Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Rencana Penyusunan Kanon Sastra: Proyek Lancung? - Dwi Pranoto

Rencana Penyusunan Kanon Sastra: Proyek Lancung? - Dwi Pranoto

oleh Dwi Pranoto
Rencana Penyusunan Kanon Sastra: Proyek Lancung?

KAWACA.COM | Dialog di alam akhirat dalam drama komedi Frogs (405 SM) karya Aristophanes antara Euripides, Aeschylus, dan Dionysus tentang siapakah penulis drama terbesar antara Euripides dan Aeschylus dapat menjadi cermin kanonisasi hari ini. Guna menentukan siapa yang terbesar mereka menandingkan unsur-unsur artistik antara karya drama masing-masing dan karya siapa yang dapat menyelamatkan kota. Dengan kata lain, kriteria estetik dan politik digunakan untuk menentukan siapakah yang terbesar. Perdebatan berlangsung panas dan diakhiri dengan Dionysus menggunakan otoritas kedewaannya untuk menentukan siapa yang terbesar antara Euripides dan Aeschylus. Frogs menyingkapkan problem kanonisasi: Siapa yang menentukan karya kanon? Bagaimana suatu karya dianggap kanon? Untuk apa mengonstruksi kanon? Apakah kanon mencerminkan keunggulan artistik semata semata ataukah memuat agenda politik di dalamnya?


Paling tidak dalam kurun waktu kurang dari setahun ini, setelah Kongres Kebudayaan Indonesia pada awal Desember 2018, pembicaraan dan perdebatan tentang rencana penyusunan kanon sastra nasional mengemuka. Secara umum topik-topiknya berhubungan dengan pertanyaan bagaimana seharusnya kanon sastra disusun, yang persoalannya mencakup alasan dasar penyusunannya dan, paling pokok, penetapan kriteria-kriteria untuk penyusunan kanon sastra. Perdebatan dan pembahasan tentang penyusunan kanon sastra tak terhindar dari argumentasi kultural dan historis serta problem pembatasan. Apa yang dimaksud kanon sastra, dengan demikian, adalah sekelompok karya sastra yang disusun berdasarkan landasan kultural dan historis dan dihimpun melalui proses seleksi yang didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu. Sebagai konsekwensinya, tentu saja, sejumlah karya sastra harus “dikeluarkan” dari daftar kanon melalui proses penyeleksian. 


Zen Hae, Esha Tegar Putra, maupun Saut Situmorang memiliki pandangan bahwa dalam sejarah sastra Indonesia penyusunan kanon sastra telah pernah dilakukan. Mereka menyebut, sebagai misal, karya A Teeuw seperti Sastra Indonesia Modern jilid I dan II, karya H. B. Jassin seperti Angkatan Pujangga Baru dan Angkatan 66, dan 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang disusun secara kolektif sebagai kanon sastra. Zen Hae menyoroti tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap daftar karya dalam kanon bila disusun secara perorangan atau lembaga yang mempunyai otoritas terbatas untuk membuat kebijakan yang memudahkan aksesibilitas terhadap karya-karya kanon. Keluar dari, atau mengabaikan, problem kriteria dalam penyusunan kanon dalam sejarah sastra Indonesia, Zen Hae, Menjelang Kanon Sastra Indonesia, meletakan problem otoritas berkait dengan keteraksesan karya-karya kanon yang pernah disusun dalam sejarah sebagai persoalan yang perlu diantisipasi dalam rencana penyusunan kanon saat ini. Pada sisi lain Esha dan Saut lebih menitik-beratkan pada pasca penyusunan kanon yang memisahkan secara hirarkis antara karya yang masuk dalam daftar kanon dan tidak, dan mempermasalahkan pengaruh politik dalam proses penyusunan kanon. Saut dalam Politik Kanon Sastra dan Kanon Sastra dan Politik Pembentuknya menggugat kriteria kanon yang menurutnya tidak jelas dan timpang secara politis. Sedangkan Esha dalam Kanon Sastra: Bagaimana Menjadi Indonesia tampaknya lebih mempersoalkan cakupan kanonisasi yang “mengeluarkan” karya-karya pinggiran dari daftar kanon, disamping mengomentari ketimpangan politis. Saut dan Esha lebih mempersoalkan problem kriteria kanonisasi yang pernah disusun dalam sejarah sebagai problem kritis yang perlu dipikirkan dalam rencana penyusunan kanon hari ini.


Berbeda dari ketiganya – Zen Hae, Saut Situmorang, dan Esha Tegar Putra –, dalam tulisan Melihat Urgensitas Kanonisastra Indonesia yang menyarikan diskusi bertema “Kanon Selatan” yang diselenggarakan sebagai salah rangkaian acara pada pra Jakarta International Literary Festival 2019, Faruk memandang problem rencana penyusunan kanon sastra tidak terletak dalam sejarah tapi pada dunia sastra hari ini. Prof. Faruk H.T., dosen Ilmu Budaya UGM dan salah seorang dari tim proyek kanonisasi sastra nasional, menyatakan bahwa secara garis besar problem tersebut berasal dari pandangan dalam dunia sastra hari ini yang terbagi menjadi tiga kelompok kecenderungan: kecenderungan pluralistis, kecenderungan universal, dan kecenderungan lintas batas. Tiga kecenderungan yang berpotensi saling antagonistik tersebut dan merupakan ruang keberangkatan penetapan kriteria-kriteria rencana penyusunan kanon ini lantas coba didamaikan oleh Faruk dengan mengajukan konsep pengambilan posisi liminal dalam pemahaman Homi K. Bhaba. Liminalitas menurut Bhaba memiliki nilai strategis yang memungkinkan berlangsungnya transformasi identitas melalui proses interaksi sosial. Posisi liminal merupakan suatu pengambilan ruang pengkonstruksian diri melalui hibridisasi, percampuran ras, dan penolakan pemaksaan bentuk. Oleh karenanya posisi liminal berkaitan dengan suatu proses pembentukan formasi sosial yang tidak berhubungan dengan institusi sosial dan politik, tapi dengan sistem-sistem referensialnya. Namun, apakah mungkin konsep pengambilan posisi liminal yang longgar dan lentur serta dinamis tersebut dapat dikeraskan menjadi rumusan kriteria-kriteria? Ataukah Faruk memaknai kanon sebagai proses “kanonisasi liminal” yang berarti adalah suatu proses formasi dalam ruang transisional yang berhubungan dengan batas-batas imajiner yang bergerak (mengganti batas-batas geografis yang statis) dan sistem referensi normanya? Namun, kita semua tahu bahwa proses kanonisasi ini akan berujung pada produk kanon yang merepresentasikan penetapan perbedaan dan hirraki nilai dalam dunia sastra. Agaknya pengambilan posisi liminal dalam kerangka penetapan kriteria-kriteria penyusunan kanon sastra adalah semacam upaya untuk bernegosiasi dengan berbagai kecenderungan pandangan dalam dunia sastra. Upaya negosiasi tersebut dalam proyek kanonisasi sastra kemudian ditambatkan pasak ide kebangsaan yang dihadapkan dengan apa yang ia sebut sebagai gempuran tsunami anarkisme media sosial. Dengan cara semacam ini Faruk seperti hendak menyatakan urgensitas penyusunan kanon sastra nasional dengan meletakkannya dalam kondisi kedaruratan berbangsa. 


Berbeda dengan problem kriteria yang muncul ke permukaan sebagai topik yang dibahas dan diperdebatkan, problem pendefinisian kanon yang semestinya menjadi hulu dari pembahasan dan perdebatan tampaknya tidak terlalu disadari. Istilah “kanon” dengan longgar dan hanya merujuk pada arti generiknya dipergunakan untuk merujuk pada daftar penyusunan karya-karya sastra – baik secara tematik, periodik, maupun politis – yang pernah dilakukan oleh kritikus atau kurator sastra dalam sejarah sastra Indonesia. Padahal argumentasi dasar dan penetapan kriteria untuk proyek kanonisasi tak dapat dilepaskan dari bagaimana istilah “kanon” itu didefinisikan. Barangkali hanya Faruk, walaupun secara tersirat, berupaya mendefinisikan istilah “kanon” secara lebih luas dengan menggunakan konsep doxa dari Pierre Bourdieu. Problemnya, bagaimana menerjemahkan doxa yang mempunyai dimensi praktik spontan yang digerakan oleh kepercayaan/opini umum ke dalam kanon yang mempunyai dimensi hasil perencanaan yang digerakan oleh pengetahuan? Sekali lagi, sebagaimana konsep liminalitas, kita menghadapi elemen kontradiktif untuk menerjemahkan doxa ke dalam kanon.     

     
Pendefinisian kanon dalam konteks kekristenan sendiri tidak berangkat dari pra-proses maupun proses kanonisasi, tapi bersifat post factum atau retrosepktif, berangkat dari keberadaan kanon yang telah terbentuk yang merupakan kompilasi teks agama atau skriptur yang dianggap mempunyai otoritas keagamaan. Perdebatan definisi kanon dalam konteks kekristenan ini paling tidak memunculkan tiga definisi kanon: definisi eksklusif, definisi fungsional, dan definisi ontologis. Dalam definisi eksklusif, kanon dipisahkan dari skriptur dengan melandaskannya pada argumentasi historis yang menyatakan bahwa proses penyeleksian dan penghimpunan skriptur telah usai pada abad ke empat (atau ke lima) bersama dengan rampungnya penyusunan Perjanjian Baru. Kanon dalam definisi eksklusif dengan demikian diberikan batasan yang tegas dan kaku serta bersifat final. Sementara definisi fungsional, yang merupakan kritik dari definisi eksklusif, tidak membedakan antara kanon dan skriptur. Dalam hal ini skriptur apapun adalah kanon jika mempunyai fungsi dalam masyarakat atau gereja. Kanon dalam definisi fungsional mempunyai batasan yang lentur dan longgar, di mana peran masyarakat dan/atau gereja menjadi penting dalam pengkonstruksian kanon. Pada definisi ontologis, kanon adalah di dalam dirinya sendiri dan dari dirinya sendiri, berangkat dari penilaian kanon adalah kitab Tuhan. Perspektif ilahiah ini membuat kanon melampaui sejarah namun sekaligus berada di dalam sejarah karena kanon hanya menjadi kitab kanon jika ia berkaitan dengan gereja. Kita tidak akan masuk lebih dalam dalam perdebatan kanon dalam konteks kekristenan: problem keakuratan landasan historis dalam definisi eksklusif, problem “naturalisasi” dalam definisi fungsional, dan dilema kontradiktif pada perspektif ilahiah dalam definisi ontologis.

Definisi kanon secara umum hari ini lebih mengafirmasi definisi eksklusif pada arti generiknya, memisahkan antara yang dianggap bernilai dan kurang/tidak bernilai secara tegas. Namun karena definisi eksklusif bersifat retrospektif dengan menganggap penyusunan kanon telah final pada abad ke empat, problem yang sesungguhnya dihadapi dalam proyek kanonisasi sastra nasional adalah masalah pengonstruksian. Jika kita meninjau argumentasi dasar rencana penyusunan kanon sastra menurut Faruk yang didorong oleh upaya untuk meneguhkan kebangsaan, rencana penyusunan kanon sastra nasional tampaknya lebih dekat dengan definisi fungsional di mana kanon merupakan suatu fenomena sosial. Dalam definisi fungsional, kanon tak terhindar dari pergeseran dan perluasan, tidak hanya melestarikan gagasan-gagasan masa lalu tapi merefleksikan perkembangan persepsi tentang dunia dan kebudayaan yang kita tinggali hari ini. Pada konteks ini kanon, sebagai misal Zen Hae yang mencita-citakan kanon sebagai tonggak keunggulan estetik sastra nasional dan Esha yang menganggap kanon sebagai proyeksi keindonesiaan, adalah hasrat untuk mengekspresikan identitas kebangsaan hari ini. Pada sisi lain, Faruk yang berangkat dari pandangan-pandangan sastra hari ini mendorong batas-batas kanon menjadi lebih lentur dan longgar berupaya meletakan kanon dalan suatu konsep sosio-kultural yang mencerminkan hubungan antara masyarakat dengan teks sastra. Oleh karenanya peminjaman konsep “posisi liminal” dan “doxa” oleh Faruk dapat dipahami dalam hal ini. Gagasan Faruk meletakan kanon dalam suatu konsep sosio-kultural bagaimanapun dapat dimaknai secara politik sebagai upaya meminimalisir kritik atau konflik dengan mengakomodasi atau bernegosiasi dengan beragam suara dari berbagai pandangan sastra. Namun demikian, dalam definisi fungsional apa yang paling penting adalah fungsi teks sastra dalam masyarakat umum.


Masyarakat umum tampaknya disingkirkan dari pembahasan dan perdebatan berkait rencana penyusunan kanon sastra nasional. Jikapun Zen Hae menyinggung masyarakat berkait dengan aksesibilitas karya kanon, masyarakat diposisikan sebagai obyek atau sasaran dari kanon sastra. Masyarakat tidak diacu sebagai pengguna karya sastra yang ikut menentukan nilai guna karya sastra dalam kehidupannya. Absennya masyarakat dalam pembahasan dan perdebatan rencana kanon sastra, saya kira, berakar dari asumsi bahwa karya sastra adalah produk kultural adi luhung yang nilai-nilai di dalamnya harus disebarluaskan untuk menghaluskan budi atau membentuk sensibilitas estetik bercita rasa tinggi.   


Kita akan menempuh jalan sedikit berputar untuk membahas fungsi teks sastra dalam masyarakat. Pertama-tama saya teringat pada diskusi sastra di Jember bulan lalu di mana penyair Halim Bahriz melontarkan pertanyaan retoris tentang kepatutan seorang penulis puisi menyebut dirinya sebagai penyair. Semua peserta diskusi menanggapi bahwa tidak patut seseorang menyebut dirinya sendiri sebagai penyair. Di luar dugaan para peserta, Halim Bahriz yang malam itu menjadi pemateri diskusi justru menyatakan ia tak segan-segan menyebut dirinya sendiri sebagai penyair. Menurut Halim, ketidakpatutan untuk menyebut diri sendiri sebagai penyair datang dari pengeramatan “profesi” penyair yang merupakan refleksi dari citra elitis “profesi” penyair. Penyebutan penyair oleh diri sendiri, oleh karenanya, mendekonstruksi citra elitis; “menurunkan” citra penyair tak lebih seperti citra seorang petani. 

Citra elitis penyair, sastrawan pada umumnya, merupakan gema dari masa lalu saat peran sastrawan menempati posisi elit atau bagian dari kelas borjuis dalam masyarakat. Pada masa kemampuan baca tulis hanya dikuasai segelintir masyarakat dari golongan atas dalam struktur sosial masyarakat di mana karya sastra punya fungsi spiritual dan/atau memproyeksikan nilai dan norma pemilik tradisi baca-tulis dalam masyarakat. Bersama dengan pencapaian teknologi (re)produksi tulisan yang dan menyebarnya kemelekhurufan masyarakat serta disertai semakin meluasnya distribusi tulisan, fungsi spiritual sastra semakin surut. Pada hari ini, pada era kultur digital, ketika alat (re)produksi sastra tidak lagi dikuasai oleh golongan elit borjuasi, sastra ditendang ke pinggiran masyarakat – bedakan dengan istilah “keterpencilan sastra” Goenawan Mohamad yang masih mengidap bias elitis. Gema elitis sastra mungkin masih bergaung hari ini, namun faktanya sastra tergelincir dari tampuk singgasana saat fungsinya tak lagi menjadi instrumen penyokong atau berpengaruh pada tatanan struktur sosial. Tatanan hirarki lama antara kebudayaan tinggi dan rendah adalah lancung: partai berkuasa saat ini adalah budaya pop. Bahkan barangkali pernyataan Romo Mangunwijaya dalam artikelnya yang membahas kaitan antara sastra dan teknologi bertahun-tahun lalu tak berlaku lagi hari ini. Romo Mangun saat itu secara provokatif menyatakan fungsi sastra tak ubahnya joging bagi dirut bank. Hari ini sastra dikeluarkan sama sekali dari agenda kegiatan dirut bank. 

Lantas, apa gunanya menyusun kanon sastra jika fungsi sastra boleh dikatakan sekarat, atau bahkan mati, dalam masyarakat? Apakah masih mungkin karya sastra yang fungsinya sekarat dalam masyarakat diharapkan mampu membentengi masyarakat/bangsa dari, meminjam istilah Faruk, gempuran tsunami anarkisme media sosial? Identitas kebangsaan macam apa yang hendak dikonstruksi dengan produk kultural yang fungsinya sekarat dalam masyarakat?

***

___

Dwi Pranoto merupakan seorang esais, penerjemah, pemerhati budaya dan sastrawan kelahiran Banyuwangi. Puisinya dimuat antara lain di antologi bersama Cerita dari Hutan Bakau (Pustaka Sastra, 1994), dan Lelaki Kecil di Terowongan Maling (Melati Press, 2013). Buku puisi tunggalnya Hantu, Api, Butiran Abu (Gress, 2011). Karya terjemahannya Piramid (Marjin Kiri, 2011), novel karya Ismail Kadare. Kini dia tinggal di Jember sambil terus menulis dan mengisi berbagai acara kebudayaan.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.