Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Juktaposisi Kemalangan dan Semacam Upaya Mengembalikan Kegembiraan*

Juktaposisi Kemalangan dan Semacam Upaya Mengembalikan Kegembiraan*

Oleh Dedy Tri Riyadi

Bagian Pertama: Juktaposisi Kemalangan
Izinkan saya membuka telaah singkat atas buku puisi karya Astrajingga Asmasubrata dengan menukil bagian pertama dari puisi yang diberi judul Biografi Mini, 2 sebagai berikut;

Ia memandangi garis pada telapak tangannya.
Baginya nasib baik atau nasib buruk,
kelahiran bijaknya memang disyukuri bukan dikutuk.

Di luar segala kuasa, kelahiran sebuah buku puisi memang harus disyukuri. Dirayakan walau sederhana. Bagaimana pun keadaannya, jika penyair melahirkan sebuah puisi artinya ada satu renungan yang patut dibagikan. Meskipun itu sepenggal kenangan, sepotong harapan, atau bahkan jika hanya semacam candaan bagi hidup yang terasa ganjil dan rumpang.
Miryam, mengingatkan saya pada tiga kisah kelahiran anak lelaki yang kelahirannya berkenaan dengan peristiwa yang gawat. Miryam yang tak lain adalah kakak dari Musa adalah seorang kakak yang dengan penuh kasih sayang mengikuti ke mana keranjang berisi bayi Musa itu dihanyutkan. Bahkan ketika Musa dipungut oleh putri Faraoh, Miryam mengabdikan diri pada putri Faraoh tersebut sebagai abdi dalem di puri putri Faraoh itu.
Miryam yang lain adalah Maria atau Maryam yang melahirkan Isa selagi masih belum pernah berkumpul dengan suaminya, Yusuf. Sebelum Isa lahir, raja Herodes mendengar nasibnya bakal berakhir oleh kelahiran bayi laki-laki yang kelak disebut orang sebagai Juru Selamat. Karena itu, pada masa Isa dilahirkan, dibuatlah satuan khusus untuk memeriksa kelahiran bayi laki-laki, dan kemudian bayi itu harus dibunuh. Sebab itulah Maryam dan Yusuf beserta Isa yang masih bayi mengungsi ke Mesir.
Miryam yang ketiga, Maria anak pembesar Koptik yang konon dinikahkan dengan Rasul Muhammad SAW sebagai hadiah perdamaian. Dari Maria ini, lahirlah seorang anak bernama Ibrahim. Namun, Ibrahim meninggal ketika masih bayi. Saking sedihnya, Rasul Muhammad SAW mengirimkan pulang Maria ini ke Mesir. Cerita tentang Maria yang bersedih di dalam sebuah kemah dalam perjalanannya pulang ke Mesir pernah saya, dan menariknya cerita itu disampaikan lewat percakapan dua ekor merpati.
Pemberian judul Miryam untuk buku puisi ini, dan (setelah membaca) puisi-puisi yang ada di dalamnya seolah menyuguhkan sebuah kisah hidup dari penyairnya dengan balutan yang menarik dan lembut. Benarkah begitu? Mari kita simak puisi berjudul Tafakur berikut ini;

Tafakur
Apa yang kautanggung
dari hidup
selain tenggang maut?

Engkau terus berjalan
sebagai petualang bernasib malang
Di kedalaman jiwamu
ada yang menyisih dan memutih
Waktu dan kenangan
hanya bergulir hanya berdesir
mengumban penghabisan sekali

Tema maut dan kemalangan menjadi cukup dominan dalam buku ini, tapi cara penyairnya menuliskannya terasa ada nada yang lembut. Bahkan di bait selanjutnya, cara lain “menikmati” akan datangnya maut dan kemalangan itu disebut begini;

Engkau menepi ke pinggir sepi
takzim memandang hasrat sendiri
seolah menekuri dan mengerti
nyeri yang engkau miliki

Tak ada teriak bahkan jerit. Namun cukup ditekuri dan dimengerti nyeri itu. Dalam bayangan pembacaan saya seperti hasrat kuat Miryam atau Maria melihat adiknya dan anaknya dalam usia yang masih dini dilanda sengsara gitu. Mereka tidak protes pada Tuhan tapi berkukuh dalam menjalani kehidupan itu.
Hal semacam itu jelas sekali terlihat pada puisi yang ditulis dengan semacam dialog ibu dan anak yaitu “Karena Angin Tahu” di mana ibu berkata, "tidak boleh begitu. betapa angin tahu kita ibu dan anak yang saling menyayangi," Dengan kata lain, kata-kata bernada protes itu tidak perlu ditampilkan jika hanya untuk mengutuki kemalangan dan maut.
Lalu bagaimana sebenarnya Astrajingga Asmasubrata menyoal malang dan maut dalam puisi-puisinya jika tidak dalam nada protes. Pertama, dengan memandang malang dan maut itu sebagai bagian dari alam / kehidupan. Tak perlu ditentang. Seperti dalam puisi “Sepukau Sajak Menggagau Sunyi” ditulis demikian;

Dengan cinta yang berat di senja sekarat;
kau menaifkan kehilangan sebagai isyarat,
"Tak ada kasih sayang yang lebih murni
dari keyakinan, Tuhan mencintai ayah kami"

Kata atau isyarat kehilangan justru dengan penuh kesadaran diganti menjadi “kasih sayang” dan “keyakinan”. Sesuatu yang indah dan berhasrat kuat.
Kedua, dengan menganggap diri haruslah selalu bersiap. Ini disinggung dalam puisi “Mitos Kelahiran; Dua Baris Kecemasan” yang sebagian berbunyi;

Lalu kutajamkan cakar dan taring
Di hadapan esok yang sedang berkabung

Ketiga, sama seperti dalam puisi Tafakur, pada puisi “Sudah Saatnya” juga merupakan petunjuk bagaimana seharusnya menghindar dari nada-nada protes yaitu dengan berdialog dengan diri sendiri, memainkan instrumen-instrumen kenangan, lalu menganggapnya bagian yang sangat tipis bedanya dengan mimpi.

Di hadapan kemiskinan, seusai dipecundangi nasib
Saya sering curhat dengan hari depan sendirian

"Di sawah itu, ayah pernah mendapatkan
Kunang-kunang. Dan setiap kali sedang malang
Kunang-kunang itu muncul dalam tidur saya
Yang pulas dan tenang: memimpikan ayah."

Dengan memperlihatkan hal-hal seperti ini, Astrajingga Asmasubrata seolah tengah menegaskan bahwa cara dia menyair adalah dengan menjuktaposisi imaji-imaji kemalangan menjadi sesuatu yang lembut, tenang, penuh canda, penuh kasih dan sayang. Seperti ia tulis dalam puisi “Sakaratulmaut” bahwa saat mengalami kematian justru adalah saat “Segala fana kembali ke cahaya, kembali ke mata ibu;”


Bagian Kedua: Semacam Upaya Mengembalikan Kegembiraan

datanglah kekasih aku telah selesai
menggali duka dunia dengan tembang!

(Mupu Kembang Minggu Raya)

Seperti Lazarus yang dibangkitkan dari kematian, dalam buku puisi Miryam ini setelah puisi-puisi yang bertema kemalangan dan kematian, puisi-puisi selanjutnya justru seolah mengajak pembaca menemukan lagi kegembiraan. Meski dari hal selekeh, remeh, kecil, bahkan cuil. Dan jika diperhatikan, ada upaya penekanan dari penyairnya seolah bukan sekadar menyapa tapi sudah menepuk pundak atau mencolek paha kita. Perhatikan puisi ini;

Angin Kecil

ia cuma ingin semilir, sedikit berdesir
memainkan rambut perawan dusun atau
sekadar mengusap keringat pekerja lembur

ia cuma ingin semilir, sedikit berdesir
meski sekawanan siul kanak teramat usil
memanggil sambil mengulur benang layangan

ia cuma ingin mengistirahatkan daun tua
yang sudah siap dibaringkan untuk diurai
jadi humus dan diserap akar-akar bunga itu

yang harumnya dihunuskan kepadamu

Penggunaan kata “harum” dan juga “hunus” jelas bukan upaya ala kadar ketika bicara soal “angin.” Ini upaya menyuguhkan dengan serius makna dari hal-hal yang mungkin bisa diabaikan dalam hidup kita sehari-hari. Seperti inilah sikap Astrajingga Asmasubrata untuk mengembalikan “kegembiraan” pembaca.
Jalan kepenyairan, kalau menurut Goenawan Mohamad ketika menulis Potret Penyair Muda sebagai Malin Kundang, yang seolah menanggung kutukan, dan hal-hal menjadi keras dan tak menarik, oleh penyair kita ini seolah sedang ditawar. Dalam puisi “Jalan Penyair” Astrajingga Asmasubrata memberikan gambaran bahwa menjadi penyair itu bukan menanggungkan alam pada dirinya tapi sebaliknya, selalu mempertanyakan pada diri, “sudahkah kautemukan dirimu di situ.” Tidak “menakar” alam (dunia) dalam kepenyairan, tapi justru “menimbang” upaya diri pada alam (dunia) ini. Kira-kira begitu. Atau dalam bahasa puisi, “Kupesan apa yang goceng bisa berikan: segelas kopi dua iris mendoan.” (Puisi “Di Warkop”)
Untuk bisa menawarkan hal yang menarik, tentu saja, Astrajingga Asmasubrata harus melakukan hal-hal yang berbeda. Dalam buku puisi ini, terlihat ia seperti tengah memadupadan badan dengan corak puisi penyair-penyair lain. Penyair yang sudah dikenal oleh para pembaca dan pecinta puisi seperti Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Joko Pinurbo, Hasta Indriyana, Hasan Aspahani, dll. Namun bukan ia meniru, tapi seperti memakai baju si penyair itu lalu bertanya pada penyair tersebut, “Pas tidak, di badanku?” Ini juga upaya mengembalikan kegembiraan tentu saja.
Upaya paling dahsyat dalam mengembalikan kegembiraan dari Astrajingga Asmasubrata dalam buku Miryam ini saya rasa dengan menampilkan puisi-puisi bertema cinta.  Ada banyak puisi-puisi bertema cinta di bagian akhir dari bagian pertama buku puisi Miryam ini.

Bagian Ketiga: Dan Miryam adalah Kita

Tak perlu diselidik, siapa Miryam itu. Sebab Miryam bisa berarti siapa saja dan apa saja. Seperti saya singgung di awal, bahwa Miryam bisa mengingatkan kita pada Miryam kakak perempuannya Musa, Maryam ibunya Isa, atau Maria gadis penguasa Mesir koptik itu. Seperti ditulis oleh penyair kita, pada Zikir Miryam, 2 ;

Namun, Miryamku juga Miryam angin,
api, tanah, air, yang melebur jadi kosmos –

atau, dalam “Pada Suatu Miryam” ;

Ia masih akan melingkari kalender
sembari menduga apa yang terlupa
dari sesuatu Miryam dalam dirinya

Lewat Miryam yang “sangat cair” ini, Astrajingga Asmasubrata bergerak dengan leluasa menyoal apa saja; religiositas, cinta, puisi, kisah perantau (pekerja migran?), bahkan seperti yang juga saya singung kredo kepenyairan Goenawan Mohamad pun ia mainkan melalui Miryam.
Tak seperti Badrul Mustafa, Miryam di tangan penyair kita sedikit berjarak dalam artian jika Badrul Mustafa dihidupkan sebagai tokoh oleh Heru Joni Putra, Miryam diandaikan, disebut, diingat oleh penyair kita. Ini yang membuat antara Badrul Mustafa dan Miryam menjadi berbeda. Padahal jika Astrajingga Asmasubrata menghidupkan Miryam sebagai tokoh, kita bisa melihat bagaimana kelembutan dan kasih sayang yang ditegaskan dalam sikap kepenulisan seperti disinggung di awal itu hidup dan menceritakan perjalanan hidupnya serta interaksinya terhadap dunianya yang tentu saja sama dengan dunia kita ini.
Namun, tak apa, toh dengan Miryam ini, justru Astrajingga Asmasubrata justru menjadi berbeda dengan Heru Joni Putra menggarap Badrul Mustafa. Sedikit menguak misteri tentang Miryam, saya kutip utuh puisi berjudul “Miryam dan Bayangan dari yang Berlalu,” sebagai berikut;

Miryam dan Bayangan
dari yang Berlalu

Masihkah kerlingan itu Miryam, terlihat
Sebagai rubin di ufuk barat. Dongeng lelaki
Dalam ingatan yang padam. Melingkar
Dan berpusar bagai laju jarum jam. Di balik
Waktu. Bayangan dari yang berlalu. /aku/

Puisi ini seolah menjadi penanda bahwa ada kehendak aku-lirik yang digeser atau ditepikan untuk merumuskan Miryam itu. Namun, harapannya (dengan mengenakan Miryam) hal-hal yang hendak diraih itu tetap dapat didapat. Maksudnya, Miryam pastilah bukan Astrajingga Asmasubrata, tapi keinginan dari penyair yang hendak diwujudkan. Keinginan untuk menggagas hal-hal besar dalam puisi-puisinya yang bisa dituliskan dengan sangat luwes, sangat cair.
Perihal “penggunaan tubuh” Miryam oleh “ego” aku-lirik ini jelas sekali pada puisi “Kesetrum Miryam” yaitu pada kalimat dalam puisi itu, “Walau pun tahu itu bukan, sungguh Aku telah meng-aku-kan kau padaku…”
Jika pada kesempatan ini, saya mengatakan “Miryam adalah kita” maksudnya adalah ada kelihaian yang penyair kita miliki untuk menyerap informasi, mengolahnya, lalu melontarkan kembali pada kita sebagai pembaca, yang berasal dari kita. Dan Astrajingga Asmasubrata lewat puisi-puisi Miryam itu seolah sedang berkata, “Aku bisa meminjam penilaian, pandangan, pengalaman kalian semua lho untuk kupuisikan.” Jadi, jika ingin (pengalaman) hidupnya berakhir sebagai puisi di tangan Astrajingga Asmasubrata, sering-seringlah curhat sama dia.
Sebagai penutup, secara garis besarnya, buku puisi Miryam ini bisa dibagi dalam dua hal besar yaitu sedih dan gembira, duka dan bahagia, yang ditulis dengan (sebagian besar) puisi liris, dengan paduan gaya dari beragam penyair, yang diakhiri dengan sebuah ujicoba manis di mana Astrajingga Asmasubrata mencoba menggunakan dan menyangkutpautkan aneka hal kepada yang bernama Miryam.
Secara umum, ini sebuah buku puisi yang menarik untuk dibaca dan disimak. Soal kemampuan mengolah kata, rasanya Astrajingga Asmasubrata sudah sangat mumpuni. Terbukti banyak sekali kata-kata yang terkesan arkaik hingga yang kekinian bisa masuk ke dalam puisi-puisinya.

Jakarta, Maret 2018

*Semacam Telaah Singkat atas Buku Puisi Miryam

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.