Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Papa Mita - Ibna Asnawi

Papa Mita - Ibna Asnawi

Papa Mita
oleh Ibna Asnawi

KAWACA.COM | Papa berlari dari ujung jalan depan rumah setelah melihatku tersandung dan jatuh. Badannya yang gembul membuatnya sedikit kesulitan berlari. Kulihat ia buru-buru kembali ke arah rumah, padahal penumpang di pangkalan becak di alun-alun kota Sumenep telah menunggu kedatangannya. Handuk putih bertulis ‘Tersayang’ di ujungnya ia lempar begitu saja, ia buru-buru, ia buru-buru ingin segera memelukku dan bertanya, “apanya yang sakit, Mit?” 

***
Halaman rumahku dipadati orang-orang lagi. Rasanya ini sudah hari ke tiga. Kerumunan tamu menjadikanku lupa, ini hari apa, ini tanggal berapa. 

Anak-anak kecil duduk melingkar di teras rumah, ada yang memegang gawai, ada yang memegang mobil mainan. Mereka tengah sibuk bermain si’ma’, permainan tradisional yang masih digandrungi generasi milenial, masih banyak yang menyukai. Di dalam lingkaran itu, Rifa, anak paling mungil di antara teman-teman sepermainannya, terlihat begitu sibuk dengan boneka barbie miliknya. Kukira ia begitu menyayangi bonekanya, tampak sangat jelas bagaimana ia menatap dan memperlakukannya. Ia tidak mempedulikan keriuhan kawannya bermain si’ma’, ia terus saja bertanya kepada bonekanya “apakah telah lapar?”, “apakah tuan putri ingin berganti gaun?” Aku mendekatinya, ingin aku diajaknya ke dunia yang ia cipta, ikut merasakan ada apa saja di sana. 

“Sedang apa?” sapaku
“Tuan Putri sedang memerintahkan rakyatnya untuk membangun jembatan dari puncak gunung menuju kolam di istana, Mit.” Setelah menjawab pertanyaanku, ia kembali hanyut ke dalam arus ceritanya. 
“Memang bisa?” wajahku mendekati tangannya, mengecupnya pelan. 
“Iyalah, bisa. Di dunia peri, semua keinginan pasti akan terkabul,” dengan sangat yakin ia menjawab keraguanku. 

Aku jadi teringat Papa, katanya, saat masih kecil, aku tidak suka bermain boneka, bongkar-pasang, atau permainan perempuan pada umumnya. Aku begitu menekuni dunia otomotif, ke mana pun pergi, aku tak akan pernah meninggalkan mobil truk berwarna hijau yang dibelikan Papa di Sumenep, bahkan hingga ketika hendak pergi tidur. 
Ketika kecil, aku suka sekali membawa persediaan bahan makanan milik ibu. Aku membawanya dengan mobil truk mainan itu, berkeliling kampung untuk dijajakan kepada teman-teman lain di tempat-tempat mereka biasa bermain jualan. 

Saat kubawa biji kopi atau makanan lain dari dapur, ibu akan memanggilku dari rumah setelah mendapati persediaan makanannya raib, suaranya yang bertalu memanggil ‘Mita, Mitaa’, kudengar dengan begitu jelas dari tempat kawanku bermain. Aku akan pulang menyeret mobil truk itu dengan perasaan sangat takut. 

Sampai di rumah, biasanya ibu telah berkacak pinggang di sisi dapur, ia menatapku dan bertanya sudah kubawa kemana biji kopi atau gula dengan nada tinggi. Ia akan menjewer kupingku jika kujawab, aku tidak tahu. Lalu aku akan menangis, aku tidak akan mau pergi mengaji, kukatakan pada ibu, ia akan kulaporkan pada Papa ketika nanti pulang dari Sumenep.  

Ibu tetap akan memarahiku, tak berhenti meracau, bahkan ketika aku cegukan sebab terlalu lama menangis. Sambil memandikanku, ia tetap meracau. Menidurkanku, ia tetap meracau. Memelukku, masih tetap meracau. Hingga aku tertidur dan melupakan kejadian itu. Barangkali sebab hal itulah yang membuat hubunganku dengan ibu, tak sedekat dengan Papa, walaupun lebih banyak kuhabiskan waktu dengannya di rumah, dan tentu saja, walaupun ia merawatku dengan sangat baik.

Pernah suatu ketika, saat masih sangat kecil, ibu memotong rambut panjangku dengan paksa, ia berdalih, rambutku tidak bagus, terlalu kasar untuk ukuran rambut perempuan. Aku, yang begitu menyayangi rambut panjang itu menyatakan sangat tidak bersedia jika harus kehilangan anggota tubuh paling berharga itu, bahkan jika pun ujungnya berwarna merah. Tetapi ibu tetap dengan pendiriannya, ia mengambil gunting di jendela, memegangi tanganku yang meronta, dan mulai menggunting. Aku menangis sangat kencang. Air mataku tumpah membasahi celana dan kausku. Dan lagi-lagi tak henti kukatakan, akan kulaporkan ibu pada Papa dalam isak-tangisku itu, sungguh, saat itu aku teramat membenci ibuku!

Bila Papa pulang, sekantung rambutan tak pernah lupa ia bawa. Di lain kesempatan, terkadang ia juga membelikanku sesuatu yang lain, semisal kursi kecil, mobil-mobilan atau barang-barang mungil lainnya. Papaku, seperti ibu kebanyakan, ia penyayang sekali. Selama di rumah, ia akan menemaniku kemanapun: mengantarkanku ke sekolah, pergi ke rumah nenek sambil bernyanyi sepanjang jalan yang dihampari sawah-sawah atau sekadar duduk-duduk santai di lincak halaman. 

Paling kuingat darinya adalah kebiasaannya mengecup poniku yang menjuntai hingga ke bulu mata, ia suka sekali melakukannya. Katanya, suatu saat nanti, ia akan sangat merindukan hal itu. Papa tidak seperti ibuku, sikap dan karakter keduanya sungguh sangat berbeda. Ibuku yang seperti lelaki, dan papaku yang seperti perempuan. Papa juga tidak pernah membiarkan aku kesepian, ia menjagaku seakan sedang menjaga putri raja. Memenuhi segala keinginan, bahkan saat ia sendiri tidak tahu bagaimana cara mewujudkannya.  
***

“Mit, kau mau menjadi abdi Tuan Putri?” ucapan Rifa mengagetkan lamunanku, matanya tetap memandang boneka barbie-nya saat berucap demikian. 
“Mita tidak suka bermain boneka, Rifaaa.” 

Kemudian aku masuk ke kamar, meninggalkan lingkaran anak-anak di teras depan. Dadaku ngilu sekali. Ternyata Papa mengingkari janjinya, ia bohong bahwa akan menjagaku, bahwa tak akan membiarkanku sendirian menghadapi kesunyian. 
Sementara orang-orang terus mengalir menyesaki halaman rumah, mereka membawa beras, sebagian lagi membawa telur.

LK, 27 April 2019

Tentang
Ibna Asnawi, lahir di Sumenep, 07 November 1996. Sedang mengaji di pondok pesantren Annuqayah daerah Lubangsa Putri Guluk-guluk Sumenep Madura. Dapat ditemui di: Ibna Asnawi (Facebook) dan ibnaasnawi@gmail.com

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.