Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Trotoar (Tidak Lagi) Milik Pejalan Kaki - Athok Mahfud

Trotoar (Tidak Lagi) Milik Pejalan Kaki - Athok Mahfud

Oleh Athok Mahfud
Mahasiswa jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang. Aktivis Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Idea UIN Walisongo Semarang, Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Semarang, dan Pegiat komunitas literasi Memo Semarang Community.

          Trotoar mempunyai peran penting bagi masyarakat, terutama para pejalan kaki. Dalam UU No. 22 tahun 2009 pasal 131 ayat 1 tentang lalu lintas dan angkutan jalan disebutkan bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain. Dalam konteks ini, trotoar menjadi hak pejalan kaki yang berfungsi sebagai jalur berjalan untuk menjamin keamanan dan kenyamaan mereka.
          Meskipun hak pejalan kaki dan fungsi trotoar sudah diatur, tapi realitanya tidak sedikian rupa. Ketika berada di jalanan kota, kita pasti sering melihat pedagang kaki lima (PKL) yang memenuhi trotoar. PKL yang mewarnai sepanjang jalan di perkotaan pun dirasa mengganggu keamanan dan kenyamanan pejalan kaki. Selain itu, hak pejalan kaki juga seakan-akan dirampas oleh para PKL. 
          Fenomena seperti itu sering dijumpai di kota-kota besar di Indonesia. Misal saja di Kota Jakarta. Trotoar di kawasan Tanah Abang, Jatinegara, dan Kota Tua seolah menjadi lapangan kerja bagi PKL. Sebagian PKL bahkan juga ada yang memakan badan jalan. Lebih parahnya lagi, pemerintah justru melegalkan penyalahgunaan trotoar tersebut.
          Selain PKL, pengendara bermotor juga menjadi perampas hak-hak pejalan kaki yang berupa trotoar, zebra cross, dan fasilitas lain. Sering kali pengendara bermotor melanggar aturan dengan melintas di trotoar untuk mengatasi kemacetan. Padahal, hal itu sangat berbahaya dan mengancam keselamatan pejalan kaki.
          Kasus penyalahgunaan fungsi trotoar pun tak sedikit memakan korban. Berdasarkan data dari World Health Organization, kematian akibat kecelakaan lalu lintas yang dialami pejalan kaki menempati persentase sebesar 27%. Sementara di Indonesia, angka kecelakaan dengan korban pejalan kaki menurutnya juga memiliki persentase yang cukup tinggi, yaitu 21% pada tahun 2010. Dan pada tahun 2013 mencapai presentase 30% dari 3.675 kasus kecelakaan di Indonesia. 
          Penyalahgunaan fungsi trotoar oleh PKL dan pengendara bermotor sangatlah merugikan banyak pihak. Bagaimana tidak, selain melanggar hukum dan membahayakan pejalan kaki, kasus tersebut dinilai mengakibatkan ketimpangan sosial. Para pejalan kaki yang mempunyai kuasa penuh atas trotoar menjadi terasingkan. Di samping itu, berbagai event dan kegiatan sosial kemasyarakatan juga terganggu dengan keberadaan PKL dan kenakalan pengendara bermotor.

Mengembalikan Hak Pejalan Kaki

          Jika dianalisis, ada beberapa kemungkinan yang melatarbelakangi terjadinya fenomena tersebut. Pertama, kondisi ekonomi PKL yang memaksanya untuk berjualan di sepanjang trotoar pinggir jalan. Kedua, mindset PKL yang merasa bahwa trotoar merupakan tempat yang strategis untuk memasarkan barang dagangannya agar cepat laku. Ketiga, kemacetan lalu lintas juga menjadi kunci utama pengendara bermotor yang melintas di trotoar. Terlebih lagi, kurangnya kesadaran semua pihak menjadi sebab terjadinya ketimpangan sosial tersebut. 
          Eksistensi trotoar bagi pejalan kaki harus segera dikembalikan. Langkah pertama yang dapat dilakukan yaitu sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat. Kebijakan pemerintah dan jajaran kepolisian lalu lintas dalam menertibkan trotoar juga sangat perlu. Dalam hal ini, pemerintah bisa menyediakan tempat tersendiri bagi PKL untuk berjualan. Sementara jajaran kepolisian lalu lintas harus siap siaga memantau jalanan agar tidak ada pengendara bermotor yang melanggar aturan lagi. 
          Selain itu, para perampas trotoar harus segera dibasmi. Kita harus berkaca pada UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 275 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi rambu lalu lintas dan fasilitas pejalan kaki akan dipidana penjara paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000. Maka dari itu, pemerintah dan jajaran kepolisian lalu lintas diharapkan bisa menindak tegas kasus tersebut.

Belajar dari Luar
          Nasib trotoar dan pejalan kaki di Indonesia sangat berbeda dengan kota-kota besar di luar negeri. Di London, Tokyo, New York, Paris, Roma dan lainnya, fenomena seperti di Indonesia ini tidak ada. Meskipun di kota-kota tersebut ramai, pejalan kaki tetap dimanjakan serta diberikan keleluasaan dalam berjalan guna menciptakan ketertiban umum. Bahkan, tatanan trotoar yang rapi dan bersih menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat.
          Jika kita membandingkannya dengan Indonesia, hal itu sangatlah jauh. Namun kita pelu belajar dan mencontoh dari kota-kota besar dunia tersebut. Kita harus bisa memaksimalkan hak pejalan kaki dan fungsi trotoar. Sebagai warga negara yang baik, kita juga harus mematuhi hukum dan peraturan yang sudah berlaku. Bukankah hukum dibuat semata-mata untuk menertibkan keadaan sosial?
          Meskipun terlihat sepele, penyalahgunaan fungsi trotoar menjadi masalah serius yang dihadapi negeri ini. Pejalan kaki tentu juga ingin menikmati trotoar dengan aman dan nyaman. Kita sebagai masyarakat Indonesia harus bekerja sama dalam mengatasi ketimpangan sosial tersebut. Jika masalah sepele saja tidak bisa diselesaikan, bagaimana mungkin negara ini bisa maju?

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.