Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Penyair Merdu oleh Indra Intisa

Penyair Merdu oleh Indra Intisa

TELAAH SINGKAT BUKU “ALARM SUNYI” KARYA PENYAIR EMY SUY
SI PENYAIR MERDU
Oleh Indra Intisa

#KAWACA.COM - Salah satu unsur yang paling menonjol dari puisi dibandingkan prosa adalah unsur versifikasi dalam sebuah puisi. Unsur ini terdiri dari beberapa pokok yang saling melengkapi, mendukung, menyatu dan mengikat satu sama lain. Adapun pokok-pokoknya adalah rima, irama, bunyi, metrum, dan ritma. Puisi-puisi lama, seperti gurindam, pantun, syair, dan mantra sangat intens memainkan peran ini. Beberapa pokok aturan dibuat dan batasi dengan batasan yang jelas kuat, seperti permainan rima akhir yang teratur, dst., disamping batasan jumlah larik-bait. Tetapi dalam mantra, keteraturan tersebut tida diatur dengan terikat, tetapi permainan bunyi yang mendentum, kadang ditulis dan dibunyikan berulang bisa memunculkan sebuah ilusi baru yang membawa pengaruh ke alam psikologis manusia sehingga muncullah efek magis di dalamnya. Efek magis juga bagian dari efek puitis dan merdu.

Sapardi Djoko Damono, selain dikenal sebagai penyair imagis—yang banyak memainkan unsur citraan dalam puisi—juga seorang penyair yang mampu membuat lirik-lirik puisinya menjadi merdu. Kemerduan dari puisinya mampu ditangkap dengan baik ketika dibaca dan didengungkan di atas panggung. Maka tidak heran banyak puisinya diambil dan diolah oleh para musikus, musisi, komponis untuk dijadikan sebagai lagu. Kemerduan dari puisinya mampu menyatu dengan baik dalam nada-nada musik sehingga mengalir bak mata air di pengunungan—gemerciknya membuat pembaca seolah hidup dalam alam damai—bayangkan ketika kita melihat keindahan alam terbentang: gunung, laut, danau, sungai jernih, pohon-pohon pinus, dst., terasa tentram, bukan? Sementera itu, memang tidak semua puisi Sapardi ditulis dengan merdu. Beberapa puisinya terkesan lugas dan tegas layaknya prosa. Tetapi walaupun begitu, unsur ritma juga tetap terasa, walau hentakannya dirasa tidak seteratur dan semerdu seperti puisi lirik yang ia tulis.

Kemerduan dalam puisi juga mampu menumbuhkan semangat kepuitisan dalam puisi semakin besar. Lihatlah puisi-puisi yang ditulis oleh Aan Mansyur. Terasa sangat klop dengan tema yang ia bahas—banyak mengambil tema percintaan: elegi, romansa. Beberapa pembaca awam, penyair awam menganggap bahwa kepuitisan terjadi ketika tata bahasa atau diksi yang dibuat menjadi berbeda atau dibuat-buat. Tetapi justru yang terjadi bahwa puisi tersebut menjadi terlihat aneh dan patah. Kepuitisan itu mengalir. Ia hidup melalui diksi yang ditulis oleh penyair yang memang pandai meletakkan. Pandai meletakkan di mana kata seharusnya duduk, tegak, berbaring dan berjalan dalam sebuah puisi. Bukan dibuat seolah-olah aneh. Itu seperti kita melihat orang bersepatu, tetapi sepatu yang dipakai adalah sepatu koyak, sepatu bayi, sepatu lain sebelah, dst., hanya untuk tujuan terasa unik dan puitis. Kecuali ada kecenderungan untuk mendapatkan efek-efek tertentu.

Emy Suy, salah satu penyair perempuan yang sangat produktif dari Jakarta (asli Madiun), juga termasuk ke dalam penyair yang mampu menyuguhkan puisi yang sangat merdu. Membaca puisi-puisinya bisa membuat para pembaca seolah mendengarkan sebuah lagu-lagu dengan tempo lembut, sedang dan kadang mengentak, tetapi dengan irama pas dan sesuai. Dalam sebuah lagu, ada kecenderungan sebagian musisi menulis lagu yang kurang sesuai, anggaplah lagu dengan tema kesedihan tetapi dinyanyikan dalam sebuah kegembiraan: berjoget dan tertawa, tentu kurang sesuai. Kecauli maksud yang dibawa adalah sebuah sindiran atau sebagai contoh dari kefrustasian seseorang dalam menanggapi sedih. Sama dengan gila, bukan? Emy Suy mampu meletakkan unsur irama ini dengan baik. Ritma yang dimasukkan sangat sesuai dengan puisi yang diaturkan. Jika lembut, menampilkan lembut. Begitu seterusnya. Mari kita simak pada puisi berikut ini:

MUSIM TANGIS

tentang salju yang turun di mataku
adalah rindu yang diawetkan waktu

aku gigil dalam sunyi
matahari datanglah tataplah aku penuh api

Betapa kita sadari bahwa, kemerduan dari sebuah puisi tidak hanya terkait dari peletakan dengan tepat posisi rima (permainan bunyi di akhir larik, tengah atau awal), tetapi juga permainan diksi yang sesuai dan tepat pada posisinya. Rima-rima yang disusun dari puisi di atas, seperti bunyi vokal (u) di bait pertama dan bunyi vokal (i) di bait kedua tentu saja menjadikannya merayu. Permainan bunyi vokal terbuka di puisi ini tentu saja terasa tepat. Ada banyak orang menulis puisi dengan rima-rima tutup-buka dalam sebuah puisi tetapi terasa patah dan putus. Seperti sebuah jurang mengangga. Di bawahnya ada api atau batu-batu tajam yang siap menangkap tubuh yang jatuh. Mari kita simak puisinya yang lain:

LENYAP SEGALA SENYAP

jika kabar hilang rimba
jika angin enggan menyapa
jika lenyap segala senyap

nisankan pertemuan daun kering dan ranting patah
biar saja batu membisu di kali dilewati arus ribuan kali
ban lesaplah jejak embun di pucuk-pucuk pinus

Puisi di atas dipenggal dengan dua bait yang berpisah polanya. Pada bait pertama ditulis dengan metrum yang teratur. Layaknya syair yang terikat dengan pola aaaa dalam satu bait—dimulai dari sebuah cerita dan pengantar—atau pada gurindam yang berisi sebab-akibat sebuah kejadian. Atau kita bahas lebih luas, puisi-puisi lama memang terkenal dengan keterikatan yang kuat terhadap diksinya. Jumlah kata, larik, bait dan aturan rima, anggap saja pada pantun. Ketika keteraturan itu terjadi maka muncul sebuah musikaliasi yang teratur pula, disebut dengan irama atau gelombang yang teratur (metrum), tentu saja jika dibacakan atau dinyanyikan terasa sangat nikmat, mudah dan mengalir. Uniknya pula, seperti pada sebuah lagu secara umum (khususnya lagu-lagu Indonesia pop-rock), ada bagian refflie, biasanya tepat memaksimalkan suara dan lagu. Tentu berbeda dengan nada-nada awal. Begitu pula pada puisi di atas, sekalipun metrumnya teratur pada bait kedua, terasa perbedaan nada dari bait tersebut. Tetapi kepuitisan dan kemerduannya tetap terasa. Coba kita rasa-rasa lebih dalam, hentakan nada dan irama (ritmenya) terasa berbeda antara bait pertama dan kedua, bukan?

Kemerduannya itu ibarat sebuah air yang mengalir. Atau sebuah permukaan benda yang datar dan licin. Ketika kita gesekkan jemari di atasnya, tidak terasa patahan yang kasar atau mengganggu sekalipun permukaan tersebut berliku dan berbelok, atau daki dan meurun. Begitulah Emi Suy memuisikan sebuah puisi. Itu terkelompok dalam sebuah buku “Alarm Sunyi”. Sebuah kesunyian yang ditulis merdu dengan hati yang menhentak-hentak.

Pulau Punjung, 18 Agustus 2017

Indra Intisalelaki yang sangat produktif dalam menulis, baik puisi, esai, maupun cerpen. Sejumlah buku telah lahir dari tangannya, Panggung Demokrasi(2015), Nasehat Lebah (2015), Ketika Fajar (2015),Teori dan Konsep (Puisi Tiga Kata, 2015), Dialog Waktu (2016), Dunia dalam Sajak (2016), Sang Pengintai (2016), serta Sungai yang Dikencingi Emas(2017). Ompi -biasa dipanggil- juga menyukai dunia musik, kini bekerja sebagai PNS, dan tinggal di Sumbar.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.