Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Sebotol Softdrink Tauhid di Bawah Pokok Karasso - Ramon Damora

Sebotol Softdrink Tauhid di Bawah Pokok Karasso - Ramon Damora

Oleh Ramon Damora

SEBELUM Meillenium, kesusastraan Riau laksana pohon karakter. Pohon karakter adalah pohon yang mudah dicam, mengesan-dalam, sebab sekujur tubuhnya dipenuhi character –dari bahasa Yunani charasseim (baca: karasso), yang berarti ukiran, pahatan, di atas kulit kayu. Penyair mengukir puisi di sana, prosais memahatnya dengan cerita. Pohon karakter tak sulit diidentifikasi, meski tumbuh di antara jejal pokok gergasi. Riuh para sastrawan Riau menggurat narasi demi narasi di situ. Semuanya mengusung rindu yang satu: Melayu!

Dulu, tak ada yang takut tersesat. Sastrawan senior, junior, pemula, penengah, pengakhir, kerjanya menghilang saja setiap saat, nuju pekarangan dunia, padahal tak kemana-mana juga. Hari ke hari semondok di bawah pohon karakter, membaca Rampai-rampai. Hidup seakan ‘tentang datang, mengenai sampai’. Dipandu langsung oleh seorang Paus nan kudus, Hasan Junus. Indah sekali. Adapun yang pulang setelah musim-musim tualang panjang, bertahan dengan kerasnya pergulatan hidup, lalu menjadi legenda. Di reranting pohon karakter itu ia bertengger selalu, sebagai “Burung Waktu”. Dialah Sang Kanon, pekik kami yang konon lagi kenen. “Bukan,” sergah dia, “aku Idrus Tintin!”

Menjelang Alaf-2000, sastra Riau menyembul dengan “karakter baru”: sastra perlawanan. Persisnya, melawan hegemoni Negara yang di era Orde Baru direpresentasikan sebagai kezaliman sentralistik Pusat/Jakarta. Para penyair terus mengumandang frasa “kita dari pedih yang sama” di mana-mana, berulang-ulang, walau semua tahu Sutardji Calzoum Bachri (SCB) menulisnya tahun 1979 lalu dalam sebuah puisi maritim yang demikian intim, jauh sebelum Jokowi menyeru agar Indonesia kembali ke samudera: karang kerang teripang udang penyelam / kita dari dalam yang sama / dari pedih yang sama.

Sesungguhnya, di titik ini sudah ada masalah. Di lapangan puisi, misalkan, apa yang disebut sebagai “karakter baru” dalam kesusastraan, bahkan seturut artinya yang paling ekstrem sekalipun, telah tuntas dan intens dilakukan SCB. Tidak menyisakan apa-apa lagi. SCB telah mengucapkan dada dada bye-bye sayonara secara total --bahkan main-main-- terhadap warisan perpuisian yang ditinggalkan Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Ramalan yang diungkapkan Dami M Toda tahun 1970-an lalu, bahwa ‘SCB membuat puisi Indonesia berakhir’, sampai hari ini masih terdengar sebagai kutukan yang belum akan sirna.

Walhasil, mata pisau charasseim, karasso, character, karakter, yang hendak dipahatkan ke jantung pohon kesusastraan Riau kala itu hanya menyemburatkan silau pena sembilu politik identitas. Mata pisau sejati tetaplah milik SCB di Jakarta, yang kemunculannya pertama kali pada penghujung 1960-an mencengangkan semua orang, karena pisau itu ditakik dari pohon sampai ke akar terdasar tradisi Melayu. Tetapi, generasi yang datang kemudian bukannya sama sekali sepi dari aksentuasi capaian.

Memasuki tahun 2000, pohon karakter kesusastraan Riau tumbuh antara ada dan tiada di sebuah persimpangan. Ada, karena kita masih melihat Rida K Liamsi dengan segala ketulusan sumber daya kapitalnya memanggul “sebatang tempuling yang tersadai di bibir pantai”, sambil mendengar lengking petah-istiqamah Taufik Ikram Jamil menyenandungkan “Tersebab Haku Melayu”, yang disahut dengan baik publik sastra tanah air itu, sebelum sajak indah ‘Berpisah Jua Kita Akhirnya, Jakarta’ benar-benar mengantarkan kita kepada perpisahan nan memilukan dengan Ediruslan Pe Amanriza dan sejumlah nama penting lainnya.

Selebihnya, “ketiadaan” --yang harus selalu diikuti tanda petik--, sebab saya tak ingin menjadi pesimistik atau kufur nikmat. Semangat “melawan Jakarta” yang berkibar pada waktu itu, bagi saya, tetaplah sebuah ironi besar, kalau tak mau dikatakan “parah”. Begitu keran Otonomi Daerah, dengan semua kompensasi dana bagi hasilnya, mengalir ke daerah-daerah, atmosfer kesusastraan Riau, diakui atau tidak, penuh sesak oleh pelbagai debu polusi kepentingan. Orang-orang bagaikan “Si Kudung Dapat Si Cincin”. Segalanya, tiba-tiba, bergeser tentang, dan tentang, politik sastra. Mula-mula politik identitas yang dimunculkan, lama-lama jumud menjadi politik anggaran. Hari ini Jakarta dibenci. Besok ramai-ramai berambisi ingin tampil di Taman Ismail Marzuki.

Pada fase antara ada dan tiadanya kesusastraan Riau inilah, saya sesekali bertanya dalam sunyi: sedang berada di manakah sebenarnya seseorang yang bernama Norham Abdul Wahab?

***
MEMISAHKAN nama Norham Abdul Wahab –semoga Allah memuliakannya—dari kronik kesusastraan Riau, sangat tidak mungkin. Pertengahan 1990-an, ia adalah pengelola laman seni Sagang Harian Riau Pos. Lumayan memantik gairah. Norham dkk dipandang sukses menjadikan Sagang sebagai beranda bulan madu para sastrawan pendahulu. Juga, arena beradu munculnya nama-nama baharu. Norham jebolan Fakultas Sastra UGM Yogyakarta. Sepulang dari Yogyakarta, ia tak latah bergaya Emha Ainun Nadjib. Padahal, Cak Nun saat itu idola mahasiswa. Kolom-kolomnya dipuja. Cara menulisnya jadi kiblat berekspresi pemuda Nusantara. Norham punya style sendiri. Nampak jelas ia sedang mencoba membangun pohon karakternya sendiri.

Artikel Cak Nun penuh dengan selekeh istilah ilmiah inelektual serapan Bahasa Asing. Tulisan Norham memantangkannya. Dia konsisten menggunakan diksi-diksi Melayu. Bukan cuma tulisan, lisan keseharian juga. Dia pelisan yang baik. Tangguh benar untuk urusan ‘batu api’. Provokatif. Keaktoran penggiat teaternya keluar di sana-sini. Apatah lagi kalau mau menghasut anak-anak muda seperti saya, untuk merayakan kegilaan berburu khazanah Melayu. Sagang rezim Norham sukses mencicil banyak kosa-kata Melayu ke ruang publik. Seingat saya, berita-berita ‘nhw’ –kode tiga huruf Norham Wahab sebagai jurnalis—teguh menulis kata ‘memang’ menjadi ‘sememang’. Dan keistiqamahan ‘sememang’ ini, di luar diksi-diksi lain yang serupa, menular cepat di bilik newsroom, menjadi momentum.

Saya bergabung ke Riau Pos (RPG) pengujung 1999, dengan kepala yang waktu itu masih memendam nostalgia tahun 1996, saat Norham memuat puisi-puisi saya untuk pertama kalinya di Sagang, dengan caranya yang selalu luar biasa memotivasi orang. Akhir tahun 1999 itu, saya belum langsung ke Riau Pos. Adalah Eddy Ahmad RM yang mengajak saya bergabung menjadi reporter di Tabloid Watan. Sebuah tabloid politik lokal, anak perusahaan RPG juga. Di Watan, Eddy Ahmad RM adalah seorang Pemimpin Umum. Pemimpin Redaksinya? Ya, Norham Wahab. Karirnya menanjak cepat di Riau Pos, Koran induk dari sebuah koorporasi besar perusahaan media yang dibangun Rida K Liamsi. Namun, sebelum diangkat sebagai Pimred di Koran induk, berlaku semacam perploncoan lebih dahulu menjadi Pimred di anak-anak perusahaan.

Well, di sinilah saya sekarang, bersenang-senang. Di RPG, Bos Besar kami Pak Rida K Liamsi. Zaman itu, tak ada yang lebih hebat rasanya bagi anak muda Melayu selain bisa bekerja bersama beliau. Di Watan, saya punya Pimum dan Pimred yang kata anak muda sekarang: kece-badai. Kece, karena mereka sama-sama wartawan cum sastrawan hebat. Badai, karena keduanya sering bertengkar. He-hee. Ya, semua sedang berada di persimpangan pada tahun-tahun itu. Tatkala Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyambut tahun Millenium dengan menyelenggarakan iven Mimbar Penyair Abad 21, Dewan Kesenian Riau mengutus tiga nama ke perhelatan besar tersebut: Eddy Ahmad RM, Norham Wahab dan Yoserizal Zein. Pasca-Mimbar Penyair, hanya puisi-puisi Eddy dan Yose yang masih sering kita baca di sejumlah media dan peristiwa. Sementara puisi Norham sulit sekali ditemukan.

Saya tak berani menyimpulkan, bahwa ia berhenti menyair sama sekali. Di permukaan, memang Bang Norham lebih produktif menulis cerita pendek ketimbang sajak. Di bilik-bilik kehidupannya yang paling rahasia, kita tak pernah tahu. Lagi pula, saya tak seberuntung rekan-rekan sebaya lain di RPG, yang lebih banyak masa pertemanan dengan beliau. Akhir tahun 2001, saya pindah ke Batam. Praktis tak banyak kebersamaan yang saya jalani dengan Bang Norham. Dari yang sedikit itu, saya hanya bisa menyebut beliau sebagai sahabat dan pimpinan yang baik.

Kami juga tak banyak membicarakan isu-isu sastra di ruang redaksi yang selalu disibukkan dengan masalah deadline dan headline. Sekali sekala, saya melihat passion-nya yang nampaknya kurang begitu cenderung lagi ke kesusastraan. Kadang ke politik (namanya pernah tercatat resmi sebagai kontestan Pilkada Kabupaten Bengkalis). Sering pula saya mendengar tentang kiprahnya di dunia usaha (banyak yang berkisah, dia seorang kontraktor dan pengusaha sukses). Wallahu’alam.

Saya tak mau menebak-nebak. Jangan-jangan saya sok ge-er saja mencari pembenaran dengan menuduh-nuduh pendeknya waktu kebersamaan. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah di mata Norham waktu itu saya bukan kawan yang pas diajak ngobrol masalah apapun, termasuk sastra.

Siapa tahu, iya kan…

***
AMMA BA’DU, setelah tak bersua hampir 20 tahun lamanya, tiba-tiba Tuhan mempertemukan saya kembali dengan seorang Norham Abdul Wahab, meruang, mewaktu, menyosok dengan cara-cara tak terduga. Mendadak ia punya banyak puisi keren, untuk diterbitkan sebagai kitab puisi bertajuk “Preman Simpang” (PS), yang berdelau-pukau ini. Dan dengan semacam kehormatan, saya diberi ruang untuk menuliskan sedikit catatan. Berdepan-depan dengan PS, subhanallah, sungguh memberikan, sekaligus memerikan, kebahagiaan yang teramat lapang. Lapang sekali. “Preman Simpang” adalah deklarasi tauhid seorang Norham Abdul Wahab.

Inilah kebahagiaan pertama, dan paling utama, yang dengan cepat saya rasakan. Ia menjalar, nyelusup, ke semua lubang pori-pori indera. Sajak-sajak dalam PS sejuk mengaliri minda, lalu perlahan simbah lembut ke dada, karena kata-kata di dalamnya bagaikan iklan sebotol dingin minuman softdrink: “kutahu yang kumau”. Dalam bahasa yang lebih transendental, hampir semua puisi di sini adalah softdrink-tauhid yang meleleh segar di sela-sela tenggorokan, sambil membaca pasal pertama Gurindam 12 Raja Ali Haji yang prolifik itu: “barangsiapa mengenal diri, ia mengenal Tuhan yang bahri”. Bila kata-kata bebas menari-nari, meliuk-liuk, namun tetap terasa ratib dan tertib dalam buku ini, itu karena mereka sememang sudah tahu diri.

Untuk alasan-alasan tertentu, bagi saya, PS bukanlah sebuah comeback bagi kepenyairan Norham. Saya lebih senang menyebut, ‘PS merupakan terobosan baru seorang penyair baru yang mendedahkan kredo baru’, kepada kita semua, bahwa sebelum kau sungguh-sungguh mengenal Tuhan, mengenal diri, jangan coba-coba petantang-petenteng dengan puisi. Konon pulak nak bikin buku tunggal yang cuman menyemak, tapi mau omong banyak. Ternyata ada yang lebih mustahak dari ke-letei-an urusan membangun karakter dunia sastra. Perkara itu, tak lain tak bukan, ialah mengokohkan lebih dahulu karakter dalam dirimu.

Lebih dari sekedar sebuah judul puisi dari 52 judul puisi dalam buku ini, “Preman Simpang” adalah sebuah karakter dengan mengusung idealisme ketauhidan yang mencerahkan. Dalam ilmu tauhid, kita mengenal apa yang disebut dengan al-nafyu. Penafian. Desakralisasi. Mengingkari segala materi jagad raya, kecuali Allah semata. Sementara “preman” adalah mereka yang disangkal keberadaannya, dinafikan oleh formalisme sistem sosial masyarakat kita, dianggap bromocorah di mata hukum, bukan siapa-siapa. No body!

Semenjak awal, ada banyak persimpangan yang kita bicarakan. Kali ini, dalam buku ini, di simpang pemaknaan puisi manapun kita ingin berhenti, merebahkan majas, berselonjor hiperbola, bersiul-gitar interpretasi, penyair kita yang Preman Tauhid itu selalu mengingatkan, jangan lupakan halaman terakhir kehidupan, yakni Kematian. ‘Preman Simpang’ mengganggu kita dengan tauhid pembebasan. Para pembaca yang dahaga memburu makna, insyaallah akan lebih mudah sampai. Meski cukup beragam penjelajahan tematik yang diumbar penyair, pada akhirnya ia selalu bicara tentang kepulangan yang bebas merdeka menuju Sang Khaliq. Aduhai HJ, tengoklah, Norham pun kini mengimami kami untuk mewiridkan namamu. Hidup ini rupanya sememang hanya ‘tentang datang, mengenai sampai’.

Bagaimana dengan audien yang ingin merayakan bahasa? Jangan cemas. Ada banyak puisi dalam “Preman Simpang” yang akan melunaskan ekspektasi itu. Tauhid pembebasan kiranya membebaskan ruang gerak piranti puitik sang penyair mengeksplorasi pelbagai kemungkinan estetik. Diksi-diksi Melayu Pesisir berkeliaran bebas. Menjadi panggung kekuatan dan kesegaran alat ucap tersendiri. Tatkala menulis tentang ‘Mak’ (Ibu), misalnya, penyair secara piawai berhasil menyegarkan idiom-idiom semacam ‘nyuk’ (payudara), sama anggunnya dengan ‘kisah para nabi’ dan ‘alquran’. Itulah idealisme tauhid pembebasan. Hibrida bahasa berlangsung damai, kompromistik, tanpa harus kehilangan makna, apatah lagi menabur cela.

Sukmawati Soekarnoputri –semoga Allah memaafkannya—saya kira, sebelum menulis puisi “Ibu Indonesia” yang lain, mesti belajar dulu dengan puisi Norham Abdul Wahab berikut ini:

MAK

mak sudah tak ada lagi
tapi tak juga mau pergi

bau wangi masih terhidu
omelan masih menyerbu

belaian angin, lembut di badan
senyum embun, bening di ubun

sergah, masih terdengar bunyi
berani, menjadi takut dan lari

besut lekat, bintat di kaki
nyuruh langkah nuju Ilahi

kini, mak sudah tak ada lagi
tapi, tak juga beranjak pergi

tiap pagi, mak goreng nasi
plus susu dari nyuk sendiri
pedih letih, dah tak peduli

tiap malam mak menemani
menukilkan kisah para nabi
tak berhenti, hingga mimpi

tapi, mak sudah tak ada lagi
namun, tak jua hendak pergi

celaka aku, masih seperti dulu

adzan kumandang, telinga hilang
asma senyap, tak pernah terucap

alunan alquran, tak betah di lidah
ramadhan, siang hari mengunyah

oh Tuhan, mak kasihan

MBoro, 2017

Akhirnya, sastra Riau niscaya merindukan orang-orang berkarakter, orang-orang yang mengedepankan disposisi mata hati untuk menanggapi sebuah situasi, sepelik apapun, dengan nalar dan moral. Karakter pupus, jika kemarau kebencian penyair yang gerun lekas tersulut unggun. Sibuk bertukar angan dengan angin. Khusuk mencela penyair lain. Karakter bungkang kalau dua tiga orang pengrajin kata tiba-tiba mengklaim diri sebagai arus utama. Padahal modalnya utopia senioritas belaka atau rajin melancong ke mancanegara. Karakter terpuruk andai di mata masyarakat, sastrawan hanyalah segelintir kelompok parasit yang mahir berpura-pura sakit, gemar cari perhatian, sesenggukan menghiba-hiba anggaran publik, betah menadah tangan-tangan dhuafa yang manipulatif ke lembaga-lembaga pemerintah.

Sastrawan berkarakter ialah orang-orang dengan spirit berkarya yang belum mau padam. Dan pada saat bersamaan, karya-karya tersebut berhasil menghasut sastrawan lain secara diam-diam, maupun terang-terangan, untuk sesegera mungkin melampauinya, atas nama rindu dan dendam. Daftar karakter kita tak lagi pasang naik sekarang. Figur-figurnya semakin surut dan surut. Soalnya, memang, karakter bukanlah sesuatu yang dapat kau pesan begitu saja hari ini. Ia kejernihan batin yang mesti teruji melalui sebuah pergulatan ujian kawah candradimuka. Dari masa ke masa.

Pertanyaannya, kapan kita bias menemui mereka? Bisa kapan saja! Boleh jadi, penyair berkarakter itu bersembunyi di dalam dirimu sendiri, namun kau belum sempat-sempat juga mengunjunginya. Boleh jadi juga Tuhan pernah menyimpannya di suatu tempat yang jauh. Mengetam-menokoknya terlebih dahulu dengan palu godam aneka cobaan. Kemudian, setelah selesai, menaburinya serbuk emas perada kearifan dan kebahagiaan. Dan hari ini, Tuhan kembalikan orang itu kepada kita dalam wujud seorang pria berjubah berkurtah, bersongkok, berjanggut panjang, membawa sebotol softdrik tauhid, duduk ngaso di bawah pokok karasso, pohon karakter. Namanya, Norham Abdul Wahab, tapi dia lebih suka dipanggil “Preman Simpang”.

Sambutlah!

Batam, April 2018


DI DALAM NORHAM

semalam
aku mendiami
puisi-puisi norham
dalam
suatu
dalam

ada setungku
bangku di situ
tempat dada luka
duduk cantik mendidih
leleh tak menoleh
selonjot sejuk semilir
dekat pinggir-pinggir
kolam telinga

telinga
kau
juga

ketika bersirobok
bekas nestapa
segala serigala
melayu keislamanmu,

hanya telinga
satu-satunya
yang sangat ingin
kau punya

dan di dalam norham
aku bersua telinga puisi
yang tak hendak
mengulur obat penawar

melainkan hanya
kesediaan, keikhlasan
untuk mendengar, didengar
menyimak, disimak
tanpa jarak

untuk apa nangkap rembulan
bila bahasa penyair harus
melolong terkaing-kaing
memohon dipersunting

ingin rasanya
kubantah kuenyah-enyah
sisa-sisa raksasa
dari tubuh berlumpur
keringat sejarah
tetapi, akh

tardji
tardji

mengapa dulu
kau telan sendiri
rahasia perih nyeri
menebang pohon tradisi
sedalam-dalam akar

tengoklah, maha datuk
apalagi yang tersisa
selain kutuk
kami masih dikutuk dami:
puisi indonesia tamat!

pokok yang kau kapak
belum lagi tumbuh tegak
orang-orang sudah ramai
bicara hari kiamat

rida menampung
para pemuda
meniti pancang nibung
dengan hati
setulus rose

jokowi juga
yang melengos
dengan lagak takzim
seintim maritim

tapi laut yang diam
takkan melupa ia
yang telah menulis
‘berdarah’
sejak tahun 1976

“kerang udang
teripang penyelam
kita dari luka yang sama
dari pedih yang sama”

di kedalaman norham
aku merawi
syair-syair samawi
kuharamkan diri
menjadi pandir
penyair sekadar
pesanan cinta
nawacita

hai
aku anak hidup
huruf-huruf jawi
jangan kau sorong pula
apa makna paling manusiawi
dari susunan aksara
j-o-k-o-w-i

kepada samudera
kami tahu
bagaimana caranya
berpunggun-punggung

bung,
kenali diri
niscaya kau kenal
Allah bahri

hari gini
masak kau biarkan
jiwamu tamasya
pucat pasi
dalam jebakan fiksi
rocky garung

ayo kita gergaji
nusantara
lewat tajam gurindam
raja ali haji
: kaulah pewaris sejati
anugerah bahari

bahkan misalkan kau
anak-anak nelayan
tengah mengantuk
di balik kabut

pun masih dengan mudah
bisa kau bedakan
suara gelembung
bluk bluk bluk
yang naik ke permukaan itu

apakah
dengus buruk seekor gubuk
menerkam bulan bualan
dalam angan lautan

ataukah lindur
seorang ibu
di depan ubur-ubur piatu
laut cina selatan

bahwa, demikian ia
mendongeng, api suci
hari ini
telah membakar
kapal-kapal ikan dari siam

horeee

di perbatasan,
di perbatasan
tak pernah ada
yang sungguh suci
selain beras-beras
thailand dan vietnam
yang lebih gampang
dikunyah dimakan ditelan

di dalam norham
aku masih berenang
kemudian berhenti
pada sebentang simpang
orang-orang lalu lalang
hanya dia yang kulihat
bersenang-senang

seorang preman tauhid
disangkal oleh negara
menepis duka lara
terbebas dari segala sakit

sebelum padam kalam
sebelum mata mati
tolonglah berjanji
pertemukan aku
nuju ilahi

aku
tak
tahan
lagi

2018

________
Ramon Damora, penyair dan sastrawan Indonesia. Karya puisi dan esainya tersebar di banyak buku antologi bersama dan media cetak. Tidak hanya di dalam negeri, bahkan hingga luar negeri. Buku puisinya “Benang Bekas Sungai” mendapat penghargaan 15 Buku Puisi Terbaik Indonesia, Hari Puisi Indonesia 2017. Jurnalis senior ini sekarang berkhidmat di Harian Tanjungpinang pos, Tanjungpinang, Kepulauan Rau.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.