Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Enam Jenis Kebodohan Beragama - Imam al-Ghazali

Enam Jenis Kebodohan Beragama - Imam al-Ghazali

Cinta adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah dapat ditumbuhkan dan dikembangkan oleh ibadah. Ibadah dan zikir tak berkesudahan mencerminkan suatu tingkat keprihatinan dan pengekangan nafsu badani. Ini tidak berarti ia harus memusnahkan nafsu badani sepenuhnya, karena jika begitu, ras manusia akan musnah. 

Namun, pemuasan hasrat tubuh itu harus dibatasi dengan ketat. Dan, karena manusia bukan hakim yang terbaik untuk menghukum dirinya sendiri, ia harus mengonsultasikan penetapan batasan-batasan itu kepada pembimbing ruhani, yakni para nabi. Hukum yang mereka tetapkan berdasarkan wahyu Tuhan menetapkan batasan-batasan yang mesti ditaati manusia. Orang yang melanggarnya berarti “telah menganiaya dirinya sendiri”, sebagaimana dikatakan dalam Alquran. Meski pernyataan Alquran ini teramat jelas, masih banyak orang yang, karena kebodohannya akan Allah, melanggar batas-batas tersebut. 

Ada beberapa penyebab kebodohan ini:

Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan, lantas menyimpulkan bahwa Allah tidak ada dan bahwa dunia yang penuh keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada dari keabadian. Mereka bagaikan orang yang melihat tulisan indah kemudian menyatakan bahwa tulisan itu ada dengan sendirinya tanpa ditulis siapa pun, atau memang sudah ada begitu saja. Mereka yang berpola pikir seperti ini telah jauh tersesat sehingga penjelasan dan perdebatan dengan mereka takkan beri manfaat sedikit pun. Mereka mirip dengan fisikawan dan astronom yang kita sebut di atas.

Kedua, sejumlah orang yang, karena tidak mengetahui sifat jiwa yang sebenarnya, menolak adanya akhirat, tempat manusia akan dimintai pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau disiksa. Mereka anggap diri mereka sendiri tak lebih baik dari hewan atau sayuran, yang akan musnah bei gitu saja dan tidak akan dibangkitkan lagi.

Ketiga, ada orang yang percaya kepada Allah dan kehidupan akhirat, tetapi kepercayaannya itu lemah. Mereka berkata, “Allah itu Mahabesar dan tidak bergantung kepada kita; tak penting bagi-Nya apakah kita beri ibadah atau tidak.” Pikiran mereka itu sei perti orang sakit yang, saat dokter memberinya nasihat penyembuhan, berkata, “Yah, kuikuti atau tidak, apa urusannya dengan dokter itu.” Memang tindakannya itu tidak berdampak apaiapa pada diri si dokter, tetai pi pasti akan merusak dirinya sendiri. Sebagaimana penyakit jasad yang tak terobati akan membunuh jasad, penyakit jiwa yang tak tersembuhkan pun akan menyebabkan penderitaan di masa mendatang. Allah beri firman, “Orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.”

Keempat, kelompok orang kafir yang berkata, “Syariat mengajari kita untuk menahan amarah, syahwat, dan kemunafikan. Ini perintah yang musykil dilaksanakan, karena manusia diciptakan dengan sifat-sifat seperti itu. Itu sama saja dengan menuntut yang hitam agar menjadi putih.” Orang bodoh seperti mereka sepenuhnya tidak melihat kenyataan bahwa syariat tidak mengajari kita untuk memusnahkan nafsu-nafsu ini, tetapi untuk meletakkan mereka dalam batas-batasnya. Sehingga, dengan menghindari dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita yang lebih kecil. Bahkan, Nabi saw. bersabda, “Aku manusia sepertimu juga, dan aku marah seperti yang lain.” Dan dalam Alquran tertulis: 
“Allah mencintai orang yang menahan amarahnya” (Q. 3: 134), bukan orang yang tidak punya amarah sama sekali.

Kelima, kelompok orang yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah seraya mengabaikan keadilan-Nya, kemudian berkata, “Ya, apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf.” Mereka tidak berpikir bahwa meskipun Allah maha mengampuni, jutaan manusia hancur secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit. Sebenarnya mereka tahu bahwa siapa saja yang ingin umur panjang, kemakmuran, atau kepintaran tak boleh sekadar berkata, “Tuhan Maha Pemaaf,” tetapi mesti berusaha dengan keras. Meski Alquran mengatakan: “Rezeki semua makhluk hidup datang dari Allah,” di sana tertulis pula: “Manusia tidak mendapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha” (Q. 53: 39). Kenyataannya, ajaran semacam itu berasal dari setan, dan orang seperti itu hanya berbicara dengan bibirnya, tidak dengan hatinya.

Keenam, kelompok orang yang mengaku telah mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga mereka tak lagi dipengaruhi dosa. Namun kenyataannya, saat orang lain memperlakukan salah seorang di antara mereka secara tidak hormat, ia akan mendendam selama bertahun-tahun. Dan jika salah seorang di antara mereka tidak mendapat sebutir makanan yang menurutnya telah menjadi haknya, seluruh dunia akan tampak gelap dan sempit baginya. 

Bahkan, jika ada di antara mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsunya, mereka tak punya hak untuk membuat pengakuan semacam itu, mengingat para nabi—manusia paling mulia—pun selalu meratap mengakui dosa-dosa mereka. Sebagian kelompok ini bahkan begitu sombong sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal yang halal. 


Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa suatu hari seseorang menyodorkan sebutir kurma kepadanya, tetapi beliau enggan memakannya lantaran tidak yakin kurma itu diperoleh secara halal. Sementara orang-orang yang berkehidupan bebas ini mau meneguk berliter-liter arak lalu mengaku (aku bergidik saat menulis ini) lebih unggul dari Nabi yang selalu menjaga kesuciannya bahkan dari sebutir kurma, sementara mereka merasa tak terpengaruh oleh arak sebanyak itu. Patutlah jika setan membenamkan mereka ke dalam kehancuran. Orang suci sejati mengetahui bahwa orang yang tidak bisa menguasai nafsunya tidak pantas disebut manusia. Dan bahwa seorang muslim sejati pastilah dengan senang hati mengakui batas-batas yang ditetapkan syariat. Orang yang berupaya dengan dalih apa pun untuk mengi abaikan kewajibannya berarti bisa dipastikan berada dalam pengaruh setan. Bagi mereka, nasihat lisan maupun tulisan takkan lagi mempan; mereka harus diancam dengan pedang. Para mistikus palsu seperti mereka kadang-kadang berpura-pura tenggelam dalam samudra ketakjuban. Tetapi, jika kau tanyakan kepada mereka apa yang mereka takjubkan, mereka tidak mengetahuinya. Biarkanlah mereka takjub sekehendak hati mereka, namun pada saat yang sama ingatkanlah bahwa Yang Mahakuasa adalah pencipta mereka, dan bahwa mereka adalah hamba-Nya.

Sumber: Kîmiyâ’  al-Sa‘âdah (Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi) karya Imam al-Ghazali, Penerjemah : Dedi Slamet Riyadi & Fauzi Bahreisy, Jakarta: Penerbit Zaman.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.