Terpenjara dalam Puisi - Indra Intisa
oleh Indra Intisa
Hidup
di bumi bagaikan burung
Bangun
pagi makan nasi jagung
Tidur
di ubin fikiran bingung
Apa
daya badan ku terkurung
(Lirik
lagu: Hidup di Bui - D' Lloyd)
Ketika hidup, kita
akan dihadapkan dengan banyak simpang-siur jalan yang akan dilalui. Meskipun
jalan-jalan telah diberikan rambu dan petunjuk oleh agama, budaya, adat,
pemerintah dan aturan-aturan yang mengikat—yang mengarahkan kita pada
tujuan-tujuan tertentu. Pada hakikatnya manusia suka berpetualang, suka
penasaran dengan hal-hal yang dilarang atau mungkin hal-hal yang tidak
diketahui. Kalau dalam ilmu metafisika bisa saja dikatakan gaib (meramal).
Tetapi dasar manusia, ia bisa melanggar, terjerat dan terjatuh pada hal-hal di
luar kendalinya.
Saat menjalani
hidup, manusia tentu akan menjalani banyak ujian dan tantangan. Kalau dalam
islam adalah bagian dari ujian untuk iman. Semakin berat ujian maka makin
kuatlah ujian keimanan seseorang. Ada orang yang mampu melewati ujian berat
yang datang bertubi-tubi dengan santai, dan ada juga sebaliknya.
Ketika manusia
terjerat, ia bisa saja menjadi bingung, linglung, bahkan gila. Sebagian yang
lain berputus-asa dan bahkan bisa-bisa membunuh siapapun termasuk dirinya
sendiri. Tetapi, keimanan manusia, kekuatan manusia, bisa saja berubah
tergantung situasi, kondisi dan manusia-manusia lain di sekelilingnya—keluarga,
teman, ayah-ibu, istri, anak dan siapa saja sebagai penguat. Walau begitu, ada
juga manusia yang mengunci hati (diri) dari masukan, kebaikan, kritik dari
manusia sekitar. Bisa karena ketidakinginannya untuk diatur, diajar, dan
dinasihati oleh orang-orang sekitar. Bisa karena merasa orang-orang sekitar
tidak memahami diri sendiri. Atau bisa pula karena tidak ingin merepotkan orang
lain. Ia merasa harus menanggung beban sendiri.
Dalam puisi, ada
unsur batin yang dinamakan nada, dalam bahasa inggris dinamakan tone. Nada yang
dimaksud bukan nada yang bermakna tinggi rendahnya bunyi—dalam lagu, musik,
dsb. Nada yang dimaksud adalah ungkapan keadaan jiwa atau suasana hati; makna
yang tersembunyi dalam ucapan dan sebagainya; sikap (KBBI 2016). Nada dalam
puisi lebih kepada sikap penyair terhadap pembaca. Apa yang mau ia sampaikan
dari perasaan-perasaan yang ia sembunyikan? Penyair adalah orang tertutup
sekaligus terbuka. Ia malu-malu layaknya fajar yang masih setengah di ufuk
timur. Ini mengingatkan kita pada kehidupan di dunia (seperti yang dibahas
sebelumnya)—orang-orang yang sedang berputus-asa, bermasalah, senang, bahagia,
dst., cenderung menunjukkan kepada orang lain. Ada yang ditunjukkan secara
terang-terangan (melalui curhat, cerita, dst), atau melalui simbol-simbol,
layaknya puisi. Para pembaca harus lebih teliti, serius, dan dalam kalau mau
memahami apa yang ingin disampaikan oleh penyair. Penyair kadang seperti
seorang anak kecil yang ingin dimanja. Sebagian lain seperti wanita yang hanya
ingin dimengerti, seperti lirik lagu Ada Band: “Karena wanita ingin
dimengerti.” Sebab, wanita sering menyiratkan sesuatu melalui simbol sikap,
mimik, dst., tentu saja berbeda dengan sikap pria secara umum.
Coba simak puisi
Eko Windarto yang berjudul “Seminggu di Penjara”. Puisi yang beliau terbitkan
melalui ruang maya Facebook ini, menyiratkan sesuatu yang dalam. Kalau kita
telaah melalui unsur batin puisi, “rasa”, maka kita bisa melihat bagaimana
penyair menunjukkan sikap terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam
puisinya. Sikap dalam rasa sebenarnya terpengaruh oleh budaya, pendidikan,
latar belakang sosial, psikologi penyair, dan hal-hal yang mempengaruhi puisi
yang dibuatnya. Pengaruh ini bisa terjadi pada diksi, tema, atau permasalahan
yang ada disekitar. Campur-baur ini menjadikan puisi yang ditulis menjadi
sesuatu. Sesuatu bisa menjadi sikap kritis, nasihat, mengajak, berbagi, dst., dengan
pelbagai tujuan. Untuk menyimak lebih jauh, mari kita simak puisi yang telah
diunggah tersebut.
SEMINGGU
DI PENJARA
seminggu di penjara serasa lama
buku harian terkunci dalam jeruji
jiwa
lembar lembar kalender tak bersuara
di hadapan para penjaga
yang lupa memeriksa pintu surga
istri, anak, dan kerabat mengetuk
pintu besi
sambil membawa palu godam di dalam
jiwa
ragu menjelma kepala yang penuh
matematika di meja penguasa
yang suka pesta di dada wanita
Sekarputih. 942017
Puisi di atas bisa
saja menyiratkan sesuatu, atau bisa juga kejadian yang sebenarnya. Puisi bisa
menjadi prismatis (memancar ke segala arah), bisa menjadi gelap, bisa pula
telanjang. Faktor-faktor yang mempengaruhi bisa saja pada puisi itu sendiri,
atau bisa juga pada daya tangkap atau cara dari pembaca ketika memahami puisi.
Sikap pembaca juga dipengaruhi oleh unsur-unsur batin yang diracik oleh
penyair, seperti nada dan rasa yang telah kita bahas sebelumnya.
Mari
kita simak penggalan puisi tersebut:
seminggu
di penjara serasa lama
Larik awal
merupakan penanda—lubang kunci—pintu masuk ke dalam puisi hebat karya Eko
Windarto ini. Pintu masuk merupakan wadah pertama bagi seseorang untuk melihat,
memandang, dan menyimak pada hal-hal yang ada di dalam. Maksud lainnya adalah simbol
awal bagi pembaca untuk memahami puisi setelah judul. Sekalipun ada juga puisi
di awal-awal belum menyiratkan hal-hal yang ada di dalam. Penyair sangat pandai
menarik imajinasi pembaca untuk masuk ke dalam puisi yang akan ditulis. Apa
yang kita pikirkan dari tiga penanda di bawah ini:
1. Seminggu
2. Penjara
3. Terasa
lama
Ketika
kita mulai mencerna kata-kata konkret tersebut, maka kita seolah masuk ke dalam
cerita-cerita yang akan disuguhkan oleh penyair Eko Windarto. Kita seolah bisa
merasakan jenjang waktu, rasa berat, keadaan, dst. Ini didapat dari citraan
rasa dari waktu dan rasa berat (sedih, sakit, dst.) Padahal secara logis, waktu
seminggu sebenarnya tidak benar-benar layak dikatakan lama. Tetapi, berbeda
ketika kita berada dalam penjara. Perhatikan kata “terasa lama”, kata ini
seolah mengajak kita—memaksa pikiran kita untuk turut serta merasa apa yang ada
dalam diri penyair. Mari kita perhatikan larik-larik berikutnya. Apa yang
terjadi pada diri kita sebagai pembaca?
Saya
tidak akan memecahkan semua rambu, maksud, dan pesan dari puisi ini. Tetapi,
saya ingin menarik benang merah pada sikap penyair pada puisi ini. Kita bisa
merasakan apa yang sedang dirasakan penyair. Apa yang sedang ia cemaskan. Apa
yang sedang ia “galau”kan. Ketika itu terjadi, kita akan merasa seolah-olah
hidup dalam diri sang penyair. Kita seolah terpenjara oleh sikap dan keadaan
penyair. Itu seperti kita mendengar sebuah lagu, anggap contoh lagu-lagu luar
negeri yang kurang kita pahami maksud dan arti dari lriknya. Tetapi kita tetap bisa
merasa semangat, nyaman atau sedih melalui alunan musik yang ada di dalamnya.
Pulau Punjung, 14 Juni 2017
Indra Intisa, Pemerhati Puisi,
Dharmasraya.