Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Kekuasaan dan Akomodasi Seni Tradisi - Nasrul Azwar

Kekuasaan dan Akomodasi Seni Tradisi - Nasrul Azwar

oleh Nasrul Azwar

Saat ini kita menyaksikan arus gerak budaya yang paradoksal, antara arus budaya global yang bersifat sentrifugal dan mampu merobohkan tembok-tembok budaya sebuah bangsa dengan arus gerak sentripetal yang mendorong tumbuhnya sentimen lokal yang eksklusif, dengan muatan semangat etnis-religius.

Gerak sentrifugal didorong oleh ambisi dan kekuasaan kapitalisme dunia dengan dukungan iptek modern, terutama teknologi informatika dan keunggulan serat optik dalam teknologi internet, sedangkan gerak sentripetal dipicu oleh semangat ideologis untuk mempertahankan sebuah identitas budaya yang berakar pada sentimen etnis dan keagamaan.

Sebagaimana yang kita amati, dua arus ini berlangsung begitu mengesankan meskipun sesungguhnya terdapat berbagai faktor yang membuat alur dan proses gerak budaya tidak sesederhana yang disebutkan di atas. Misalnya saja faktor agama. Agama adakalanya dilihat sebagai sub-kultur budaya bangsa, tetapi dalam waktu yang sama penegasan identitas dan gerak keagamaan juga melintasi batas negara. Berakhirnya era perang dingin dan munculnya ketegangan politik di beberapa wilayah, semisal Palestina, Afganistan, dan Irak, ternyata telah membangkitkan solidaritas emosional yang berakar pada keyakinan dan emosi keagamaan, yang mengabaikan tembok-tembok nasionalitas.

Tren di atas menjadi persoalan serius ketika sebuah bangsa dan negara seperti Indonesia dalam kondisi tidak stabil dan lemah. Tanpa pengaruh luar pun semangat provinsialisme dan etnisisme kini menguat, tetapi tidak diimbangi atau dipagari oleh posisi negara yang sehat dan kuat. Maka, apa yang disebut state building bisa terancam gagal sehingga berbagai aset natural, sosial dan politik mengalami kebangkrutan dan bangsa ini terjebak pada proses self-destroying nation.

Persoalan identitas dan krisis budaya ini memiliki kaitan tali-temali dengan variabel lain, sehingga perlu dipetakan secara komprehensif spektrum permasalahannya, lalu dicari prioritas tahapan penyelesaiannya.

Apa yang dapat disimpulkan kalau reformasi telah lenyap kini dari wacana kebudayaan? Apakah berarti bangsa kita telah melepaskan harapan karena suatu stereotype manusia Indonesia baru telah muncul dengan keyakinan: bahwa kehidupan bermasyarakat selalu tidak adil dan ketidakadilan itu tidak dapat dilawan, bahkan harus dimanfaatkan. Ini berarti hilangnya nilainilai dan timbulnya sinisme bermasyarakat dan berpolitik (Toeti Heraty N. Roosseno, 2003).

Perjalanan kultural bangsa Indonesia saat ini tengah berada pada era global-industrial. Pada satu sisi, konteks global tertandai dengan terjadinya keterjangkauan informasi hampir di semua bidang kehidupan, sedangkan di sisi yang lain konteks industrial tertandai dengan terjadinya transformasi pada berbagai konsentrasi sumber investasi. Keterjangkauan informasi dan transformasi berbagai sumber investasi ini terjadi karena adanya kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat pesat dalam dua atau tiga dasa warsa terakhir. Implikasi dari kondisi tersebut di atas terjadilah kompetisi global di semua bidang kehidupan; dan dalam hal ini hanya manusia yang berkualitas sajalah yang mampu memenangkan kompetisi.

Latar belakang krisis otoritas (kewibawaan) dalam perkembangan masyarakat dan kebudayaan Indonesia, bermula dari peralihan rezim Orde Baru ke Orde Reformasi, berbarengan dengan krisis moneter, berurutan dengan krisis ekonomi dan krisis politik. Akumulasi dari krisis ini, mengakibatkan krisis kepercayaan terhadap kekuasaan yang memberi kesempatan timbulnya krisis kerukunan beragama, seperti gejala yang timbul di berbagai daerah. Krisis moralitas sebagai dampak dari krisis kepercayaan, saling pengaruh timbal balik terhadap krisis kepemimpinan hampir di semua sektor, terutama kepemimpinan politik. Dampak dari krisis kepemimpinan memberi pengaruh terhadap otoritas pemimpin, tokoh dan figur yang selama ini dipercayai sebagai pembawa amanat.

Krisis otoritas menjalar pada otoritas hakim, pengadilan, dan kepolisian sebagai penegak keadilan, bahkan otoritas ninik mamak dan ulama. Kepastian hukum dan ketidakadilan, amat dirasakan oleh rakyat atas kebijakan hukum yang berlaku. Lembaga DPR yang mewakili aspirasi dan tempat menggantungkan perbaikan nasib rakyat, mulai tidak dipercayai. Mereka lebih banyak berpikir atas nama partainya. Lembaga ini, cenderung melampaui wewenangnya sebagai social control terhadap eksekutif, sehingga seringkali timbul konflik antara legislatif dengan eksekutif (Komaruddin Hidayat, 2003).

Pola hubungan otoritas tradisional yang berakar di nagarinagari di Minangkabau sudah luntur semenjak era meletusnya PRRI tahun 1957 dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru atas peningkatan idea nasionalisme, digantikan oleh otoritas formal oleh pejabat pemerintahan. Ikatan rohani rakyat dengan figur informal, sudah hilang. Sementera tokoh formal tidak membumi di akar rumput. Dalam era reformasi sekarang, kepercayaan rakyat terhadap kalangan elite, baik elit pemerintah maupun elite politik, mengalami krisis multi dimensional. Apa yang menjadi pegangan sekarang ini, adalah masih adanya nilai-nilai budaya lokal dan budaya daerah yang masih potensil diakui dan ditaati, laksana katup pengaman timbulnya konflik horizontal.

Pada wilayah kebijakan rakyat yang berkaitan dengan keperluan legitimasi kultural-politik, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama Minangkabau administratif perlu mengatur dengan menerbitkan peraturan daerah (Perda). Munculnya Perda Kembali ke Nagari, Perda Penyakit Masyarakat, dan perdaperda lainnya merupakan indikator dan bukti konkret bahwa negara berada dalam garis terdepan mengatur narasi besar tentang proses keberlangsungan kultural Minangkabau. Seterusnya, pada tingkat pemerintahan paling bawah, yaitu nagari juga dapat menerbitkan peraturan nagari (Perna). Pada batas yang demikian, sesungguhnya di Minangkabau telah berlangsung etnisitas yang berujung pada dekonstruksi yang belum final, belum berakhir, tapi kemungkinannya akan berakhir pada kebutuhan simbolisasi yang profan, massa, dan romantisme.

Pembagunan pasar dan hotel yang diidentikkan dengan ikon kota metropolitan menjadi persyaratan utama menuju kota modern. Para bupati dan wali kota yang berkuasa di wilayah Minangkabau dalam garis administrasi itu setiap hari meneriakkan kemudahan bagi investor untuk menanamkan modalnya di wilayah hukumnya. Kebijakan penguasa tidak lagi mempertimbangkan jeritan pedagang-pedagang kecil. Jika muncul gejolak di tengah masyarakat menolak kebijakan penguasa itu, maka stigma langsung dilekatkan kepada mereka: menghalangi investor masuk ke daerah.

Minangkabau sekarang adalah Minangkabau yang berada dalam cengkeraman gurita konglomerasi urban yang bertindak sebagai titik-titik komando dan kontrol bagi berbagai aktivitas ekonomi yang. Minangkabau telah terseret dalam kota-kota global sebagai situs akumulasi, distibusi, dan sirkulasi modal, sekaligus juga merupakan titik-titik simpul pertukaran informasi dan proses pembuatan keputusan. Minangkabau telah berada pada titik nadir, dan jelas sangat berbahaya jika terus dibiarkan. Dari itu pula, wilayah publik, wilayah anak nagari, dan wilayah yang lainnya yang selama ini berada di tangan penguasa sudah saatnya dikembalikan ke dalam wilayah kultural Minangkabau.

“Perlawanan” yang paling dimungkinkan adalah dengan penguatan institusi informal, melakukan bargaining power terhadap kebijakan yang diambil oleh penguasa Minangkabau yang administratif itu. Memperjelas wilayah-wilayah yang pantas disentuh tangan penguasa, dan mempertajam kembali simpulsimpul kultural yang selama ini dimatikan oleh sistem kekuasaan.

Selain itu, penguasa Minangkabau administratif itu harus mempertegas dirinya untuk tidak menyentuh wilayah-wilayah yang sesungguhnya bisa digerakkan oleh sistem yang berjalan secara kultural.***

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.