras agama-agama Abrahamistik (Yudaisme, Kristianisme, dan Islamisme), pemikiran Katolik mendasarkan argumennya tentang asal-usul alam semesta pada creasionisme (paham tentang penciptaan alam semesta).
Puisi berjudul “Berawal dari Ketiadaan” berikut ini menyingkapkan pemikiran Katolik tentang keterciptaan alam semesta. Dari judulnya yang berbunyi “Berawal dari Ketiadaan” puisi ini menunjukkan pemikiran Katolik yang menyatakan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan. Penciptaan yang demikian disebut “cretatio ex nihilo” yang berarti “penciptaan dari ketiadaan.”
Filsafat Skolastik Zaman Pertengahan merumuskan secara lengkap keterciptaan alam semesta dengan istilah “creatio ex nihilo sui et subjecti” yang artinya “penciptaan dari ketiadaan dan tanpa adanya materi dasar.” Dengan pendekatan filsafat, filosof Franz Magnis-Suseno (2006,203-207) menjelaskan secara jernih tesis filsafat skolastik tentang keterciptaan alam tersebut. Penjelasan filosof Franz Magnis-Suseno berikut ini, secara bersamaan juga penulis epilog gunakan untuk menganalisis puisi berjudul “Berawal dari Ketiadaan.”
Pertama, puisi berjudul “Berawal dari Ketiadaan” merupakan sebuah refleksi puitis atas tesis filsafat skolastik tersebut. Tesis “penciptaan dari ketiadaan” kerap kali dinyatakan dengan kalimat “sebelum penciptaan hanya ada Allah.” Kata “sebelum” menunjukkan “waktu”. Dengan mengatakan “sebelum penciptaan hanya ada Allah” itu berarti yang lebih dulu ada adalah “waktu”, selanjutnya baru Allah ada, dan dilanjutkan dengan penciptaan oleh Allah. Pernyataan dan penafsiran seperti itu dapat melahirkan pemahaman bahwa Allah menciptakan alam semesta dengan (bermaterikan)“waktu”. Pernyataan, penafsiran, dan pemahaman seperti itu keliru/tidak memadai. Mengapa? Karena bertentangan dengan tesis “creatio ex nihilo sui et subjecti”. Selain itu, keradaan Allah mengatasi/melampaui waktu.
Judul puisi “Berawal dari Ketiadaan” hendak memastikan bahwa penafsiran dan pemahaman yang tepat terhadap tesis “creatio ex nihilo et subjecti” adalah bahwa “waktu” ada bersamaan dengan Allah menciptakan alam semesta. Hal ini menegaskan pula status ontologis Allah yanng mengatasi/melampaui “waktu” dan segala yang ada. Eksistensi Allah tidak terikat dalam waktu dan tidak terkurung dalam ciptaan-Nya.Santo Agustinus mengungkapkan dengan indah dalam kata-katanya, “In this Beginning O God, hast Thou made heaven and earth, in Thy Word, in Thy Son, in Thy Power, in Thy Wisdom, in Thy Truth...” (Baruch A. Brody, 1992, 362). Allah yang demikian, meminjam istilah Paul Tillihc, adalah“dasar ada” (M. Sastrapratedja, SJ, 2001, 87).
Kedua, Allah pencipta bukanlah Allah seperti yang dipahami oleh kaum deistik. Kaum deistik memandang Allah seperti tukang jam dinding. Kaum deistik berpikir bahwa Allah menciptakan alam semesta dan melengkapi alam semesta dengan hukum-hukum alam, dan selanjutnya alam bekerja sendiri berdasarkan hukum-hukumnya. Sedangkan Allah berdiam diri dan tidak mau tahu lagi tentang alam semesta. Paham ketuhanan yang demikian disebut deisme.
Tampak sepintas deisme benar. Artinya, alam semesta dengan hukum-hukum dan cara kerjanya menunjukkan/memiliki kedaulatannya sendiri dan tidak memerlukan lagi kedaulatan Allah setelah Allah menciptakannya. Tetapi kelemahan paling mendasar dari paham deisme adalah bahwa alam semesta dengan segala hukumnya berada dalam waktu. Dan segala hal yang berada dalam waktu, selalu tidak bersifat mutlak. Segala hal yang berada dalam cengkraman waktu selalu bersifat terbatas dan selalu berubah sepanjang waktu.
Oleh karena sifat terbatas dan berubah itulah, Allah tetap berdaulat atas alam yang telah diciptakan-Nya. Pemikiran kristen (kristianisme) menyebut kedaulatan Allah atas alam semesta dengan istilah Latin “providentia Dei” yang artinya “pemeliharaan Allah”. Allah mencipta sekaligus terus-menerus memelihara alam semesta ciptaan-Nya.Allah terus-menerus terlibat dalam alam ciptaan-Nya dengan cara memelihara dan menjaga keberlangsungan eksistensi alam semesta.
Salah satu modus yang pas untuk merefleksikan providentia Dei dalam pemeliharaan alam semesta adalah dengan puisi. Dengan pendekatan metaforik, puisi mengantar pembaca pada suatu refleksi yang mendalam, puitis, dan mitis tentang Allah yang terus-menerus terlibat dalam pemeliharaan dan menjamin keberlangsungan alam semesta. Pada bait pertama puisi berjudul “Berawal dari Ketiadaan” providentia Dei tersingkapkan secara indah dan mitis:

Roh tak berupa
melayang-layang di permukaan air
diselimuti gelap gulita di pusaran samudera


Ketiga, penciptaan alam semesta oleh Allah merupakan modus berada Allah yang transenden dan imanen. Pemikiran Katolik (dan kekristenan pada umumnya) memandang Allah sebagai yang transenden sekaligus imanen. Dalam konteks penciptaan alam semesta, Allah menciptakan alam semesta berdasarkan kehendak-Nya sendiri dan tanpa dideterminasi oleh apapun. Kehendak-Nya mencipta menegaskan Allah transenden, yakni yang berkuasa dan berdaulat secara penuh dan total. Tetapi atas kehendak-Nya pula Allah merawat, memelihara, menyelenggarakan keberlangsungan ciptaan-Nya dan menempatkan manusia di dalamnya. Itulah gambaran Allah yang imanen.
Bait ketiga dan seterusnya dari puisi “Berawal dari Ketiadaan” menujukkan transendensi dan imanensi Allah:

Ia telaten merangkai riwayat langit dan bumi
dengan kata dari mulut
semua baik adanya

jadilah terang. Jadilah siang dan malam
jadilah cakrawala. Jadilah petang dan pagi

daratan pun dipisahkan dengan lautan
tumbuhlah tunas-tunas tumbuhan

timbulah sumber-sumber cahaya
matahari bulan dan bintang

kemudian bintang digantungkan di lautan
burung-burung pun berterbangan di udara

ditempatkan binatang  di bumi, ternak binatang melata
dan mendatangkan Adam dan Hawa


Dalam traktat filsafat ketuhanan, salah satu pokok persoalan yang digumuli para filosof adalah “apakah Allah sungguh-sungguh ada?” Terhadap pertanyaan itu, ada dua pendekatan klasih yang digunakan para filosof untuk menjawabnya. Kedua pendekatan yang dimaksud adalah ontologis dan kosmologis (Franz Magnis-Suseno, 2006, 125). Para filosof-teolog yang menggunakan pendekatan ontologis adalah Agustinus dan Anselmus dari Canterbury. Pendekatan kosmologis digunakan oleh filosof-teolog Thomas Aquinas. Baik pendekatan ontologis maupun kosmogis, keduanya merupakan metode berpikir untuk memastikan keberadaan Allah. Pendekatan ontologis menggunakan metode penalarandeduktifdan pendekatan kosmologis menggunakan metode penalaraninduktif. Melalui penalaran induktif dan deduktif para filsofof memastikan keberadaan Allah.
Segaris dengan pemikiran Anselmus Canterbury yang mengatakan “iman mencari pemahaman” (fides quaerens intellectum/faith seeking understanding)” sebagai sebuah pembuktian rasional tentang keberadaan Tuhan, Thomas Aquinas pun  melakukan hal yang sama. Untuk itu, Thomas Aquinas meminjam pemikiran Aristoteles tentang “gerak” dan “kausalitas” sebagai landasan filosofis untuk usaha filosofisnya itu. Upaya Thomas Aquinas itu dikenal dengan sebutan “Lima Jalan Pembuktian Keberadaan Allah.”
Bait kedua puisi “Berawal dari Ketiadaan” merupakan rangkuman atas lima jalan Thomas Aquinas tersebut. Syair yang berbunyi “Ia penggerak pertama tidak digerakan” menunjuk pada jalan pertama. Pada jalan pertama ini, Thomas Aquinas mengatakan bahwa di dalam alam ini ada fakta tentang gerak. Fakta itu terjadi karena ada sesuatu yang lain yang menggerakkan. Gerakan itu tidak mungkin tanpa batas. Untuk itu, kita harus menerima suatu penggerak pertama yang tak digerakkan. Penggerak pertama yang dimaksud adalah Allah.
Syair “penyebab pertama dari suatu akibat” menyatakan jalan kedua. Jalan ini menyatakan sebab-akibat (ex ratione causae efficiens). Tidak ada akibat tanpa sebab. Sebab tidak mungkin menghasilkan dirinya sendiri melainkan oleh karena sesuatu di luar dirinya. Rangkaian sebab-akibat ini merupakan hal yang masuk akal, apabila ada penyebab pertama yang mutlak dan tak disebabkan, yakni Allah.
Tetapi ada yang ganjil pada syair “penyebab sesuatu yang mutlak”. Semestinya syair ini merupakan penegasan mengenai jalan ketiga tentang kemungkinan dan keniscayaan segala sesuatu yang ada dalam alam (ex posibili et necessaario). Segala sesuatu di dalam alam inibersifat dapat ada dapat pula tidak ada (contingent being). Kontigensi dapat kita pahami bila ada “Ada yang niscaya”. “Ada yang niscaya” itu adalah Allah. Namun syair ketiga ini agak ganjil. Keganjilan itu menampakkan inkonsistensi logisnya dengan syair pertama dan kedua. Jika hendak mempertahankan konsistensi logis antara syair pertama dan kedua, mestinya syair yang ganjil tersebut berbunyi “penyebab pertama adalah sesuatu yang mutlak” atau “penyebab sesuatu yang tidak mutlak.” Kesemestian itu sebagai upaya mempertahankan keberadaan Allah sebagai yang mutlak (Ada yang niscaya).
Syair “sumber segala yang baik dan benar”menunjuk pada jalan keempat yakni derajat-derajat kualitas segala sesuatu di dalam alam (ex gradibus qui in rebus inveniuntur). Di dalam alam dunia ini kita mengenal dan mengerti tingkat-tingkat kualitas, seperti “baik, kurang baik, tidak baik, lebih baik” atau “benar, kurang benar, tidak benar, lebih benar” dan lain-lain. Derajat atau tingkat itu mengandaikan adanya ukuran superlatif atau sempurna, yang oleh agama-agama disebut sebagai “yang maha.” Yang maha itu adalah Allah.
Syair “menggerakan suatu yang tidak berakal” menunjuk pada keterselenggaraan secara baik segala sesuatu di dalam alam ini (ex gubernatione rerum) menuju suatu tujuan akhir (telos) yang terbaik. Hal itu mengandaikan ada penyelenggara tertinggi, yang mengarahkan segala sesuatu ke tujuan akhir. Penyelenggara tertinggi itu adalah Allah. Allah adalah tokoh berakal budi dan berpengetahuan yang mengarahkan gerakan segala ciptaan yang tidak berakal budi.
Penalaran induktif Thomas Aquinas tersebut merupakan penegasan tentang tidak adanya pertentangan antara iman dan akal budi. Baginya, baik iman maupun akal budi, kedua-keduanya berasal dari Allah. Perbedaan antara filsafat dan teologi (iman) terletak pada metode atau cara kerjanya. Filsafat memikirkan dan membuktikan keberadaan Tuhan dengan bergerak dari benda-benda ciptaan di dalam alam dan berakhir pada Allah. Sedangkan teologi (iman) menerima Allah sebagai asal dan fundamen untuk meyelidiki benda-benda ciptaan. Untuk itu, teolog(i) memerlukan wahyu Allah sebagai kebenaran yang diimaninya. Dengan beriman, teolog(i) mencapai pengetahuan adikodrati yang disampaikan kepadanya oleh wahyu Allah. Pengetahuan-pengetahuan adikodrati antara lain misteri trinitas, inkarnasi, dan sakramen (Simon Petrus L. Tjahjadi, 2004, 135-136, 139-140).


Kehendak akan Makna: Titik Temu Iman dan Ilmu Pengetahuan
Meskipun Thomas Aquinas sudah mengatakan bahwa iman (teologi) dan akal budi (filsafat dan ilmu pengetahuan) tidak saling menegasi, bukan berarti bahwa perkara ini sudah selesai. Para ilmuwan yang menganut positivisme– sepertiHelmholtz, Mach, Poincare dan para ilmuwan neo-positivisme yang tergabung dalam Lingkaran Wina (Vienna Circle), gencar memersoalkan metode kerja filsafat dan teologi yang bersifat spekulatif. Hanya ilmu pengetahuan yang metode kerjanya berdasarkan fakta dan data yang diobservasi dan diverifikasilah termasuk ilmu pengetahuan ilmiah dan mengandung kebenaran (C. Verhaak dan R. Haryono Imam, 1995, 154). Oleh karena itu, filsafat dan teologi adalah pseudo-ilmu pengetahuan.
Perseteruan ilmu pengetahuan dan filsafat-teologi tersebut tertuang secara jelas dalam puisi berikut ini:

ALLAH DAN CHARLES DARWIN

Ada dua teori awal penciptaan manusia
teori penciptaan Adam
dan teori evolusi Charles Darwin

mana yang paling benar?

Literatur Suci agama Abrahamistik memaparkan
manusia pertama Adam
menurut Charles Darwin manusia pertama kera 
berevolusi hingga manusia modern

Allah pencipta manusia dari ketiadaan
Charles Darwin teori evolusi manusia berasal
dari sesuatu yang sudah ada di dunia

mana yang paling benar?

Tema pokok dalam puisi tersebut adalah tentang asal-usul manusia. “Dari manakah asal-usul manusia?” demikianlah pertanyaan yang diajukan baik oleh para filosof-teolog maupun ilmuwan. Mereka sama-sama mengggunakan metode kerja tertentu untuk memeroleh jawaban yang benar atas pertanyaan tersebut. Mereka pun sama-sama menyatakan bahwa jawaban-jawabannya benar. Terhadap pernyataan mereka, kalimat terakhir puisi tersebut berbentuk pertanyaan: mana yang paling benar?
Persoalannya bukan tentang “mana yang paling benar?” melainkan “mengapa para filsuf-teolog dan ilmuwan mencari asal-usul manusia?” Para filsuf-teolog dan ilmuwan adalah manusia. Ketika mereka mencari asal-usul manusia, maka pencarian itu sebetulnya merupakan sebuah pencarian yang bersifat eksistensial. Perbedaan antara mereka terletak pada metode kerja yang digunakan untuk menjawab pertanyaan itu. Dengan kata lain, pertanyaan atau pencarian mengenai asal-usul manusia merupakan gejala umum pada manusia. Manusia selalu ingin mencari asal-usulnya.
Bersamaan dengan pertanyaan tersebut, ada pula pertanyaan-pertanyaan lain, yang merupakan pergumulan eksistensial manusia: siapakah manusia? kemana arah hidup manusia? apa makna hidup ini? Secara eksistensial, manusia menantang dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Salah satu watak dasar manusia adalah menantang dirinya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Apabila kita mengacu pada watak dasar ini, maka baik filsuf-teolog maupun ilmuwan sama-sama memiliki sebuah pergumulan eksistensial sebagai manusia. Dan itu wajar dan sah.
Pergumulan filosofis-teologis dan ilmiah itu merupakan ungkapan dari“kehendak akan makna” (will to meaning).Para filsuf, teolog, ilmuwan, penyair, pekerja rumah tangga, penjual sayur di pasar, dan sebagainya adalah manusia-manusia yang mencari makna dalam hidupnya. Bahkan, “Motivasi utama manusia dalam hidupnya adalah mencari makna,” kata Viktor E. Frankl (Viktor E. Frankl, 1984, 121). Makna merupakan sesuatu yang unik dan spesifik. Makna adalah sesuatu yang dari dan dengannya manusia menjadi mampu dan kuat dalam menjalankan hidupnya.
Jika motivasi utama manusia adalah mencari makna, maka baik para filsuf dan teolog serta ilmuwan tidak perlu “berkelahi” mengenai metode dan jawaban yang benar atas pertanyaan “dari mana asal-usul manusia?” Hal itu berarti, kehendak akan makna adalah titik temu teologi (iman), filsafat, dan ilmu pengetahuan. Metode kerja dan jawaban dapat berbeda-beda tetapi semuanya bermuara pada perengkuhan makna. Pada titik itulah, manusia dari berbagai latar belakang sama-sama sadar diri sebagai manusia yang sama-sama mencari dan membutuhkan makna.

Mencintai adalah Makna
Di manakah makna yang dicari dan dibutuhkan itu? Mencintai adalah makna. Hal itu secara jelas dalam puisi berjudul “Madah Cinta”. Puisi tersebut diurai lagi oleh penyair dalam tiga puisi bertema cinta yang masing-masing berjudul “Eros”, “Philia” dan “Agape”. Secara fenomenologis puisi “Madah Cinta” menyingkapkan apa yang dikatakan oleh filsuf kontemporer Perancis Jean-Luc Marion, yakni watak “relasional-korelatif” dari tiga cinta: eros, philia, dan agape.


MADAH CINTA

Kita adalah pecinta
ingin dicintai dan mencintai

entah
pagi, siang, sore, dan malam

selalu ada hasrat cinta
berdesir dalam daging

setiap kali lahir hasrat cinta
yang membeku dalam ratio

semua orang sibuk mencairkannya
agar menuai kebahagiaan

apabila kita menyangkal hasrat cinta
siapakah yang berhak menghukum kita?

EROS

Aku mencintamu saat membutuhkanmu
please jangan penuhi semua yang kumau

biarkanlah cinta bekerja sebagaimana wajarnya
siapa tahu kelak menjelma dari eross menjadi philipia dan agape

sebab aku masih ingin tetap bersamamu
meski panas, mendung, badai hujan datang menerpaku

PHILIA

Kecerdasan yang dianugerahkan Tuhan
membuatku jatuh cinta kepadamu

jangan pernah melarangku untuk juga mencintai orang lain
kecerdasan itu juga dimiliki oleh orang lain

biarkanlah cinta ini juga dimiliki oleh orang lain
sebab hakikat cinta inklusif

AGAPE

Aku melihat diriku dalam dirimu
aku juga menemukanmu dalam diriku kala cinta tumbuh

engkau bagian dari aku
aku pun bagian dari engkau

aku dan engkau adalah kita
yang sanggup menderita dan berkorban

cinta kita melampaui keunikan
meretas batas sembok pemisah perbedaan



Empat puisi tersebut mengungkapkan watak “relasional-korelatif” tiga cinta. Bagi Marion watak “relasional-korelatif” berakar pada kebutuhan paling dasar dari manusia, yakni kebutuhan akan cinta. Bagi Marion, setiap orang memahami dan menghayati ketiga cinta itu. Cinta persaudaraan (philia) dan cinta ilahi (agape) mengandaikan cinta eros. Tanpa cinta eros, cinta persaudaraan dan cinta ilahi bagaikan kegelapan tanpa cahaya apapun. Watak “relasional-korelatif” tiga cinta itu bersifat niscaya karena sama-sama memiliki empat karakter dasar, yakni keputusan menjadi pencinta pertama, membiarkan yang lain hadir dengan seluruh dirinya, mencintai sebagai tindakan performatif, dan pengosongan diri sebagai alasan untuk mencintai. Empat karakter itu memancarkan univokalitas cinta. Bahkan univokalitas merupakan kemungkinan bagi Tuhan hadir sebagai sang Cinta untuk hadir (Alexander Aur, 2013, 153).
Dalam karakter pertama terkandung hasrat setiap orang untuk menemukan makna dalam hidup. Untuk itu, setiap orang membuat dirinya sedemikian rupa supaya dapat dincintai oleh siapapun. Tetapi agar dapat dicintai oleh orang lain, setiap orang harus menjadikan dirinya sebagai orang pertama yang mencintai. Setiap orang menjadikan dirinya sebagai pencinta pertama. Dengan demikian mencintai sebagai aktivitas manusia merupakan tindakan memberi perhatian dan kasih sayang secara bebas, meskipun tidak ada balasan. Mengapa demikian? Karena cinta dan mencintai merupakan hadiah dan memberi hadiah tanpa perhitungan komersial atau kebutuhan untuk mendapat balasan. Sambil menyitir Rene Descartes, Marion mengatakan, “Aku mencintai lebih dulu maka aku ada”.
Keputusan menjadi pencinta pertama berkaitan erat dengan karakter kedua, yakni membiarkan yang lain yang dicintai menampakkan diri. Yang lain adalah sesama manusia dan Tuhan. Membiarkan yang lain menampakkan dirinya berarti yang lain hadir sebagai yang unik, individual, bebas dari kalkulasi untung-rugi, dan terlepas dari objektivasi. Yang lain hadir bukan menurut kehendak sang pencinta, melainkan hadir dengan segala keunikan dan keberlainannya.
Membiarkan yang lain hadir dengan cara seperti itu berarti karakter ketiga pun terwujud yakni mencintai sebagai tindakan performatif. Tindakan itu menyata dalam sumpah atau janji untuk setia. Mencintai memerlukan pula kesetiaan. Sumpah atau janji berada dalam ranah bahasa cinta. Bagi Marion, bahasa cinta paralel dengan bahasa pendoa dan doa. Bahasa pendoa adalah bahasa performatif. Bahasa itu menunjukkan suatu relasi yang mendalam antara pencinta dan yang dicintai. Dalam doa, sang pendoa tidak menguraikan sesuatu, melainkan menunjukkan sebuah aktivitas, yakni berdoa. Berdoa berarti membuka diri untuk kedatangan Yang Lain (Tuhan) dan berkomitmen dengan-Nya. Demikian pula dalam mencinta, sang pencinta membuka diri untuk kedatangan yang lain dan berkomitmen dengannya melalui sumpah kesetiaan untuk selalu mencintainya.
Sumpah kesetiaan itu merupakan ungkapan paling konkrit akan karakter keempat yakni mengosongkan diri. Karakter keempat ini menjadi pemasti paling puncak akan cinta yang otentik. Seseorang mampu mencintai yang lain secara otentik, jika dan hanya jika ia mencintai seperti Tuhan yang mengosongkan diri-Nya (kenotik) untuk mencintai manusia demi keselamatan manusia. Dengan demikian, seseorang yang memutuskan menjadi pencinta pertama berarti mencintai yang lain sebagai tindakan mengosongkan diri demi yang lain yang dicintainya (Ibid., 153-157).

Penutup
Kehendak akan makna merupakan watak dasar manusia. Sesederhana dan secanggih apapun pengetahuan, bentuk panggilan hidup, kemampuan berefleksi, dan aktivitas manusia, semuanya bermauara pada perengkuhan makna. Makna menjadi sesuatu yang ultim, yang kepadanya manusia mengarahkan hidupnya. Sebagai yang ultim, tampaknya makna itu bersifat metafisis.
Mengonkritkan makna merupakan hal yang wajar, mengingat manusia hidup dalam dunia konkrit. Meski demikian, hal yang konkrit bukanlah segala-galanya. Untuk itu diperlukan keutamaan-keutamaan, seperti rendah hati, pengosongan diri, dan sikap dialog, dan sebagainya, supaya manakala mengkonkritkan makna, kita tidak berlaku ugal-ugalan dan mereduksi makna semata-mata menjadi hal yang fisis. Dengan demikian, motivasi utama manusia mencari makna adalah benar adanya dan makna itu adalah mencintai.


*Alexander Aur, Dosen Filsafat pada Fakultas Liberal Arts Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Banten



Daftar Bacaan

Aur, Alexander, 2013, “Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media” dalam Jurnal Ultima Humaniora, Vol. 1, Nomor 2, September 2013.
Brody, Baruch A., 1992, Reading in the Philosophy of Religion, New Jersey, Englewood Cliffs.
Frankl, Viktor E., 1984, Man’s Search for Meaning, New York, Washington Square Press.
Hardon, SJ., John A., 1985, Pocket Catholic Dictionary, New York, Image Book.
L. Tjahjadi, Simon Petrus, 2004, Petualangan Intelektual, Yogyakarta, Kanisius.
Magnis-Suseno, Franz, 2006, Menalar Tuhan, Yogyakarta, Kanisius.
M. Sastrapratedja, SJ, 2001, Allah sebagai Dasar Ada-Filsafat dan Teologi Paul Tillich, Yogyakarta, Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Platinga, Alvin and Nicholas Wolterstorff, 1983, Faith and Rationality, Notre Dame, University of Notre Dame Press.
Rendra, WS., 2008, Potret Pembangunan dalam Puisi, Jakarta, Burung Merak Press.
Verhaak, C dan R. Haryono Imam, 1995, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Gramedia.
Yapi Taum, Yoseph., 2015, Ballada Arakian, Yogyakarta, Penerbit Lamalera.

Baca Juga:


Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.