Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Pesan Leksikal dalam Kumpulan Cerpen Ulat Perempuan Musa Rupat Karya Norham Abdul Wahab - Roja Murtadho

Pesan Leksikal dalam Kumpulan Cerpen Ulat Perempuan Musa Rupat Karya Norham Abdul Wahab - Roja Murtadho

oleh Roja Murtadho

Akhir-akhir ini karya sastra prosa semakin menunjukkan geliatnya dengan menyuguhkan aneka ragam tema. Menjamurnya karya sastra yang berupa prosa menghiasi ruang-ruang literasi dalam jaringan (daring) seperti jamur di musim penghujan. Namun, menemukan karya yang bernas dengan mengusung tema-tema sosial- religi, alam, atau juga kemanusiaan masih sulit ditemukan. Padahal, tema-tema ini merupakan tema yang dapat dijadikan sebagai sarana pembentukan karakter dan nilai-nilai kehidupan. Karya yang berbulir dan bernas seperti padi yang siap dipanen masih butuh untuk benar-benar disaring sehingga dapat ditemukan karya yang dapat memberikan nilai-nilai kebaikan, perubahan sikap, dan tingkah laku bagi kehidupan masih harus diperjuangkan. Karya sastra pun sebaiknya dapat dijadikan sebagai media belajar sepanjang kehidupan bagi pembelajar sejati.

Ada satu gejala yang senantiasa hadir menyertai karya sastra. Gejala tersebut adalah paparan sebagai wahana penyampai pesan penuturnya. Sebab itulah tepat apa yang diungkapkan Moody, bahwa By literature we refer to constructions, or artefacts, in language (Moody, 1983: 19). Karya sastra disebut sebagai konstruksi ataupun artefak yang terwujud dalam bahasa, karena berbeda dengan paparan bahasa dalam kamus, misalnya, bahasa dan karya sastra merupakan sistem tanda yang mengemban struktur semantis tertentu sesuai dengan gagasan yang ingin dipaparkan penuturnya. Melalui paparan sistem tanda yang mengandung struktur semantis tertentu itu, lebih lanjut karya sastra membuka peluang menjalin interaksi dengan pembaca.

Komunikasi sastra atau komunikasi puitik, sebagaimana dengan bentuk komunikasi lainnya berkaitan dengan penutur, bahasa, dan penanggap.

Penutur adalah individu yang melakukan proses kreatif penciptaan. Penutur sebagai manusia yang memiliki dunia pengalaman dan pengetahuan tentang wujud dunia luar dan sosio budayanya. Penutur sebagai pengolah makna yang membuahkan konsep dan ide, yang membuahkan butir-butir proposisi sebagai pembentuk unit pesan yang akan disampaikan. Selanjutnya unit pesan tersebut dituangkan ke dalam konvensi kebahasaan dan konvensi sastra sebagai pemaparan hasil pembahasan pesan kemudian menjadi wujud karya sastra.

Bahasa sebagai fakta sosial bukan merupakan benda tertutup yang mengabdi pada struktur formalnya sendiri, melainkan merupakan gejala relasional. Sebagai gejala relasional, bahasa selain berkaitan dengan dunia acuan, bahasa juga memiliki hubungan antarkomponen tanda kebahasaan sebagai sistem juga dengan penafsiran pemakainya (Aminuddin, 1987:88-91).

Ulat Perempuan Musa Rupat (UPMR) merupakan kumpulan cerpen karya Norham Abdul Wahab dan telah tamat saya membacanya. Sebuah kumpulan cerpen yang menghadirkan kisah-kisah sederhana namun istimewa baik secara teknik pengisahan, tema, jalinan cerita, maupun leksikal dan pesan-pesan yang disampaikan.

Saya acapkali menggigil dan berdiri bulu roma ketika getar-getar pesan sampai pada tangkapan pemaknaan hati dan pikiran saya. Kisah-kisah terjalin begitu saja menusuk nilai-nilai pesan secara tajam meskipun dibalut dengan bahasa yang sederhana dan lumrah namun menancap pada titik kesadaran tertentu.

Muhammad Thobroni seorang alumni Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tinggal di Tarakan dan bekerja sebagai dosen di Universitas Borneo telah mengupas nilai-nilai yang terdapat pada buku kumpulan cerpen ini hingga nyaris tak bersisa. Di dalam ulasannya yang dimuat di Riau Post Ahad, 13 Mei 2018 dia mengatakan bahwa UPMR adalah sastra tabligh setelah sebelumnya muncul istilah sastra sufi, sastra pesantren, sastra religius, dan juga sastra profetik. Sebuah sastra tabligh yang lahir dari penziarahan panjang kehidupan bernama khuruj fi sabilillah dan pertaubatan yang melahirkan kenangan-kenangan transendental dan mendobrak menjadi sebuah transformasi tabligh. Takziayatun nafs ke dalam, sekaligus menggerakkan ke luar. Merapatkan cinta kepada wajah-Nya, sekaligus membela sepenuh ghirah jihad bersama dhu’afa: melawan tirani kapitalis yang mengangkangi pembangunan di mana-mana. Seperti cerpen Musa Rupat yang dikisahkan, dan perlu dibaca berulang-ulang dengan tunak.

Tidak berbeda dengan Muhammad Thobroni, saya juga merasakan getaran-getaran saat membaca keseluruhan cerpen, di antaranya saat membaca Ulat Al Hajjaj, Ndaru, Selepas Subuh (Ternyata, Istriku Gerwani) yang mengaduk sisi keilahiahan, ketauhidan, hubungan transendensi antara seorang hamba kepada Tuhannya seperti sedang ditusuk-tusuk.

Belum lagi kemunculan pernik-pernik kehidupan sosial masyarakat yang sering hadir sebagai sebuah ketimpangan sosial namun menjadi fakta-fakta kehidupan masyarakat sebagaimana tergambar dalam cerpen Anak Angkat dan Anak Ayam. Dua buah cerpen yang sama-sama membicarakan tentang anak. Anak adalah permata yang tak akan pernah dapat ditemukan di mana pun kita mencari kecuali atas izin dan kehendak-Nya. Di sini, kritik sosial menggeliat seperti nyala api yang membakar batin pembaca dengan kemirisan-kemirisan cerita yang tragis namun mengajarkan juga tentang sebuah hubungan dan nasab.

Cerita-cerita sederhana disajikan secara menarik dan mengharukan karena pengarang menyajikannya dengan bahasa yang terasa “pas” sehingga menyentuh perasaan pembaca dan menimbulkan efek estetis. Ke-“pas”-annya tersebut disebabkan pengarang memang pandai dalam memainkan diksi.

Membaca cerpen Ulat Al-Hajjaj saya sempat terjebak dalam keawaman saya terhadap tokoh dalam cerita. Walaupun saya memahami bahwa tokoh yang ada di dalam cerita adalah tokoh nyata dalam kehidupan. Keawaman saya untuk mendalami siapa sesungguhnya Al-Hajjaj menarik saya untuk melakukan literasi. Literasi bertubi-tubi terus saya lakukan hingga sampailah saya pada sebuah pemahaman tentangnya. Saya katakan Norham Abdul Wahab telah sukses menarik saya untuk menjadi pembelajar sejati, dari ketidaktahuan menjadi tahu sehingga mewujud adanya perubahan sikap dan tingkah laku sebagaimana semestinya substansi belajar berjalan.

Berbicara tentang Hajjaj bin Yusuf, berarti kita mengangkat pembicaraan tentang seorang pemimpin yang zalim, otoriter, dan kejam. Buku sejarah mana pun yang kita buka bila meceritakan tentang Hajjaj bin Yusuf, maka tema besar pembicaraannya serupa, semua bercerita tentang kesewenang-wenangannya sebagai seorang pemimpin. Sampai-sampai sebagian ahli sejarah menjadikan namanya sebagai sinonim kata zalim dan menjadikannya sebagai profil batas maksimal kezaliman seorang penguasa. Namun, Hajjaj juga memiliki sisi-sisi humanis dan jasa-jasa yang layak untuk diapresiasi. Ahli sejarah melulu menceritakan kejelekannya sehingga sosok Hajjaj tidak tergambar secara utuh.

Para ahli sejarah ketika membicarakan pribadi Hajjaj, ada yang mencela dan ada yang memuji dari sisi-sisi tertentu. Namun, mereka tidak berselisih bahwa Hajjaj adalah seorang pemimpin yang lebih mengedepankan cara-cara keras dan sangat mudah memerangi atau membunuh orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada pemerintah tanpa mengedepankan dialog. Namun memang, kebijakannya ini berhasil membuat keadaan wilayah pimpinannya menjadi aman, suatu pencapaian yang tidak bisa didapatkan oleh pemimpin-pemimpin daerah sebelum dirinya.

Imam Ibnu Katsir mencoba memosisikan diri di pihak yang pertengahan, beliau mengatakan, “Celaan yang terbesar yang diberikan kepada Hajjaj adalah ia seorang yang sangat mudah menumpahkan darah. Cukuplah bagi dia hukuman dari Allah karena perbuatannya ini. Di sisi lain, ia sangat bersemangat dalam berjihad dan menyebarkan Islam ke negeri-negeri lainnya, mudah berderma kepada orang-orang yang memuliakan Alquran (Ahlul Quran), ia juga banyak berjasa dalam penyebaran dan penjagaan Alquran (memberi harakat dan titik serta menjaga riwayat-riwayat bacaan Alquran di masyarakat pen.), saat wafat ia hanya meninggalkan uang sebanyak 300 dirham saja”.

Terselip kisah inilah saat saya membaca cerpen berjudul Ulat Al-Hajjaj. Di samping kisah-kisah tentang siapa sesungguhnya Al Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi saya meyakini, saat Anda membaca telaah ini terasalah ada literasi yang memang seharusnya kita lakukan. Kita menjadi memahami bahwa ada tokoh tegas yang tidak mengenal kompromi terhadap ajaran kebenaran yang menjadi begitu dogmatis. Namun, sesungguhnya terselip banyak kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan dalam membentuk tatanan kehidupan sosial dan tatanan pembangunan suatu bangsa.

Lebih lanjut membaca cerpen ini saya temukan satu pesan terselip yang entah apakah akhirnya menjadi sebuah paradoks keadaaan yang terjadi di negeri kita tercinta ini ataukah hanya merupakan kisah keadaan pada masa lampau. Di sela-sela pengaluran yang mengisahkan tentang kekejaman, kelicikan, kelihaian, ketangkasan, dan tak kenal ampun, Al-Hajjaj yang diparadokskan dengan pakaian sorban lusuh, kesedehanaan, perkataan yang lemah lembut, pengarang masih iseng menggambarkan suasana alam negeri kita, Jakarta-Indonesia.

Sebuah suasana yang digambarkan kota Jakarta masih dengan udara dan kesejukannya yang tidak dimiliki negara lain terutama negara tempat Al-Hajjaj berasal. Saya beranggapan hal kecil ini merupakan salah satu gaya pengarang untuk memberikan penjelasan secara tidak langsung kepada pembaca tentang bagaimana sesungguhnya kota Jakarta dengan gegap gempitanya yang sarat dengan polusi dan iklim yang tidak lagi sejuk. Suasana ini sebagaimana tergambar dalam nukilan berikut:

“Udaranya segar dan nyaman, ya,” ujarnya lagi. “Jauh lebih enak di sini, dibanding di negeriku. Di sini, dedaunan terus menghijau, tak peduli pada kemarau,” lanjutnya. Dia lalu menarik napas panjang, berulang-ulang. Seakan hendak mengisi seluruh paru-parunya dengan udara. Matanya yang tajam dan menikam, terpejam. Lama dia seperti itu, dan aku tak hendak mengganggu.

Ini adalah nukilan tentang latar yang sesungguhnya merupakan paradoksi keadaan lingkungan yang mewarnai cerpen. Pengarang seolah sedang berkata inilah suasana kesejukan yang pernah kita miliki dan masihkah ini menjadi milik kita di antara gedung-gedung pencakar langit dan hutan rimba yang tak lagi berpenghuni tergantikan dengan deru mesin duniawi. Agaknya inilah cara pengarang menyampaikan keadaan secara ironi.

Apakah sesungguhnya pengarang sedang mengajak kita untuk mengetahui kesejarahan, mengajak kita untuk melakukan kajian historis yang saya meyakini tidak semua di antara kita yang membaca Al-Hajjaj memahami kisah sejarahnya bahkan tidak pernah mengetahui ada seorang tokoh pemimpin yang begitu tegas tak punya ampun dalam melaksanakan tugasnya. Ataukah, sesungguhnya pengarang sedang memetaforakan sebuah kisah dalam perilaku kehidupan nyata di masa sekarang tentang kekejaman pemimpin yang tidak kenal ampun bahkan tak kenal kebenaran yang sesungguhnya. Pemimpin yang arogansi terhadap kekuasaan sehingga ulat-ulat menggerogoti hati, pikiran, bahkan perut mereka karena kezalimannya terhadap rakyat, juga kekejaman terhadap orang-orang saleh.

Lalu, dia beranjak hendak meninggalkan masjid. Namun, berbalik lagi, sembari menyerahkan secarik kertas usang kepadaku, yang diambilnya dari sebalik jubahnya yang kusam dengan tergopoh-gopoh. “Bacalah. Ini aku tulis ratusan tahun yang lalu. Simpan dia di dalam hatimu. Dan sampaikan kepada siapa saja, Al-Hajjaj masih bertuhan kepada Allah.”

Ini dia, sebait keteguhan yang sebenarnya pengarang sampaikan tentang sebuah pesan kebenaran yang terselip bahwa seorang amir, pemimpin, atau khalifah meskipun memiliki ketegasan dan dikenal kejam karena keteguhannya memegang ajaran kebenaran yang sebenar-benarnya tanpa kenal ampun sesungguhnya tetap berlandas teguh pada ketuhanan yang satu, yaitu Allah.

Kiranya temuan-temuan pertanyaan inilah yang akhirnya saya simpulkan justru menjadikan warna pesan yang bernas dalam cerpen ini. Pesan literasi, ironi, juga satir, menjadi gaya yang melengkapi karya megah ini.

Diksi atau pilihan leksikal pada cerpen ini pun sesungguhnya turut menentukan dalam penyampaian makna. Kata, rangkaian kata, pasangan kata yang dipilih dengan saksama dapat menimbulkan suatu efek yang dikehendaki pengarang pada diri pembaca, misalnya menonjolkan (fore-gounding) bagian tertentu suatu karya, menggugah simpati atau empati pembaca, ataupun menghilangkan monotomi. Efek ini telah terwujud sehingga informasi yang hendak disampaikan atau kesan yang hendak ditimbulkan tersampaikan secara mulus kepada pembaca. Semua itu tentu saja tak lepas dari pilihan diksi yang dia serangkaikan ke dalam cerita berpuisi. Berikut ini pilihan kata dalam puisi yang diselipkan ke dalam cerita ini,

Tuhanku
Musuh-musuh telah bersumpah dan memfatwakan
Bahwa aku salah satu penghuni neraka
Bersumpahkan mereka karena buta?
Apa peduliku dengan mereka!
Apa yang mereka tahu tentang luasnya keampunan Yang Maha Pengampun?
Para majikan, jika budak mereka telah tua
Di bawah perbudakan mereka
Mereka akan memerdekakannya
Suatu kemerdekaan dari orang-orang baik
Dan engkau, wahai Penciptaku
Tentu lebih pantas untuk mengingat
Benda yang telah tua dalam penghambaan
Dan benda yang akan membebaskan aku dari api neraka

Apakah puisi ini dengan kepadatan kata namun sesungguhnya luas maknanya dihadirkan tanpa maksud?

Justru saya menangkap dihadirkannya diksi-diksi padat ini justru untuk meluaskan makna dan pesan cerita ini kepada pembaca secara bebas dan mulus. Bahwa, segala perbuatan baik sekalipun dengan segala cara yang dilakukan pasti berdampak bagi kehidupan orang lain baik juga buruknya. Penyadaran diri sendiri terhadap perilaku pun pada akhirnya menimbulkan sesal diri, inilah introspeksi dan muhasabah berjalan. Sesal diri akan melahirkan pertaubatan yang kemudian mengharapkan adanya ampunan dari Sang Maha Pengampun.

Norham Abdul Wahab memang seorang yang jenius dalam menyampaikan pesan-pesan kepada pembaca bukan saja melalui rimbunan kalimat cerita namun juga menitipkan tanya yang terus dibaginya ke dalam satu rangkaian cerita. Diselipkannya bait-bait puisi di dalam cerita bukan semata untuk memperindah cerita namun justru semakin mengaduk-aduk pemahaman pembaca untuk semakin memahami siapa Al-Hajjaj. Norham cendekia memang pandai mengemas cerita di dalam cerita menjadi sebuah cerpen sejarah.

Sejarah dihadirkan bukan untuk mengajak kita berjalan mundur bukan pula untuk dilupakan. Namun, di dalam sejarah, kita dapat mempelajarinya sebagai sebuah contoh untuk menata kehidupan di masa depan.

Nama Al-Hajjaj sebagai simbol kekejaman dan dihadirkannya setitik nama yang mungkin tidak begitu berperan dalam cerita ini, yaitu Sa’id bin Jubair al-Asadi al-Kufi adalah sebagai penyempurna. Seorang tokoh yang dibunuh Al-Hajjaj yang karena dialah Al-Hajjaj sampai pada titik kesadarannya. Menelusuri serita ini membawa saya semakin menelusuri jejak sejarah Al-Hajjaj dan bagaimana Sa’id bin Jubair dengan ketenangannya dalam menghadapi kematian sebelum dipenggal algojo atas perintah Al-Hajjaj.

Norham Abdul Wahab secara tidak langsung mengajak kita untuk menelusuri jejak sejarah, jejak para tabi’in dengan caranya bercerita dan semoga kita dapat memetik hikmah cerita di dalam cerita ini sebagai kekayaan diri kita. Di samping pesan-pesan yang pekat dapat kita temukan dalam kumpulan cerpen Ulat Perempuan Musa Rupat ini, kita pun menemukan beragam gaya penceritaan.

Pemanfaatan bahasa daerah pun sering digunakan dalam cerpennya untuk menimbulkan efek nyata dan pemanfaatan pendukung latar tempat daerah tokoh-tokohnya juga latar daerah asal tokoh. Sebagai contoh, dalam cerpen Ulat Tokak. Saya tidak menemukan latar tempat pada cerpen ini secara tersurat, namun dari dialek leksikal yang dipergunakan dan pemilihan panggilan dalam cerita ini saya berusaha menyimpulkannya. Kata tokak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah borok. Jika latar tempat dan latar budaya yang ingin digambarkan adalah latar tempat dan budaya jawa, saya yakin yang dipilih secara leksikal adalah kata borok. Karena kata borok adalah kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa daerah Jawa dan telah menjadi bahasa informal. Bagi orang yang mengerti maknanya, penggunaan kata borok lebih memberikan kesan akrab daripada padanannya, yaitu tokak. Namun, untuk memperkuat latar tempat dan budaya yang ingin disiratkan justru pengarang lebih memilih kata tokak dalam cerpen. Kata tokak adalah murni berasal dari bahasa Melayu. Melayu identik dengan khas dialek bahasa Sumatera baik dari Aceh, Medan, Padang, Riau, Palembang, hingga Lampung.

Dialek ini semakin dikentalkan dengan penggunaan kata wak sebagai sebutan panggilan kepada seseorang. Wak berasal dari kata Uwak yang dalam bahasa Jawa bisaanya digunakan nama panggilan Pak De untuk menyebutkan paman/bibi yang usianya lebih tua dari ayah/ibu kita baik ada hubungan keluarga maupun hubungan strata sosial saja. Sedangkan masyarakat Sulawesi bisaa dengan sebuatan Uwa’ atau bahkan puang.

Pada cerpen Bersalin Tiko pun pengarang memanfaatkan dialog dalam bahasa daerah Riau untuk memperkuat latar tempat dan karakteristik tokoh yang dimainkan.

“Bang Ideeerrr... Bang Ideeerrr... Bang Iderrrr...,” teriak seorang anak laki-laki, keras. Kidir terkejut dibuatnya. Ketika itu, Kidir dan beberapa orang sedang sibuk bekerja di tambak udang yang mereka rancang. “Kak Iyah, bang... Kak Iyah tekapo kat umah mak abang,” ujar anak itu, menegaskan, dengan napas tak beraturan.

Lafal Melayu Riau tak jauh berbeda dengan Melayu pada umumnya yang bisaa melafalkan huruf i dengan huruf e sebagaimana terjadi dalam dialog berikut “Bang Ideeerrr... Bang Ideeerrr... Bang Iderrrr...,” teriak seorang anak laki-laki, keras. Digunakannya huruf e bukan i pada nama Kidir adalah sebagaimana masyarakat Riau melafalkannya dalam percakapan sehari-hari. Pelafalan ini pun mempertegas kemelayuan dan kehidupan masyarakat kampung tempat tinggal Kidir yang dilanjutkan dengan dialog asli Riau “Kak Iyah, bang... Kak Iyah tekapo kat umah mak abang,”.

Pemakaian nama Ndaru pada nama Darussalam dalam cerpen yang berjudul Ndaru pun turut melengkapi kekhasan dan penanda ciri daerah dan latar tempat serta latar budaya yang digambarkan dalam cerpen. Ndaru juga mengumandangkan tentang kesejarahan teradakannya masjid di New Yorkyakarta International Airport (NYIA). Bagaimana masjid yang sebelumnya dirancang sebagai bangunan kecil yang melengkapi bandara Yogyakarta menjadi bangunan megah dan besar serta memiliki keharuman digambarkan secara mengharukan dalam cerita. Pembaca seperti diajak berhenti berdegub sejenak karena keharuannya, airmata mengembang, juga meremang bulu roma karena ghirah yang dimiliki seorang hamba yang digambarkan dalam karakteristik Ndaru.

Pemilihan kata ulat dalam dua judul cerpen pada kumpulan cerpen ini memiliki beberapa penafsiran. Ulat dapat memberikan motivasi yang begitu besar jika kita mau melepaskan diri dari pandangan negatif terhadap binatang satu ini sebagai binatang yang menjijikkan dan tinggal di tempat yang buruk dan busuk. Binatang yang pekerjaannya hanya makan dan tak berhenti memakan daun-daun atau apa saja yang dia sukai di sekitar dia hidup. Bahkan tak ada dalam pikiran ulat bahwa apa saja yang dia makan tanpa sela pun membutuhkan hidup. Tak heran jika manusia membencinya, tak heran jika manusia sering pula jijik melihat bagaimana ulat hidup.

Setiap orang yang ditanya perihal ulat pasti memberikan deskripsi kesal, jijik, juga geli. Namun, bila ditanyakan perihal kupu-kupu pastilah akan mengatakan bahwa kupu-kupu adalah binatang yang sangat cantik dan terlupa bahwa daur hidup kupu-kupu pernah mengalami fase sebagai ulat yang sebenarnya sama rakus dan sama menjijikkan sebagaimana ulat lainnya. Demikianlah fase kehidupan manusia yang berputar dan berkembang tidak selalu mulus menjadi manusia yang hebat, baik, menakjubkan, istimewa, dan luar bisaa namun ada kalanya fase kehidupan membawa manusia dalam jelaga kenistaan, kejahatan, dan keburukan. Demikian pula, ulat-ulat merupa manusia di sekeliling kita yang terus tumbuh dan entah apakah suatu saat berubah menjadi kupu-kupu cantik ataukah mengalami kematian sebelum sempat menjadi kupu-kupu karena usia merupakan rahasia Tuhan.

Demikianlah akhirnya saya mencoba untuk melipat uraian panjang ini sebagai dedahan dari sehimpun cerpen karya Norham Abdul Wahab sebagai kumpulan cerita yang menakjubkan baik secara isi leksikal maupun pesan-pesan yang disampaikan. Tak ada kalimat negatif yang ingin saya sampaikan untuk menyatakan titik-titik kelemahan cerita ini karena tak ada gading yang tak retak. Namun, hadirnya telaah ini saya berharap semakin menumbuhkan semangat baru dalam menulis, membangunkan kembali ghirah sastra yang bukan hanya sebagai sarana penyampai keindahan namun sastra hadir sebagai sarana dakwah yang humanis, lembut, dan memikat untuk dinikmati dan dipetik manfaatnya. Harapan ini bukan semata tertuju kepada pengaran UPMR namun juga kepada pembaca, baik pembaca UPMR maupun pembaca telaah ini. Mari merangkai hidup dengan nilai-nilai keindahan dan kelembutan hati demi mencapai tatanan kehidupan yang humanis dan harmonis dalam keberagaman sebagai rahmat.

Salam sastra dan salam literasi

________
Baca juga: Buku: Ulat Perempuan Musa Rupat karya Norham Abdul Wahab

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.