Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Teknologi dan Hoax - Pramono Pido

Teknologi dan Hoax - Pramono Pido

oleh Pramono Pido

KAWACA.COM ~ Teknologi adalah ikon sebuah bangsa, bahkan tidak keterlaluan jika menyebut simbol kamajuan sebuah negara dapat di lihat pada banyaknya teknologi yang dimilikinya. Naskah kuno yang menjadi koleksi Kesultanan Bacan berisi tentang pelajaran agama Islam. Pada umumnya berisi tentang pelajaran fikih Islam yang biasa disebut Kitab Bajuri (Mansyur, 2007 ). Candu kepada bacaan sudah menjadi kebiasaan manusia sejak dahulu kala, bahkan tulis-menulis meski hanya berupa simbol – simbol yang kini terawetkan sebagai bukti arkeologi telah dimulai sangat jauh sebelum manuisa biasa bercakap-cakap dengan menggunakan emoji dalam layar datar piranti teknologi kekinian. Konsep pemikiran, kalimat moralis, syair-syair. Yang kini kita konsumsi adalah hasil kecemerlangan pikiran masa lampau. Tak heran jika dalam linimasa facebook, twiter, dan media percakapan lainnya. Kita disuguhi tontonan kefasihan mengucapkan pikiran para sarjana lampau tersebut.

Kita menikmati warisan intelektual yang begitu kaya dari masa silam. Dipermudah dengan perkembangan teknologi yang pesat, sehingga semua arsip pengetahuan tersebut terdokumentasi rapi dalam perpustakaan maya. segalanya nampak terkesan instan. Kita tidak perlu berfikir keras, merenungkan, kemudian merumuskan pikiran kita secara mandiri sebagai produk pengetahuan. Kita akan lebih nyaman mengamankan diri pada alrogaritma mesin pencari di internet seperti google.

Kenyamanan inilah yang membawa beberapa dilema. Orang yang merasa nyaman tentu akan enggan untuk meninggalkan comfort zone tersebut. Kesenangan pada informasi – informasi siap saji, melumpuhkan kebiasaaan membanding-bandingkan, menelusuri, mencari akar dari sebuah pemikiran. Lihat saja apa yang terjadi hari – hari ini. Negeri ini seakan di buat berantakan hanya dengan kesalahan memilah dan memilih informasi. Adagium ilmu komunikasi memang sangat manjur di terapkan di negeri ini. “Tak perlu senjata untuk menghancurkan negara ini. Cukup dengan mengacaukan arus informasi, maka dengan sendirinya negeri ini kacau dan satu sama lain saling menghancurkan.” Bahkan lebih mencengangkan lagi orang dapat menjadi siapa saja didalam pintalan cahaya dunia maya, kita akan sangat mudah menemukan filsuf, ilmuwan,agamawan serta sastrawan dalam media sosial khususnya facebook. Apa susahnya mencari sepotong kalimat plato melalui google? Tentu fenomena ini tidak untuk dikutuk, namun menimbulkan persoalan baru tersendiri jika, apa yang diungkapkan dalam dunia maya tersebut tidak dihayati, dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Kita menjadi bijaksana sebatas tampilan layar gadget.

Persentuhan masyarakat dengan teknologi adalah hal yang niscaya, kita tidak bisa melarang orang untuk jangan menggunakan teknologi, apalagi membatasi expresi yang ingin ia lakukan. Semua itu memang tujuan dibuatnya teknologi, untuk membebaskan manusia. Namun kebebasan memiliki dua makna. Pertama, kemungkinan untuk memilih, kedua, kemampuan atau hak menentukan kemauannya sendiri. Kebebasan yang seharusnya di arahkan untuk semakin mematangkan manusia justru berbalik menjadi belenggu.

Publik memberi bobot lebih pada kredensial daripada seharusnya bila seorang akademisi berpendapat di luar bidang keahliannya. Salah satu alasannya adalah kecenderungan untuk membesar-besarkan tingkat di mana manusia tertentu adalah satu kesatuan, kepribadian yang konsisten yang perilakunya mengikuti pola yang dapat diprediksi. Dia "baik" atau "buruk", "baik hati" atau "kejam," "bijak" atau "bodoh," seorang "jenius" atau “intelektual” dan sebagainya. (Sokal, 2008). Kita seolah mengkandangkan diri kita sendiri dalam informasi yang terlalu cepat diterima, tanpa sempat mengambil nafas pemikiran yang panjang untuk sekedar mengecek bagaimana informasi itu bisa disusun dan di sebarluaskan. Padahal kuriositas kita, sudah ada sejak kita masih kanak-kanak. Seorang anak yang baru menginjakan kakinya di sekolah dasar misalnya, senang sekali mempertanyakan apapun. Bahkan bila diberikan jawaban dia masih akan terus mempertanyakan kembali jawaban itu, hingga kadangkala orang tua harus menakut-nakuti untuk menghentikan hujan pertanyaan yang ia lontarkan. Namun seiring bertambahnya usia dan makin tinggi jenjang sekolah, kemampuan nalar kekanak-kanakan itu seakan menjadi lumpuh. Pertanyaan terbentur jawaban mutlak, entah karena otoritas atau kultur yang sangat feodalistik. Naluri yang sebenarya menjadi filter kita yang di sediakan secara alami oleh pencipta itu, terbengkalai. kehilangan fungsinya.

Monopoli informasi oleh satu pihak memang menimbulkan keamanan namun sering menutupi kebenaran, karena itu kecurigaan sangat diperlukan. Terlalu banyak kebenaran dipromosikan berarti ada kebohongan yang sedang disembunyikan (Gerung, 2017). Kecurigaan yang dimaksud adalah sikap kehati-hatian untuk tidak terburu-buru menyimpulkan sesuatu yang kita sendiri belum mengkonsepsikannya secara teliti. Hal ini mencegah kita untuk secepat kilat melontarkan komentar bahkan ketika informasi itu belum terbaca sepenuhnya, juga penting agar kita menjadi sangat sabar untuk langsung menilai sebuah informasi tanpa ditakar terlebih dahulu.

Denyut nadi pikiran adalah pertanyaan, tidak ada yang dapat berpikir tanpa terlebih dahulu bertanya. Bertanya adalah permulaan dari aktivitas berpikir. Hal yang seharusnya terasah dan dijaga dalam suasana sekolah. Apalagi dengan ditemukannya situs-situs tertentu yang dengan sengaja dan teroganisir menyebarkab isu – isu yang menjadi bibit kebencian dan permusuhan terhadap kelompok lain yang berbeda baik suku maupun agama. Di tengah suasan seperti itu rasanya menjadi penting untuk bertanya. Kritisisme merupakan organ vital dalam mengembang-biakan ilmu pengetahuan dan sekaligus memberi kearifan kepada kita agar tidak terhasut menilai bahkan menghakimi sesuatu sesuka hati dan semaunya saja.

Bahan Bacaan
Gerung, R. (2017, januari jum'at). Hoax dan Demokrasi . Koran Tempo .

Mansyur, S. ( 2007 ). Peninggalan Arkeologis Di Kepulauan Bacan. Kapata Arkeologi , 74-99.
Sokal, A. (2008). Beyond The Hoax . New York: Oxford University Press Inc.

________
Pramono Pido adalah Pegiat Bengkel Baca Tektonik, tinggal di Gorontalo


Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.