Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Apresiasi Puisi “Gerbong Kereta Api” Karya Safri Naldi - Indra Intisa

Apresiasi Puisi “Gerbong Kereta Api” Karya Safri Naldi - Indra Intisa

oleh Indra Intisa

Pada hakikatnya, puisi lahir dari batin seorang penulis—unsur kreatif yang kemudian dikembangkan dengan berbagai macam pola tuang—berbagai macam tema dan bahasan—kemudian lahir menjadi sebuah puisi. Puisi yang lahir dan terus-menerus hidup dari zaman ke zaman, tentunya mengalami perkembangan. Dari puisi konvensional yang terikat dengan aturan “segerobak”, kemudian terus bergerak liar menjadi bebas layaknya prosa. Di zaman digital, perkembangan puisi pun tidak kalah meriahnya. Muncul pula era puisi pola tuang—puisi yang mempunyai ciri khas dari sisi bentuk, tifografi atau perwajahan. Dari beberapanya hidup dan menjadi besar, dikenal dan disukai oleh banyak orang.

Pola tuang sebagai wadah sebuah puisi, bisa saja menjadikan puisi tersebut semakin hidup dan hebat. Bisa pula sebaliknya. Beberapa orang akan terkungkung oleh batasan sehingga imajinasinya mati tanpa ampun. Beberapa orang bisa saja berpandangan sebaliknya. Tantangan dan aturan justru menjadikan mereka semakin kreatif dalam berkarya.
Membahas pola tuang, tentu tidak bisa kita lupakan akan wajah dari sebuah puisi. 

Sebagaimana kita melihat ciri seseorang sebelum mengenal dan berbicara dengan mereka. Adakalnya memang, kita mengenal orang dari sifat, karya dan perilakunya. Tetapi, ketika berhadapan langsung dari fisik ke fisik—jika sebelumnya kita belum pernah tahu dan melihat—tentu kita menyimak dan mengamati dalam-dalam pada bentuk tubuh, kulit, rambut, dan hal-hal yang ada pada fisik orang tersebut. Begitu pula puisi. Hanya yang perlu kita perhatikan terkait isi dan perilakunya. Itu seperti bentuk manusia yang sangat cantik dan tampan tetapi memiliki perilaku dan sifat yang buruk. Seperti sebuah puisi yang memiliki isi dan pesan yang buruk, tetapi memiliki bentuk dan diksi yang seolah bagus. Perlu memang kita berhati-hati dengan puisi dengan batasan pola atau tata aturan lainnya. Tetapi bisa juga berlaku sebaliknya, ada pula manusia yang memiliki fisik yang tidak sempurna tetapi memiliki sifat dan perilaku yang baik. Puisi juga seperti itu.

Membaca puisi-puisi terikat pola tuang, terbaca pula oleh saya puisi Safri Naldi yang diposting di beranda Facebook, Senin, 13 Maret 2017. Puisi dengan bentuk turunan dari putika—dibaca putika prosais*) ini merupakan puisi yang sedikit melawan arus. Puisi yang saya sebut gerbong kereta api ini (sesuai judul), merupakan puisi dengan sebuah judul yang layaknya gerbong kereta api. Panjang-panjang, mengikuti kepala. Tetapi puisi ini hanya memiliki isi yang sangat pendek, tiga kata saja. Tiga kata yang terikat jumlah bait, larik dan batasan keterikatan diksi—pemenggalan kata, enjambemen yang terputus, tentu menjadikannya hal lain sebagai pengikat. Mari kita simak puisinya di bawah ini:

PADA DINDING LANGIT KAU TULISKAN NAMA DENGAN TINTA BERWARNA-WARNI TAPI TERLUPA BAHWA AWAN HITAM KELAK AKAN DATANG BAWA GUMPALAN-GUMPALAN HUJAN YANG LURUHKAN SERIBU HURUF ITU, KILAT PUN KAU LUPA, SENGATANNYA LEBIH PANAS DARI TUNGKU EMAK DAN ... SESAAT LALU, KAU REBAH MENAHAN BUTIRAN HUJAN YANG BAWA TINTA KEMBALI MENGHUJAM BUMI, BAHKAN MASUK KE PERSENDIAN TANAH, NAMUN YAKIN KELAK AKAN MEMANCAR DENGAN LEBIH MURNI DI MATA AIR

Pengukuhan
Nyali teruji

Ciwidey, 13 03 2017

Puisi gerbong kereta api ini memang membuat sesak pembacanya ketika membaca dan menyimak judul. Untuk membaca judul, setidaknya kita perlu satu tarikan nafas yang panjang—sebaiknya tidak boleh putus, kecuali pada tanda baca ellipsis, sebagai tanda berhenti panjang sejenak. Proses peletakan tanda ellipsis boleh jadi sebagai akal-akalan dari penyair untuk mensiasati judul yang luar biasa panjang—tanpa diperbolehkan satu tanda titik, kecuali tanda baca lain seperti koma, dst. Setelah judul, kita akan mendapati isi yang super pendek dengan dua hentakan pendek, yaitu larik pertama dan dua.

Larik pertama pada isi, merupakan latar dan citraan awal dari sebuah puisi. Kemudian dihentak oleh rekaan, jawaban, akibat dari sebab layaknya gurindam, tapi bukan gurindam. Kesatuanpadu dari isi yang menyentak tentu menjadikan isi sebagai rekatan dari sebuah judul. Bagi sebagian orang tentu kecewa, tidak menyangka, merasa aneh, di luar normal kebiasaan karya secara umumnya. Salah seorang teman Facebook, Raki berkata, ini adalah sebuah kebingungan daripada kepala dan tubuh. Tubuh dan kepala yang terbolak-balik.  Penyair lain—penyair perempuan, Dewi Nurhalizah berkata bahwa puisi dengan kepala panjang seperti itu sama layaknya ular derik. Yang mendesis-desis adalah ekor—yang mengikuti kepala. Sepakat atau tidak sepakat dari dua contoh pandangan di atas, saya mengibaratkan sebuah kebiasaan adalah kenormalan yang umum. Sesuatu yang lumrah terjadi. Keterbalikan ini hanya merupakan sesuatu dari ketidakbiasaan. Waktu akan menjawabnya sah atau tidak. Hal ini mengingatkan saya pula kepada tubuh ular. Ketika kita melihat ular, tentu kita tidak bisa menentukan batasan pasti antara kepala ke leher, leher ke tubuh, dan tubuh ke ekor. 

Kesemuanya satu patu menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan. Tetapi ia tetap hidup dan berjalan sekalipun tanpa kaki dan tangan. Berbahaya sekalipun tidak mempunyai tubuh yang utuh. Ia bisa berlari kencang dibandingkan hewan lain seperti kura-kura, dst., yang tentunya lebih sempurna. Dalam pandangan saya, kebingungan-kebingan tsb., hanya terkait masalah umum dari sebuah pandangan. Perlu kiranya mentelaah sudut pandang lain yang belum tersentuh dan disimak jauh sebelum ini.

Puisi gerbong di atas adalah sublim yang menyentuh terkait perkembangan dari sebuah puisi, jalan hidup yang baru, sesuatu yang dianggap belum teranggap, supaya tetap teguh dan konsisten dalam memilih. Hingga visi-misi dari sebuah hidup tidak gagal hanya karena sentuhan, gigitan atau goresan cakar dari orang yang lain yang berniat melukai, menyanggah, menentang atau membunuh supaya kita tidak pernah sampai ke ujung yang kita inginkan. Atau bisa pula sebagai gertakan untuk menguji sebatas mana kekuatan kita untuk kuat akan konsep dan niat kita.

Pulau Punjung, 2017

*) Buku: Putika (Puisi Tiga Kata) “Teori dan Konsep”. Indra Intisa. Penerbit: Garudhawaca. 2015.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.