Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Para Pemenang Anugerah Hari Puisi Indonesia 2018 dan Alasannya

Para Pemenang Anugerah Hari Puisi Indonesia 2018 dan Alasannya

Para Pemenang Anugerah Hari Puisi Indonesia 2018 dan Alasannya



Inilah Para Pemenang Anugerah Hari Puisi Indonesia 2018 dalam dua kategori:

Lima Buku Puisi Pilihan:

1.      Damiri Mahmud. Halakah Panggang. Medan: Obelia Publisher, 2018.
2.      Fakhrunnas MA Jabbar. Air Mata Batu. Yogyakarta: Basa Basi, 2017.
3.      Iman Budhi Santosa. Belajar Membaca Peta Buta. Yogyakarta: Interlude, 2018.
4.      Sosiawan Leak. Sajak Hoax
5.      Warih Wisatsana. Kota Kita. Denpasar: Yayasan Sahaja Sehati, 2018

Satu Buku Puisi Terbaik:

1. Dheni Kurnia. Bunatin. Jakarta: Mata Aksara, 2018.

Penentuan pemenang tersebut, menurut Dewan Juri yang terdiri dari Abdul Hadi WM (Ketua merangkap Anggota), Sutardji Calzoum Bachri (Anggota), dan Maman S. Mahayana (Anggota) dalam Pertanggungjawaban Juri Sayembara Buku Puisi HPI 2018 adalah berdasarkan Kriteria Penilaian sebagai berikut:

Secara keseluruhan buku puisi yang mengikuti Sayembara Buku Puisi Anugerah Hari Puisi Indonesia menunjukkan kesungguhan penyairnya dalam mendesain, menyusun, dan menampilkan karyanya. Secara fisik, hampir semua buku puisi itu tidak mengesankan asal terbit atau sekadar tampil sebagai buku puisi. Dalam konteks ini, ada kesadaran dalam diri para penyairnya sendiri, bahwa buku puisinya merupakan anak kandung kreativitasnya yang mesti tampil meyakinkan: judul, pilihan huruf, desain cover, ilustrasi, penataan atau susunan puisi, dan segala ihwal bentuk fisik, sangat menarik. Jadi ada keseriusan penyair dalam proses penerbitan buku puisinya.

Meskipun demikian, titik tekan penilaian Sayembara Buku Puisi Anugerah Hari Puisi Indonesia adalah puisinya itu sendiri, tidak di luar perkara itu. Maka, objek penilaian yang utama adalah keseluruhan puisi yang terhimpun dalam buku sebagai satu kesatuan. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan dengan menggunakan kriteria atau parameter sebagaimana yang sudah disinggung di atas, penilaian dilakukan dengan memusatkan perhatian pada aspek kesatuan tematik, keterpaduan, dan kekuatan stilistika. Apakah ketiga aspek untuk memperlihatkan capaian estetik? Jawaban pertanyaan itulah yang coba dicari dewan juri dalam Sayembara Buku Puisi Anugerah Hari Puisi Indonesia.

Berikut disampaikan ketiga aspek yang muaranya jatuh pada capaian estetik.

Pertama, secara tematik puisi-puisi yang terhimpun menunjukkan satu wacana tertentu yang disampaikan dengan kesadaran pada konsep estetik. Jadi, buku puisi itu tidak cuma berisi sekumpulan puisi dengan berbagai tema dan cara pengucapannya, melainkan hadirnya sebuah wacana –atau tema besar—yang disampaikan dengan estetika puisi yang menggunakan media bahasa. Eksplorasi pada kekuatan bahasa yang kemudian menghasilkan metafora, paradoks, atau sarana puitik lainnya merupakan hal yang penting dalam penciptaan puisi. Dengan demikian, eksplorasi bahasa itu dapat mengangkat sebuah kata, atau kalimat, atau ungkapan dengan berbagai kekayaan maknanya. 

Kedua, kriteria lainnya yang menjadi dasar penilaian menyangkut keberkaitan dan keutuhan buku puisi itu dalam menyampaikan tema-tema puisinya. Bisa saja buku itu menghimpun berbagai tema, tetapi semuanya diikat oleh benang merah yang menghubungkan tema puisi yang satu dengan tema puisi yang lainnya. Jadi, meskipun tema yang diangkat berbagai-bagai, keseluruhannya membangun kepaduan atau koherensi. Adanya keberkaitan dan keutuhan itulah yang memungkinkan tema apa pun yang diangkat dalam sebuah buku puisi, ia tetap akan hadir sebagai totalitas, sebagai keseluruhan. Dengan begitu, buku puisi itu tidak hanya menunjukkan kekayaan tematik yang diangkat berdasarkan pengalaman sosial atau spiritual penyairnya, tetapi sekaligus juga menunjukkan kepiawaian penyairnya dalam memanfaatkan dan mengelola berbagai bahan itu menjadi puisi yang sebaik-baiknya puisi.

Ketiga, gaya pengucapan atau style dalam sebuah buku puisi sebenarnya merupakan ekspresi dan representasi kematangan estetik yang ditumpahkan penyair dari suatu fase proses kreatif kepenyairannya. Dalam fase tertentu, mungkin penyair gegar pada peristiwa bencana alam mahadahsyat yang tanpa disadarinya menggiring kegelisahannya untuk menumpahkannya dalam bentuk puisi. Tentu stylenya akan berbeda ketika penyair itu berhadapan kehidupan serbatenang manakala ia merenung di hutan atau di pesawahan. Mungkin juga ada kegelisahan masa lalu atas puaknya sendiri, masyarakat sekelilingnya atau bangsanya. Begitulah, kemampuan gaya pengucapan dan kekayaan style seorang penyair dapat terlihat sebagai sebuah fase proses kreatif yang sekian lama mengendap sebagai kegelisahan penyair. Style ini pada akhirnya akan menjadi kekhasan, gaya stilistika yang menjadi trade mark, ciri khas, karakteristik penyair yang bersangkutan. Kekhasan karakteristik itu biasa nempel begitu saja pada para penyair yang sudah matang. Mereka sudah teruji melalui pengalaman jam terbangnya yang sekian lama dan sudah malang-melintang dalam perjalanan kepenyairannya. Mereka tidak perlu lagi mencari-cari bentuk. 

Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, dewan juri memilih dan menetapkan lima Buku Puisi Pilihan Anugerah Hari Puisi Indonesia berikut ini (disusun secara alfabetis berdasarkan nama penyairnya).

1. Damiri Mahmud, Halakah Panggang, Medan: Obelia Publisher, Juli 2018, xi + 95 halaman.

2. Fakhrunnas MA Jabbar, Air Mata Batu, Yogyakarta: Basa Basi, Oktober 2017, 164 halaman.

3. Iman Budhi Santosa, Belajar Membaca Peta Buta, Yogyakarta: Interlude, Agustus 2018, vii + 79 halaman.

4. Sosiawan Leak, Sajak Hoax, Yogyakarta: Elmatera, Februari 2018, viii + 177 halaman.

5. Warih Wisatsana, Kota Kita, Denpasar: Yayasan Sehati, Agustus 2018, 116 halaman.

Secara umum kelima buku puisi tersebut di atas menegaskan kemampuan penyairnya dalam mengolah dunia persekitaran tentang perikehidupan dan fenomena sosial, pergerakan dan perkembangan budaya, sejarah dan tradisi masa lalu sebagai sumber inspirasi. Jadi, puisi yang dihadirkan para penyair itu, tidaklah datang dari kekosongan, juga tidak perlu jauh-jauh mengambil inspirasi dari dunia di entah-berantah. Kehidupan masyarakat di sekeliling, sejarah masa lalu, bahasa yang berkeliaran di hadapan, masa kanak-kanak, pengalaman perjalanan, atau apa pun adalah bahan dan sumber puisi. Persoalannya tinggal, bagaimana semua bahan yang bertebaran itu diolah, dikemas, dan disajikan kembali dalam serangkaian puisi yang menjelmakan sebuah wacana tertentu.

Kekuatan lain yang menonjol dari kelima buku puisi itu adalah kemampuan merevitalisasi tradisi budaya masa lalu. Petatah-petitih, peribahasa atau ungkapan-ungkapan yang hidup di masyarakat adalah model ekspresi yang dalam genggaman kreativitas penyair, jadi terasa lebih segar dan kontekstual. Sesungguhnya cara demikian merupakan bagian dari penggalian kekuatan dan kekayaan bahasa. Jadi, ada semacam pergerakan metamorfosis bahasa yang melahirkan bentuk lain yang lebih kreatif. Kosa kata masa lalu, idiom yang sudah terkubur lama atau bahasa sehari-hari yang muncul dari kalangan rakyat biasa, pedagang di pasar atau orang-orang pinggiran adalah juga bagian dari kekayaan bahasa kita. Ketika kata-kata itu dilesapkan secara tepat dalam larik-larik puisi, mereka seperti hidup kembali dengan ruh baru. Begitulah, kemampuan untuk menghidupkan kembali itu hanya mungkin dapat dilakukan oleh penyair yang punya kesadaran untuk mengeksplorasi potensi bahasa.

Tentu saja uraian selintasan ini belum mengungkapkan banyak hal atas kekuatan dan kedalaman makna yang terkandung dalam kelima buku puisi itu. Meski demikian, setidak-tidaknya, uraian ringkas ini dapat digunakan sebagai sinyal dasar argumen pertanggungjawaban dewan juri. 

Akhirnya, sampai juga pertanggungjawaban dewan juri pada Buku Puisi Terbaik Anugerah Hari Puisi Indonesia 2018 yang jatuh pada karya Dheni Kurnia berjudul Bunatin (Jakarta: Mata Aksara, Agustus 2018, xxx + 206 halaman).

Bunatin tampil sebagai antologi puisi yang menegaskan bahwa puisi kerap memancarkan mukjizatnya. Kehadirannya sebagai buku yang menghimpun sejumlah puisi tidak datang dari ruang kosong, melainkan melalui proses panjang kegelisahan penyairnya tentang masa lalu, tradisi, dan kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkannya. Ia menjadi sumber, sekaligus muara ketika masa lalu dengan segala tradisi dan kebudayaannya itu dimaknai dalam konteks masa kini. Dan puisi yang menjadi alat ucapnya seperti aliran sungai yang bercabang-cabang, tetapi datang dari satu sumber mata air, lalu berlabuh pada satu muara. Maka, dalam perspektif masa kini, Bunatin sebagai simbol masa lalu yang terus berkelindan dalam proses perjalanan kehidupan penyair, bisa hadir menyusup sebagai realitas sosial, melayang-layang sebagai bayangan, atau wujud sebagai harapan yang tak kesampaian.

Kelebihan dan kekuatan antologi itu, tidak berhenti pada kemampuan penyair mengangkat dan menerjemahkan sensasi masa lalu atau usaha menggali dasar kehidupan tempat penyair berasal, melainkan pada keterampilannya mengeksploitasi kekayaan khazanah seni bahasa dalam tradisi lisan menjadi puisi yang sesuai dengan tuntutan zaman. Permainan sarana puitik dalam antologi Bunatin ini, tidak hanya menjadi sumber kekuatan dan kedalaman puisi-puisi Dheni, melainkan juga menegaskan kecerdasan penyairnya dalam memperkaya daya ucap perpuisian Indonesia. Mantra, syair, pantun, bidal, petatah-petitih, dan segala bentuk ekspresi dalam tradisi lisan, menjelma puisi yang menawarkan pemerkayaan bahasa Indonesia.

Ada sedikitnya tiga hal yang boleh dikatakan sebagai sumbangan penting antologi ini, yaitu: (1) Revitalisasi tradisi sebagai sumber kekayaan sastra dan bahasa Indonesia. Lewat antologi itu, sastra (: puisi) Indonesia seperti diingatkan kembali pada kekayaan masa lalunya. Mengingat medium puisi tidak lain adalah bahasa (Indonesia), maka antologi ini laksana menegaskan kembali kualitas bahasa (Indonesia) yang pada dasarnya inklusif, luwes, dan lentur. (2) Eksploitasi bahasa yang hidup di masyarakat masa lalu penyair, berhasil dilesapkan dalam ekspresi puisi yang mengangkat problem masyarakat masa kini. Ia tidak wujud sebagai tempelan, melainkan sebagai kekhasan stilistika yang membangun kekayaan sarana puitik menjadi lebih berbagai. Sebagai sebuah totalitas, antologi puisi ini dapat dimasuki lewat segala arah. (3) Kemampuan menghadirkan dimensi waktu yang berkaitan dengan ruh budaya sebagai permainan tematik, sehingga menjadi sebuah wacana kultural.

Meski uraian ini terlalu ringkas, setidak-tidaknya ia dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan pilihan dewan juri menempatkan antologi puisi Bunatin sebagai Buku Puisi Terbaik Anugerah Hari Puisi Indonesia 2018.

Bagaimanapun, keputusan dewan juri tentulah tidak dapat memuaskan semua pihak. Apalagi dalam perkara puisi yang di sana terbuka peluang menghadirkan tafsir lain dengan penilaian yang juga akan lain. Meskipun demikian, pilihan dewan juri tidaklah bertumpu pada subjektivitas. Ada alat ukur yang digunakan. Ada kriteria penilaian yang mendasarinya. Oleh karena itu, apa pun hasilnya, sikap dewan juri dalam memutuskan dan menetapkan pemenang Sayembara Buku Puisi Yayasan Hari Puisi 2018 ini, semata-mata berdasarkan penilaian objektif.

Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan sayembara buku puisi atau buku sastra pada umumnya, hanya Sayembara Buku Puisi Yayasan Hari Puisi yang menyampaikan pertanggungjawabannya.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.