Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Representasi Kelautan dalam Puisi-Puisi Abdul Kadir Ibrahim - Agung Pranoto

Representasi Kelautan dalam Puisi-Puisi Abdul Kadir Ibrahim - Agung Pranoto

Kajian Ekologi Sastra: 
Representasi Kelautan dalam Puisi-Puisi Abdul Kadir Ibrahim
oleh Agung Pranoto



/1/

KAWACA.COM | Beberapa pernyataan berikut, renungan mengawali pentingnya back to nature. Novelis Amerika Serikat, Peter Benchley, menulis, “Jika manusia tidak belajar memperlakukan lautan dan hutan tropis dengan hormat, manusia akan punah.” Politisi Kanada, Tom McMillan, juga menulis renungan, “Selama ratusan tahun kita sudah ‘menaklukkan’ alam. Sekarang kita memukulnya hingga mati. Siapakah kita sebenarnya?”. Rene Dubos, penulis, pejuang penyalamat bumi dan humanis Perancis, juga menulis: “Ingat, alam tak diam. Ia selalu menyerang kembali, maka, jangan perlakukan dia dengan tindak kekerasan, untuk mendapatkan kemenangan palsu.” Charles A. Lindberg, seorang penerbang Amerika Serikat, juga menulis: “manusia harus memahami bahwa mengenal bumi berarti mengenal dirinya sendiri, juga mengenal nilai-nilai kehidupan; Tuhan membuat hidup kita mudah, tapi manusia yang mempersulitnya”. Sementara itu, “Tanah ini, air ini, udara ini, planet ini adalah warisan untuk anak kita”, demikian kata politisi Amerika Serikat, Paul Tsongas. Lima pernyataan tersebut, dikutip dari Pranoto (2014), tidak sekadar ungkapan biasa, melainkan mengandung renungan yang sangat dalam tentang pentingnya alam semesta bagi kelangsungan hidup manusia.

Pentingnya (lingkungan) alam bagi kelangsungan hidup manusia sebab di alam semesta ini terjadi matarantai yang dalam ilmu pengetahuan diistilahkan “ekosistem”. Ekosistem merupakan sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Mengingat pentingnya ekosistem bagi kelangsungan hidup manusia maka lingkungan (dalam arti luas) harus dijaga kelestariannya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bradshaw dari Universitas Adelaide Australia pada tahun 2010, Indonesia merupakan ranking 4 (tingkat dunia) sebagai penyumbang kerusakan lingkungan. Sepuluh negara yang telah menyumbang kerukasan lingkungan, sesuai urutan, yaitu: (1) Brazil; (2) Amerika Serikat; (3) Cina; (4) Indonesia; (5) Jepang; (6) Mexico; (7) India; (8) Rusia; (9) Australia dan (10) Peru (Pranoto, 2014).


Hasil penelitian di atas, tentu bisa digunakan sebagai salah satu pertimbangan pemerintah Indonesia dalam membuat kebijakan untuk penyelamatan lingkungan, baik lingkungan biotik maupun abiotik. Penyelamatan lingkungan itu termasuk bidang etika lingkungan atau sering diistilahkan ekologi. Di bidang kelautan misalnya, dalam kuliah umum di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Jumat 3 Februari 2017, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, mengajak akademisi, ilmuwan, dan praktisi Indonesia untuk ikut berkomitmen menjaga laut Indonesia. Ia menghimbau para mahasiswa untuk memanfaatkan pendidikan dan pengetahuan yang mereka punya untuk kemajuan bangsa (KKPNews, 9 Februari 2017). Di sisi lain, kebijakan pemerintah tantang perhutanan juga mesti diperhatikan guna kelestarian hutan yang pada puncaknya juga banyak memberikan kontribusi kepada manusia.

Selanjutnya, bagaimana keterlibatan pekerja seni (termasuk penulis kreatif) dalam peran sertanya menjaga lingkungan? Gairin (2008:13) menyatakan bahwa keterlibatan sastrawan terhadap ekologi lingkungan ditengarai sejak pertengahan abad 19. Sejak abad tersebut perkembangan ekologi dan tradisi wacana ekokritik menjadi bagian dari pemikiran yang penting dalam penulisan karya sastra. Dalam konteks ini, hubungan antara alam (lingkungan) dengan karya sastra dan budaya banyak ditampilkan sebagai kritik atas adanya hubungan yang berat sepihak (Fatimah, 2016 ). Di sisi lain Buel (2005) menjelaskan kemunculan ekokritik dalam dunia sastra dan budaya sebagai bentuk gerakan yang menciptakan kesadaran pada manusia terhadap lingkungan. Sedangkan Mu’in (2013) menyatakan bahwa alam telah menjadi bagian dari sastra. Ini terbukti dengan tidak sedikitnya sastrawan, khususnya dari kalangan penyair, yang menggunakan diksi hutan, laut, pohon, dan lain-lain dalam karya mereka. Namun seiring perkembangan, sastra telah banyak mengalami perubahan, begitu juga alam. Kedua elemen yang tak terpisahkan ini seakan selalu berjalan beriringan. Sastra tempo dulu adalah wajah alam masa lalu dan sastra sekarang adalah wajah alam masa kini. Sastra membutuhkan alam sebagai inspirasinya, sedang alam membutuhkan sastra sebagai alat konservasinya.

Mahayana (2008) menjelaskan bahwa bagi sastrawan, kesadaran mengenai pentingnya lingkungan, pentingnya kembali ke alam (back to nature), dalam kehidupan manusia, sudah lama dikumandangkan. Para penyair selalu mengingatkan pentingnya persaudaraan dengan dunia sekitar dan menekankan perlunya manusia menjalin hubungan yang harmonis dengan alam. Persahabatan dengan alam dan kepedulian penyair terhadap lingkungannya telah menempatkan alam dan lingkungan sebagai sumber ilham yang tiada habis digali dan kreasi imajinatif sastrawan. Begitulah sejak lama sebenarnya sastrawan kita begitu peduli pada alam. Kepedulian itu terlihat dari penggambaran keindahan latar alam beserta isinya. Jika saja kita periksa puisipuisi Indonesia yang di dalamnya mengisyaratkan sikap penyairnya dalam menjalin persaudaraan dengan alam, kita akan menemukan ratusan, bahkan ribuan, puisi yang menggambarkan hal tersebut. Oleh karena itulah, peran sastrawan dalam mengampanyekan pentingnya lingkungan hidup bagi umat manusia, tidak dapat diabaikan begitu saja. Sikap para penyair yang menempatkan alam sebagai “sumber ilham”, kiranya dapat diteladani.

Dalam konteks puisi Indonesia, Mahayana (2008) memberikan contoh kuatnya kepedulian penyairnya terhadap lingkungan alam di sekitarnya, misalnya puisi Taufiq Ismail, “Adakah Suara Cemara”. Di dalam puisi itu citraan alam pegunungan, pohon, angin, mega, bukit, daun, ladang, jagung, berhasil menampilkan suasana alam yang menyejukkan, penuh ketenangan. Suara angin mendesing, bukit-bukit biru, gemerisik daunan, gugusan mega yang seperti hiasan kencana, dan ladang jagung, menguatkan suasana yang ingin diangkat penyair. Citraan pendengaran —mendesing, menderu, gemersik, menyeru—dimanfaatkan Taufiq Ismail secara amat baik. Sementara, Sapardi Djoko Damono dalam puisinya, “Tekukur” menampilkan suasana yang mengharukan. Burung yang tiada berdaya namun tetap mendambakan kebebasan, tiba-tiba saja disergap kekejaman pemburu. Segalanya lalu menjadi tragedi, karena darah burung itu mencemari bunga, rumput, dan kilauan sinar matahari. Lalu ada pula gadis kecil, tak berdosa, yang justru merasakan merdunya suara burung itu. Sebuah ironi yang “mencerca” betapa sadisnya sang pemburu. Dalam puisi “La condition Humaine”, Abdul Hadi juga memakai ironi untuk menyatakan hal yang bertentangan dengan kenyataan yang seharusnya terjadi. Pohon mangga yang tak berbuah dan tak berdaun, dan tanah yang tak subur, nyatanya tak mengurangi sang ayah dan si aku liris meninggalkan makan buah-buahan. Artinya, bahwa hutan nenek moyang si aku liris, sesungguhnya hutan yang subur dan penuh buah-buahan. Jelas bahwa para penyair itu amat akrab dengan lingkungan hidup. Mereka tidak hanya menekankan pentingnya menjaga kelestarian alam, tetapi juga menekankan persaudaraan dengan alam itu sendiri.

D. Zawawi Imron terlihat akrab dengan alam melalui sejumlah puisinya. Salah satu puisinya yang berjudul “Pemandangan”, alam merupakan hal yang paling menarik. Penyair ini menjadikan alam sebagai medium untuk menyampaikan gagasannya kepada pembaca atau lawan tuturnya. Diksi yang digunakan berkait dengan istilah-istilah alam untuk lingkungan pantai seperti pantai, bakau, laut , rawa, awan, dahan, angin, air embun, senjahari, dan cahaya. Benda-benda ini seolah sebagai makhluk hidup yang mampu berinteraksi dan sekaligus menyampaikan keluh kesahnya kepada manusia (Mu’in, 2013). Coupe (2000) menggarisbawahi bahwa karya sastra yang menyoal lingkungan harus secara kreatif dikemas secara menarik agar pembaca tidak mengalami kebosanan.

Abdul Kadir Ibrahim, akrab dipanggil Akib, melalui puisipuisinya yang termuat dalam antologi Hari Puisi 2016 bertajuk Matahari Cinta Samudera Kata (2016), melibatkan diri dengan persoalan kelautan/kemaritiman. Sastrawan Indonesia dari NatunaTanjungpinang-Kepulauan Riau ini, dalam antologi ini puisinya justru menunjukkan karakter yang berbeda jika dibandingkan dengan puisi karya ratusan penyair yang terhimpun dalam antologi setebal lebih dari 2000 halaman itu. Begitu juga puisi-puisi Akb berkenaan dengan laut dalam beberapa kumpulan puisinya yang lain. Representasi kelautan dalam puisi-puisi penyair yang satu ini, paling menarik untuk dilakukan penelaahan karena mengusung khusus tema lingkungan/alam/ ekologi yang mengerucut soal kelautan, penggunaan diksi bahasa Melayu yang khas (estetik Melayu yang kental), tipografi puisinya yang inkovensional pula, dan keberadaan mantra tak terlupakan pula. Membaca puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim, kita teringat hentakan yang dilakukan pendahulunya yakni Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah, namun ketiga penyair ini memiliki perbedaan yang mencolok, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa Abdul Karim Ibrahim mengepigoni karya dua penyair pendahulunya yang sama-sama berasal dari Tanjungpinang.

Kiprah Abdul Karim Ibrahim di bidang bahasa, sastra, dan budaya, tentu tidak perlu diragukan lagi. Oleh sebab itu, tanpa berlebihan jika karya-karya yang ia ciptakan, dalam hal ini puisi, tidak berlebihan jika menjadi perhatian dalam kajian ekologi sastra (ecocriticism) pada kesempatan ini. Berdasarkan pertimbangan tersebut, kajian ini memfokuskan pada puisi-puisi bertemakan kelautan yang telah dimuat di buku antologi Hari Puisi 2016. Oleh sebab itu, permasalahan umum yang hendak ditelaah dalam tulisan ini yakni representasi kelautan dalam puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim dari perspektif ekologi sastra (ecocriticism).

/2/

Mu’in (2013) memaparkan istilah ekokritik (ecocriticism) yang merupakan bentukan dari kata ecology dan kata criticism. Ekologi dapat diartikan “sebagai kajian ilmiah tentang pola hubunganhubungan tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan manusia terhadap satu sama lain dan terhadap lingkungan-lingkungannya”. Kritik dapat diartikan sebagai “bentuk dan ekspresi penilaian tentang kualitas-kualitas baik atau buruk dari sesuatu. Secara sederhana ekokritik dapat dipahami sebagai kritik berwawasan lingkungan”. Dalam pemikiran barat menurut Harsono (Mu’in, 2013) telah terjadi peralihan-peralihan orientasi pemikiran. Pemikiran zaman kuno berorientasi pada alam (kosmosentris); pemikiran abad pertengahan berorientasi pada ketuhanan (teosentris); pemikiran zaman modern berorientasi pada manusia (antroposentris); dan pemikiran abad ke-20 berorientasi pada simbol (logosentris).

Ekokritik sebagai disiplin ilmu baru, tentang sastra dan ekologi (lingkungan), mencuat sejak munculnya ASLE (Association for the Study of Literature and Environment). Asosiasi ini lalu menerbitkan jurnal ISLE(Interdiciplinary Studies in Literature and Environment). Di dalam jurnal tersebut, materi yang dimuat berkutat pada persoalan eko-sastra dan eko-puisi, juga kritik sastra lingkungan, serta hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan ecocriticism. Dari jurnal itu pula, tulisan-tulisan sastra mencerminkan kecintaannya terhadap lingkungan dan munculnya kecemasan terhadap perusakan lingkungan yang terus berlanjut (Pranoto, 2014).

Teori ekokritik bersifat multidisipliner, di satu sisi ekokritik menggunakan teori sastra dan di sisi lain menggunakan teori ekologi. Dari sudut pandang teori sastra, Mu’in (2013) menjelaskan bahwa teori ekokritik dapat dirunut lewat paradigma teori mimetik yang memiliki asumsi dasar bahwa kesusastraan memiliki keterkaitan dengan kenyataan. Paradigma teori mimetik yang dapat digunakan, misalnya paradigma imitasi dari Plato atau rekreasi, yang kemudian dikembangkan oleh M.H. Abrams dengan teori universe-nya.

Pejuang lingkungan dari Fakultas Sastra Universitas Nevada Reno, Amerika Serikat, Glotfelty dan Fromm (1996)  lewat eseinya yang berjudul “The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology” mengenalkan idenya tentang ecocriticism. Gagasan besar ini mencoba menerapkan kajian ekologi ke dalam sastra dan alam sebagai pusat kajiannya. Ekokritisisme sendiri dapat didefinisikan sebagai kajian tentang hubungan antara sastra dan lingkungan fisik (Glotfelty, 1996:xix). Garrard (2004:4), menjelaskan bahwa ekokritisisme mengeksplorasi cara-cara mengenai bagaimana kita mengimajinasikan dan menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan dalam segala bidang hasil budaya. Kerridge (1998) menjelaskan bahwa ekokritik ingin melacak ide/gagasan tentang lingkungan dan representasinya.

Ekokritisisme diilhami oleh (juga sebagai sikap kritis dari) gerakan-gerakan lingkungan modern. Garrard (2004) menelusuri perkembangan gerakan itu dan mengeksplorasi konsep-konsep yang terkait tentang ekokritik, sebagai berikut: (a) pencemaran (pollution), hutan belantara (wilderness), bencana (apocalypse), perumahan/tempat tinggal (dwelling), binatang (animals), dan bumi (earth). Sementara Buell (1995:7-8) menyatakan bahwa untuk dapat dikatakan sebagai ekokritik, ada sejumlah criteria yang harus dipenuhi yaitu: (a) lingkungan tidak hanya sebagai bingkai, melainkan sejarah manusia diimplikasikan dalam sejarah alam, (b) kepentingan manusia tidak dipahami sebagai satu-satunya kepentingan yang sah, (c) akuntabilitas manusia terhadap lingkungan merupakan bagian dari orientasi etis teks, dan (d) beberapa pengertian tentang lingkungan adalah suatu proses bukanlah sebagai pengertian konstan atau suatu pemberian yang paling tidak tersirat dalam teks.

Selanjutnya, pemikiran Glotfelty & Fromm (1996) dan Garrad (2004) tentang ekokritisisme dapat secara nyata disampaikan dengan menggunakan sejumlah pertanyaan seperti : (1) Bagaimana alam direpresentasikan dalam puisi? (2) Peranan apa yang dapat dimainkan oleh latar fisik (lingkungan) dalam alur sebuah novel? (3) Apakah nilai-nilai yang diungkapkan dalam sebuah puisi, novel atau drama itu konsisten dengan kearifan ekologis (ecological wisdom)? (4) Bagaimana metafor-metafor tentang daratan (bumi) mempengaruhi cara kita memperlakukannya? (5) Bagaimana kita dapat mengkarakterisasikan tulisan tentang alam sebagai suatu genre (sastra) (6) Dalam kaitan dengan ras, kelas, dan gender selayaknya berposisi menjadi kategori kritis baru? (7) Dengan caracara apa dan pada efek apa kritik lingkungan memasuki sastra komtemporer dan sastra populer?, dan (8) Di samping itu, pertanyaan-pertanyaan yang mempertimbangkan hubungan antara alam dan sastra. Fondasi dasarnya adalah bahwa karya sastra memiliki hubungan dengan lingkungan (alam). Dengan demikian, ekokritisisme menjadi jembatan bagi keduanya.

Lebih lanjut Mu’in (2013) menjabarkan ekokritik memiliki paradigma dasar bahwa setiap objek dapat dilihat dalam jaringan ekologis dan ekologi dapat dijadikan ilmu bantu dalam pendekatan kritik tersebut. Kemunculan ekokritik tampaknya merupakan konsekuensi logis dari keberadaan ekologis yang makin memerlukan perhatian manusia. Selama dalam dominasi orientasi kosmosentris, teosentris, antroposentris, dan logosentris, keberadaan ekologis terlalu jauh dari pusat orientasi pemikiran dan bahkan terpinggirkan sehingga pada akhirnya terlupakan. Kondisi demikian disebabkan oleh ketidakseimbangan dominasi budaya yang terlalu eksploitatif terhadap alam. Hal ini tampaknya berangkat dari pola pikir dikotomis nature-culture (alam-budaya). Kita mungkin saja menyaksikan bahwa manusia merasa tersingkirkan baik secara fisik maupun budaya akibat kemajuan ilmu dan teknologi, yang mendorong dengan amat kuat munculnya industrialisasi. Industralisasi mendorong munculnya kapitalisme. Dunia industri yang dipelopori kaum kapitalis itu mampu menggeser kebudayaan dan peradaban yang telah mapan (established) sejak nenek moyang. Sebagai contoh, masyarakat petani yang selama ini mengandalkan tanah pertanian sebagai sumber mata pencaharian, harus merelakan tanahnya dibeli dengan cara agak memaksa oleh pemilik modal untuk keperluan industri atau usahanya. Mereka harus menyingkir ke daerah-daerah pinggiran atau melibatkan diri dalam industri dan/atau usaha pemilik modal. Dengan demikian, bagi mereka yang meninggalkan pertanian, berarti mereka teralienasi secara budaya, yakni, antara lain, bergeser pola hidupnya: dari pola hidup sederhana ala petani ke pola hidup konsumeris (mengikuti pola hidup orang-orang di sekitarnya).

Teori ekokritik di atas hendak digunakan sebagai pisau bedah puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim yang bertemakan kelautan. Laut termasuk bagian dari lingkungan alam yang keberadaannya sangat mempengaruhi daratan, udara, dan juga berkontribusi kepada manusia. Lebih-lebih Indonesia sebagai negara kepulauan yang wilayahnya banyak didominasi oleh lautan daripada daratan, tentu keberadaannya tidak bisa diabaikan begitu saja.

Selanjutnya dalam analisis ekologi sastra (ekokritik) terhadap puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim, dalam tulisan in digunakan model kajian etis. Model kajian etis ini berhubungan dengan kearifan lingkungan (Sukmawan, tt). Kearifan lingkungan itu berwujud prinsip-prinsip moral berupa (1) sikap hormat terhadap alam, (2) sikap tanggung jawab terhadap alam, (3) solidaritas kosmis, (4) prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, (5) prinsip tidak merugikan alam, (6) prinsip sederhana dan selaras dengan alam, (7) prinsip keadilan, (8) prinsip demokrasi, dan (9) prinsip integritas moral (periksa Naess, 1993; Singer, 1993; Keraf, 2010).

/3/

Permasalahan umum yang hendak ditelaah dalam tulisan ini yakni representasi kelautan dalam puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim dari perspektif ekologi sastra (ecocriticism). Berdasarkan fokus kajian tersebut, agar pembahasan menjadi lebih sistematis maka perlu dijabarkan menjadi beberapa subfokus berikut (1) bagaimana representasi kelautan dalam puisi?; (2) bagaimana nilai-nilai kearifan ekologi kelautan dalam puisi?; dan (3) bagaimana kritik ekologi kelautan dalam puisi?

Representasi Kelautan dalam Puisi

Beberapa puisi Abdul Kadir Ibrahim yang termuat di dalam antologi Hari Puisi 2016 bertajuk Matahari Cinta Samudera Kata (2016), selintas dapat dirangkum ke dalam beberapa catatan berikut. Pertama, puisi-puisinya dalam antologi tersebut melibatkan diri dengan persoalan kelautan/kemaritiman dan atau setidak-tidaknya metafora kelautan begitu dominan. Kedua, setiap puisi-puisinya dalam antologi ini diberikan judul, dan ini berbeda dengan puisi-puisi yang ia tulis lalu diterbitkan dalam buku puisi Menguak Negeri Airmata: Nadi Hang Tuah (Akar Indonesia, 2010), yang seluruh puisinya tanpa judul dan hanya diberikan penanda penomoran. Ketiga, puisi-puisinya menunjukkan kekentalan estetik Melayu. Keempat, puisi-puisinya ditulis sangat ekspresif dan dikemas dengan pemilihan diksi yang ketat dan cenderung singkat dan padat, tetapi memendarkan makna atau pengertian. Kelima, keambiguan puisi-puisinya sangat terasa. Keenam, aspek religiusitas cukup menonjol. Ketujuh, unsur mantra Melayu masih mewarnai puisi-puisinya. Kedelapan, tipografi puisipuisinya inkonvensional. Kesembilan, aspek enjabemen (pemotongan kata pada baris/larik dan diletakkan di baris/larik berikutnya) begitu menonjol; terkadang baris/larik kalimat puisi dipotong-potong (pinjam istilah Sapardi Djoko Damono) dan setiap larik hanya ada satu kata yang seakan merupakan baris/larik tersendiri. Kesepuluh, puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim menghadirkan aspek bunyi yang mengorkestrasi sebagai penanda adanya aspek musikalitas puisi.

Selanjutnya, representasi kelautan dalam puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim diwujudkan dalam diksi laut, gelombang, karang, arus, pasang, teripang, remis, buntal, kerapu, hiu, ketam, penyu, samudera, bahari, maritim, nelayan, kolek (perahu kecil), kapal asing, dan sebagainya. Penggunaan diksi-diksi tersebut tak bisa dipungkiri bahwa nuansa dan warna kelautan menonjol. Penggunaan metafora kelautan itu sebagai ciri penanda awal ekologi lingkungan kelautan hadir dalam teks puisi-puisi penyair kelahiran Natuna ini. Untuk memperjelas tentang representasi kelautan, mari kita cermati puisi pendek Abdul Kadir Ibrahim yang berjudul “Ironi Lautku” dan “Sorga Lautan” berikut.

IRONI LAUTKU

nelayan indonesia
tali kail tradisi kapang
kapal asing geliga
gemuruh ikan, tertawa gilang!

Selat Lampa, Natuna, 2009

SORGA LAUTAN

natuna kepulauan riau sorga lautan elang ngelinau rindumu mengicau

Sedanau-Natuna, 2012

Puisi berjudul “Ironi Lautku”, yang tipografinya menyerupai trapesium ini, ilham/idenya berasal dari pola penangkapan hasil laut yang dikontraskan antara nelayan Indonesia dengan cara tradisionalnya (dengan cara mengail/memancing) dan kehadiran kapal asing yang menangkap hasil laut dengan teknologi modern. Cara penangkapan hasil laut yang seperti itu sungguh ironis, sebab kapal asing akan mendapatkan ikan tangkapan yang jauh lebih banyak dalam sekali menebarkan pukat maupun jaring: “/gemuruh ikan, tertawa gilang!/”. Kondisi yang seperti ini justru sebuah keprihatinan yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pihakpihak yang peduli terhadap nasib nelayan. Selanjutnya pada puisi “Sorga Lautan”, secara prismatik penyair memandang positif terhadap laut, khususnya kepulauan Riau yang dikelilingi laut Natuna yang (mungkin) memberikan pesona indah bagi warganya. Keindahan alam dan laut Riau, merupakan sorga yang menyamankan penduduk Riau, dan tentunya hal tersebut menorehkan kerinduan tersendiri di tanah kelahiran tersebut. Selain soal laut direpresentasikan ke dalam dua judul puisi yang indah nan puitis tersebut, metafora kelautan menyertai dalam rajutan larik-larik kedua puisi itu pula.

Pada puisi yang berjudul “Harapan Laut”, tipografinya serupa setengah lingkaran. Di dalam puisi ini pula, enjabemen terjadi pada pemenggalan kata “pagi-pagi” ke kata “tersadai”, lalu ke kata “di”, “pantai”, dan seterusnya hingga sampai pada kata “bismillah”. Pemenggalan kata tersebut tampak ada unsur kesengajaan dalam rangka membentuk ukiran setengah lingkaran demi artistik puisi itu sendiri. Dari sisi representasi kelautan, tampak penggunaan diksi “laut”, “kolek” (perahu kecil), dan “pantai”.

HARAPAN LAUT

dengan bismillah kolek kuhayutkan di lautan redip pagi-pagi tersadai di pantai
orang-orang kampung gembira
tertawa-tawa
segala
bismillah!

Judul “Harapan Laut” secara ambigu bisa dimaknai (1) harapan besar terhadap hasil-hasil laut yang menggembirakan, (2) harapan yang begitu besar terhadap sesuatu hal dan mendedahkan positif, dan (3) harapan tentang diperolehnya nilai keindahan yang bisa mendedahkan keriangan/kesenangan warga yang berkunjung, dan (4) harapan-harapan lainnya. Selanjutnya kita mencoba masuk ke tubuh puisi diawali dengan paraphrase sebagai berikut: “dengan (mengucap) bismillah, kolek [perahu kecil] kuhanyutkan di lautan redip (saat) pagi-pagi [warga] tersadai [berbaring menyelonjorkan kedua kaki) di pantai; (lalu) orang-orang kampong (merasa) gembira, tertawa-tawa segala. Bismillah”. Dari parafrase ini kita coba lakukan pembacaan hermeneutic atau retroaktif (pinjam istilah Riffaterre). Puisi yang dirajut dengan diksi yang sederhana tersebut secara retroaktif mengandung berbagai kemungkinan makna, yakni (1) saat nelayan dengan perahu kecil (sampan; istilah melayu: “kolek”) ke tengah lautan untuk mencari ikan demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga nelayan, para anggota keluarga dengan riang gembira menantikan harapan untuk mendapatkan ikan yang banyak, dan bisa juga dimaknai (2) bentuk permainan berupa perahu kecil yang dilarungkan ke laut dan ketika perahu tersebut dihempas riak maupun gelombang menjadi suatu hiburan tersendiri bagi warga, serta (3) masih dimungkinkan dihadirkan makna yang lainnya. Yang pasti, puisi “Hamparan Laut” masih merepresentasikan ekologi kelautan.

Selanjutnya, representasi kelautan terdapat pula pada puisi “Cerita Laut”(lihat lampiran). Memahami puisi ini terasa agak kesulitan bagi pembaca bukan asli Melayu (termasuk saya dari Jawa) karena banyak dihadirkan diksi asli bahasa Melayu. Dengan demikian, kita harus mempelajari terlebih dahulu makna kata seperti “merapik” (berpikir dan banyak berkata yang tak masuk akal/ngelantur ke mana-mana), “habanlah” (bercakap panjang tetapi meracau, tak bisa sebagai pegangan), “elang kurik” (jenis burung elang yang bulunya bercak-bercak putih hitam, lebih kecil dari elang laut namun indah dilihat meskipun ganas terhadap ayam dan sejenisnya), “mendu” (salah satu kesenian/teater rakyat asli kesenian daerah Natuna), “seungkai” (=seungkit: mengangkat sesuatu dari dalam air), “menyekang” (melintang/menghadang), “kumang” (lautan agak dalam di tengah karang yang serupa danau), “suak” (seperti kuala sungai; ada dua tanjung yang menjorok ke dalam tempat berlindung dari terjangan badai), “tempuling” (sejenis senjata untuk menombak ikan besar seperti hiu atau pari; matanya seperti trisula), “igal-igal” adalah bergoyang-goyang seperti laying-layang di angkasa), “leka” (bulatan yang terbuat dari daun pandan untuk tempat duduk dalam kolek atau tempat mendudukkan periuk), “zuriat” (Arab: keturunan/pewaris), “dilandonkan” (dinyanyikan, didendang-kan), “pape-kedane” (benar-benar miskin).

Dengan memahami istilah-istilah yang dijelaskan di atas, puisi “Cerita Laut” menyiratkan tentang berbagai macam kisah cerita yang terjadi di Natuna, mendedahkan rasa cinta tentang kandungan minyak, gas, ikan, dan cagar budaya. Keindahan laut dan alam Natuna memesona siapa saja yang bertandang, termasuk keindahan satwa (seperti elang kurik yang terkenal ganas). Keindahan laut Natuna tak habis-habisnya dikisahkan (dalam hikayat) bahkan didendangkan. Bahkan manakala nelayan-nelayan kembali menepi ke pinggir pantai dengan membawa hasil tangkapan ikan, baik dengan cara kail maupun jaring seakan membuat kedamaian para keluarga pewaris nelayan untuk mengubah kemiskinan (papekedane) dan menjadikan “hidup berjiwa”, seakan menyongsong kehidupan yang lebih gemilang. Dengan semangat pantang (haram) menyerah (nestapa), masyarakat nelayan, diumpakan “lautan serupa bidadari” yang dicitrakan indra penciuman “wangi” (membuka pintu rezeki).

Lalu, melalui puisi “Doa Laut” —yang tipografinya simetris ini—, representasi kelautan ditandai dengan hadirnya diksi: “laut”, “gelombang”, “gamat”, “teripang”, “elang”, “bunga karang”, “kepit semuang” (kayu ditancapkan untuk menambatkan tali sampan), dan sebagainya. Ada sisi yang menarik dalam puisi ini yakni dihadirkannya mantra Melayu seperti: “/gedebau-gedebau, gabaugabau, ghuk-ghau, ghang-ghang/” dan /.. kung-kang-kung-kang/ ngang/!//”. Lebih lengkapnya simak puisi yang dimaksud berikut ini.

DOA LAUT

laut sampai gelombang
karang-kumang-keribang gemetar seberang duka hilang
arus sekirap pasang
kelekuk-gamat-teripang-elang
gaduhkan rembulan seludang arus serintang
gedebau-gedebau, gabau-gabau, ghuk-ghau, ghang-ghang gemintang kemilau temerang langit telanjang
ngelisap arus terjang gemerentam berenang kepit semuang
cinta di bunga karang tangkai sengiang
doa
di laut dendang terbang
girang
kung-kang-kung-kang ngang
!

Tanjungpinang, 2016

Selain melalui puisi-puisi di atas, pada puisinya yang lain, misalnya yang berjudul “Peri Laut”, “Lautan Rindu”, “Maritim Biru”, “Lautan Terbang”, “Rida, Laut Tetap Pasang”, “Talam Bahari”, “Pasal Laut”, “Alur dan Suak”, “Meragi Lautan” (lihat di lampiran) masih tetap merepresentasikan kelautan/kemaritiman. Dalam puisi-puisi tersebut, laut telah menjadi sumber ilham tersendiri bagi penyair Abdul Karim Ibrahim.

Khusus puisi “Tak Aku” di bawah ini, memiliki ukiran bentuk (tipografi) yang unik seperti skema dengan model bottom up (dari bawah ke atas); terdapat empat kotak yang dihubungkan oleh tanda panah dari bawah ke atas. Sedangkan di setiap kotak tidak lagi berisi huruf-huruf yang tersambung (kata ditulis berkesinambungan (tanpa jeda/spasi) dan tentunya kehadiran mantra Melayu tak bisa dihindarkan. Tipografi yang seperti ini tidak pernah kita jumpai pada penyair mana pun. Puisi ini mengaruskan dimensi vertikal hubungan manusia dengan Sang Pencipta.

Puisi “Arus Sekayuh”,  juga menunjukkan keunikan dalam tipografi puisinya; seakan dibelah ke dalam tiga kolom dan masingmasing kolom deretan kata seakan dipotong atau dipenggal setiap larik satu kata tetapi dideretkan berjajar ke bawah. Bentuk visual puisi yang demikian ini hanya ada pada kreativitas penyair ini.

Yang pasti, sebagai penyair, kreativitas Abdul Kadir Ibrahim sesungguhnya luar biasa justru melampaui Sutardji Calzoum Bachri maupun Ibrahim Sattah. Pada Sutardji C.B membebaskan kata dari makna, sebaliknya Abdul Kadir Ibrahim justru kata menguntai makna; tak ada kata-kata yang ia hadirkan yang longgar, apalagi terbebas dari makna. Sisi perwajahan (tipografi) pun, jika mengamati seluruh puisinya, kita akan tertegun. Ketertegunan itu disebabkan oleh kemampuan menciptakan perwajahan puisi yang sangat variatif, tanpa membuat rasa jenuh penikmat; dan ini cermin keseriusan Abdul Kadir Ibrahim di bidang seni sastra—meski ianya salah memilih jurusan. Sesungguhnya penyair inilah layak sebagai generasi pewaris Raja Ali Haji, jika melihat talenta yang ia miliki. Artinya kehadiran sastrawan ini tak lagi layak diperhitungkan, melainkan layak ditempatkan di papan atas di eranya, sebagaimana keberadaan Chairil Anwar pada era angkatan sastra sesudah zaman Jepang.

Nilai Kearifan Ekologi Kelautan dalam Puisi

Kearifan ekologi dalam puisi merupakan tindakan yang diarahkan pada perlakuan positif terhadap alam, dalam hal ini laut, yang tidak sekadar mengeruk hasil kandungan laut, melainkan memelihara kelangsungan habitat laut itu sendiri. Kearifan ekologi kelautan ini berwujud prinsip-prinsip moral berupa (1) sikap hormat terhadap laut, (2) sikap tanggung jawab terhadap laut, (3) solidaritas kosmis, (4) prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap laut, (5) prinsip tidak merugikan laut, (6) prinsip sederhana dan selaras dengan laut, dan (7) prinsip integritas moral. Namun dalam kajian ini hanya sebagian saja yang dijadikan sandaran rincian, disesuaikan dengan kearifan ekologi kelautan yang termaktub di dalam puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim.

Pertama, kearifan ekologi kelautan yang berupa sikap hormat terhadap laut dalam puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim dapat kita cermati melalui puisi berjudul “Sorga Lautan”. Melalui puisi ini, penyair memberikan apresiasi positif, yakni memandang bahwa laut Natuna layak dihormati karena memberikan pesona dan keindahan tersendiri bagi warga di sekitar daerah tersebut. Selain keindahan yang kasat mata, tampaknya di laut tersebut memberikan kontribusi positif terhadap nilai tambah pemasukan dana bagi pemerintah terkait, dan juga dari sisi hasil laut juga dapat dimanfaatkan para nelayan setempat sebagai sumber matapencaharian. Kata “sorga” yang melekat pada judul puisi tersebut tentu memendarkan hal yang nyaman, indah memesona, kedamaian, ketenangan, dan sebagainya.

Kedua, kearifan ekologi kelautan yang terkait dengan sikap kasih sayang dan kepedulian terhadap laut dalam puisi Abdul Kadir Ibrahim tersirat dalam puisi “Maritim Biru” berikut. 

Maritim Biru

teritip batu lautan rindu hijau jambu
hati ulat bulu
riwayat dikau
maritim biru

Anambas, 2009

Di dalam puisi “Maritim Biru” tersirat suatu harapan yang indah terhadap maritim. Kata “biru” menunjuk pada makna ‘indah’, ‘memesona’, ‘eksotis’. Artinya penyair merindukan keindahan laut yang menawarkan pesona kepada warga (pengunjung) untuk menikmati segala sesuatu yang dipancarkan melalui laut yang ‘biru’ tersebut. Hal ini berarti merupakan perwujudan dari sikap kasih sayang dan kepedulian terhadap laut. Sikap kasih sayang dan kepedulian terhadap laut itu tercermin dalam harapan, cita-cita yang sungguh mulia terhadap laut.

Istilah “maritim biru”, jadi teringat esai Rakhmindyarto dan Wesly F. Sinulingga (tt) yang berjudul “Ekonomi Biru untuk Maritim Indonesia yang Berkelanjutan”. Di dalam esai tersebut, kedua penulis yang merupakan pegawai Badan Kebijakan Fiskal Menteri Keuangan Republik Indonesia menulis:

“Istilah ekonomi biru pertama kali diperkenalkan pada tahun 2010 oleh Gunter Pauli melalui bukunya yang berjudul The Blue Economy: 10 years – 100 innovations – 100 million jobs. Ekonomi biru menerapkan logika ekosistem, yaitu ekosistem selalu bekerja menuju tingkat efisiensi lebih tinggi untuk mengalirkan nutrien dan energi tanpa limbah untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi semua kontributor dalam suatu sistem. Selanjutnya, ekonomi biru menitikberatkan pada inovasi dan kreativitas yang meliputi variasi produk, efisiensi sistem produksi, dan penataan sistem manajemen sumber daya. Ekonomi biru kemudian berkembang dan sering dikaitkan dengan pengembangan daerah pesisir. Konsep ekonomi biru sejalan dengan konsep ekonomi hijau yang ramah lingkungan dan difokuskan pada negara-negara berkembang dengan wilayah perairan (laut), yang biasa dikenal dengan Small Island Development States (SIDS). Ekonomi biru dalam hal ini ditujukan untuk mengatasi kelaparan, mengurangi kemiskinan, menciptakan kehidupan laut yang berkelanjutan, mengurangi risiko bencana di daerah pesisir, dan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim. Implementasi ekonomi biru secara global dianggap krusial mengingat 72 persen dari total permukaan bumi merupakan lautan. Disamping itu, laut berfungsi sebagai salah satu sumber penyedia makanan dan pengatur iklim dan suhu bumi sehingga kelestariannya perlu dijaga”.

Selanjutnya, sikap seperti itu juga tampak pada puisi “Rida, Laut Tetap Pasang” dengan penggalan kutipan berikut.

…. 

hai rida k liamsi 
budak macam mana susi[1] ‘tu!? 
selepas ianya apatah adakapal dibakar di laut?!
but but but! brrruuuuuuttttttttttttt! tibut!

….

Penggalan puisi tersebut ada semacam pertanyaan retoris tentang apakah selepas Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti kelak penggantinya juga akan membakar kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia? Pertanyaan ini cermin kasih sayang dan kepedulian penyair terhadap perairan/laut Indonesia.

Ketiga, kearifan ekologi kelautan yang terkait dengan prinsip sederhana dan selaras dengan laut dalam puisi Abdul Kadir Ibrahim tersirat dalam puisi berjudul “Cerita Laut”. Dalam puisi ini penyair menyuarakan semangat yang tinggi pada nelayan dalam menangkap ikan dengan peralatan sederhana; dan yang utama adalah untuk meninggalkan “luka” akibat kemiskinan atau kemelaratan. Kutipan puisi yang terkait dengan kearifan ini sebagai berikut: “//…anyir dayung/ kayuh kemana-mana semau-mau/ sepancingan umpan/ nasib berpacu/…/jaring gemetar/ jemari bidarai/ merebas ikan/…/hidup berjiwa / haram menyerah kepada nestapa/ tangkapan nelayan/ cita-cita semerbak awan/ degup berjiwa/ kepada kehendak/…/campakkan luka pape-kedana/…//”.

Kritik Ekologi Kelautan dalam Puisi

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti beberapa waktu yang lalu mengungkapkan bahwa terdapat potensi peningkatan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 25 triliun rupiah per tahun yang belum dimanfaatkan dari sumber daya ikan dan sumber daya non ikan. Tercatat 70 persen produksi minyak dan gas nasional berasal dari wilayah pesisir dan lautan, produksi perikanan tangkap Indonesia berada di peringkat 2 dunia pada tahun 2012, dan luas terumbu karang Indonesia sebesar 85.000 km2 (Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan). Potensi maritim Indonesia yang demikian besar ditangkap sebagai salah satu visi misi unggulan Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Meskipun demikian, di samping potensi besar ekonomi dan ekologi yang tersimpan sebagai negara maritim, potensi kerusakan alam yang mungkin ditimbulkan akibat eksplorasi berlebihan yang dapat mengancam keberlanjutan pembangunan hendaknya juga mendapat perhatian (Rakhmin-dyarto dan Wesly F. Sinulingga (tt). 

Berdasarkan pendapat tersebut, keberadaan perairan/laut Indonesia hendaknya mendapatkan perhatian penuh. Selanjutnya, dalam puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim, kritik ekologi kelautan tidak menonjol. Ada kritik ekologi kelautan yang dapat ditemukan, misalnya puisi berjudul “Rida, Laut Tetap Pasang”.

….
ini negeri indonesia pelangi 
menteri kelautan dan perikanan RI 
SUSI PUDJIASTUTI!
kutanya rida k liamsi 
apa sapah-serapah yang ia sembi 
bagaimana bunyinya sumpah-seranah ia sembur 
apa macam nelayan kita kini 
yang bukan dari cina, vietnam, thailand 
atau malaysia?! 
bismillah...
ini umpan hai ikan air pasang 
bawa ke isang 
air surut bawa ke perut
biar putus daripada rabut!

….
hai rida k liamsi 
budak macam mana susi ‘tu!? 
selepas ianya apatah adakapal dibakar di laut?! 
but but but! brrruuuuuuttttttttttttt! tibut!

Penggalan puisi tersebut menyiratkan kritik cara tradisonal yang dilakukan nelayan Indonesia dalam melakukan penangkapan hasil laut yang begitu sederhana dan kalah dengan penangkap ikan dari Cina, Vietnam, Thailand atau Malaysia. Lalu, kritik ekologi kelautan yang ini entah disadari atau tidak oleh penyairnya atau pun kebijakan yang diambil pemerintah tentang pembakaran kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia tentu berdampak pada pencemaran air laut, khususnya keberadaan minyak solar (bahan bakar kapal asing) yang tertumpah dan tentu mengganggu ekologi laut. Pengambilan kebijakan terhadap pencurian ikan, setidaknya harus memperhitungkan kelangsungan ekologis di laut Indonesia.

/4/

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pertama, puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim merepresentasikan tentang ekologi kelautan melalui penggunaan diksi/metafora kelautan dan representasi itu tercermin pada soal laut yang digunakan sebagai sumber ilham. Kedua, di dalam puisi-puisi penyair ini terdapat kearifan ekologi kelautan yakni sikap hormat terhadap laut, sikap kasih sayang dan kepedulian terhadap laut, serta kearifan ekologi kelautan yang terkait dengan prinsip sederhana dan selaras dengan laut dalam puisi. Ketiga, kritik ekologi kelautan dapat kita cermati pada cara penanganan pihak asing dalam pencurian hasil laut yang dilakukan dengan cara pembakaran kapal tersebut, setidaknya akan mencemari perairan laut di Indonesia dan ini akan mengganggu kelangsungan ekologis di laut Indonesia.

Secara umum mencermati kepenyairan Abdul Kadir Ibrahim yang dikerucutkan pada puisi-puisi bertemakan kelautan, kreativitas Abdul Kadir Ibrahim sesungguhnya luar biasa justru melampaui generasi kepenyairan pendahulunya. Rajutan kata yang membentuk baris-baris puisi Abdul Kadir Ibrahim menguntai makna; tak ada kata-kata yang ia hadirkan yang longgar, apalagi terbebas dari makna. Sisi perwajahan (tipografi) pun, jika mengamati seluruh puisinya, kita melihat kemampuan menciptakan perwajahan puisi yang sangat variatif, tanpa membuat rasa jenuh penikmat; dan ini cermin keseriusan Abdul Kadir Ibrahim di bidang seni sastra puisi.

Surabaya, 15 April 2017
RUMAH LITERASI (Wahana Diskusi Kepenulisan)

Endnote:

[1] Maksud Penyair, adalah Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Kabinet Kerja 2014-2019, yang menerapkan kebijakan menenggelamkan kapal-kapal asing sebagai kapal pencuri ikan di lautan Indonesia, yang sudah berkekuatan hukum tetap oleh pengadilan, diledakkan dan di tenggelamkan. Adalah Akib sudah menulis puisi “protes” terhadap aksi pencurian ikan oleh para nelayan ini sejak puluhan tahun lampau, era tahun 2000-an. Akib menunjukkan kehiaruannya kepada laut sebagai “harta karun” umat manusia, khususnya Indonesia, yang adalah sejati dia memang sebagai “anak pulau” atau “orang laut”.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.