Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Memperteguh Identitas Bangsa Indonesia - Mabda Dzikara

Memperteguh Identitas Bangsa Indonesia - Mabda Dzikara

MEMPERTEGUH IDENTITAS BANGSA INDONESIA
Oleh Mabda Dzikara
Memperteguh Identitas Bangsa Indonesia - Mabda Dzikara



“Ada saatnya dalam kehidupan engkau ingin sendiri saja bersama angin menceritakan segala rahasia, lalu meneteskan air mata.”
Ir. Soekarno


Agama 

KAWACA.COM | Melihat Indonesia dalam berbagai perspektif, tentunya tidak lepas dari peran agama yang melekat kuat sejak lama. Meminjam istilah Gus Dur, agama sebagai sebuah nilai transenden telah menjadi identitas dalam ‘bernegara-bangsa’. Misalnya, kita lihat pada sila pertama Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 

Dalam ruang lingkupnya yang luas, agama juga tidak hanya menjadi asas sekaligus basis kehidupan masyarakat Indonesia sejak awal, tapi juga menjadi karakter alami di mana etika dan spiritualitas dijunjung tinggi yang berpadu dengan ‘budaya ketimuran. Keluhuran ajaran yang terkandung dalam agama merupakan bagian tak terpisahkan dari peradaban dan kebudayaan indonesia. 

Indonesia memiliki pengalaman panjang sebagai sebuah tempat pertemuan sejumlah (pemeluk) agama. Lepas dari  konflik dan perdamaian dalam beragama, setidaknya pengalaman tersebut  menjadi sebuah proses dalam pembentukan jati diri Indonesia secara komunal. 

Jati diri tersebut berkaitan dengan  bagaimana toleransi masyarakat menyikapi keberagaman (dalam) beragama. Kalaupun kerap ada ‘konflik agama’ yang terjadi di masyarakat ‘akar rumput’, itu hanya sebuah dinamika yang normal. Terkadang  penyebabnya hanyalah tentang informasi ‘tidak lengkap’ yang diterima antara pemeluk agama, atau bisa juga sebab ‘desain politik’ suatu pihak dengan tujuan tertentu. Selain ada unsur ‘pembiaran’, konflik yang terjadi, kadang juga berkaitan dengan politik ‘pengalihan isu’.

Namun, kita juga tidak bisa menutup mata ketika melihat Indonesia saat ini. kita seperti berada di ‘gerbang kekhawatiran’ dengan perkembangan ideologi ekstrem yang disebarkan kaum ‘agamis-fundamentalisme radikal’. Tidak bisa dihindari, fakta dan fenomena ini menciptakan stigma negatif di mata internasional dan mencederai identitas Indonesia yang sesungguhnya; toleran dan humanis. 

Sampai hari ini, tidak ada ‘diagnosa’ yang final; kenapa ideologi ekstrem tersebut bisa berkembang di masyarakat Indonesia yang mencintai perdamaian. Namun, ada beberapa faktor yang ditengarai menjadi alasan utama. Faktor yang tidak hanya soal ‘cara beragama’, tetapi juga berkaitan dengan ‘uang’. Sehingga hal ini begitu sulit dihentikan atau dikembalikan pada kesadaran semula; Bhineka Tungga Ika. Selain itu, juga berhubungan dengan sikap aparatur pemerintah yang ambivalen, bertindak repsesif dan ‘berat sebelah’ ketika menangi masalah ini. 

Ekonomi

“Kehidupan dunia ini dikendalikan oleh dua kekuatan besar; ekonomi dan keimanan (agama). Hanya saja kekuatan ekonomi lebih kuat pengaruhnya dari pada agama.” Bermula dari ucapan Alfred Masrhal ini, kita tidak pernah kehilangan harapan untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang sejahtera. Tentu hal ini bergantung pada konsep ekonomi negara yang mapan. 

Bagaimana meningkatkan taraf kelayakan hidup masyarakat yang berdampak pada daya saing dalam segala bidang; Bagaimana membantu memenuhi kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan) masyarakat kelas menengah ke bawah sebab berkaitan dengan memberantas kebodohan dan melawan ketertinggalan; Bagaimana membenahi sarana prasarana ekonomi yang berdampak pada terciptanya peluang dan lapangan kerja yang luas. Daftar pertanyaan di atas sudah sepantasnya menjadi prioritas pemerintah, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Bukan sesuatu yang baru jika kita katakan bahwa beberapa dekade belakangan ini disparitas pembangunan nasional melahirkan kesejahteraan yang tidak seimbang, khusus di daerah pelosok. Pada masa Joko Widodo saat ini, pembangunan daerah sebagai upaya pemerataan kembali digalakkan. Gerakan ini tentu menciptakan optimisme poros perekonomian lintas daerah semakin bergairah, sehingga kesenjangan ekonomi yang menciptakan kecemburuan sosial bisa dihindari. 

Identitas dan kebijakan perekonomian Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari sejarahnya: prakolonial sampai pasca demokrasi. Di dunia, paling tidak ada tiga model ekonomi yang biasa dipakai sebagai sistem standar: Sosialis, Kapitalis dan Ekonomi Syariah. Di Indonesia sendiri, masih menjadi perdebatan model ekonomi yang dipakai, serba tidak jelas untuk memberi sebuah penamaan. Sehingga muncul sejumlah istilah ekonomi yang dipakai Indonesia: “ekonomi kerakyatan”, “ekonomi percobaan” dan “ekonomi abu-abu”.

Politik

Tujuan luhur terbentuknya Indonesia sebagai negara bangsa adalah persatuan seluruh seluruh elemen (ras, etnik, agama, dll) tanpa ada batas dan kelas dengan slogan: “berbeda, tapi bersama”. Namun, kadang tujuan tersebut menjadi utopis ketika kita melihat kenyataan  Indonesia hari ini. Harapan untuk bersatu dalam satu tujuan seringkali tidak bisa dicapai. Semua seperti terkotak-kotak dalam ‘ego etnosentrisme’ yang justru menciptakan celah perpecahan dan permusuhan. Masalah klasik disintegrasi NKRI kembali muncul kepermukaan, baik secara alami ataupun disengaja. 

Pada prosesnya, Indonesia tidak tercipta sebagaimana Tuhan menciptakan dunia dengan berkata; Kun Fayakun! Indonesia lahir dari narasi sejarah dan perjuangan yang panjang. Sebagai sebuah anak narasi, itulah kenapa Indonesia sampai hari ini tidak bisa jauh dari kompromisasi berbagai kepentingan dan ideologi dari waktu ke waktu. Sehingga dinamika dan dialektika politik yang harusnya berdaulat sebagaimana cita-cita Soekarno, seperti ‘dua kusir pedati yang berdebat’ dengan pengetuan dan kebenaran yang mereka yakini masing-masing. 

Kedaulatan sebuah negara tidak hanya terletak pada persoalan ‘batas wilayah’ atapun stabilitas pertahanan, namun lebih kepada kewibawaan negara di mata rakyat dan dunia  dalam mengelola sumber daya alam dan mengatasi berbagai masalah yang terjadi di tingkat nasional maupun internasional, khususnya politik dan hukum.

Bagi Ibnu Taimiyah, Politik adalah cara, bukan sebuah tujuan. Itu sebabnya SIMPOSIUM INTERNASIONAL “Mempertegas Identitas Indonesia di Mata Dunia” Persatuan Pelajar Indonesia se-Dunia (PPID), Kairo 2016 mengangkat wacana ini sebagai salah satu topik. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengenal perpolitikan Indonesia dari sisi sejarah, perkembangan dan posisinya di dunia hari ini. Selebihnya adalah mengaitkan antara kedaulatan bangsa dan konsep negara bangsa dalam  dimensi ontologis-teoritis sampai wilayah praksisnya.

Pendidikan dan Budaya

Salah satu fungsi pendidikan adalah bagaimana melestarikan kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya. Upaya ini punya kaitan erat dengan peran lembaga pendidikan formal dan non formal sebagai tempat proses belajar mengajar dan pembentukan karakter sebuah generasi. 

Sistem pendidikan formal yang tidak dibarengi dengan struktur lingkungan dan tradisi yang kuat, akan menghasilkan generasi prematur yang tidak berkarakter unggul. Begitu juga sebaliknya, keluhuran tradisi dari sebuah bangsa tidak akan bisa berlanjut secara berkesinambungan ketika hal itu tidak dibarengi dengan sistem dan metode pendidikan yang ‘tepat guna’. 

Pendidikan menjadi proses awal penanaman karakter dan identitas kebangsaan yang luhur. Proses ini adalah tahapan pertama bagi sebuah generasi untuk mengenal karakter kebangsaannya sebagai tempat di mana mereka berproses untuk menjadi manusia yang berguna.

Pendidikan ideal mempunyai integrasi antara antara metode ajar dengan kurikulum yang mengakomodir nilai budaya dan tradisi. Bagaimanapun, metodologi dan kurikulum pendidikan yang diadopsi sebuah bangsa akan berpengaruh pada karakter, kebudayaan, paradigma bangsa ke arah yang lebih baik atau sebaliknya.

Tantangan pendidikan di Indonesia bukan hanya soal metode ajar dan kurikulum semata, tetapi juga bagaimana  akses informasi dan kemajuan teknologi yang begitu cepat dan tidak terbendung berdampak pada perubahan karakter sebuah generasi Begitupun poros gerak media yang lebih mengedepankan ‘selera pasar’ seringkali membuat proses pembentukan karakter di lembaga pendidikan menjadi sia-sia, apalagi ketika kita ingat bahwa; "Pendidikan adalah tiket ke masa depan, " kata Malik El-Zhabazz.

***
Demikian!

Mesir, 11 Januari 2016


___
Mabda Dzikara, lahir di Jakarta 18 Juni 1987, lelaki yang dikenal dengan “Panglima Batavia” ini  sempat menjabat sebagai Ketua III PCINU Mesir saat menjadi mahasiswa. Kini dia tinggal di Indonesia sebagai dai muda milenial dan sedang menyelesaikan program masternya di UIN Syarif Hidatullah Jakarta.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.