Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Siang Terakhir bagi Sabar - Arie MP Tamba

Siang Terakhir bagi Sabar - Arie MP Tamba

oleh Arie MP Tamba
Siang Terakhir bagi Sabar - kawaca.com

WWW.KAWACA.COM | SABAR melajukan sampannya. Perasaannya ringan. Bagian bawah dayungnya pada air danau yang biru dan tenang itu, ia perdalam sampai tangan kanannya yang mencekal pinggang dayung terendam oleh kesejukan air. Beban dayung jadi lebih berat, tapi kayuhannya membuat sampan meluncur lebih cepat. Terdengar desir air yang tersibak oleh dasar sampan. Juga, percikan butir-butir air memecah ringan, setiap kali dayung terangkat.

Ia memandang wilayah desa Parsaoran di hadapannya. Kampung-kampung kecil berserak di lereng bukit, lembah dan kaki bukit. Jalanan dari masing-masing kampung itu, berkelok-kelok menurun di antara persawahan yang bertingkat-tingkat ke bawah, sampai ke jalan penghubung: jalan penghubung itu, selebar dua meter, menghubungkan antarwilayah desa-desa sepanjang pesisir danau. 

Selanjutnya, kembali jalan-jalan berkelok itu menurun di antara persawahan. Memuara di Onansait, bersama jalan-jalan kecil dari beberapa kampung yang dekat ke danau. Ada pun Onansait, satu tempat yang landai dan lebar, persis di tepi danau dan di pertengahan teluk, dijadikan pusat Onan sekali seminggu di desa Parsaoran. Dan sekarang adalah hari Onan. 

Terlihat para ibu dan para gadis menuruni jalan-jalan berkelok itu. Terlihat juga di jalan penghubung. Beririrgan, dua orang, tiga orang, bahkan empat orang atau lima. Mereka itu menjunjung keranjang, berisi bawang, buah, ketela, atau apa saja yang mau dijual. Namun ada juga yang lenggang-kangkung sambil mengunyah sirih di mulutnya. Yang jelas, bagi Sabar yang sedang memandangi dan sudah mengenali itu semua, semua orang itu terlihat bergegas. Bergegas agar cepat sampai ke Onansait. Bertemu orang-orang dari kampung lain. Berbincang-bincang. Berdagang. Belanja. Atau sekedar jalan-jalan cari kenalan baru, seperti biasa dilakukan para pemuda dan para gadis.

Onansait sendiri belum begitu ramai. Baru beberapa pedagang yang sedang sibuk memacakkan tonggak-tonggak beratap kain penahan panas. Ada yang sudah selesai dengan tenda, sibuk pula mengeluarkan barang-barang dagangannya dari peti atau karung. Dan menggelarkanya di atas plastik. Walau begitu, kegiatan jual beli sudah pula berlangsung di beberapa kelompok. Khususnya di kelompok penjual ikan. Beberapa ibu berkerumun di sana.

Sejak dari tengah danau, Sabar sudah melihat empat lelaki itu menuruni jalan berkelok dari kampung Bukit. Kini, empat lelaki itu sudah memasuki Onansait. Lalu berjalan ke kedai Ama Risa. Satu-satunya kedai makan dan minum di Onansait. Letak kedai itu, lebih tinggi dari Onansait, dan sejajar dengan persawahan di belakangnya.

Ia jadi lebih bersemangat mendayung sampannya. Onan kali ini akan lebih ramai! Onan kali ini akan menjadi ajang bagi para calon Kepala Desa itu menunjukkan wibawa dan pengaruh. Atau memamerkan kesanggupan menarik pengikut. Dan pusat kegiatan itu tentu saja di kedai Ama Risa. Begitulah desas-desus di antara para nelayan yang kebetulan berjumpa dengannya di tanjung, selama seminggu ini.

Sejenak ia menoleh ke belakang. Ke arah tanjung, yang menjadi ujung wilayah desa Parsaoran. Kira-kira dua puluh meter sebelum tanjung, persis di bagian bukit yang landai, tapi tak jauh dari danau, berdirilah rumah panggungnya. Rumah itu terpisah sendiri. Terlihat damai di antara pohon-pohon kelapa, ditimpa matahari tengah hari. Istrinya ditemani dua anaknya yang masih kecil, sedang meneruskan membuka kebun bawang di sebelah kanan rumah, ke arah tanjung. Tadi sebelum berangkat, ia juga ikut bekerja.

Kini tatapannya kembali ke Onansait. Jaraknya tinggal dua puluh meter lagi. Di pantai, beberapa perahu milik para pedagang dari seberang itu, terlihat bercahaya ditimpa matahari. Beberapa sampan kecil terselip di antara perahu-perahu itu. 

la sengaja mencari tempat paling ujung. Ketika mencapai tepi, ia turun ke danau setelah melipat kaki celananya sampai ke lutut. Lalu menarik sampannya agak dalam ke darat. Karena ia bermaksud pulang lebih sore. Di samping itu, sampannya nanti terlihat jelas dari kedai Ama Risa.

Setelah sampan aman, sesaat Ia mengeringkan kakinya yang basah dengan telapak tangan, kemudian menurunkan kembali kaki celananya. Lalu mengangkat baskom besar berisi ikan mujair, yang tadinya ia letakkan di lunas sampan. Kini hati-hati ia letakkan di atas pasir. Itulah modalnya kali ini beronan. Ia perhitungkan, ada dua puluh kilo lebih, setelah ia tinggalkan sedikit di rumah. Dan dari hasil penjualan ikannya itu nanti, ia rencanakan akan membeli beberapa bubu baru, di samping membeli keperluan-keperluan dapur seperti yang dipesankan istrinya. Ia juga akan membeli tembakau untuk dirinya sendiri. Sesudah itu, oleholeh tape bagi dua anaknya, sebagai tanda bahwa ayah mereka baru pulang dari Onan.

“He, Ama Linda! Bagaimana ikanmu kali ini? Banyak?” tegur seorang ibu dengan suaranya ringan dan bersahabat.

Sabar menoleh. Istri Guru Lama!

“Bah, Horas Inang,” balas Sabar. Memandang tersenyum pada si ibu yang berjalan ke arahnya, meninggalkan kelompok ibu-ibu yang sedang merubungi penjual buah kecapi. Si ibu itu menenteng ember kosong.

“Saya pikir Inang belum datang,” ucap Sabar lagi. Sementara si ibu langsung berjongkok,
menghadapi ikan-ikan dalam baskom itu.

“Bah, kok kurus-kurus semua?" kata si ibu.

“Memang lagi susah, Inang. Tangkapan yang gemuk sudah jarang,” sahut Sabar sambil mengambil botol kosong untuk minyak goreng dari sampannya. Meletakkannya di sisi baskom. Kemudian ikut jongkok dan mengoarkan tumpukan ikan dalam baskom itu dengan kedua tangannya.

Si ibu mengikuti cara Sabar. Tumpukan ikan itu kembali terkoar dari dasar, dan beberapa ikan yang masih hidup segera meloncat belingsatan. Sementara, sebagian besar yang
sudah mati, terdiam dengan kedua mata hitam terbelalak. Hanya sekali si ibu menyatakan harga, dan Sabar menyetujui. Lalu mereka mengobrol beberapa saat. 

“Jadi seminggu ini kau sibuk membuka ladang bawang?” tanya si ibu kemudian. 
“Iya, Inang,” jawab Sabar. Ia sedang memindahkan ikan. 

“Oya, hati-hati kalau ke kedai Ama Risa,” pesan si ibu, setelah ikan-ikan dari baskom itu berpindah ke dalam ember. 

“Iya, Inang. Saya akan hati-hati,” sahut Sabar. 
“Saya hanya ingin mendengar-dengar, sambil minum kopi.” 
“Iya, jangan ikut campur setiap pembicaraan. Tadi ada Guru Ali bersama begundalnya. Tukang-tukang tikam itu!” Si ibu menekankan dengan suara rendah. Sementara tangannya menyodorkan uang. 

“Apa Amang belum di kedai?” tanya Sabar sambil menerima uangnya. 
“Belum. Mereka masih menunggu ikan-ikan ini untuk makan siang.”

Sabar meragu. Sesaat ia memandangi si ibu, istri Guru Lama itu, kembali bergabung dengan para ibu-ibu yang semakin ramai berdatangan. Ia lihat pula, beberapa sampan dan sebuah perahu besar sedang merapat. Namun dalam benaknya, yang membayang adalah Guru Ali, si Calon kepala desa dari kampung Bukit. Jadi merekalah yang terlihat dari tengah danau tadi! Dan hatinya menjadi tak enak, karena ia tahu persis, Guru Ali punya permusuhan pribadi dengan Guru Lama. Dan tukang tikam! Ah, Sabar sesaat dicekam rasa takut. Para tukang tikam itu tak segan-segan menggunakan pisaunya, bila mereka sudah dirasuki alkohol! 

Namun Sabar kembali menjadi tenang, saat teringat barang-barang yang harus dibelinya. Di kantungnya sudah ada uang. Cukup lumayan jumlahnya. Istri Guru Lama barusan, membayar ikannya dalam harga yang pantas. Dan lagi, pikirnya kemudian, kalau nanti jadi ke kedai, ia tak perlu terlalu khawatir. Guru Lama bukan calon kepala desa! Tapi hanya mendukung salah seorang calon, yakni Guru Hot! Jadi kalau Guru Ali sampai menganggapnya sebagai pendukung Guru Hot, karena ia dekat dengan Guru Lama, itu tentu terlalu dicari-cari!  Sabar sudah membeli dua buah bubu baru. Setengah botol minyak goreng. Sebungkus tembakau untuk persiapan seminggu. Sekilo ikan asin. Dan tape, terbungkus rapi dalam daun, ia beli dua bungkus! Semuanya ia simpan sedemikian rupa di sampannya.

Pada saat-saat seperti itulah jaga selalu merasakan kedamaian hidup di desa Parsaoran. Menjadi manusia bermasyarakat dan dihargai: dari pada menjadi manusia tanpa arti di kampung asalnya, sebuah kampung gersang di bukit Pulau Samosir. Dan setiap kali rasa damai itu datang, ia pun teringat dan merasa berterima kasih sekali pada seorang tua, yakni Guru Lama.

Walaupun ia tinggal memisah dari kampung Guru Lama, setiap kali Guru Lama memerlukan tenaga, selalu ada suruhan yang datang memanggil Sabar. Dan itu diterima Sabar dengan rasa girang. Ia selalu menghormati Guru Lama, yang telah menikahkannya dengan anak familinya sendiri. Jadi, Sabar memang akhirnya berfamili dengan Guru Lama. Namun bagi Sabar sendiri, rasa hormatnya, adalah lebih besar bersifat utang budi, daripada jalinan keluarga itu. Adapun akhir-akhir ini ia jarang berkunjung ke rumah Guru Lama, itu disebabkan kesibukannya membuka kebun bawang. Namun bukan berarti ia tak berkunjung sama sekali. Pada saat tanggapan ikan banyak, setelah memisahkannya buat di rumah, ia akan membawanya pada istri Guru Lama. Dan itu lebih baik bagi sabar, daripada ia menjualnya ke Onan di teluk lain. 

Kini Sabar melangkah ke kedai Ama Risa. Ada pengertian bagi orang beriman, bahwa yang memasuki kedai Ama Risa, adalah orang-orang yang punya uang. Dan orang-orang yang keluar dari kedai Ama Risa, memang selalu berpongah-pongah. Memandang pada orang-orang beronan di bawahnya. Lalu ke sekeliling Onansait. Baru, menuruni tangga.

Sabar pun cukup puas atas dirinya. Manakala matanya bersirobok dengan beberapa orang yang beronan. Lalu ia menoleh sesaat ke sampannnya. Baru menoleh ke dalam kedai. Dan ia merandek, dengan dada berdebar. Empat pasang mata menatapnya tajam! Rasanya ingin saja ia turun kembali. Tapi sepasang matanya sudah menangkap sosok Ama Lasma, seorang nelayan seperti dia juga, duduk tenang menikmati kopinya menghadap ke dalam. Dan lagi, Ama Risa sudah melihatnya dan tersenyum padanya. “Horaas!” sapa Sabar memasuki kedai. “Horaas!" balas Ama Risa dan Ama Lasma yang sudah menoleh ke luar. Sementara Guru Ali hanya memandang tak acuh. Tapi ketiga bagundalnya memandang mengejek.

“Bagaimana? Sudah kau jual ikanmu?” tanya Ama Risa dari balik stelengnya, ketika Sabar mengambil tempat. 
“Sudah, Amang,” Sahut Sabar. 

Di dalam kedai ada tiga meja dengan sepasang bangkunya, masing-masing sepanjang empat meter dan dipasang berjajar. Sabar mengambil tempat dekat pintu, di meja paling luar, sehingga ia dapat melihat sampan nya dengan jelas. Ama Lasma duduk sebangku dengannya, sama-sama menghadap ke dalam, berlawanan dengan Guru Ali dan tiga bagundalnya, yang duduk di meja paling dalam. 

“Minum apa kau?” tanya Ama Risa lagi. 
“Kasi kopi saja, Amang. Sekalian dengan penganan kecil,” sahut Sabar. Sesaat matanya menangkap berbotol-botol bir dan anggur di hadapan Guru Ali dan bagundalnya. 

Ama Risa segera berlabuh ke dalam. 
“Ada berapa kilo kau dapat?” kini Ama Lasma yang bertanya. 
“Yah, kira-kira dua puluh kilo... Hasil tangkapan dari empat tempat,” sahut Sabar. 
“Sudah lumayan itu. Yang kujual tadi paling cuma lima belas kilo.” 
“Oh sudah laku?” Ama Lasma mengangguk. Lalu menghirup kopinya. 

Beberapa saat Sabar menikmati kopi dan penganannya. Matanya sesekali menoleh ke arah sampannya. Terlihat juga Onan semakin ramai. Beberapa sampan dan perahu masih berdatangan. Para pedagang mengangkati barangnya dari perahu dan menuju tempatnya biasa menggelar. Sedang para ibu dari kampung-kampung Parsaoran yang baru tiba, segera bergabung dengan orang-orang beronan lainnya. Namun, sudut mata Sabar dan telinganya, sebenarnya lebih banyak tertuju ke dalam kedai. Pada Guru Ali dan bagundalnya, yang selalu dengan mata tajam, mengawasi siapa saja yang memasuki Onansait, baik itu dengan sampan maupun jalan kaki. 

“Kapan kita mulai Guru?” tanya salah seorang bagundal.
“Tunggu orang-orang beronan penuh seperti biasanya,” sahut Guru Ali sambil melirik remeh pada Ama lasma dan Sabar.
“Baru di situlah kita bongkar kecurangan Guru Lama. Melenyapkan dana dari pemerintah untuk membuat los pasar di sini.”
“Haha! Akan malu dia guru!” Seorang bagundal menimpali. 
“Guru akan terpilih jadi kepala desa kali ini,” sambung bagundal yang lain.
“Itu sudah jelas, kawan kawan. Cuma Guru kita yang bersih sebagai calon, Dan kelak, setelah guru kita jadi kepala desa, onan akan kita pindahkan ke kampung kita,” kata si begundal paling tua sambil kemudian tertawa mengejek. 
“Biar orang-orang di sini tahu sakitnya naik turun bukit!” Ia memandang Sabar, Ama Lasma dan Ama Risa. 
“Tahun ini banyak pesta, ya?” kata Ama Lasma mendadak, menoleh pada Sabar. 
“Sabar tergagap sesaat perhatiannya pecah. Akhirnya ia menoleh pada Ama Lasma.
“Banyak orang margondang. Juga ada mengokkal holi,” lanjut Ama Lasma. 
“Iya, Amang,” sahut Sabar. 
“Tapi ikan-ikan masih saja kosong,” sambungnya ketika melihat Guru Ali dan begundalnya memandang ke arahnya, ucapan 'juga pemilihan kepala desa' tertahan di benaknya.
“Kata anak-anak sekolah yang berliburan dulu, itu pengaruh si gura-gura....,” jelas Ama Lasma. 
“Maksud Amang, anak-anak sekolah yang memasang tenda-tenda di muara sungai itu?” tanya Sabar. 
“Iya. Mereka itu berkemah karena habis ujian katanya,” kata Ama Lasma. 
“Berkemah?” Sabar tak menyembunyikan betapa ia heran oleh kata baru itu. 
“Iya.” Ama Lasma mengangguk bangga. 
“Tapi aku bilang kepada mereka, memang tahun ini ikan berkurang.” Sabar hanya mengangguk. Perhatiannya kembali pada Guru Ali dan begundalnya. Tapi dari meja mereka juga tak ada pembicaraan penting. Lalu di dalam kedai itu senyap.

Suara-suara dari luar kedai pun menyeruak. Sabar akhirnya memandang ke luar. Pada keramaian Onan. Sambil menyimak suara-suara yang menyambar, 
“ayo, belilah!”
“Hey, sini, jadikan saja!”
“Bah, cuma setengah kilo?.... Padahal kau tawar harga satu kilo!”
“Bagus, ya, ini barang bagus, dari Medan kubeli....”
“Bagaimana, jadi? Jadikan sajalah!”
“Tak kurang, ” Ya, suara-suara itu berbaur, berulang-ulang, berpindah-pindah, dan Sabar menikmati itu semua dengan rasa puas dan menyenangkan. Itulah suasana Onan yang dirindukannya sekali seminggu.

Melihat orang berlalu-lalang, tawar menawar, dan hidup! Ya, benar benar hidup. Sebagaimana hidup yang sedang dijalaninya, dan masih akan berlanjut penuh janji, terutama saat ia sesekali menatap sampannya yang berisi barang-barang keperluannya, untuk hari selanjutnya.  Kemudian terdengar dari bawah halaman kedai suara si penjual tembakau yang biasa menggelar dagangannya di samping tangga, tanpa tanda,
“Berapa plastik tembakau?”
“Dua plastik, Amang,” sahut seorang muda. Sabar dapat melihat pemuda yang berjongkok itu, dan mengenalinya.  

“Rokok berapa slop?”  
“Tiga slop!”  
“Bah, mengapa tidak tambah lagi? Bukankah Guru Lama sedang menjamu Guru Hot, calon kepala desa...”

Persis pada kata-kata  itu, Sabar tersertak. Tiga begundal  Guru Ali sudah bergegas keluar. Dan ketika si pemuda yang sedang menunggu kembalian uangnya itu, melihat para begundal itu menyerbu sampai ke halaman kedai, ia segera berdiri dan berbalik: segera berlari, menyelip-nyelip di antara orang beronan.

“Kembalinya!” teriak si penjual tembakau. Tapi si pemuda tak perduli. Beberapa kali terjatuh karena tertabrak orang-orang yang beronan. Ia langsung bangkit dan langsung berlari. Sementara onan sudah menjadi galau oleh teriakan-teriakan ingin tahu dan marah. Juga jerit ketakutan dari beberapa orang ibu yang tadi tertabrak jatuh,  

“Apa? Ada apa?”  
“Mabuk?” 
“Bukan. Pembunuh!”  
“Mau dibunuh! Siapa? Siapa?”  
“Apa?”  

Itulah berbagai suara balau dari orang-orang beronan yang terdengar oleh Sabar. Sementara dengan rasa gugup ia menyaksikan si pemuda sudah meninggalkan Onansait. Masih terus berlari, hingga mencapai jalan penghubung. Lalu berlari cepat menuju kampung Guru Lama yang berada di sebelah kanan Onansait. Dan akhirnya si pemuda menghilang di balik Rumabolon di kampung Guru Lama.

Sabar kembali tersadar di mana dia duduk. Kedai dan Onan ternyata senyap. Diam. Semua mata dari orang-orang beronan itu tengadah ke halaman kedai Ama Risa. Beberapa orang tampak cemas.  Ketiga begundal berdiri pongah di halaman kedai.  

“Pengikut-pengikut Guru Lama memang penakut!” ujar si begundal tertua lantang. Selintas memandang orang-orang beronan. Lalu bertiga mereka  kembali ke kedai dengan langkah kemenangan.

Sementara orang-orang yang beronan, entah siapa yang memulai, sudah kembali dengan kegiatannya masing-masing. Namun menjadi lebih ramai, karena kini ada selingan obrolan tentang kejadian barusan.  Sabar terpaku di bangkunya. Menunduk.

“Siapa?” tanya Guru Ali pada ketiga bagundalnya.
“Cuma keponakan Guru Lama,” jawab seorang begundal, meraih botol anggur dan menuangnya ke dalam gelas. Diikuti kedua rekannya, menuang minuman dari botol lain. Lalu minum.  Kini kedailah yang senyap.  Sabar merasakan ada semacam ancaman berhawa panas, terasa, perlahan-lahan menghampirinya. Dan mendadak saja ia merasa jauh dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Sesaat ia mengangkat wajahnya, dan menghindari tatapan Guru Ali yang menyambarnya. Lalu ia menoleh pada Ama Lasma di sampingnya. Walau ia dulu agak akrab, kini ia merasa asing. Ya! Segalanya mendadak begitu terpisah, antara dulu dan kini. Dan di antara keterpisahan itu, ia seperti melihat dirinya menggapai-gapai kegerahan.

“Katanya Ama Sari dari kampung Ranggas, kedatangan anak sulungnya ya?” Terdengar oleh Sabar ucapan Ama Lasma. Lalu perasaan gerah yang sesaat menghampirinya itu, mendadak sirna. Ia seperti menemukan dirinya kembali, 
“Eh, ya, ya, saya dengar juga begitu,” sahutnya gagap.
“Katanya, anaknya itu sengaja membawa uang banyak dari kota. Makanya banyak orang yang makan minum di sana,” kata Ama Lasma lagi. Mendengar itu, sesaat Sabar terpikir, bahwa selama sepuluh tahun hidup di desa Parsaoran ini, ternyata ia belum pernah ikut kumpul-kumpul di rumah orang lain: kecuali di rumah mertuanya dan di rumah Guru Lama. 
“Walaupun Ama Sari menggalang orang makan minum, yang menentukan terpilih atau tidak, tetap saja nanti, saat pemilihan,” sambung si begundal tertua seperti sengaja menutup kata-kata Ama Lasma.

“Iya. Mereka kira isi hati orang selamanya bisa dibeli dengan makan minum,” lanjut begundal yang lain.  Lalu kedai kembali senyap.
“Kalian berdua, kalau tak salah, pengikut Guru Lama kan?” tanya salah seorang begundal mendadak. Dan begundal lain nya bangkit. Sabar tersentak. Ama Lasma memerah. Marah. Sepasang matanya menatap tajam pada si begundal kini melangkah ke arahnya. 

Sementara bau minuman menyebar terbawa oleh si begundal, tercium oleh Sabar.  “Sudah, Guru Ali, Tadi sudah kuminta, jangan ganggu yang minum,” terdengar Ama Risa bicara dan memandang Guru Ali.  
“Kau jangan ikut campur!” bentak begundal tertua menyahuti Ama Risa. 
“Apa kedaimu ini mau kami tutup!” lanjutnya sambil melepaskan pisau belatinya dari pinggang, dan meletakkannya di atas meja.  Ama Risa kelihatan ragu. Lalu menutupkan pintu penghubung ke ruang dalam.
“Bagaimana Ama Lasma? Kudengar kau mata-mata Guru Lama. Kau pernah datang ke kampung Bukit malam-malam, pura-pura mau mengantar pupuk ke rumah Domu!” lanjut si begundal yang menghampiri Ama Lasma.  Sabar melihat, Ama Lasma terpana sesaat, lalu tergagap  marah ketika si begundal mendadak mencekal leher bajunya, mengangkatnya sehingga ia berdiri dengan perut menekan siku meja. 
“Apa lagi mau kau bilang?” bentak si begundal.  

Sabar rasanya sudah mau keluar saja dari kedai itu. Ia tak tahan melihat Ama Lasma yang gemetar menahan marah dan Ama Risa yang berdiri gelisah dekat stelengya. Tapi, melangkahkan kakinya, rasanya ia tak mampu.  Dan dia lihat, di luar sana, sampannya juga sudah terhalang oleh sampan-sampan dan perahu yang memenuhi tepi danau. Ya, mendadak ia kembali merasa gerah. Dan marah kepada Guru Ali dan para bagundalnya.  “Kau pun Sabar, kudengar kau kesayangannya Guru Lama. Sampai-sampai kau dikawinkan dengan familinya, “ kata si begundal tertua memandang Sabar.
“Ah, bukan begitu Amang,” ucap Sabar sekenanya. “Guru Lama memang baik pada semua orang!”
“Bah, bangsat! Di depanku pun kau berani memujinya?” suara Guru Ali mengguntur sambil menampar meja, sehingga gelas-gelas dan botol-botol minuman di hadapannya terjatuh. Dan busa bir segera membasahi meja, aroma anggur yang tumpah menyebar dan terasa menyengat. 
“Hajar dia!” teriak Guru Ali.

Sabar tak menyangka akan mengalami peristiwa seperti ini. Ketika matanya bersirobok dengan tiga pasang mata para begundal, yang kini sama-sama memandang ke arahnya — ia ingin marah rasanya. Tapi ia tak tahu apa yang akan diperbuatnya. Teringat dia, bahwa niatnya beronan hanyalah ingin mendengar-dengar berita saja. Bukan terlibat seperti sekarang  ini.  Ia menoleh sekilah ke sampannya di luar sana. Terlihat olehnya dua orang ibu menghampiri sampannya itu. Mungkin mengira bahwa itu sampan mereka. Salah seorang ibu itu membongkar tumpukan di sampan dan mengambil sesuatu. 

Sabar ingin berteriak pada kedua ibu itu. Tapi sesaat saja, kedua ibu itu agaknya menyadari kesilapan mereka. Serentak si ibu yang mengambil sesuatu tadi, mengembalikannya ke sampan Sabar. Lalu  keduanya menghampiri sampan  lain, tak jauh dari sampan Sabar. Di anjungan sampan itu, juga ada dua buku terikat rapi, seperti pada sampan Sabar.  Sabar mendadak bangkit dan merasa gerah. Selebihnya, ia hanya merasakan benda-benda tajam dan dingin meledakkan tubuhnya.

Banyak suara-suara ia dengar. Tapi begitu jauh, seperti suara alam dari tanjung yang hijau kecoklat-coklatan, damai ditimpa matahari siang.

Catatan:
Onan: Peristiwa pasar atau jual beli
Margondang: Satu pesta adat yang diramaikan dengan musik tradisional dan tarian suku Batak (Tapanuli Utara).
Mangokkal holi:  Satu pesta Margondang yang dikhususkan untuk menggali kembali tulang belulang leluhur dan menempatkannya pada satu tempal baru.
Rumabolon: Rumah adat suku Batak Tapanuli Utara.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.