Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Lelaki yang Menikah dengan Nyamuk - Nisa Ayumida

Lelaki yang Menikah dengan Nyamuk - Nisa Ayumida

Lelaki yang Menikah dengan Nyamuk
oleh Nisa Ayumida

KAWACA.COM | Di kamarnya, di ruang belakang yang lampu neonnya seperti kaca mobil dengan tampias air, buram. Yang cahaya kuningnya tak lagi membuat keringat mengucur deras, panas. Di sanalah lelaki jangkung itu biasa menulis surat untuk kekasihnya yang entah di mana, disana pula ia mengetik puisi pada mesin ketik tua peninggalan Ibu Bapaknya yang telah berkarat legam.  Sepanjang malam telah ia ciptakan puisi untuk kekasihnya di seberang. Bertumpuk-tumpuk, beratus-ratus...


Sebut saja Ia si lesung pipit. Lelaki jangkung itu telah jatuh hati pada pandang pertama berjumpa. Saat tak sengaja tubuhnya menabrak gadis putih bengkoang yang kutaksir ia berketurunan Tionghoa. Sampai seluruh belanja dalam keranjang tumpah berserakan ke tanah yang becek. Setengah berjongkok, lelaki jangkung itu berusaha memunguti barang-barang yang tumpah. Ia lalu mengucapkan kata-kata maaf, sedang gadis Tionghoa itu hanya menunduk,  tersenyum sambil mengangguk. Manis, begitu manis. Diliriknya mata itu begitu teduh.

Sepanjang jalan menuju pulang, aspal legam hitam terasa begitu teduh. Ditambah kesiur angin sepoi yang menerpa dahi. Ia terus menunduk, bulu mata lentik itu tiba-tiba menggantung di pelupuk mata. Senyum lesung pipit itu mendadak berkelebat dalam ingatan. Menemaninya menyusuri jalan setapak menuju rumah. Dalam hati ia menyesali pertemuan singkat tanpa basa-basi itu.

Terkadang, orang-orang menganggapnya sinting. Bila sepanjang  jalan ia hanya menyeringai menatapi dedaunan yang melambai tersapu angin.  Berceloteh ini-itu sendiri. Namun meski demikian, laki-laki itu terkenal sangat baik. Ia tak pernah sedikit pun membuat anak-anak  SD yang lewat depan rumahnya berlarian, ia tak pernah mengejar-ngejar, tak pernah berteriak-teriak seperti orang sinting pada umumnya. Yang kutahu Ia tamat SMA dua tahun lalu. Sempat memang melanjutkan pendidikannya ke luar kota, namun putus sebab Ayah Ibunya lebih dulu berpulang. Kemudian rupiah begitu berat menyambung hidupnya. Ia menjadi pengangguran, ia selalu berkeluyuran, tapi selalu hafal bagaimana jalan pulang ke rumahnya.

Pernah suatu ketika seorang peramal yang kebetulan lewat di kampung kami menebak “Ia mungkin sedang bercakap dengan arwah Ibu dan Bapaknya”. Penduduk kampung hanya ber—ooo  panjang. Kemudian seorang kepala klinik juga berujar “laki-laki itu mengalami stress berat” entahlah, semua hanya sekedar praduga semata. Dan bagiku, Tuhan telah menentukan garis hidup lain pada dirinya. Kadang bila salat Jumat tiba, Ia adalah orang pertama yang berada di barisan shaf paling depan di dalam masjid. Bahkan beberapa tokoh masyarakat kampung datang lebih telat dan pulangnya lebih awal darinya. Kadang ia juga menyalaminya begitu ta’zim. Meskipun begitu aku juga sering menemuinya berjalan-jalan di area pematang sawah ketika azan salat jum’at dikumandangkan di masjid. Siapa yang mampu menanyainya soal amal salat yang kelak diperhitungkan di akhirat? Tidak ada! Orang-orang sepertinya telah mendapat ukuran tersendiri dari Tuhan. Terkadang aku juga berpikir, siapa yang memberinya makan setiap hari ? hanya satu. Tuhan melalui tangan-tangan manusia.

*** 

Di suatu hari ketika geliat pagi masih menyemburkan aroma embun yang begitu menyengat. Aku dan beberapa warga kampung berada di warung kopi tak jauh dari samping kanan rumahnya. Di kejauhan kuperhatikan ia sedang berjalan entah ke mana, limbung.
“Hai, Sudirman, sedang apa di sana?” ia yang sedang menekuri jalan, seolah sesuatu telah hilang dari pelukan tangannya lalu menjawab.

“Layang-layangku hilang pak” begitu tandasnya. Begitu anggun mengetuk daun telinga. Sedang diantara kami lalu tersenyum, menatapnya dengan penuh iba.
“Sepertinya disini ia tak punya sanak keluarga” bapak Handoko menerawang.
“Memang iya, Ibu Bapaknya merupakan pendatang asli dari Jawa” lainnya menimpali.
Sejak pagi itulah kuketahui ia tinggal seorang diri di kampung ini. Bahkan rumahnya kerap menjadi incaran maling. Isi di dalamnya telah banyak ludes. Macam-macam perhiasan Ibunya. Barang-barang kuno yang bila dijual harganya akan melambung tinggi. Hanya menyisa mesin ketik tua peninggalan sang Bapak dan seonggok ranjang yang sudah keriput. Pendatang yang tak berbapak ibu itu selalu membuat hati warga sesak. Dalam sayu mereka lalu berucap syukur atas nikmat Tuhan pada hidup mereka.

***

Maka berjalanlah Ia di keramaian pasar. Hatinya telah mengetuknya untuk mencari gadis yang pagi kemarin di tabraknya. Kepalanya mendongak sambil desak-desakan diantara para pengunjung pasar. Sedang mencari sesuatu. Pada menit berganti selanjutnya ia tersenyum. Usut ku usut dari sudut pandang matanya jatuh pada perempuan putih bengkoang yang kuyakini keturunan Tionghoa sedang transaksi dengan salah satu pedagang sayur. Hanya tak ada isyarat lebih dari Tuhan. Sederhana sekali. Kemudian jabat tangan dibawah terik matahari yang sesekali sembunyi dibalik rimbun daun asam menjadi awal perjalanan asmara mereka. Meski pada awal memang tak ada saling mengungkapkan, tak ada saling gombal. 

Hanya setiap hari Sudirman ikut serta berdesakan di keramaian pasar yang becek sebab musim penghujan, menemani si lesung pipit berbelanja. Setiap hari, setiap pagi, bahkan sesekali pula mereka mampir di warung makan. Dan ujung-ujungnya perempuan Tionghoa itulah yang membayar. Ia tahu, sekalipun Sudirman pengangguran, suka keluyuran dan tak berpenghasilan, di matanya tak pernah ada garis kebohongan. Dan ia menyukai itu.
Berminggu-minggu dari sejak itu, Sudirman kuperhatikan semakin mengalami kemajuan positif. Pakaiannya semakin rapi, binar matanya tak sesendu hari-hari lalu, juga sudah berulang kali mereka kerap aku jumpai sedang jalan berdua bila sore beranjak petang. Pulangnya pun, bila lewat depan rumahku, Sudirman selalu terlihat bahagia. Sebab dari itu para penduduk kampung yang tahu dan peka sering berbisik-bisik.

“Eh,, Sudirman jatuh cinta, Eh,, lelaki kurus itu jatuh hati pada anak kepala desa kampung sebelah,, eh .. pilihan Sudirman tak tepat, jauh melambung tinggi,, mana mungkin perempuan itu mau kalau tak dipelet sama dia?”. Pertanyaan terakhir melompat dari mulut istriku yang biasanya selalu manis.

“Meski dia dianggap sinting Sudirman bukan dukun Minarsih”

Dari waktu itu istriku tak banyak cakap lagi soal cinta Sudirman. Anak itu pun semakin baik saja perkembangannya. Semakin rajin pula ia pergi ke masjid. Orang-orang kampung pun pada tahu, siapa yang telah mengubahnya. Yakni Tuhan melalui sosok perempuan putih itu. Namun saat benarku ketahui perempuan Tionghoa itu anak dari kepala desa kampung sebelah,  susutlah pandanganku pada kisah mereka. Langit dan bumi benar-benar nampak sangat berjauhan. Dan di sinilah aku tahu, bahwa cinta memang tak tahu tempat. Tak tahu apa-apa selain perasaan kasih, sayang dan ingin memiliki.

Suatu sore di pinggir dermaga…

“ Bagaimana bila kita tak berjodoh Man?” begitu suara itu kudapat dari balik bambu yang sedang kubersihkan rantingnya.
“Kau tak percaya aku atau pada takdir Tuhan Marina?” laki-laki itu mulai membawa-bawa Tuhan dalam perbincangannya. Perempuan itu menunduk, luas dermaga dipandangnya sangat dalam. Ikan-ikan yang berseliweran di dalamnya tak dapat ia rengkuh dalam pelukan jemarinya dengan sekejap mata. Semakin dipandang semakin tak berujung dermaga itu. Dari percakapan itulah kuketahui laki-laki bujang yang jatuh hati padanya, susah payah mengunyah pertanyaan yang disodorkan kekasihnya, berikut solusi yang masih dalam ditenggorokan. Itulah kali pertama mereka pulang dengan membawa gundah didada, membawa resah di wajah. Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, tak satupun sapaan para tetangga ia gubris.

***

Lama berselang  waktu, entah Tuhan menulis garis lengkung bagaimana dalam kitabNya. Hanya semakin hari semakin tak kudapati mereka merapat di dermaga lagi.Tak kudapati hari-hari berdesakan di pasar yang dilalui berdua. Marina, entah, gadis putih itu tak kelihatan lagi batang hidungnya. Berhari-hari ,berminggu-minggu,  berbulan-bulan, juga disusul Sudirman yang tak keluar rumah. Percakapan dengan beberapa warga kampung minggu lalu pun mengerucut pada persoalan cinta Sudirman.

“Sepertinya anak itu tersungkur lagi” Pak tua berdalih.
“Kemungkinan dia kehilangan lagi”
“Kedekatannya dengan anak Pak kades kampung sebelah tak terlihat lagi”
“Boleh jadi begitu,,,”
Sontak, gelak tawa ruah tak dapat ditampung telapak tangan.
“Mana mungkin anak sinting begitu jadi mantu kepala desa. Tai kucing dengan cinta”
semakin panas yang lain bergabung, semakin hangat topik pagi itu di warung Bu Karjo. 

Tempat tua muda yang tak sempat sarapan masakan istrinya nimbrung tiap pagi, entah karena si istri tidak memasak sebab kantong suami kempes atau si istri terlalu sibuk. Pastinya, warung sederhana yang terbuat dari anyaman bambu itu selalu tak pernah sepi. Dengan para pembeli yang itu itu saja. entah untuk sarapan atau sebatas mengaliri tenggorokan dengan kopi luwak. Namun, itu yang kudapat lebih. Tuhan menyambung hidup Bu Karjo melalui tangan-tangan para pembeli. Saat pikiran melayang itulah, tiba-tiba Bu Karjo menjulurkan beberapa lembaran uang melalui telapak tangannya yang sudah tua. Telapak tangan yang sudah sepantasnya beristirahat dari segala macam pekerjaan. Namun adakah usia istirahat bagi orang-orang desa?. Sedang kami bukan bangsawan yang bergaji pensiunan.

“Kang, saya duluan ya” Kemudian aku beranjak meninggalkan tempat itu dengan perasaan masih pada cinta Sudirman.

###

Benar memang, dugaan yang kami dapatkan dicelah pagi itu. Sebab minggu-minggu setelah itu Sudirman sering penduduk kampung dapati terbahak-bahak sendiri atau bercakap yang entah dengan siapa. Beberapa orang kemudian berkata bahwa Sudirman mengaku telah beristri. Aku mengerutkan kening. Aku tidak percaya dan hanya melongo atas pernyataan itu. Bagaimana mungkin ia menikah dengan tanpa wali. Setidak-tidaknya pak RT kampung ini tahu. Namun, beberapa hari terakhir nasi yang biasa dikirim oleh istri pak RT ludes dilahap kucing, bungkusnya berceceran terlihat jelek dan robek di halaman. Ah, perempuan mana yang ia nikahi dalam keadan demikian?  Atau perempuan manakah yang mau padanya dengan rupa dan kelakuan yang begitu? Ah,,, Sudirman!

###

Berminggu-minggu lewat. Kalau siang hari, rumah itu bak tak berpenghuni, rumput-rumput liar menjulurkan lidahnya di halaman rumah. Rumah itu tak terlihat lagi seberkas cahaya di dalamnya. Murung, persis air mata yang meleleh dan menggenangi halaman. Padahal, tak ada sambungan listrik yang roboh sehingga memutus aliran listrik menuju rumahnya. Atapnya terlihat kumuh. Tak lebih dari pengemis yang sedang kelaparan dan kedinginan di pinggir jalan raya.

Suatu malam saat rembulan temaram, derap kaki kami menyusuri rumahnya dengan dua obor. Aku, istriku dan Pak RT menapakkan kaki pertama. Sedang aparat kampung yang lain mengekor di belakang. Tak ada jendela, sehingga tak dapat mengizinkan bulan yang cantik itu untuk mengintip barang sedetik.

“Sudirman?” Suara pak RT terdengar berat. Setelah berulangkali pintu diketuk dan Sudirman tak ada jawaban barulah pintu itu kami dobrak. Istriku menjerit ketika tak sengaja kakinya menyenggol kaleng botol bekas minuman yang sedang pulas berhari-hari lalu menggelinding di lantai. Hanya derap kaki, suara-suara kami dan cericit malam yang sumbang.

Dalam gugup kaki yang melangkah, aku sambil membayang, senter telah diarahkan ke seluruh sudut. Laki-laki bujang itu dibunuh orang entah di mana. Tak sedikitpun terlintas ia boyong ke rumah istrinya. Bau busuk tiba-tiba menyeruak ketika memasuki ruangan di sebelah kanan. Pintu dibuka berderak begitu berat seakan penuh dahak. Bau busuk itu semakin menusuk-nusuk hidung ini. Dengung nyamuk tak henti-henti memekakkan telinga. Berkerumun, seakan ingin menerkam siapa saja yang memasuki ruangan itu. Begitu keras lengkingannya seakan menyuruh kami untuk “pergi,pergi, atau keluar, keluar!!!”. Tidak ada yang berani membuka kelambu itu kecuali tangan pak RT. Dari jarak yang berdekatan sambil disodorkan cahaya senter demi memastikan. Semakin lama, semakin keraslah hidung kami cekik melalui ibu jari dan telunjuk. Di balik kelambu jaring yang lusuh bujang itu meringkuk. Di sampingnya, ada meja kecil dan lampu belajar yang cahayanya dalam perjuangan pulang. Ada bertumpuk-tumpuk kertas dan mesin ketik tua yang sudah legam karat.

“Ia tidur untuk selamanya” Apa yang pantas kami lakukan untuk Sudirman, kecuali memperlakukannya sebagai saudara sendiri.

###

“Ayo mas!” Istriku bergegas. Aku terhenyak. Suaranya seperti menghentak. Dan Ibu-ibu yang lain dengan anak didekap bergeser bergantian. Ini sudah yang kedua kalinya aku mengantarkan istri dan anakku untuk imunisasi ke tempat ini.
Di Luar, tak ada lagi rumput-rumput yang menjulurkan lidah di sembarang tempat. Tak ada lagi atap yang layu persis pengemis kehujanan atau tak makan seharian. Di pojok ruang ini aku melihat mesin ketik tua dalam lemari. [*]





Nisa Ayumida*

*Nama Pena dari Roydatun Nisa’. Mahasiswa semester akhir di Prodi HES Syari’ah Instika Guluk-guluk. Juga nyantri dan ngaji sastra di Forum Literasi Santri (Frasa) PP. Annuqayah Lubangsa Putri.

Cerpen lainnya: Typus Dan Cacing Tanah - Nisa Ayumida

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.