Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Kesederhanaan Yang Mewah - Weni Suryandari

Kesederhanaan Yang Mewah - Weni Suryandari

Kesederhanaan Yang Mewah
oleh Weni Suryandari


Kesederhanaan Yang Mewah - Weni Suryandari

KAWACA.COM | Karya sastra -misalnya puisi- sangat dipengaruhi oleh unsur sejarah, kebudayaan, serta sosial-politik di mana penyair tinggal. Pengaruh tersebut umumnya tercermin dari tema dan bahasa yang digunakan. Dalam istilah Barthes dan Kristeva adalah “penggunaan bahasa yang khas dan mengandung efek estetik”. Di mana penyair memilih kata-kata yang tepat, seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain dalam hubungan dan susunan yang sebaik-baiknya. Dalam konteks ini, tidak terkecuali Dedy Tri Riyadi, penyair yang sudah lama malang melintang di jagad sastra Indonesia. Barangkali masyarakat sastra mengenal nama Dedy pertama kali dari koran, puisi-puisinya kerap dimuat Kompas, Tempo dan lainnya. Terlepas dari perdebatan sastra koran dan selera redaktur sastra, bagi saya puisi-puisi Dedy menarik ketika merujuk pada puisi yang baik memiliki tiga komponen utama seperti imaji, keintiman batin, dan kedalaman makna.

Buku yang sedang Anda pegang ini adalah kumpulan puisinya yang keempat: Pengungsian Suara. Berisi puisi-puisi yang dia tulis dalam rentang waktu yang cukup baru, 2014 sampai 2016. Membaca, menilai dan memilih puisi untuk dijadikan satu buku yang mewakili kepenyairan Dedy yang utuh tentu bukan pekerjaan yang mudah. Hampir semua puisi-puisi Dedy begitu kuat dalam tema dan bahasa yang digunakan. Sebagai teman dan pembaca yang dipercaya memilih puisi-puisinya yang tersebar di sejumlah media, pertimbangan -untuk tidak saya sebut pendekatan- yang saya pakai adalah mengutamakan puisi-puisinya yang mengandung perenungan batin yang intens dan dalam atas kejadian sehari-hari yang dia lihat, dengar dan rasakan (lideras) serta tidak berbau asmara sekecil apapun.

Meski terkesan sederhana, puisi-puisi Dedy tidak bisa dikatakan sederhana. Dengan kata lain, puisi-puisi Dedy merupakan kesederhanaan yang tidak sederhana atau meminjam istilah Sofyan RH. Zaid adalah “kesederhanaan yang mewah”. Dedy bukan tipe penyair yang suka berakrobat kata-kata atau bermewah-mewah dengan majas. Pemilihan tema, diksi, penggunaan majas, metrum dan runtutan imaji dalam setiap larik terasa pas, sehingga melahirkan kesan yang unik. Membaca puisi Dedy seperti sedang menyanyikan hymne: berirama dan berayun, namun tetap konstan dalam ketenangan. Misalnya pada bait puisi “Upaya Berjalan di Atas Perut”:

Aku lupakan lagi Babilonia,
dan kembali ke Tursina.
Peradaban tidak hanya Mesopotamia
dan Mesir Kuna.

Puisinya di atas menunjukkan betapa Dedy menguasai pengetahuan atas peradaban dan kebudayaan, di mana kondisi, letak geografis serta segala peristiwa yang terjadi di dalamnya. Data pengetuan yang dia olah secara kreatif menjadi larik-larik yang tajam dan menukik. Pemadatan kata dan pembentukan rima disusun secara detail, tanpa mengurangi intensitas kedalamannya. Hal serupa juga terlihat dari bait puisi selanjutnya:

Aku jauhi lagi tangkai petir emas
dan lautan anyir cemas.
Kusudahi saja memikirkan
jalan sufi yang sepi. 

Dedy seperti memahami benar, peristiwa demi peristiwa dan jerit batin para rohaniawan dan para penyair sufi yang hidup di zaman tersebut. Pergolakan atas nama agama dan sejarah pencarian Tuhan di wilayah yang dulu disebut Mesopotamia sebagai salah satu cikal bakal sejarah lahirnya agama-agama di dunia. Kemudian pada bait:

Setiap kali muncul puisi,
puncak-puncak piramida jadi gemetar
Langit biru jadi pudar. 

Melangkah pelan ke dalam kemah tua di Maar 

Maar di sini adalah gunung api yang kecil dan dangkal. Bait ini memperlihatkan kecerdasan Dedy dalam menulis puisi yang nyaman dibaca dengan memanfaatkan sistem bunyi yang ada. Selain itu, puisi-puisi Dedy juga sarat dengan simbol, referensi, mitos, sejarah dan kearifan lokal, yang bisa kita baca -antara lain- pada puisi-puisinya yang berjudul: “Ironi Para Perenang”, “Naturaleza Muerta”, dan “Kisah Sedih di Pagi Hari”. 

Dalam kerangka teori interteks, menurut Kristeva yang dikutip oleh Culler; setiap teks harus dibaca dengan latar belakang teks lain, dengan kalimat lain, tidak ada satu teks pun yang benar-benar mandiri. Kita ambil contoh puisi Dedy yang “Naturaleza Muerta”, merupakan lagu berbahasa Spanyol ciptaan Sarah Brightman. Mencerminkan bahwa Dedy mampu “menangkap respon pembaca” atau yang disebut sebagai resepsi sastra. Sebagai pembaca (yang penyair), ia melakukan resepsi yang terdiri dari tiga kutub utama, yaitu pengarang, teks dan pembaca. Sebagai pembaca teks (lirik lagu), Dedy melakukan kegiatan berpikir resepsi seperti dicetuskan pertama kali oleh Mukarovsky dan Vodicka (Badrun, 1983; 69). Itulah salah satu kelihaian Dedy dalam menciptakan puisi-puisinya yang unik dan mengalir.

Bagi Segers, sastra adalah ekspresi bahasa yang mengundang tanggapan pembaca. Pada konteks inilah -atau dalam resepsi sastra- puisi Dedy berada dalam ranah kognitif yang tepat. Sementara puisi-puisi lainnya yang juga kuat dalam penggunaan simbol dan wajah budaya negeri sendiri, bisa kita intip pada bab terakhir buku ini: Suara yang Berada di Jalanan. Puisi-puisi bernuansa lokalitas yang kental dan relevan dengan perkembangan perpuisian Indonesia mutakhir.

Jujur, -sebagai teman yang harus adil, pembaca yang mesti memilih- saya mengalami kesulitan mencari kekurangan puisi-puisi Dedy untuk alasan kelemahan. Akan tetapi ada beberapa fakta menarik -entah kekurangan atau kelebihan- dari perkembangan puisi dan kepenyairannya sejak awal yang saya amati, antara lain: 
1. Gaya puisi Dedy dari masa ke masa, dari satu antologi ke antologi lainnya seperti mengalami perkembangan gaya. Bagi saya hal ini sangat lazim dilakukan oleh penyair-penyair yang terus berupaya mengeksplorasi segala gagasan, tema, bentuk dan pencarian metafor-metafor baru. Seorang penyair tidak dapat dilepaskan dari daya kritisnya dalam membaca dan mengamati perkembangan karya-karya sastra (puisi) yang telah ada.
2. Sepintas kilas, puisi-puisi Dedy memang terkesan sederhana, namun punya keselarasan antara gagasan yang tercipta dan yang dapat dimaknai atau diresapi oleh pembaca. Kesederhanaan dalam konteks ini apabila dibandingkan dengan banyak penyair sezamannya yang cenderung berindah-indah dengan kata, menggunakan citraan (imaji) yang tidak logis dan bentuk yang tidak dapat dicerna atau gelap. Barangkali Dedy adalah penyair yang percaya, bahwa puisi harus bisa “dinikmati” sebelum bisa “dimengerti” oleh pembaca. 
3. Dedy -tanpa mengesampingkan beberapa penyair lain yang serupa- seakan ingin memadukan berbagai elemen ke dalam puisinya: folklore, tembang, mitos, referensi, seperti penyair Rimbaud atau Elliot. Dedy seakan setuju dengan Subagio bahwa karya yang bernilai sastra adalah mengandung filsafat dan lokalitas. 

Itulah beberapa kesan dari proses pembacaan dan pemilihan saya pada puisi-puisi Dedy untuk buku ini. Buku ini merupakan saksi atas kebudayaan, dan peradaban dunia sebagai warisan bagi kesusasteraan Indonesia. Sebagai penutup, perkenankan saya menutip Jean Paul Sartre dalam What Is Literature? secara bebas: 
“Puisi adalah persoalan memenangkan yang kalah, dan penyair sejati memilih untuk kalah, bahkan jika dia harus pergi sejauh-jauhnya untuk mati, hanya dalam meraih kemenangan. Seorang penyair mengikatkan dirinya dengan puisi yang merupakan pilihan hidup terdalamnya, sumbernya dan bukan konsekuensi dari puisinya. Dia yakin akan kekalahan total  persoalan kemanusiaan dan mengatur kegagalan dalam hidupnya sendiri untuk bersaksi, oleh kekalahan individu, dan kekalahan kemanusiaan pada umumnya.”

Jati Asih, 17 Agustus 2016

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.