Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Anindi - Ahmad Zaini

Anindi - Ahmad Zaini

Cerpen Kawaca
oleh Ahmad Zaini

Ada keganjilan di ruang belajar beberapa hari ini. Ruang kelas dengan jumlah penghuni dua puluh siswa ini tidak pernah lengkap penghuninya. Ada satu tempat duduk yang kosong. Tempat duduk di sudut paling belakang. Posisi kursinya masih seperti semula. Terbalik di atas meja. Tak ada yang menurunkan kursinya sebagai tempat duduk belajar. 

”Anindi,” suara Pak Marto saat mengecek kehadiran siswa.
”Absen,” sahut para siswa yang lain secara serempak.

Pak Marto berhenti. Dia melanjutkan pememanggilan nama siswa yang posisinya tepat di bawah nama Anindi. Pak Marto berdiri lalu mendekat ke arah kursi kosong tersebut.

”Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk. Adakah yang tahu keberadaannya?” tanya Pak Marto sambil berdiri di samping tempat duduk yang kosong itu. Para siswa diam. Mereka tak satu pun yang menjawab pertanyaan Pak Marto. 

Suasana kelas sejenak hening. Guru mata pelajaran Kewirausahaan ini tertegun. Ia heran kenapa siswa-siswanya diam semua. Guru yang selalu berpenampilan nyentrik dengan jenggot panjang dan dibentuk seperti kelabang serta dikat karet bekas berwarna merah sebagai penyimpul ini bergerak. Ia berjalan sambil mencari jawaban tentang alasan ketikdahadiran Anindi di kelas ini.

”Benar kamu tidak tahu?” tegas Pak Marto kepada Lia yang berada di tempat duduk nomor tiga dari  tempat duduk yang kosong.
”Be, benar, Pak. Saya ti, tidak tahu,” jawab Lia dengan terbata-bata.

Pak Marto orang yang berpengalaman. Dia sangat memahami gaya berbicara seseorang. Apabila ada orang yang bicaranya terbata-bata, berarti ada sesuatu yang disembunyikannya.

”Benar kamu tidak tahu?” tanya Pak Marto sekali lagi dengan nada agak memaksa.
Wanita berkaca mata ini diam. Dia berusaha merahasiakan keberadaan Anindi. Keningnya berkerut. Matanya tidak fokus. Lia sempat melihat ke teman-teman yang berada di bangku terdekat dengannya.

”Lia, kamu tahu Anindi, temanmu yang selalu berangkat dan pulang sekolah bersama-sama denganmu?” pertanyaan Pak Marto dengan nada yang lebih memaksa daripada pertanyaan-pertanyaan sebelumnya.

”I, iya. Maksud saya ...”
”Cukup,” sergah Pak Marto memotong ucapan Lia yang hendak membuat-buat alasan.

Guru berkulit sawo matang dan berwajah agak manis ini tidak ingin memanjangkan penelusuran keberadaan Anindi dalam ruang kelas. Ujung jari telunjuk tangan kanannya menyentuk bahu Lia.

”Ayo, ke ruang saya!” Pak Marto mengajak Lia ke ruangannya.
Lia berjalan mengikuti Pak Marto dengan langkah berat. Dia memikul beban perihal pesan Anindi yang memintanya agar merahasiakan alasan ketidakhadirannya di sekolah kepada siapa saja yang  menanyakannya. Termasuk kepada Pak Marto yang selama ini sangat perhatian kepada Anindi.

Pak Marto masuk di ruang guru BP. Dia duduk di belakang meja yang biasa digunakan penghuninya untuk memberi bimbingan dan penyuluhan kepada siswa. 

”Duduk!” perintah Pak Marto kepada Lia. Dia duduk perlahan di kursi yang berada tepat di depan meja Pak Marto.
”Pak, jangan paksa aku untuk mengatakan keberadaan Anindi!” pinta Lia mengiba pada Pak Marto.
”Berarti kamu mengetahui keberadaannya,” simpul Pak Marto setelah mendengar permintaan Lia.
”Tidak tahu.”
”Bohong!” gertak Pak Marto.

Lia tergeragap. Dia keget mendengar bentakan Pak Marto. Dia berusaha duduk tenang lagi sambil membenahi kacamatanya yang bergeser.

”Dia kerja, Pak,” kata Lia dengan suara ketakutan.
”Kerja di mana?” 
”Di warung tempat mangkal para sopir di area sebelah SPBU itu,” terang Lia sambil ketakutan.

Pak Marto berhenti menginterogasi Lia. Dia menyandarkan punggungnya di kursi sambil mendesis. Dia tidak menyangka Anindi bekerja di warung itu. Warung tempat mangkal para sopir yang dulu terkenal dengan pelayan-pelayan wanita cantik pengobral birahi.

”Terima kasih atas keteranganmu. Silakan kembali ke kelas!” pinta Pak Marto kepada Lia tanpa gairah. 

Guru Kewirausahaan ini duduk mematung di ruang BP. Dia terngiang kata-kata Anindi ketika itu. Di kantin sekolah Anindi pernah bercerita kepadanya bahwa dia ingin putus sekolah karena terkendala biaya. Dia ingin bekerja.
***

Sore hari saat pulang mengajar, Pak Marto berhenti di pinggir jalan. Dia mengamati tempat kerja Anindi dari kejauhan. Ia melihat beberapa truk berhenti di area parkir yang disediakan oleh pemilik warung. Di teras warung bergerombol beberapa sopir. Mereka mengantre pesan makan dan minum. Mereka duduk bergurau dengan sesama sopir sambil menunggu menu pesanannya.

Lima menit kemudian Pak Marto melihat seorang gadis yang keluar warung. Gadis bertubuh semampai dengan rambut terurai sebahu. Dari tempatnya mengamati, Pak Marto melihat senyum simpul gadis yang tidak asing baginya sedang menghidangkan menu pesanan. Ia melihat salah satu sopir yang nakal. Dia menjahili gadis itu dengan mencolek pinggulnya. Gadis itu santai tanpa ada reaksi marah atau jengkel pada ulah jahil sopir tersebut.

Mata Pak Marto berkaca-kaca. Ia bersedih. Dia menyesal karena tidak merespon kata-kata Anindi waktu itu. Andai dia tanggap, mungkin Anindi setiap hari masih berada di ruang belajar. Bukan di warung untuk melayani sopir-sopir dengan gaya berpakaian serta sikap yang mengumbar birahi para lelaki.

Hari semakin petang. Warung tempat bekerja Anindi akan tutup. Tangan kanan Pak Marto mengusap air matanya yang hampir tertumpah di tangki motornya. Hati Pak Marto semakin remuk ketika melihat gadis bertubuh semampai itu dibonceng pemilih warung dengan sepeda motor. Tangan kanannya memeluk erat sambil menyandarkan badannya di punggung lelaki bertubuh tambun itu. Betapa hancur jiwa pendidik Pak Marto melihat fakta yang melintas di depannya. Dia takut kalau Anindi akan menjadi korban pemilik warung itu.  Ini tidak bisa dibiarkan. Masih ada waktu untuk menyelamatkannya, tekad Pak Marto dalam hati.

***

Lelaki berjenggot panjang yang dibentuk seperti kelabang mengendarai motor menembus malam. Dia menyusuri jalan ke arah rumah Anindi. Bebatuan jalan yang tak rata ia gilas dengan roda motor. Ratusan serangga malam ia hadang dengan helm. Udara dingin ia tangkis dengan jaket tebalnya. Demi satu tujuan, menyelamatkan Anindi dari kehidupan yang kejam.

Pak Marto menghentikan laju motornya. Dia turun dari motor nyentrik hasil modifikasi sendiri. Motor itu dijagang di pinggir jalan. Setelah itu, Pak Marto berjalan melintasi gang kecil menuju rumah sederhana yang bersembunyi di balik bangunan rumah megah para tetangganya. Dia berdiri sembari mengucap salam sembari mengetuk-ngetuk daun pintu rumah itu. Tak lama kemudian muncul Anindi yang usai mandi. 

”Pak Marto!?” kata Anindi kaget atas kedatangan Pak Marto. 
Anindi yang masih membuntal rambutnya dengan handuk itu memersilakan Pak Marto masuk dan duduk di kursi kayu ruang tamu. 
”Sebentar, ya, Pak,” ucapnya.

Anindi meninggalkan Pak Marto sambil menggosok-gosokkan handuk di kepala agar rambutnya cepat kering. Dia berjalan ke belakang untuk menaruh handuk dan mengambil sesuatu yang bisa dihidangkan pada gurunya.

”Silakan di minum, Pak!” gadis berambut sebahu yang masih lembab ini memersilakan Pak Marto meminum teh hangat.
”Tidak usah repot-repot, Nin! Santai saja,” sahut Pak Marto dengan akrab seperti biasanya.
”Tumben Bapak ke rumah?” tanya Anindi dengan agak malu.
”Ingin berkunjung ke rumahmu dan bersilaturrahim dengan kedua orang tuamu. Ke mana kedua orang tuamu?”
”Mereka belum pulang. Ayah sudah seminggu ini bekerja  menarik becak di Surabaya, sedang ibu sudah dua hari ini belum pulang berjualan ikan asap di pasar malam Gresik.”
”Kalau kedua orang tuamu tidak di rumah, kamu sendirian?”
”Otomatis, Bapak. Masak dengan Bapak,” sahut Anindi yang sudah mulai berani berkelakar dengan Pak Marto.

Pak Marto heran. Ada perubahan pada diri Anindi. Dia berani berkelakar dengannya tanpa sungkan. Ini jelas dampak pergaulan setiap hari di warung itu.

”Dua minggu kamu tidak masuk sekolah, kenapa?” tanya Pak Marto kepada Anindi.
”Saya kerja, Pak,” jawab Anindi singkat.
”Untuk apa kerja? Bukankah biaya sekolahmu selama ini sudah kutanggung? Dulu ketika kamu membolos sekolah dan kujumpai sedang mengamen di lampu merah, kau beralasan untuk mencari biaya sekolah. Kamu kusuruh berhenti mengamen. Biaya sekolah kutanggung. Sekarang kamu bekerja di warung itu untuk apa?”
”Kok, Bapak tahu saya bekerja di warung?” Anindi balik bertanya kepada Pak Marto.
”Tak perlu kau tahu itu. Yang penting sekarang jawab. Untuk apa kau bekerja di warung itu?” Pak Marto bertanya lagi dengan serius. 
”Saya ingin sepeda motor. Saya tidak mau pergi sekolah dengan berjalan kaki. Malu pada teman-teman,” jawab Anindi polos.
”Kalau itu keinginanmu, mulai besok berhentilah dari pekerjaanmu. Berangkatlah ke sekolah.”

Anindi diam. Dia bingung. Berhenti bekerja, masuk sekolah. Berangkat ke sekolah sambil berjalan kaki. Sampai di sekolah diejek teman-temannya. Amit-amit! ucapnya dalam hati.
”Tidak mau, Pak. Biar saya tetap bekerja!” bantahnya
”Pokoknya berhenti bekerja di situ. Itu tempat tidak cocok buat gadis seperti kamu. Sangat berbahaya. Sudah banyak korbannya,” bentak Pak Marto.
”Lantas?”
”Lantas apa? Sepeda motor? Mulai besok pagi, kamu pakai sepeda motor saya yang di rumah. Gratis. Tak usah kau beli dengan uang hasil kerjamu di warung itu. Yang penting kau berhenti kerja lalu berangkat ke sekolah,” pungkas Pak Marto.
Anindi bungkam. Dia tidak bisa mengelak dengan berbagai alasan. Dia tidak bisa menghindar dari permintaan Pak Marto karena semua yang diharapkan sudah dijamin. Sudah dipenuhi oleh guru yang diam-diam diidolakannya itu. 
”Baik, Bapak. Mulai besok saya berhenti bekerja. Saya akan masuk sekolah lagi,” jawabnya dengan wajah ceria.
”Janji! Serius sampai lulus!”
”Iya, Pak. Saya berjanji akan serius hingga lulus.”
”Nah, begitu! Kalau begitu saya pamit dulu. Jangan lupa besok pagi mampir ke rumah untuk mengambil sepeda motor,” kata Pak Marto dengan serius.

Hati Pak Marto sangat lega. Ia puas dengan apa yang telah dilakukan pada Anindi. Dia bisa menyelamatkan masa depan salah seorang siswinya. Dia bisa mengentaskannya dari ancaman pergaulan embongan yang bebas. Dia berhasil mengembalikan Anindi ke sekolah untuk dibina menjadi gadis yang bermartabat. 
***
Pagi harinya Pak Marto berdiri di depan rumahnya. Ia agak risau karena Anindi belum juga datang ke rumah untuk mengambil sepeda. Hampir sepuluh menit Pak Marto menunggu Anindi sambil menyibukkan diri dengan mengelus-elus jenggot panjang seperti kelabang. Matanya tak berkedip menatap sebuah gang di ujung jalan dengan berharap Anindi segera datang. 

Tepat pukul enam, sinar matahari pagi mengantar seorang gadis bernama Anindi. Di lahir dari sebuah gang dan berjalan menuju rumah Pak Marto. Dia berpakaian seragam sekolah sambil memanggul tas ransel berwarna hitam. Dia berjalan girang menghampiri Pak Marto. Dia menjabat tangan Pak Marto sambil mengecup tangannya. Dengan berwibawa, Pak Marto menunjuk ke arah sepeda motor yang dijagang di depan rumah. 
Anindi bergegas menghampiri sepeda motor itu. Ia tidak langsung menaikinya. Tangan kanannya bergerak gemulai sambil mengelus-elus motor yang masih mulus. Anindi berdiri tegak setelah beberapa saat membungkuk mengamati sepeda motor. Wajah ayu Anindi mengarah ke Pak Marto yang masih berdiri di tempat semula. Pak Marto mengangguk khusuk sebagai isyarat bahwa sepeda motor itu untuk dirinya. Wajah Anindi ceria. Senyum mengembang sebagai ungkapan senang atas pemberian gurunya itu. Anindi menaiki lalu mengendarai sepeda motornya secara pelan ke sekolah. (*)

Lamongan, 7 Desember 2018 


BIODATA PENULIS


Ahmad Zaini - Kawaca.com
Ahmad Zaini, Lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya sastranya baik berupa cerpen maupun puisi pernah dimuat oleh beberapa media massa. Antara lain Kompas.com, okezone.com. Radar Bojonegoro, Duta Masyarakat, majalah MPA (kemenag Jawa Timur), majalah Indupati, Tabloid Maarif Lamongan, Tabloid Lensa Lamongan, Media (PGRI Jawa Timur), dan Majalah Wanita UMMI Jakarta, majalah Kidung (Dewan Kesenian Jawa Timur).

Puisi-puisinya terkumpul dalam buku antologi bersama di antaranya Bulan Merayap (DKL,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Sehelai Waktu (Scolar, 2011),  Pengembaraan Burung (DKL, 2015), Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016), Antologi Puisi Penyair Dunia Kopi 1.550 mdpl (Takengon, Aceh, 2016), Mengunyah Geram (Yayasan Manikaya Kauci, YMK, Bali, 2017), Antologi Puisi Nusantara Senyuman Lembah Ijen (Taretan Sedaya Internasional, 2018), Musafir Ilmu (Rumah Seni Asnur, Depok, 2018), serta Antologi Puisi Guru tentang Sebuah Buku dan Rahasia Ilmu (Rumah Seni Asnur, Depok, 2018), Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala (2018).

Cerpen-cerpennya terkumpul dalam buku kumpulan cerpen Telaga Lanang (Lima Dua, Gresik, 2012), A Moment to Feel (Pustaka Jingga, 2012), Sayap-Sayap Cinta (D3M Kail Tangerang, 2013), Matahari Baru Buat Katro (D3M Kail Tengerang, 2014), Lentera Sepanjang Rel Kereta (Pustaka Ilalang, 2014), Titik Nol (Pustaka Ilalang, 2015), Bukit Kalam (DKL, 2015) dan Penitis Jiwa (Pena Ananda Indie Publishing, Tulungagung), Surat untuk Calon Guru (PPI Moroko, 2017) serta novel perdananya Mahar Cinta Berair Mata (Pustaka Ilalang, 2017), dan  Bocah Luar Pagar (2018). Salah satu cerpennya yang berjudul Bayang-Bayang Pernikahan Nggotong Omah meraih juara harapan I pada Sayembara Penulisan Prosa (cerpen) dalam rangka Festival Panji Nusantara 2018. Saat ini berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur. Nomor HP/Wa 085732613412, Facebook: ilazen@yahoo.co.id/ Ahmad Zaini.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.