Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Puisi sebagai Lubang Cacing - Sofyan RH. Zaid

Puisi sebagai Lubang Cacing - Sofyan RH. Zaid

Puisi sebagai Lubang Cacing
oleh Sofyan RH. Zaid


Sofyan RH. Zaid


Demi masa! Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali mereka yang beriman. beramal saleh, dan saling menasihati
supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran.
Q.S. al-Ashr [103]:1-3



Filsafat Waktu

Perdebatan tentang waktu -sampai hari ini- tidak pernah usai, baik dalam konteks filsafat, sains, maupun agama. Apa itu waktu?

Dalam The Confessions (1986)Agustinus yang dikenal sebagai ‘filsuf sejarah’ itu menulis bahwa: Mungkin bisa dikatakan dengan benar bahwa ada tiga waktu di dunia: masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Ketiganya hidup berdampingan dalam jiwa, karena kalau tidak, aku tidak bisa melihatnya. Masa lalu adalah kenangan, masa kini adalah pengalaman, dan masa depan adalah harapan.

Agustinus kemudian membagi waktu menjadi dua macam, yakni: (1) Waktu objektif, adalah waktu yang menempel pada sejumlah benda, seperti jam, kalender, dan tanda-tanda di masa kuno. Waktu objektif inilah yang menjadi panduan waktu secara umum yang digunakan banyak orang untuk mengetahui waktu; dan (2) Waktu subjektif, adalah waktu yang berada dalam batin manusia atau yang dirasakan sebagai waktu.

Waktu objektif dan subjektif bergerak dengan logika yang berbeda meski durasinya sama dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh, tiga jam terjebak macet di jalan dengan tiga jam membaca buku di kamar adalah sama secara objektif, tetapi berbeda secara subjektif.

Waktu objektif bisa bersanding dengan ruang di mana waktu itu ada atau ‘ruang-waktu’ dalam istilah Immanuel Kant. Sementara itu, waktu subjektif tidak bersanding dengan ruang, ia hanya bisa bersanding dengan ‘aku’ dalam batin manusia, atau ‘aku-waktu’ dalam istilah filsafat Timur.

Pembagian dua waktu menurut Agustinus melahirkan dua perdebatan besar di kalangan para filsuf, antara waktu sebagai garis (line) dengan waktu sebagai lingkaran (circle). Waktu sebagai garis meyakini bahwa waktu sebagaimana garis, walau tidak selalu lurus, tetap ada ujung dan pangkal. Masa lalu, masa kini, dan masa depan adalah terpisah dan berdiri sendiri (otonom). Wajar jika ada ucapan: “Sudahlah, yang lalu biarkan berlalu, mari kita sambut masa depan!”.

Namun mereka yang mengatakan waktu sebagai lingkaran meyakini bahwa waktu sebagaimana lingkaran, melingkar tanpa ujung dan pangkal. Masa lalu, masa kini, dan masa depan adalah lingkaran yang saling berhubungan satu sama lain. Sebagai misal, orang yang kena penyakit diabetes hari ini, prosesnya sudah bermula di masa lalu, baik karena kesalahan pola makan atau penyakit turunan (genetik).

Terlepas dari perdebatan tersebut, melalui teori waktu -objektif dan subjektif- Agustinus inilah, mari kita lihat puisi-puisi seputar Jakarta dalam buku ini. Ada dua alasan kenapa kita harus memandang buku ini dari mata waktu, pertama karena buku ini berjudul Jakarta: Dulu, Kini, dan Nanti yang menunjukkan waktu, kedua karena ada 34 kata “waktu” dalam buku ini, baik pada judul dan isi puisinya dari berbagai penyair yang ada. Mari kita lihat Jakarta dalam puisi dari kacamata tiga waktu atau bahkan lebih.

Jakarta Dulu

Puisi kadang -kata Robert Frost- hanya sebatas gambar dengan media teks, apakah gambar tersebut punya makna atau tidak, sepenuhnya ada pada pembaca. Demikian juga dengan sejumlah puisi dalam buku ini yang mencoba memotret situasi dan kondisi Jakarta tempo dulu:

Wahyu Toveng dalam Asal Usul Usil” mengenang pantai Marunda tempo dulu secara filosofis: “Aku ingat kala bersandar di sebuah nyiur di marunda. Menatap kepiting kecil yangmengendapendap di antara bongkahan usang kayu perahu. Aku pikir sejarah lebih/ sering mengendapendap mencari pembenaran di setiap zaman/”.

Agustav Triono dalam Kubaca Masa Lalu” mengenang peristiwa masa lalu di masa kini melalui sebuah buku tua: Kubaca masa laluDari buku lapukBerselimut debuTentang huru hara di ibukotaMewabah hingga kemana-mana1965-1998 berjarak panjang/”.

Sam Mukhtar Chaniago dalam Jembatan Buntung, Tanjung Priok, 1967 – 1972 mengenang sebuah jembatan antara jalan Sulawesi dan jalan Yos Sudarso di Tanjung Priok Jakarta Utara tempo dulu: truk berisi tumpukan karung beras itumelaju kencangdari arah jalan sulawesimenuju jalan yos sudarsosepasang kaki kecil tanpa sandal/mengejar dari belakangtruk hendak melewati “jembatan buntung”/”.

Akhmad Asy’ari dalam Resah Rempah menceritakan suasana Sunda Kelapa tempo dulu: Penat nyiur melambai uraiMendekap Sunda Kelapa dalam belaiPesisir yang berderap tak usai, menghanyutkan/ Mengitari saksi diam jembatan kedaulatan/”

Fahmi Wahid dalam “Berlabuh Di Sunda Kelapa” menggambarkan perihal Sunda Kelapa tempat berlabuh kapal asing perdagangan di masa lalu: Lewat mulut angin membawa kabar ke dunia/ laut selalu mencatat riwayat awal kota Jayakarta/ sejad abad ke 12 jejak pedang Inggris, Portugis/ Tiongkok, Arab dan India melabuh kapal dagang/”.

Hisyam dalam Nasib Kita, Neng…” seperti mengenang dengan manis suasana malam depan rumah tempo dulu yang amboi: NengLu liat gak bulan tadi malem/


Cakep bener/Kadang sinarnya ketutup daun kelapa/ Nyang ketiup angin malam/Abang lihatnya sambil rebahan di bale depan rumah/”.


Neni Utami Adiningsih dalam Lalu, Kini Dan Nanti secara singkat tetapi padat serupa haiku mengingat suasana Jakarta temp[o dulu: LengangTenang/Itu dirimu/Lalu/”.


Ratna Komala Juwita dalam Jakarta Masih Asli” mengenang bagaimana rasanya dulu berjalan di jalan-jalan Jakarta: Berjalan tanpa takut kemacetan atau tertabrak mobilKarena suasananya masih kosong,Yang ada hanyalah pohon-pohon di pinggir jalan/ yang membuat suasana menjadi adem dan indah/”.

RdNanoe Anka dalam Blenggo Riwayatmu Kini” mengenang Blenggo di masa lalu yang kini sudah jadi riwayat, atau mungkin walau kini masih ada pada momen tertentu, cita rasanya sudah berbeda: Tanpa jengah terus menari seirama tepak rebanaLelaki-lelaki perkasa menggerakkan jurus silatMenari Blenggo di perhelatan/”.

Jakarta Kini

Setelah Jakarta tempo dulu, sebagian penyair dalam buku ini juga ada yang menggambarkan Jakarta hari ini. Entah itu sebagai bentuk ‘sayang sekali’, rasa nyeri, atau hanya sebatas ‘reportoar’ semata:

Erwan Juhara dalam “Hikayat  Jakarta: Sunda Kelapa” dengan lembut menyatakan perasaannya ketika melihat Sunda Kelapa hari ini: “Memandang Sunda Kelapa yang berganti tubuh dan warna;Ada rasa sesak beringsut, menyulut hati sunyi berguruh;/”.

Syarifuddin Arifin dalam None Betawi Kehujanan di Thamrin” memotret kondisi masyarakat Betawi hari ini di Jakarta dengan menulis: wak haji mustape menelan masa lalunyarindu memburu ingin kembali mencium hajarul aswad// serapah lenong tak lagi mujarabondel-ondel jadi asing di ngerinya sendiri/”.

Vironika Sri Wahyuningsih dalam Kelana Ondel-Ondel menyiarkan nasib Ondel-Ondel di Jakarta hari ini yang semakin ‘buram’ adanya: Ondel- ondel tersenyum simpul…untuk nasib temaram yang menjebaknyaOndel-ondel dengan kembang kelapa di kepalanya semakin tertatih…dan terus berkelana.Mencari panggung sejati…di bumi Betawi/”.

Tri Widiastuti dalam Potret Kota Metropolitan mengungkapkan bagaimana Jakarta hingga kini tetap menjadi tujuan setiap perantauan: Berbondong-bondong para perantauDari penjuru tanah airSinggah di kotamuRebahan di pangkuanmuMenangkap peluang dan kesempatan/”.

Soleh Sohih dalam “Aku adalah Jakarta” bagaimana si aku lirik menjadi Jakarta, pusat dan surga para penguasa, tetapi neraka bagi pengemis: “Aku adalah Jakarta/ Pusat keramaian Indonesia/ Aku adalah Ibu Kota/ Pusat perpolitikan berbagai cara/ Surga bagi para penguasa/ Neraka bagi peminta-minta/”.

Dalle Dalminto dalam “Membaca Jakarta” sebagai fakta tubuh Jakarta kini yang macet dan bising: “tubuhmu adalah jalan-jalan yang macet/ terlalu banyak kendara-kendara yang hilir mudik/ saling menghardik”.

Darma Aloena dalam “Di Jantung Negeri” mempertanyakan kota si aku lirik dengan cara membandingkan dua situasi-kelas yang berbeda: “Kotaku entah yang mana/ Pada gedung gedung  mal plaza ataukah pinggiran rel kereta?/ Pada kantor kantor  tempat hiburan ataukah bantaran Ciliwung yang bingung?”.

Edrida Pulungan dalam “Jejak Perempuan Perantau di Ibukota” memotret sisi lain Jakarta hari ini yang tetap saja penuh para peminta-minta sebagai kota yang maju: “Ku temukan wajah wajah penuh harap/ di sepanjang jalan menawarkan harapan/ Harapan selembar dua lembar rupiah/ Serta uang logam yang gemerincing”.

Edy Priyatna dalam “Bersahaja Hujan dalam Bulan” meski secara metaforis mengangkat mimik wajah Jakarta kini pada suatu momentum: “Keadaan tengah cerah merekah. Sang kota tersenyum mendengarkan. Merubah wajah/ menjadi haru”.

Ella Karentina dalam Simpang Lima Jakarta Utara tengah melamporkan Jakarta kini melalui bagian utaranya: “Banjir di trotoar simpang lima/ Jakarta Utara/ Burung biruku masuk sangkar reot/ Menggeliat sekelebatan di atas/ Dipan kayu beralas matras’.

Emi Suy dalam “Mimpi Kaum Urban dan  Wajah Jakarta” menyuratkan masalah lain Jakarta kini yang debatable berupa reklamasi: “lihatlah beton-beton pencakar langit tumbuh subur seolah daratan kian sempit,/ ditimbunnya laut-laut untuk menanam beton. air laut tumpah ke daratan, ombak/ menepi, jalan -jalan menjelma sungai”.

Expi Yuliana Putri,S.Pd dalam “Hiruk - Pikuk  Kota  Jakarta” bicara pencemaran udara dan kondisi transportasi umum yang kadang berdesakan: “Polusi bergerak menghampar langit- langit bumi/ Menyeruak di sela-sela kokoh gedung bertingkat/ Ribuan orang berjejer baris mengejar waktu/ Menanti busway, MRT, dan kereta api berhenti di rel-rel yang membisu”.

Hermawan dalam “Betawi Ini” menyebut Jakarta kini sebagai hutan dengan pohon-pohon yang terbuat dari semen dan besi: “Di hutan belantara semen dan besi/ Merantama dan Saudaranta angkutan masa lalu/ Lutung kasarung tak ada lagi tempat berlari”.

Jamiel Loellail Rora dalam “Ondel-Ondel” merefleksikan hal yang paling dekat sebagai lambang Jakarta kini, yaitu ketergesaan penghuninya dengan sejumlah kepentingan masing-masing: “Dari warung kopi kubiarkan pandanganku berkelana/ Memotret orang-orang yang melangkah tergesa/ Setelah lelah menyusuri mimpi di setiap langkahnya/ Menguras tenaga dan pikiran agar impian jadi nyata”.

Lukman Juhara dalam “Jakarta, Mungkinkah Nanti tetap Ibukota Kita?” melukiskan kondisi Jakarta terbaru yang sempit ruang untuk bernapas dan wacana pemindahan ibu kota ke luar Jawa: “Ibu kota semakin terkikis gelombang pasangMemekat asap cerobong pabrik dan berjuta knalpot kendaraanMengukir kelam langitBerjejal gedung tinggiPasar dan parkir merebut ruang-ruang nafas kita”.

Pipit Jambak dalam “Malang Kaliku Malang” yang bicara perihal kondisi kali di Jakarta kini dengan menulis: Wajahmu kusam tertutup debu tanah merah/ Buldoser bernyanyi melengking nyilu di kuping/ Gemerincing besi beradu dalam desingan mesin”.

Tuti Anggraeni dalam “Jakarta Kini” mengeluhkan Jakarta kini sebagai ‘tanah kelahiran’ tidak bisa lagi dinikmati: “menjulang gedung ingin mencakar langit/ bis, kereta dipenuhi mimpi/ menjejal harap yang tak dapat dinikmati di kota kelahiran/”.

Wig SM dalam “Kali Jakarta” lagi-lagi berbisik soal kali di Jakarta kini yang tidak lagi alami dan membahayakan: “Kali Jakarta kini berbalut tempok beton/ Bisa jadi orang nyungsep langsung ilang/ Kebawa alir airnya/”.

Winn Suhadi dalam “Singgah di Kotamu” menyinggung tentang penghuni Jakarta kini yang terus berlari mengejar mimpi yang kadang bersikutan satu sama lain: “Siang malam berganti pagi/ Mereka berlari saling kejar/ Hidup yang sibuk demi target/ Tertatih meraih mimpi/ Sesekali saling sikut”.

Perbandingan Jakarta: Dulu dan Kini

Selain gambaran tentang Jakarta di masa lalu dan masa ini, ada juga sebagian penyair dalam buku yang mencoba membandingkan waktu antara dulu dan kini Jakarta. Perbandingan yang bisa berarti sebagai kritik, bisa juga hanya hanya sebatas menyuarakan hati yang perih-lirih atas kondisi Jakarta yang telah berubah:

Ade Ganiarti  dalam “Kisah Dua Ondel-Ondel mencoba membandingkan dua waktu di Jakarta, yakni masa kini dan masa lampau melalui keberadaan Ondel-Ondel: Mimpi Ondel-Ondel tidaklah besar, kawan.../Dia hanya tak ingin terbuangApalagi terlupakanSebab bagaimanapun dia adalah...Kebanggaan di masa lampau”.

Ade Novi dalam Tentang Jakarta”, bagaimana dia membandingkan antara alam Jakarta antara dulu dan kini: “Bagaimana aku ingat warnamuBulanBila manusia mulai pula menciptaBulan lainnyaBocah-bocah tak lagi bermain diBawah purnamamuLantaran cahayamu semakin dunguDan kaburMenentang ratusan bulan manusia/”.

Agus Buchori dalam “Si Dul Tersesat di Kotanya membanding waktu dulu dan kini terkait keadaan di trotoar jalan Jakarta: “Ia berjalan di trotoarTak ada lagi penjual terompet kertas dan kerak telorDitemuinya hanyalah langkah langkah tergesa gesa/”.

Fathurrohman dalam Jauh Sebelum Hutan Ini Menjadi Kota” mengaku jika: jauh sebelum hutan ini menjadi kotasejatinya kita adalah pemburu, telah tuntas kita habiskan seteru”.

HR RoS  dalam Kali Angke” mengisahkan kondisi Kali Angke antara dulu dan kini dengan menulis: dulu ...sepanjang kali angke,kate nyak babe: /kali angke bersihaye mandi dan mencucikalinye jernih kagak ade bangke/”.

Reni Oktaviani dalam Bukan sekadar Nama” membandingkan antara populasi penduduk di Jakarta: Jakarta dirimu dulu tak sama lagiPenduduk semakin padat dan wilayahmu tak meluas/”.

Persamaan Jakarta: Dulu dan Kini

Ternyata, ada juga penyair dalam buku ini yang melihat Jakarta tetap saja ada kesamaan antara dulu dan kini. Hal ini menunjukkan bahwa Jakarta tidak sepenuhnya berubah dari waktu ke waktu, setidaknya budaya, tradisi, dan sejarahnya:

Yahya Andi Saputra dalam “Bersama Semilir Angin” yang masih melihat bocah-bocah di kampung Betawi ‘suitan’ seperti dulu: “Sore yang ramah bersama angin semilir/ Di hakanan rumah di kampung Betawi/ Dua bocah perempuan tujuh tahunan suitan/ Bersepakat menjadi induk ayam dan ulung”.

Asep Setiawan dalam “Di Pinggir Situ Baru Cibubur” pun masih merasakan lembut angin Jakarta di tempat tertentu seperti tempo dulu: “Masih seperti masa bocahku angin situ mendesir/ Mengusap-usap tubuh dengan ramah/ Dan sejuk/ Mengantar kedamaian ke rumah demi rumah”.

Dwi Lestari Wiyono dalam Ibukota menyuarakan Monas yang masih sama gagahnya dengan tempo dulu sebagai tugu: Monas/Masih menjulang/Sama seperti saat dulu aku dan serombongan kawanberseragam putih merah mengunjunginya; gagah”.

Halimah Munawir Anwar dalam “Tibra” dengan khas mengisahkan suasana keluarga Betawi di Jakarta yang masih sama antara dulu dan kini: “Mak sewot/ Pangkeng berarakan/ Babe dah kerja/ Entong masih tibra celentang di ranjang/ "Eh tong bangun... sekolah..."/ Suara mak nyaring/Entong nyengar nyengir ngelindur”.

Ummi Rissa dalam “Bekasem Hajatan” secara bangga mengangkat perihal kuliner Jakarta. Apapun Jakarta dulu dan kini, kulinernya tetap sama dan terjaga sebagai warisan pusaka: “Sem bekasem!/ Cuman ade di mari/ Di bumi betawi/ Sayur asem nyang murni/ Warisan pusake Betawi”

Bambang Widiatmoko dalam “Stasiun Tanjung Priuk 1” menyadari secara puitis perbedaan Jakarta dulu dan kini, tetapi dia juga tahu satu hal bahwa sejauh apapun Jakarta berubah, sejarahnya tetaplah sama: “Meninggalkan stasiun Tanjung Priuk, rel tua  tak bicara/ Aku hanya diam saja dan terus berjalan perlahan/ Bayang bayang gedung tua, penumpang yang bergegas/ Jakarta yang telah berubah menjadi raksasa/ Telah memakan segalanya – tapi tidak dengan sejarah”.

Jakarta dalam Harapan dan Masa Depan

Apa dan bagaimana pun Jakarta dulu dan kini, sebagian penyair dalam buku ini masih berharap besar pada Jakarta sebagai ibu kota, tanah rantau, tanah kelahiran, tanah Betawi, dan sebagainya. Harapan tersebut juga bisa berarti bagaimana mereka ingin melihat Jakarta di masa depan kelak;

Asiati dalam “Kutitipkan Buah Hatiku Kepadamu menitipkan anaknya pada Jakarta yang merantau demi menimba ilmu di ibu kota: Jakarta kota tumpuan cita-cita dan harapanKepadamu kutitipkan buah hatiku tercintaEntah sampai kapan ia menghirup udara ibu kotaAku berharap ia pulang menyandang sarjana”.

Hamidin Krazan dalam “Tanah Tinggi” seolah ingin berteriak walau ibu kota kadang lebih sadis dari ibu tiri, dia tetap: “:Ke Jakarta aku kan kembali/ Walaupun apa yang kan terjadi...”.

Irvan Syahril dalam “Kamus Kecil Tentang Jakarta” dengan asyik dan menarik telah menjadikan mencipta kamus kecil untuk memahami Jakarta yang sebagian definisinya adalah: “Jakarta adalah kantung harapan/ kita boleh mengambil apa saja/tapi tak boleh menolak apa saja”.

Julia Daniel Kotan dalam “Nurcahaya  di Istana Negara” berseru penuh api dan mendoakan Jakarta sepenuh yakin: “Jayalah dan berkibarlah/ Panji perdamaian dan kemakmuran/ Yang tak akan lekang dimakan zaman”.

Mita Katoyo dalam “KRL” mengakui jika Jakarta masih sebagai ‘kota kebanggaan’, apapun yang terjadi di dalamnya: “biar saja orang orang bergelantungan sesak sampai batas kota/ mereka tak kan pernah teriak dan bicara/ sebab nikmat dirasa/ perjalanan dari jakarta”.

Mohd Rosli Bakir dalam “Kota Peradaban” begitu bangganya memandang Jakarta sebagai kota peradaban dan harapan: “Kota syiar Jakarta,/ mandiri dalam kedewasaan/ megah berdaulat dalam kemajuan/ disegani sejak berabad lamanya di peterana perjuangan”.

Nashita Zayn dalam “Catatan Sekarang – Peta Perjalanan” dengan penuh optimis melihat Jakarta sebagai bagian takdir hidupnya yang harus tetap ‘hadap’ dan ‘hidup’: “bersama pedoman dan cahaya/ berjalan atau berlari/ hidupilah!

Putri Bungsu dalam “Gambang Kromong” berharap besar pada Jakarta untuk tetap mempertahankan apa yang wajib dipertahankan di tengah arus deras perubahan yang ada: “Masih ada nada-nada membahana/ Penanda kembalinya budaya yang utuh/ Tak pernah runtuh tertimpa gempita simphoni dunia”.

Sudarmono dalam “Jalan Waru” dengan penuh sadar tentang Jakarta, sebagai ‘pendatang’, dia tetap berharap mencapai kemajuan yang hakiki di masa depan, baik diri maupun kotanya: “Aku adalah pendatang/ sama halnya orang orang seberang/ hidup bertahan di belantara Jakarta/ rimba beton yang menghimpit kita/ menyemai menyesuaikan abad/merindukan kemajuan masa depan”.

Suprapti Ciprut dalam “Mampulah demi Kami!” memberi tepuk sekaligus kepal tangan pada Jakarta sebagai kota kebanggaan dan tanah identitasnya: “Jadilah Kau yang memang hebat!/ Baik dulu, kini maupun nanti./ Karena Kau adalah kekuatan kami/ Penembus mimpi kami/ Identitas pribadi kami”.


Tuti Tarwiyah Adi dalam “Jaga Jakarta” secara jelas dan tegas menyampaikan harapannya akan Jakarta kepada pemerintah atau pengelolahnya: “tolonglah tuan/ Tolong wujudkan/ Bikin Jakarta damai/ damai dalam segalanya”.

Puisi sebagai Lubang Cacing

Setelah selesai membaca semua puisi dalam buku ini, tiba-tiba ingat pada Stephen Hawking  dalam A Brief History Of Time (2013). Hawking meyakini ‘waktu sebagai garis’ yang terus bergerak maju. Namun meski dia demikian, dia juga mengatakan bahwa telah ditemukan lorong untuk kembali ke masa lalu. Lorong tersebut bahkan bisa menjadi terowongan untuk memintas ke masa depan. Lorong itu yang disebut wormholes atau ‘lubang cacing’.
Apakah wormholes  itu memang ada dan bisa menjadi ‘jembatan waktu’? Belum ada bukti yang meyakinkan sampai hari ini, baik yang berasal dari pengamatan ilmiah atau eksprimen sains. Namun kita bisa katakan bahwa puisi bisa menjadi wormholes itu sendiri. Melalui puisi, kita bisa pulang ke masa lalu atau terbang ke masa depan, seperti dalam buku ini. Selamat membaca. Selamat kepada semua penyair dalam buku ini. Luar biasa!
Jakarta, 10 Mei 2019

-Prolog buku: Jakarta dan Betawi — Doeloe, Kini, dan Nanti (Pusake Betawi, 2019)

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.