Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Malaikat Tak Bersayap - Levina Thirza Cahyani

Malaikat Tak Bersayap - Levina Thirza Cahyani

oleh Levina Thirza Cahyani 

Hening. 
Itulah yang sedang dirasakan siswa-siswi SMA Pelita Indah. Bagaimana tidak?upacara sedang berlangsung tiba-tiba seorang perempuan dengan rambut di ikal dengan nametag Zahra Amanda berbuat ulah yang membuat para guru menggeleng-gelengkan kepalanya . Banyak orang yang menyebut Zahra dengan julukan mulut mercon. Ya, memang benar. Selain badannya yang mungil, namun suaranya tak perlu diragukan lagi. Hancur sudah telinga kalian jika mendengarnya. Mulut pedasnya membuat teman-temannya ingin sekali membeli mulutnya dengan beberapa lembar uang berwarna merah. Zahra masih duduk dibangku kelas XI IPS 1, namun tingkat keberaniannya membentak kakak kelas yang belum sekali ia kenal patut diacungi jempol. Dengan langkah terburu-buru Zahra berhenti di depan salah satu siswa kelas XII IPA 2, Raka. Raka Zeidan, namanya. Berbadan tegap, memiliki lesung pipit di pipi kanan-nya, berkulit putih layaknya butiran salju membuat siapa saja akan tunduk memuja-muja ingin menjadi kekasihnya. Gadis-gadis bodoh, pikir Zahra.
“Woy, lo kan udah gue suruh baris agak geser sedikit. Punya telinga gak sih lo?” teriak Zahra. Namun yang diteriakinya hanya memasang tampang polos tak berdosa dan melempar senyum smirk milik cowok tersebut. Menyeramkan. Sungguh menyeramkan.
Siapapun tolong hamba dari makhluk seperti ini, hamba mohon… ,  ucap Zahra dalam hati. Ingatannya tentang kosa kata yang tak boleh ia lupakan yakni ‘harus berani kalo lo gak ngelakuin kesalahan!’. Memori tersebut kembali terngiang-ngiang di pikirannya. Memori tentang Dika, mantan kekasih Zahra. 

“Emm…maaf kak nggak bermaksud gitu eh anu biasanya kan yang di sebelah kanan barisan kelas ku itu XI IPS 2, tapi sekarang tiba-tiba kok jadi kelas ka-” ucapan Zahra terpotong saat Pak Bandi berteriak di samping Zahra dan juga Raka.  “Ada apa kalian?kamu juga Zahra, apa kamu tidak bosan terus-terusan berbuat ulah???saya rasa cukup pertengkaran kalian. Bapak beri hukuman pada kalian. Bersihkan koridor sekolah dari Lap Ipa sampai Lab Bahasa!Kalian mengerti?” .  Raka hanya menganggukkan kepala sedangkan Zahra sibuk menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal. Zahra merasa bersalah. Dia tidak seharusnya berbuat seperti itu. Zahra harus minta maaf. Harus.
***
Selepas upacara, Raka dan Zahra mengerjakan tugasnya membersihkan sepanjang koridor sekolah. Sekitar 20 menit mereka sudah menyelesaikan tugasnya. Dengan langkah gontai Zahra mengikuti langkah Raka yang temponya semakin lama semakin cepat. Tiba-tiba banyak bintang yang melintasi kepala Zahra. Brukk. Zahra pingsan. Untung saja Raka dengan sigap menahan berat badan Zahra agar tidak terjatuh. Raka membawa adek kelas itu ke UKS. Dengan bantuan beberapa anggota PMR Zahra langsung diberi pertolongan.
Raka terpaksa tidak mengikuti pelajaran pertamanya karena ia tidak tega jika harus meninggalkan gadis itu sendirian. 

“Gue ada dimana?” samar-samar terdengar suara gadis itu. Gadis itu sudah siuman.
“Lo ada di UKS. Tadi lo pingsan habis bersihin koridor. Oh ya nama lo siapa?” tanya Raka.  “Gue Zahra Amanda. Panggil aja Zahra. By the way maafin gue ya yang marahin lo tadi. Sampai-sampai lo tadi kena hukuman. ” Raka hanya memberi satu kali anggukan.  “Lo disuruh pulang sama Pak Bandi. Apa perlu lo gue anterin? Ucap Raka dengan menaikkan alisnya.  “Apa gak ngerepotin?” tanya Zahra balik .  “Gak. ” Ucapnya singkat. Lalu keluar dari UKS dan memberi isyarat agar Zahra mengikutnya. Dasar cowok tidak peka. Masa gue ditinggalin. Sabar Ya Rabb, mungkin itu jodoh gue, Zahra senyum-senyum sendiri setelah menucapkan kalimat tersebut. 

Zahra POV
Setelah mengantarku, Raka langsung berpamitan pulang dan dia berkata pelan bahwa besok pagi dia akan menjemputku untuk pergi ke sekolah. Gue gak salah denger kan?.  Besoknya gue bangun pagi dan bersiap-siap menunggu jemputan Raka. Oh ya, Kak Raka tidak suka kalau aku memanggilnya dengan embel-embel kak. Jadi aku menuruti saja apa katanya. Mamaku terus saja menanyakan siapa yang sedang ku tunggu. Aku hanya mengedikkan bahuku saja supaya mama tidak terus-terusan melempar seribu pertanyaan dengan soal yang sama. Membosankan. 

15 menit sudah aku menunggu, akhirnya Raka datang dengan motor sport miliknya. Aku dan Raka berpamitan pada mamaku. Setelah itu Raka menancapkan gas nya menuju sekolah. Sesampainya kita di sekolah banyak sekali murid-murid yang riuh membicarakan kita berdua. Aku hanya menundukkan kepala. Sedangkan Raka justru memegang tangan kiriku seolah-olah memberi kekuatan yang luar biasa. Aku hanya tersenyum kikuk. Setidaknya ada balasan walau tanpa kata. Raka tidak lupa juga mengantarkanku ke kelasku. Dia hanya melambaikan tangannya dan kubalas dengan anggukan. Aku melakukan aktivitas belajar seperti biasanya. Tapi hari ini guru-guru sedang ada rapat. Aku dan sahabatku dari orok, Rara pergi ke kantin untuk sekedar meresfresh otak. Tanpa sengaja mataku bertemu dengan pemilik mata elang. Itu Raka. Dia tersenyum ke arahku. Lalu menghampiriku dan berkata bahwa aku harus pulang bersamanya. Dasar pemaksa. 

Bel pulang sekolah berbunyi. Raka sudah menungguku di depan kelas. Dia berjalan duluan. Aku hanya mampu menghela nafas. Sudah biasa ditinggal sama tuh si es. Eitss, tunggu. Ini bukan arah pulang ke rumahku. Aku bertanya padanya. Namun dia hanya diam. Tak butuh waktu lama, kita sudah sampai di bukit dekat rumah milik Raka, katanya. Pukul 17. 15 kita berdua duduk sambil menikmati udara segar dengan warna langit yang mulai berubah agak kegelapan. Senja mulai datang. Kita saling bercerita. Sampai waktunya Raka menyuruhku menatap matanya lekat-lekat. Dia mengambil nafas lalu perlahan menghembusknnya.  “Gue sadar gue baru kenal sama lo. Lo juga baru kenal sama gue kan?Pertama gue kenal sama lo gue benci banget sama lo. Lama kelamaan gue pikir-pikir benci lama-lama itu gak baik kan?maka dari itu gue mulai coba akrabin diri gue ke elo. Dan. . gue lama-lama jadi nyaman sama lo. Mulut mercon, lo mau gak jadi cewek gue?”. Deg. Rasanya jantungku berdetak sepuluh kali lipat lebih cepat dari biasanya.  “A-apa, jadi cewek lo?” ucapku terbata-bata. Dia mengangguk. Inginku teriak, Ya Tuhan. Aku menyeka air mata yang hendak lolos. Dengan cekatan aku menghapusnya. Aku mengangguk antusias sebagai jawabanku atas pertanyaannya. Kita berdua sekarang resmi berpacaran. Mungkin kalian menganggap konyol status kita. Apalagi usiaku yang baru menginjak 16 tahun dan Dia berusia 17 tahun. Dua hari lagi dia akan bertambah usia menjadi 18 tahun. Pukul 17. 30 semesta membuatku bahagia;atas izin Tuhan. 

Raka mengantarku pulang. Sebelum Raka kembali ke rumahnya ia sempat berkata sok puitis padaku. Hingga malam ini perkataannya masih terniang-ngiang di pikiranku.
Malam ini menjadi saksi. Bahwa aku mulai mencintaimu, tanpa syarat. 

Raka POV
Seperti biasanya aku menjemput Zahra pergi bersama ke sekolah. Sesampainya di sekolah guru-guru menatapku aneh. Aku mengalungkan lengan kananku di bahunya. Dia mengernyitkan dahi. Aku hanya tersenyum simpul. Aku mengantarkan Zahra ke kelasnya. Beberapa adek kelas tersenyum padaku. Ada juga yang tersenyum sinis. Dia Dika.
***
Setelah pelajaran berakhir aku dan Zahra menuju parkiran. Aku mulai menancapkan gasku. Zahra hanya sekedar berpegangan pada sisi kanan dan kiri jok ku. Namun tiba-tiba di sisi lain ada motor dengam pemilik berjaket hitam dengan helm fullface  melaju dengan cepat.
*Brukkkk*

Dia sengaja. Aku yakin itu. Aku terlupa akan satu hal. Zahra tergeletak di tengah jalan dengan darah segar yang bercucuran menutupi wajah cantiknya. Aku berteriak meminta pertolongan. Aku dan Zahra berada diantara kerumunan warga. Warga dengan cepat membawa Zahra ke rumah sakit terdekat. Sementara aku mencoba berdiri dengan kaki kanan terangkat ke atas. Aku berjalan dibantu dengan salah satu warga lalu bergegas menuju ke rumah sakit tersebut. Aku terus memanjatkan do’a supaya Zahra diberikan keselamatan. Aku berjalan mondar-mandir memainkan jari-jariku. Aku mencoba menghubungi keluarga dan sahabat Zahra. Sekarang keluarga, tak lupa Rara juga sedang berada di depan pintu UGD. Mereka semua bertanya padaku mengapa semua bisa terjadi. Aku menceritakan semuanya tanpa terkecuali. Lalu dokter laki-laki keluar dengan masker berada di bawah dagunya, memberi akses untuk berbicara. Dokter tersebut mengatakan bahwa Zahra mengalami pendarahan yang hebat di sekitar kepalanya. Dokter meminta agar ada yang segera mendonorkan darahnya. Setelah di cek dokter ternyata golongan darah Zahra AB. Keluarganya sibuk bertanya-tanya apakah ada orang yang golongan darahnya sama dengan putri semata wayangnya itu. Mamanya menangis sesenggukkan di pelukan papanya. Aku mencoba menenangkan. Namun na’as tanganku ditepis secara kasar oleh papanya. Tiba-tiba aku mengingat sesuatu. Golongan darahku juga AB, bukan?. Aku langsung menuju ke ruang dokter dan menyuruhnya untuk memeriksa golongan darahku. Dan untung saja golongan darahku dan milik Zahra sama. Tapi dokter berkata bahwa tidak butuh sedikit darah untuk menyelamatkan gadis itu. Katanya juga, jika tidak segera diberi pertolongan Zahra akan mengalami gagar otak ataupun amnesia. Tunggu, apa amnesia?dia akan melupakanku dan juga kenanganku bersamanya?belum lagi nanti ia tidak ingat siapa keluarganya, juga sahabatnya. Itu sangat berat. Aku berkata pada dokter bahwa aku siap diambil darahku sebanyak apapun asalkan gadisku bisa selamat. Dokter membawaku ke ruang khusus. Dokter mulai mengambil darahku. Sakit, sedikit. Tapi lebih sakit lagi jika melihat dia terluka. Setelah itu aku kembali menemui keluarganya. Dokter tersebut berkata bahwa putrinya sudah mendapat donor dari seseorang. Dokter menunjuk ke arahku. Papanya bertanya pada dokter apa diriku yang mendonorkan darahnya. Dokter itu mengangguk mantap. Papanya langsung memelukku dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Tidak lupa juga ia meminta maaf padaku. 

Dokter bilang Zahra sudah siuman. Aku langsung menuju ruang rawat inapnya dimana ia telah dipindahkan. Aku melangkah menuju ranjang Zahra. Zahra tiba-tiba menangis. Aku bingung lalu kutanyakan padanya. Hal apa yang membuatnya menangis. Ternyata ia bilang bahwa dia merepotkan untukku. Aku tersenyum, lalu berkata bahwa dia tidak merepotkanku malahan aku senang sudah menolongnya. Melihat kembali senyumannya. Lalu dia menanyakan bagaimana bisa ia dibawa kesini. Aku terpaksa menceritakan semuanya mulai dari ciri-ciri orang yang menabrak sampai para warga yang menolongnya. Zahra bilang sepertinya dia mengenal orang yang menabraknya. Oh ya, kata dokter Zahra besok sudah boleh pulang.
***

Sudah seminggu  Zahra tidak masuk sekolah. Sekarang Zahra memaksa Raka untuk menjemputnya. Zahra ingin sekolah. Zahra rindu teman-temannya. Akhirnya Raka menuju rumah Zahra. 

Sesampainya di sekolah, Zahra berpamitan pada Raka bahwa Zahra harus segera masuk ke kelas karena belum mengerjakan tugas. Raka tau Zahra berbohong. Tapi tetap saja Raka memberikan izin karna Raka tau adanya kepercayaan dalam sebuah hubungan sangatlah penting. Di kelasnya, Zahra langsung menuju meja Dika dan menarik tangan Dika supaya mengikutinya. Dengan tempo nafas tak beraturan, kini Dika mulai meminta penjelasan pada Zahra. Zahra membentak-membentak Dika dan berkata bahwa Dika lah yang sengaja menabraknya. Dika menjadi salah tingkah tak tau harus menjawab apa. Zahra mengancam Dika supaya mau mengaku. Akhirnya yang diharapkan terjadi juga. Dika mengaku bahwa ia yang telah sengaja menabrak Zahra. Dengan alasan cemburu. Tapi Dika buru-buru minta maaf, mungkin ia takut jika Zahra tidak mau lagi berteman dengannya. Zahra tetaplah Zahra. Tidak semudah itu memafkan seseorang yang sudah melakukan kesalahan fatal. Tanpa sengaja, Raka mendengar pembicaraan mereka. Raut wajah Dika mendadak menjadi pucat pasi. Raka menambah langkahnya menghampiri Zahra dan Dika. Namun di luar dugaan mereka berdua. Raka hanya sekedar menepuk-nepuk bahu Dika dan berkata bahwa kesalahannya tak boleh diulang lagi. Raka juga berkata bahwa ia sudah memaafkan Dika. Raka menyuruh Zahra memaafkan kesalahan Dika. Zahra mendengus sebal, lalu berkata pada Dika bahwa Zahra sudah memaafkannya. Waktu Zahra sama Raka membalikkan badan, Raka sempat berbisik pada Dika ‘Dia malaikat kecilku, jangan coba-coba menyentuhnya. Atau kau akan ku jadikan sayur kol hari itu juga!’ dengan tawa khasnya. Zahra masih bisa mendengarnya. Lalu Raka berlari menghampiri Zahra dan mengajakku kembali ke kelas. Sebelum Zahra kembali ke kelas, ia sempat berbisik pada telinga kiri Raka. Sedikit menjinjitkan kaki karena postur tubuhnya yang kurang memadai. Zahra pun mengatakan ‘Kamu malaikat tanpa sayapku. Yang menjagaku dengan apa yang orang lain belum pernah lakukan kepdaku, kecuali mama dan papaku. Sekali lagi, kamu malaikatku!’.  Setelah mengucapkan itu, Zahra bergegas masuk ke kelas karena ia sangat malu. Dari kejauhan Zahra melihat bahwa Raka menggoda Zahra dengan mencoba menautkan ibu jari dengan telunjuknya.  ‘Sarangheo’ artinya. Di dalam kelas, Zahra berteriak sekencang mungkin. Teman-temannya ikut merasakan kebahagiaan Zahra. Rara menghampiri Zahra dan berkata “Cinta boleh, bucin jangan” . Semua seisi kelas XI IPS 1 tertawa kencang mendengarnya. Zahra pun memasang ekspresi malu-malu. Biasanya juga malu-maluin. Jangan sia-siakan orang yang tulus kepadamu, 
Tak banyak orang yang beruntung,
Kecuali kamu.


___
Levina Thirza Cahyani lahir di Sidoarjo, 5 Maret 2004.  Dia sedang duduk di SMP Negeri 4 dan tinggal di Panggreman Lapangan, Kota Mojokerto, Jawa Timur.

-Instagram : @levina_thirza
-Wattpad    : levina_thirza
-E-mail        : levinathirza199@gmail. com

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.