Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Buku: Abadi dalam Puisi, 54 Puisi Pilihan Eddy Pranata PNP

Buku: Abadi dalam Puisi, 54 Puisi Pilihan Eddy Pranata PNP

#KAWACA.COM - “Apakah aku telah tersesat di belukar kepenyairan? Sungguh, sepertinya aku tidak begitu peduli. Sebab langkah kecil ini akan masih terus mengayun. Entah hingga kapan, entah akan berhenti di mana. Mungkin hingga keluar dari labirin senja dan menemukan jalan pulang. Dan menuliskan puisi-puisi yang abadi dengan logika bahasa paling sederhana!
Lima Puluh Empat Puisi Pilihan Eddy Pranata PNP: Abadi dalam Puisi adalah buku puisi tungalku yang ke lima. Empat buku sebelumnya: Improvisasi Sunyi (Jalur Sastra Nan Tongga, Padang, 1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (Shell Jagat Tempurung, Padang, 2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (Shell Jagat Tempurung, Padang, 2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (Rumahkayu Pustaka Utama, Padang, 2016).
Seluruh puisi dalam buku ini sudah pernah dipublikasikan pada sejumlah media massa. Dua puluh judul di antaranya pernah dimuat di Majalah Sastra Horison. Sedangkan puisi lainnya antara lain-- dimuat koran Indopos, Media Indonesia, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Riau Pos, Sumut Pos, Haluan, Batam Pos, Litera.Co, Gong Budaya, Jaspinka, Buletin Jejak, dan buku antologi Lebih Baik Putih Tulang Daripada Putih Mata, Negeri Awan, Sabana Pustaka. Akhirnya, dengan segala kerendahan jiwa kepada pembaca dan penerbit, aku ucapkan terima kasih. Salam sepenuh hati: Puisi!” (Eddy Pranata PNP, Prolog, Salam Sepenuh Hati: Puisi!)
“Barangkali kita pernah tahu ada ungkapan: “Jangan pernah menyakiti seorang penyair, karena itu akan abadi dalam puisi-puisinya.” Tentu warning ini agak lebai, meski itu benar, dan berlaku sebaliknya, yaitu “beruntunglah yang mencintai dan dicintai seorang penyair, karena itu akan abadi dalam puisi-puisinya”. Ketahuilah ketika seorang penyair sedang menulis puisi, sebenarnya ia tengah berjuang mengabadikan “sesuatu terkait dirinya”, dan “dirinya sendiri” melalui kata-kata.
Usaha penyair mengabadikan kedua hal tersebut ke dalam bentuk puisi, tentu sangat membutuhkan alat yang bernama kata-kata. Apa itu kata-kata? Dick Hartoko dalam “Penyair Sebagai Bendahara Sabda” memaparkan dua kategori kata-kata. Pertama, kata-kata yang kita kuasai; Kedua, kata-kata yang menguasai kita. Kata-kata yang kita kuasai lahir dari proses penciptaan kita sendiri yang bersifat datar dan hanya memuaskan akal budi. Dengan kata-kata ini benda-benda dapat kita kuasai. Jenis kata-kata yang bisa kita sebut bikinan, teknis, dan kegunaan. Sedangkan kata-kata yang menguasai kita lahir dari Sang Pencipta itu sendiri dan melampaui kenyataan. Kata-kata inilah yang membuka pintu gerbang menuju karya-karya agung yang bersifat abadi. Kata-kata yang keluar melalui hati, yang menguasai, menyatukan, memuliakan, dan mencerahkan.
Tentu saja -kata Hartoko- tidak semua kata dapat kita bagi demikian. Pembagian ini lebih pada “nasib dan sejarah kata-kata”. Di sini kita tidak sedang bicara mengenai kata-kata mati yang tersimpan dalam kamus bagai kupu-kupu dalam kotak. Kita sedang bicara perihal kata-kata hidup dalam pergaulan sehari-hari, pidato, musik, dan khususnya puisi. Penyair punya “kesaktian kata-kata”, hal-hal biasa kemudian menjadi luar biasa, hal-hal yang sementara lantas menjadi abadi, setelah ditulis menjadi puisi. Oleh karena itu, maka wajar jika Pram pernah bilang bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian, karena orang boleh pandai setinggi langit, tapi jika ia tidak menulis, akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Semoga berkah buku ini dan membawanya kian tinggi terbang, kian jauh melintang. Jangan pernah menyakiti penyair, jangan pernah penyair menyakiti yang lain.” (Sofyan RH. Zaid, Epilog, Jangan Pernah Menyakiti Penyair!)
Engkau Tahu;
Tidaklah Ada yang Abadi di Dunia Ini Selain Puisi?
kenapa terus kaunyalakan bara api pada permukaan wajahmu?
ini hidup bisa saja tinggal beberapa kerjap mata
: weisku, timbalah air sumur dalam dirimu
kurasa bisa memadamkan api yang menyala itu
engkau tahu, tidaklah ada yang abadi di dunia ini
kecuali Puisi?
weisku; engkau bisa saja menghapus seluruh kenangan bersamaku
tetapi akan sangat sulit engkau melupakan baris-baris puisiku
laut yang bergemuruh, api yang kian menyala-nyala
dalam dirimu suatu ketika akan menjadi bukit batu
dan tidak ada tumbuhan, hanya sipongang
hanya desau angin saja
lalu sepanjang waktu; lengang bergelombang
dan untuk sekadar mengikuti keras hati dalam lingkaran waktu
apakah harus memadamkan bara api dalam dada
atau kaubiarkan pijar mercusuar yang selalu berpendar-pendar
menerangi kegelapan
sementara labirin waktu yang kaususuri kian memanjang.
Cirebah, 7 Juni 2016

Baca Juga:

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.