Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Sesirih Kapur: Senyuman Lembah Ijen

Sesirih Kapur: Senyuman Lembah Ijen


Oleh D. Zawawi Imron
(Ketua Tim Kurator)



Rendra mensinyalir bahwa pada abad 21 ini telah terjadi proses pendangkalan spiritual dan moral. Kehidupan beragama, misalnya, memang tampak semarak dan berkibar. Sekarang ada baju “takwa.” Bahkan, naik haji sudah diminati banyak birokrat dan artis. Di kantor-kantor dan sekolah-sekolah ada mushalla. Dari sudut esktrinsik formal, yang demikian itu sangat positif. Hanya saja, kalau hal ini tidak diimbangi dengan penghayatan intrinsik yang ditandai dengan tunjamnya sujud jiwa kepada Sang Pencipta, serta upaya membersihkan hati, semaraknya kegiatan agama itu belum menyentuh esensi agama. Yang justru terjadi adalah pendangkalan ruhani. Dalam kondisi seperti itu, agama dan Tuhan terkadang hanya dijadikan sebagai bendera kebanggaan. Cara beragama yang ekstrinsik ini akan gagal mendapatkan makna hidup yang hakiki. Karena itu semaraknya kehidupan beragama harus disertai dengan penghayatan spiritual yang mendalam dan kedekatan kalbu dengan Allah.
Akhir-akhir ini, ketika bencana alam yang berupa banjir, tanah longsor luapan lumpur dan lain-lain sering terjadi di negeri kita, maka persahabatan dengan alam harus menjadi perjuangan kebudayaan. Bersahabat dengan alam bisa disinergikan dengan cinta tanah air. Kenapa kita harus mencintai alam atau tanah air?

Kita minum air Indonesia
menjadi darah kita
Kita makan buah-buahan dan beras Indonesia
menjadi daging kita
Kita menghirup udara Indonesia
menjadi nafas kita
Kita bersujud di atas tanah Indonesia
bumi Indonesia menjadi sajadah kita
Satu saat nanti kalau kita mati
Kita akan tidur pulas dalam pelukan bumi Indonesia

Karena itu, tidak ada alasan untuk tidak cinta alam dan tanah air. Alam dan tanah air telah menganugerahkan sumber-sumber kehidupan kepada kita. Semua rezeki yang kita butuhkan tersimpan di perut alam dan tanah air Indonesia.
Buku dari zaman ke zaman terbukti telah banyak menyumbangkan andil dalam memanusiakan manusia, serta memberi kesadaran akan tugas kekhalifahan manusia sebagai makhluk budaya. Intelektualitas seseorang kadangkala diukur sampai sejauh mana seseorang mencintai dan mengoleksi buku. Buku yang bukan hanya disimpan di atas rak, tapi buku yang benar-benar dibaca, ditelaah dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Buku adalah guru. Seorang pembaca buku yang baik sebenarnya berguru kepada pengarang buku tersebut. Manusia diberi mata dan pikiran oleh Tuhan memang disuruh membaca dan membaca, agar pikirannya terbuka dan punya wawasan yang luas.
Selain membaca buku, manusia juga perlu membaca alam semesta, karena alam semesta ini tak lain merupakan buku  kenyataan yang perlu dibaca, dipelajari dan diambil manfaatnya, tetapi jangan dirusak agar tidak mengundang bala bencana. Buku yang berupa halaman kertas, bisa menjadi petunjuk untuk membaca dan mengenal alam secara lebih akrab. Dengan demikian, pada era   moderen ini membaca buku dan membaca alam menjadi sama pentingnya.
Ketika kegersangan jiwa mulai membawa kenyataan kepada iklim sosial yang tidak sehat, antar manusia mulai tak ramah, keserasian hidup seakan punah, kekerasan makin merebak, penghayatan kepada keindahan tanah air dengan kembali bersahabat dengan alam akan membawa kepada kelembutan jiwa dan kecerdasan emosional yang utuh. Adanya buku-buku ilmu pengetahuan dan teknologi perlu dilengkapi dengan membaca buku-buku humaniora, seperti karya sastra, psikologi, sejarah dan lain-lain yang akan membawa masyarakat makin akrab dengan alam, manusia dan Tuhan. Agar manusia kembali kepada kejernihan cinta yang hakiki.
Persahabatan dengan alam tentu harus disertai pada kesadaran akan waktu, sehingga sebagai aktor kehidupan kita tahu untuk tidak terlambat, dan tahu untuk tidak tergesa untuk menyelesaikan semua tantangan dan masalah kehidupan kita semua.
Ekspresi seni, harus bertolak dari kejernihan hati nurani agar menghargai hidup dan kehidupan untuk dipergunakan sebaik-baiknya dalam memberi makna maksimal. Dari kejernihan fitrah, daya cipta dalam mencari keagungan dan kemuliaan diupayakan. Ia berangkat dari “kita ini milik Allah dan kepada Allah kita kembali.”
Seni yang berangkat dari fitrah, yang menghormati martabat manusia, persaudaraan dan perdamaian, menjadi bagian dari suara kebenaran Ilahi. Iqbal berseru dalam salah satu sajaknya 

Dari manakah suara merdu seruling berasal?
Dari getaran kalbu peniup seruling
Bukan dari potongan bambu

Seirama dengan itu Taufiq Ismail menulis :

Dengan puisi, Aku

dengan Puisi aku bernyanyi
sampai senja umurku nanti
dengan puisi aku bercinta
berbatas cakrawala
dengan puisi aku mengenang
keabadian yang akan datang
dengan puisi aku menangis
jarum waktu bila kejam mengiris
dengan puisi aku mengutuk
nafas zaman yang busuk
dengan puisi aku berdo’a
perkenankanlah kiranya.

Puisi di sini sebagai pernyataan hidup, pemihakan kepada hidup serta penghargaan dan penghormatan kepada kehidupan orang lain. Jadi, kalau kemanusiaan  adalah satu kesatuan, orang tidak cukup menghargai kehidupannya sendiri. Tugas mulia sebagai manusia juga harus menghormati hidup dan hak hidup orang lain.
Pertemuan kita, para penyair dan sastrawan yang bertepatan dengan hari wafatnya Chairil Anwar di Banyuwangi tahun ini adalah sebuah jawaban bahwa kita kaum sastrawan sangat ingin menghormati kemanusiaan.
Lalu sekarang kita berkumpul di lembah Ijen yang disebut Bumi Blambangan. Bumi tempat menjemput senyum matahari setiap pagi.
Di wilayah kabupaten paling timur Pulau Jawa kesenian yang memuliakan manusia selalu hidup sepanjang masa. Hal itu bisa dibuktikan dengan lagu-lagu yang diciptakan dan dilantunkan  oleh putera puteri Banyuwangi. Selain itu nyanyian dan tarian Banyuwangi juga merupakan rasa sastra  sebagai suara jiwa. Lagu-lagu seperti “Manuk Kapodang”  “Umbul Blambangan,” “Udan Gerigis,” “Nandur Jagung,” dan lain-lain bukan hanya lagunya yang enak didengar tapi juga nilai sastranya yang indah.
Keindahan seperti itu tentu saja diilhami oleh alam Banyuwangi yang indah, gunung biru berselendang awan, hamparan padi menguning keemasan di atasnya burung-burung kecil menyanyikan keagungan Tuhan, serta lambaian pohon nyiur di pantai yang seakan mengucapkan selamat datang kepada para Pahlawan, nelayan yang pulang membawa ikan dari laut.
Karena itu, sebagian besar karya-karya seni yang lahir di Banyuwangi, tak lain adalah suara alam, suara jiwa masyarakat yang hidup di tengah sawah yang bertingkat-tingkat dan riak ombak yang berzikir kepada Tuhan. Inilah Bumi Blambangan.
Pada saat ini kita para sastrawan dan penyair dari suluruh Indonesia  berkumpul di Banyuwangi dan lebih dari itu sudah menulis puisi tentang alam dan manusia Banyuwangi. Puisi yang menuju kehidupan yang sejuk yang akan mempererat persaudaraan. Tak seorang pun yang datang ke Banyuwangi ini untuk menebar kebencian.
Puisi tidak harus selalu mengawali tahun baru, karena dalam substansi puisi setiap hari adalah tahun baru.  Orang yang intuisinya cerah, hatinya akan selalu tersenyum sebelum matahari terbit di ufuk timur. Senyum untuk dunia dan seluruh isinya. Damai dengan Allah dan siap berdamai dengan seluruh manusia dan alam.
Substansi puisi bisa berupa tenaga estetik yang terdapat pada lukisan, musik, lagu dan lain-lain. Sebuah lukisan yang bermutu bisa disebut puisi warna dan sebuah irama musik yang mempesona, bisa disebut puisi bunyi.
Penghormatan kepada kemanusiaan dalam bentuk akhlak yang santun akan membuat sikap manusia akan merasa bersaudara. Penyair Al-Ma’ari berucap,
Janganlah hujan membasahi ladangku
Kalau tidak menyiram seluruh bumi

Sebuah pernyataan solidaritas yang mendalam. Dan hal ini dilengkapi pula dengan sebaris puisi Sutardji Calzoum Bahcri,
Yang tertusuk padamu berdarah padaku

 Maksudnya, kalau hatimu atau tubuhmu luka dan tersakiti, sebagai manusia yang memihak kemanusiaan aku ikut merasa sakit juga oleh luka dan penderitaanmu. Aku akan meneteskan airmata persaudaraan. Airmata dengan airmata sesekali tidaklah sama. Ada air mata yang menetes karena diri sendiri secara langsung mengalami pukulan dan tindihan, yaitu airmata yang menetes menangisi diri sendiri. Sedangkan yang lain ialah airmata yang menetes karena menyaksikan penderitaan orang lain. Ada simpati dan empati yang kental yang berangkat dari rasa kemanusiaan yang dalam. Penderitaan orang lain dirasakan menusuk jantungnya dan melukai hatinya karena di dalam hati ada sensibilitas kemanusiaan.
Pertemuan di lembah Ijen sekarang ini dan puisi-puisi yang digelar dalam acara ini merupakan cerminan bahwa penyair dan sastrawan masih cinta kepada tanah air tanpa ditawar. Hubbul Wathan minal ima.
   Pertmuan “Senyuman Lembah Ijen” ini hanya satu tarikan langkah tapi sangat berharga untuk menyempurnakan rasa kemanusiaan kita.
Sebagai penutup saya kutip satu bait dari puisi tuan rumah, Sansudin Adlawi yang ingin menunjukkan keramahan :

Teruslah melangkah
Kawan, sekelokan lagi
Kamu akan tiba di sudut
Senyum yang paling indah

 Batang-batang, 1 Maret 2018

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.