Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang karya Rida K Liamsi

Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang karya Rida K Liamsi

Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang
(Sebuah Novel Sejarah)
RIDA K LIAMSI

Kata Pengantar: Taufik Ikram Jamil (Ketika Antar Waktu Dirapat dan Direkat*)
Desain Cover: Furqon Elwe
Tata Letak: Rudi Yulisman
Cetakan Pertama: Februari 2019
Diterbitkan pertama kali oleh:
TareBooks(Taretan Sedaya International)
Jalan Jaya 25, Kenanga IV, Cengkareng, Jakarta Barat11730
+62 811 1986 73
tarebooks@gmail.com
www.tarebooks.com

xix + 250 hlm. – 14,8x21 cm
ISBN: 978-602-5819-17-9
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
All Right Reserved
________

“Hai Raja Bugis,
jikalau sungguh tuan hamba berani,
tutupkanlah aib Beta anak beranak,
adik beradik!
Maka apabila tertutup aib beta semua,
Maka relalah beta menjadi hamba raja Bugis.
Jika hendak disuruh jadi penanak nasi raja sekalipun
relalah beta”

(Tuhfat al-Nafis, Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, ed Virginia Matheson, h:60)

CATATAN PENULIS

Sejarah Kerajaan Riau-Lingga yang eksis di kawasan Kepulauan Riau selama 190 tahun (1722-1912) hakikatnya adalah tentang eksistensi (keberadaan) persekutuan politik antara Melayu dan Bugis. Eksistensi persemendaan antara puak Melayu dan puak Bugis melalui perkawinan politik. Eksistensi tentang pertarungan moral obligasi antara Melayu dan Bugis melalui kesepakatan politik yang dinamakan “Sumpah Setia Melayu-Bugis Wusta al-Qubra”. Namun dari manakah kisah itu bermula?

Ketika saya menulis novel Megat (2016) yang berlatar belakang sejarah Kerajaan Johor-Pahang-Riau, saya melakukan sejumlah riset yang sebagian besar berupa riset pustaka. Hampir lima tahun saya membaca, mencatat, dan menyimpan semua jejak penting, peristiwa dan tokoh-tokoh sejarah kerajaan Melayu, sejak kerajaan Bintan (abad 12) sampai Kerajaan Riau-Lingga (abad 20). Dari riset itulah, saya malah tidak menulis novel Megat, tetapi lebih dahulu menulis karya fiksi sejarah, yaitu Prasasti Bukit Siguntang dan Badai Politik di Kemaharajaan Melayu, 1160-1946 yang terbit tahun 2015. Setahun kemudian novel Megat baru selesai dan terbit.

Setelah itu, saya kembali menulis fiksi sejarah Mahmud Sang Pembangkang (2017) sebagai pengembangan dari riset panjang tersebut. Sebenarnya masih banyak bahan, catatan, dan temuan menarik lain yang saya simpan dari riset tersebut untuk kelak saya olah mejadi buku. Semua itu merupakan upaya kreatif dalam “memanfaatkan bahan dan bermain dengan bahan” kalau meminjam istilah Hasan Junus, (HJ) budayawan Melayu yang tersohor itu. Seperti halnya buku ini, meski ditulis dari hasil riset, hakikatnya tetap sebuah fiksi; fiksi sejarah.

Untuk sejumlah karya fiksi saya yang berlatar sejarah, saya selalu menyebutnya sebagai narrative history (cerita sejarah), atau kadang saya sebut dengan singkatan Ce-reka Sejarah. Cereka berarti ‘cerita rekaan’ atau fiksi dengan bahan baku sejarah. Jadi, hasilnya bukanlah karya buku sejarah murni (nonfiksi), melainkan karya yang lebih cair, lebih populer, dan tidak terlalu banyak dihuni dan dibebani catatan kaki. Namun, seperti karya-karya ilmiah populer lainnya, semua data tetap mengacu pada daftar pustaka di akhir buku. Cereka Sejarah saya ini sebenarnya juga adalah sebuah novel, yakni Novel sejarah, di mana plot dan alurnya lebih berat pada perjalanan peristiwa daripada eksplorasi watak dan karakter tokoh sebagai pelaku sejarahnya.

Cereka ini, termasuk cereka sejarah ini adalah semacam upaya untuk mendekatkan sejarah pada khalayak muda, agar mereka menyukai sejarah, dan keluar dari kejenuhan teks yang sesak dan penuh catatan kaki.

Buku ini walau disebut karya fiksi (cerita rekaan), tetapi karena ditulis dengan latar belakang peristiwa sejarah, hasil riset dari berbagai sumber sejarah yang pantas dan patut dikutip, maka diupayakan secara maksimal untuk dekat dan berdasarkan peristiwa dan catatan sejarah yang ada dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral.

Bukankah pada akhirnya kita sepakat, tidak ada karya yang dihasilkan tanpa berlatar jejak dan peristiwa sejarah? Bukankah pada hakikatnya perjalanan hidup kita ini yang selalu menjadi latar penulisan karya, baik puisi, maupun prosa adalah juga jejak sejarah? Sejarah kehidupan, sejarah pertarungan nasib kita, manusia yang mengemban amanatnya sebagai khalifah di muka bumi. Makhluk sosial yang bertanggung jawab terhadap setiap langkah, setiap jejak yang dia buat, dan yang dia tinggalkan. Bukankah semua kita nanti pada akhirnya akan dihisab di hadapan Yang Maha Kuasa atas semua, karena hidup kita itu?

Tentu saja sebagai karya fiksi, kadar kebenaran sejarah di dalamnya sulit diterima oleh kalangan sejarawan sebagai fakta sejarah. Namun hal itu bisa dimengerti, karena karya sastra berlatar sejarah, seperti Salalatus Salatinkarya Tun Seri Lanang, atau Tuhfat al-Nafis karya Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, atau Silsilah Melayu Bugis, Syair Pahang, Syair Sultan Mahmud, dan karya sastra lainnya itu, baru puluhan tahun sesudahnya diakui sebagai karya sejarah. Fakta-fakta serta peristiwa yang tercatat di dalamnya dijadikan sumber sejarah.

Hal tersebut di atas, senada dengan apa yang dikatakan Prof. Abdullah Zakaria Ghazali, sejarawan Malaysia dalam kata pengantarnya untuk buku sejarah Pemerintahan Kerajaan Johor 1618-1862 karya Mardiana Nordin: “..., banyak pihak mulai menerima karya-karya ini (Tuhfat al-Nafis, dll manuskrip- pen) sebagai sumber sejarah. Ini karena sebagian besar fakta –fakta di dalam manuskrip tersebut sukar dinafikan apabila ujud persamaan dengan sumber-sumber lain yang lebih diyakini, seperti laporan-laporan dan rekod-rekod penjajah, tulisan-tulisan warga negara asing yang berkunjung dan juga bukti-bukti arkeologi. Malahan kehadiran fakta yang sama di beberapa buah manuskrip yang lahir hampir sezaman membuktikan kesahihan sejarahnya.”

Dengan membaca secara cermat dengan melakukan penelitian silang, maka sebuah karya fiksi sejarah akan sangat berharga sebagai sumber sejarah, seperti buku-buku sejarah murni lainnya. Kehadiran buku tersebut akan memperkaya khazanah buku bacaan yang berlatar dan berkadar kesejarahan. Bisa jadi, buku tersebut akan lebih mudah diterima oleh pembaca dari kalangan muda. Apalagi jika buku-buku tersebut dikemas dalam bentuk karya sastra, seperti novel, roman, cerpen, dan bahkan puisi sekalipun.

Kita tahu, kini banyak film, dan cerita drama televisi pun, akan menjadi sumber informasi kesejarahan yang tidak kalah pentingnya. Begitu juga dengan media sosial dengan beragam tampilan dan aplikasinya, sudah menjadi media baca, media tonton, dan media sebar berbagai cerita berlatar sejarah, sebagai produknya. Fenomena tersebut merupakan sarana yang efektif untuk mendekatkan generasi muda pada pengetahuan sejarah, bahkan mencintainya. Kita –tua atau muda- sebagaimana seruan Bung Karno; Jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah). Bangsa yang tidak belajar secara arif dari sejarahnya, kata sejarawan Susanto Zuhdi, akan jadi bangsa yang kalah, kehilangan etos, dan jati dirinya.

Demikianlah, buku ini, Cereka sejarah ini, saya beri judul: Selak Bidai, Lepak Subang Tun Irang. Sebuah buku yang saya tulis dengan menggali sisi-sisi historis yang menarik yang bermula dari sepotong teks dalam Tuhfat al-Nafis (h 60): “Kemudian Tengku Tengah (Tun Irang, pen) pun berdiri di pintu selasar, membuka (menyelak-pen) bidai, melepak subang di telinganya, sambil dia berkata; “Hai raja Bugis, jikalau sungguh tuan hamba berani, tutupkanlah aib beta anak beranak, adik beradik. Maka, apabila tertutup aib beta semua, maka relalah beta menjadi hamba raja Bugis. Jika hendak disuruh jadi penanak nasi raja sekalipun, relalah beta!”

Kalimat puitis tersebut, bahkan dapat disusun menjadi puisi yang diucapkan oleh seorang perempuan bangsawan, dan dihadapkan pada para lelaki pendekar yang sedang dalam pengembaraan mereka, alangkah dahsyatnya! Apalagi setelah itu, cerita-cerita tentang proses perjuangan menutup aib itu memang terjadi dalam bentuk perang dan pertarungan, serta intrik politik. Kita bisa membayangkan, menafsir ulang, serta merekonstruksi kembali proses dan romantisme para perempuan bangsawan dan para pendekar itu, menjadi romansa para penanak nasi anak-anak raja Bugis sebagaimana diceritakan dalam Tuhfat al-Nafis. Semua terjadi sebagai jejak dan perjalanan sejarah yang sangat menarik. Sejarah yang mewarnai keberadaan kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang selama 190 tahun dengan segala dampak dan konsekuensi politisnya.

Apa yang menarik dari sejarah tersebut? Sisi romantis itulah menariknya. Keberanian seorang perempuan bangsawan -yang merefleksikan dendam dan marah- itulah yang kemudian saya coba dedahkan setelah dijahit dan dimozaik ulang meski dengan sumber-sumber yang terbatas. Namun itulah hakikat sisi awal dari persebatian Melayu-Bugis di kerajaan Melayu Johor-Riau-Pahang. Awal dari perbancuhan dan pertembungan budaya kedua suku bangsa yang membangun kekuatan politik bersama melalui perkawinan dan sumpah setia politik.

Memang, kisah persebatian dan persemedaan ini bukan hal yang baru, karena itu selalu ada di mana pun, sebagai ragam dan garam sejarah dalam politik kaum mana pun. Akan tetapi, persebatian antara pihak Melayu dan Bugis di kawasan semenanjung ini merupakan ujud yang unik. Ujud yang dibingkai kesepakatan moral luhur dan dianggap “sakti” dalam sebuah sumpah setia, yakni kesepakatan dan kekuatan kata-kata. Konon, siapa yang melanggarnya akan menerima konsekuensi dan bala dari pengkhianatan itu. Sumpah setia Melayu-Bugis yang diikrarkan tahun 1722 mendapat perlakuan dan rasa hormat yang sama dengan Prasasti Bukit Siguntang, yaitu sumpah setia antara Demang Lebar Daun dengan Sang Sapurba dalam legenda Melayu sebagai sumber penulisan sejarah tempatan, seperti dalam Salalatus Salatin.

Akhirnya, inilah buku Cereka sejarah saya yang keempat setelah “Bulang Cahaya, Megat, dan Mahmud Sang Pembangkang”. Untuk itu saya ingin berterima kasih pada semua teman yang telah menyediakan dan meminjamkan bahan bacaan dan pustaka, khususnya kepada Aswandi Syahri, sejarawan Kepri yang begitu sabar, dan telaten menyimpan bahan-bahan dan manuskrip lama tentang perjalanan sejarah Kerajaan Riau-Lingga, sehingga dapat menjadi sumber rujukan dan informasi kesejarahan yang penting di kawasan ini. Namun, sekali lagi, karya ini adalah fiksi, fiksi sejarah.

Mudah-mudahan buku ini berguna. Kepada Allah saya mohon ampun, kepada Muhammad saya sampaikan salam, dan kepada semua pihak yang bersangkut paut, saya minta maaf atas semua kelemahan dan kekurangan buku ini.

Tanjungpinang, 2018


Salam Takzim
Rida K Liamsi


DAFTAR ISI

§ CATATAN PENULIS |7
§ PENGANTAR |15
§ PROLOG: SURAT-SURAT MUSIM DINGIN |31
§ BAB I: LUKA CINTA TUN IRANG |43
§ BAB II: MIMPI DAENG MANAMBUN |75
§ BAB III: RANJANG PENGANTIN TUN IRANG |104
§ BAB IV: PELURU DI DADA DAENG PARANI, LUKA DI HATI TUN IRANG |127
§ BAB V: PERTARUNGAN DUA CUCU |152
§ BAB VI: JEJAK TUN IRANG DAN TAHUN PENUH SESAL |175
§ BAB VII: ANDAIKATA DI PULAU BASING |202
§ EPILOG: “ALEA JACTA EST,“ KATA TUN IRANG |223
§ DAFTAR PUSTAKA |246
§ TENTANG PENULIS |248

___________

Tentang Penulis

Rida K Liamsi lahir 17 Juli 1943 di Lingga, Kepulauan Riau dengan nama asli Ismail Kadir. Rida telah menulis buku sejarah: Prasasti Bukit Siguntang dan Badai Politik di Kemaharajaan Melayu, 1164-1946 (2015), serta sejumlah makalah, seperti: “Nara Singa II, Sultan Inderagiri dan Perannya dalam Sejarah Kemaharajaan Melayu” (2016). Rida juga telah menulis berbagai novel berlatar sejarah: Bulang Cahaya (2007), Megat (2016), Mahmud Sang Pembangkang (2017), dan Selak Bidai, Lepak Subang Tun Irang (2019). Sementara itu, buku puisi tunggalnya yang telah beredar adalah Tempuling (2003), Perjalanan Kelekatu (2012), Rose (dwi bahasa: Indonesia-Inggris, 2013) yang memenangkan Anugerah Buku Puisi Terbaik Pilihan Badan Bahasa 2018, dan Secangkir Kopi Sekanak (2017).

Atas dedikasinya terhadap sejarah dan kebudayaan, Rida mendapat anugerah sebagai Anggota Kehormatan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), dan memperoleh gelar kehormatan Datuk Seri Lela Budaya dari Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR). Rida tercatat sebagai salah satu pendiri sekaligus pembina Yayasan Sagang (Pekanbaru), Yayasan Jembia Emas (Tanjungpinang), dan Yayasan Hari Puisi (Jakarta).

Rida kini tinggal di Tanjungpinang, Kepri, dan menjadi penanggung jawab sejumlah media daring sastra dan budaya.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.