Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Memilih Berebut Jamban daripada Dinding Kosong - Amien Wangsitalaja

Memilih Berebut Jamban daripada Dinding Kosong - Amien Wangsitalaja

oleh Amien Wangsitalaja



Sahaya merasa berkepentingan mendorong Buya Norham Abdul Wahab (NhAW) menerbitkan puisi-puisinya dalam satu kitab. Puisi-puisi NhAW sememang pantas dihadirkan untuk melakukan perlawanan terhadap sastra yang sekedar “mengembara di tiap-tiap lembah” (baca Asy-Syu’ara: 224—227); ia bukan sekedar puisi yang mengumbar kegenitan linguistik bukan pula puisi yang mengumbar materi ucap yang sesat atau mengarah kepada maksiat. Jelajahilah kitab puisi ini dan rasakan tusukan-tusukan da’wah “panggilan”, muhasabah “introspeksi”, atau ghirah “semangat” yang mengaduk-aduk kehambaan kita. Pada saat yang bersamaan puisi-puisi dalam kitab ini juga dengan gagah mengibas-ngibaskan pesan al amr bi l ma’ruf dan al nahy ‘an l munkar dengan berbagai jurus tebas yang seringkali telak.

Ketika Buya NhAW menodong sahaya untuk menjadi penyunting, untuk memilih memilah ratusan puisinya, sahaya langsung sigap menerima. Sahaya merasa bersemangat dengan amanah ini kerana sahaya berharap bisa tercatat telah ikut melibatkan diri dalam sebuah tabligh sastra profetik. Saking bersemangatnya sampai-sampai sahaya tak mempertimbangkan: pantaskah sahaya menerima amanah ini, bisakah sahaya menjalankan amanah ini, bisakah sahaya mempertanggungjawabkan proses dan hasil sunting sahaya. Keinginan kuat untuk terlibat dalam tabligh telah membuat sahaya “buta diri” menerima amanah ini; sahaya mungkin tak pantas, tapi sahaya ingin terlibat dalam jihad mengarusderaskan puisi-puisi yang berpunca pada iman, amal shalih, dan dzikrullah.

Mulailah kemudian sahaya menelusuri ratusan puisi-puisi Buya NhAW dan mencoba memilah serta memilih sampai akhirnya sahaya putuskan 52 judul untuk diterbitkan. Sahaya tak punya alasan yang cukup bertanggung jawab (apalagi alasan akademis) kenapa 52 judul puisi itu sahaya pilih. Barangkali ini semata kesemenamenaan sahaya. Namun, jika tetap ditanyakan alasannya, sahaya akan menjawab, “sahaya suka materi ucap yang tersegarkan dan cara ucap yang segar.” Jawaban tersebut sudah dengan ke-husnuzhzhan-an bahwa in sya-a Allah semua materi yang disodorkan di dalam puisi-puisi NhAW adalah hasanah dan berpunca pada iman, amal shalih, serta dzikrullah.

Kenapa “materi ucap yang tersegarkan”? Ya, kita tak bisa mengelak bahwa ketika kita menulis atau mengucapkan apa pun, sebetulnya kita hanya sekedar mengulang materi-materi tulis/ucap yang sudah ditulisucapkan oleh orang lain. Tak ada yang sememang baru. Nah, jika materi-materi usang itu tak bisa kita segarkan, mampuslah puisi kita.

Kenapa “cara ucap yang segar”? Salah satu cara menyegarkan materi-materi usang itu adalah dengan cara ucap yang segar. Bahkan, menurut sahaya, materi yang tersegarkan jika disampaikan dalam cara ucap yang tak segar, kesegarannya bisa kembali hambar.

Materi ucap usang disampaikan dengan cara ucap usang; alangkah malangnya puisi kita.

Materi ucap tersegarkan disampaikan dengan cara ucap usang; tak segar-segar amat.
Materi ucap usang disampaikan dengan cara ucap segar; bolehlah.

Tentu saja lebih mantapnya adalah jika kita bisa menyegarkan materi-materi usang kemudian menyampaikannya dengan cara ucap yang segar.
Mari kita tengok:

“Jangan bersikap tamak pada harta dunia” adalah materi yang usang. Rupanya NhAW bisa menemukan penyegaran dari materi usang itu dengan menggambarkan harta dunia sebagai jamban, dengan membawa-bawa sosok Abu Bakar dan Umar (radhiyallah ‘anhuma) sebagai tauladan. Kemudian NhAW meramu cara ucap yang juga lumayan segar.

BEREBUT JAMBAN

aku heran, mendengar kabar
harta tak suka pada abubakar
pun abubakar, juga tak gemar
:
tak mungkin makan sepinggan

aku heran mendengar kabar
harta suka kepada umar
tawarkan diri menjadi istri
nomor sekian tak peduli
membuat tekak umar loyar
:
kesian, bertepuk sebelah tangan

eeh, kita kalut, saling bergelut
sibuk bersikut, beragut rambut
panar bercakar

macam tak tahan, sesak meneran
berebut jamban
:
mheeehh… plung!

WGraha, 2010

Mari kita tengok yang sebaliknya:
Renungan tentang “dinding yang kosong” menurut sahaya cukup mampu menyegarkan materi “percintaan”. Renungan itu tampil cukup apik dalam puisi “Dinding Kosong”. Hanya saja, lagi-lagi menurut sahaya, NhAW menggunakan cara ucap yang relatif usang dalam puisi ini.

DINDING KOSONG

dinding-dinding rumah kita masih kosong
tak ada gambar lukisan tergantung di situ

padahal, foto-foto masih tersimpan
segala ukuran
di album-album, juga di buku-buku

melantunkan cerita:
~ tentang canda riang penuh tawa
~ tentang kehebatan persinggahan
~ tentang pongah kursi dan jabatan
sejarah yang tercatatkan

dinding-dinding rumah kita masih kosong
tak ada gambar lukisan tergantung di situ

padahal, karya coretan kuas
dan tangan dari pelukis ternama
masih tersimpan di dalam laci
lemari yang bergembok kunci

penambah kesombongan kelas dan golongan
di atas orang-orang rendahan dan kebanyakan

melantunkan cerita:
~ tentang kekayaan
~ tentang pergaulan
~ tentang kualitas dan selera pilihan
sejarah yang tak terlupakan

dinding-dinding rumah kita masih kosong
tak ada gambar lukisan tergantung di situ

hanya berukir berak cecak dan plasteran retak
membuat pandangan mata menjadi rusak
dan tamu-tamu yang datang jadi ndak enak

akankah kita biarkan terus begitu
agar malaikat rahmat tak terhambat
untuk datang dan mendekat?

dinding-dinding rumah kita masih kosong
hanya berkisah tentang rindu dan cinta kita
yang tersenyum malu-malu

MBoro, 2017

Menceritakan “kita” yang tak hendak memajang foto dan lukisan dan membiarkan dinding hanya berukir berak cecak dan plasteran retak sebetulnya unik dan segar, tetapi entah kenapa sahaya tak merasakan kesegaran di cara ucapnya secara keseluruhan. Dengan semena-mena, sahaya coretlah puisi ini. Aduh, sedihnya.

Pertimbangan lain, sahaya menyukai puisi yang memiliki kadar hipogramatik yang tinggi. Konon, ada teoretikus puisi yang membagi hipogram menjadi dua; hipogram potensial yang dapat diamati dalam bahasa (presuposisi, sistem deskriptif) dan hipogram aktual yang berupa teks-teks terdahulu.

Jika kita menemukan ucapan berbunyi “suami tersenyum” kemudian kita memikirkan bahwa di balik kata “suami” ada “istri” atau di balik frasa/ucapan itu terbayangkan “sesuatu yang menyenangkan yang membuat seseorang tersenyum”, maka itulah hipogram potensial.

Jika kita menemukan ucapan “hutang dan import, itu lacur” kemudian kita teringat pada persoalan hutang dan import yang dilakukan oleh (penguasa) Indonesia sebagai teks terdahulu, maka itulah hipogram aktual. Begitu juga ketika kita jumpai ucapan berbunyi “Dedap, Malin Kundang” kemudian kita teringat pada dongeng tentang Malin Kundang sebagai teks terdahulu; atau ketika kita jumpai ucapan berbunyi “gurindam negeri kura-kura” lalu kita dipaksa mengingat-ingat apa itu gurindam dan fungsinya serta dipaksa juga mengingat-ingat mitos tentang kura-kura atau barangkali peribahasa yang berbunyi “kura-kura dalam perahu” sebagai teks terdahulu.

Makin hipogramatik sebuah puisi, makin segar ia.
Sepertinya begitulah. Dan 52 judul puisi yang termuat dalam kitab puisi Preman Simpang ini adalah puisi-puisi yang dengan semena-mena telah sahaya pilih dari lebih dari seratus judul puisi yang ditulis Buya NhAW. Semoga sahaya dapat dimaklumi. Sila Tuan dan Puan bertandang ke kedalaman Preman Simpang.***

Samarinda, April 2018

Amien Wangsitalaja
Penyair, cerpenis. Tulisannya tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama. Antologi puisi tunggalnya yang pernah terbit adalah Kitab Rajam (2000, Indonesiatera Magelang) dan Perawan Mencuri Tuhan (2003, Pustaka Sufi Yogyakarta)

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.