Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Pemikiran dalam Masyarakat Terbelakang - Sides Sudyarto DS

Pemikiran dalam Masyarakat Terbelakang - Sides Sudyarto DS

Pemikiran dalam Masyarakat Terbelakang 
(Ulasan buku Intelektual Masyarakat Berkembang, Syed Hussein Alatas, LP3ES, Jakarta, 1988)
Pemikiran dalam Masyarakat Terbelakang - Sides Sudyarto DS


oleh Sides Sudyarto DS

KAWACA.COM | Syed Hussein Alatas adalah seorang intelektual yang kini menjadi Naib Canselor Universitas Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Ia dikenal sebagai orang yang menghasilkan buku buku yang cukup menarik. Karya-karyanya, antara lain: The Sociology of Coruption, sudah diindonesiakan dengan judul Sosiologi Korupsi, kemudian The Myth of the Lazy Native, diindonesiakan menjadi Mitos Pribumi Malas. 

Menyusul kemudian buku yang kita bicarakan sekarang ini, yang judul aslinya adalah Intellectuals in Developing Societies. Ketiga buku yang telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh LP3ES itu tidak hanya menarik, tetapi juga penting untuk selalu dikaji ulang. 

Dalam bukunya yang berjudul Intelektual Masyarakat Berkembang, Hussein Alatas mencoba menjawab beberapa pertanyaan mendesak: 


Pemikiran dalam Masyarakat Terbelakang - Sides Sudyarto DS


1. Mengapa kita, masyarakat berkembang, memerlukan kaum intelektual, 
2. Jenis jawaban terbaik yang manakah untuk memenuhi kebutuhan tersebut, 
3. Rintangan apakah yang menghalangi kaum intelektual tampil dan berfungsi. 

Untuk itulah Alatas mulai dengan penjelasan, bahwa seorang intelektual ialah, "seseorang yang memusatkan dirinya untuk memikirkan ide dan masalah nonmaterial dengan menggunakan kemampuan penalarannya.” (hlm. 12 dst.). Lalu untuk memperkuat penjelasannya, penulis itu pun mengutip tulisan Roberto Michels dari Encyclopedia of Social Sciences (McMillan, New York, 1949) yang mengatakan bahwa, Intelektual adalah "Orang-orang yang memiliki pengetahuan, atau dalam arti sempit, mereka yang mendasarkan penilaiannya pada renungan dan pengetahuan, yang kurang langsung dan tidak semata-mata berasal dari persepsi inderawi tidak seperti halnya kaum nonintelektual.” 

Selanjutnya Syed Hussein Alatas memberikan juga rincian yang menyangkut ciri-ciri dari kaum intelektual: 

1. Mereka direkrut dari segala kelas, meskipun dalam proporsi yang berbeda-beda, 
2. Mereka dijumpai di kalangan pendukung atau penentang berbagai gerakan kebudayaan atau politik, 
3. Pekerjaan mereka pada umumnya bukanlah pekerjaan tangan dan bagian terbesar menjadi penulis, dosen, penyair, wartawan dan sebagainya, 
4. Sampai batas tertentu mereka agak menjauh dari masyarakat selebihnya, bergaul dengan kelompoknya sendiri, 
5. Mereka tidak hanya tertarik pada segi pengetahuan teknis dan mekanis semata-mata, ide-ide tentang agama, kehidupan yang lebih-baik, seni, rasa kebangsaan, ekonomi berencana, kebudayaan dan sejenisnya, termasuk dalam dunia pemikirannya, 
6. Kelompok intelektual senantiasa merupakan bagian kecil dari masyarakatnya. 

Lebih jauh Hussein Alatas menambahkan, bahwa sejak masa yang tak dapat diingat lagi, masyarakat telah terbagi antara para pemimpin dan yang dipimpin, antara kelompok kecil yang kadangkala disebut kaum elit dan penduduk selebihnya.

Dalam minoritas kecil ini, tulisnya lebih lanjut, kita temukan para politisi, administrator, pemuka agama, seniman, industrialis, pengusaha, dan sebagainya. Lalu apakah fungsi kaum intelektual menurut hematnya? 

"Fungsi dari kaum intelektuallah untuk memberikan kepemimpinan serupa dalam dunia berpikir. Kaum intelektuallah yang harus menjelaskan masalah masyarakat dan mencoba menemukan pemecahannya — kaum intelektual menghasilkan ide-ide dan menyebarluaskannya kepada anggota masyarakat lainnya.” (hlm. 14).

Lebih jauh Alatas juga mengingatkan pembacanya, bahwa hendaknya dibedakan antara intelektual di satu pihak, dengan intelegensia di lain pihak. "Dengan intelegensia kita maksudkan mereka yang telah mengalami pendidikan formal dan modern, para spesialis dan profesional, dan mereka yang memperoleh pendidikan tingkat tinggi dengan cara lain.” (hlm. 14-15). 

Dengan gamblang pula Alatas menandaskan, bahwa dalam masyarakat berkembang kaum intelegensia berfungsi sebagai suatu kelompok. Kita tidak dapat menemukan perusahaan bisnis, administrasi pemerintahan, partai politik, badan penerbitan, atau kegiatan umum yang terorganisasi, katakanlah suatu festival atau penanggulangan wabah, yang tidak melibatkan sejumlah intelegensia.

”Kurangnya penggunaan tenaga mereka di sejumlah negara tidak mengubah kenyataan bahwa mereka secara sosiologis merupakan kelompok yang berfungsi, tidak seperti halnya kaum intelektual,” tulis Hussein Alatas selanjutnya. 

Untuk mempertajam citra dan fungsi kaum intelektual, Alatas juga merinci beberapa masalah dan kegiatan yang hanya bisa diusahakan oleh kaum intelektual. 

1. Masalah yang bukan dan tidak dapat ditangani para spesialis, 
2. Bidang kegiatan intelektual tidak dapat mengikuti demarkasi yang diletakkan oleh disiplin ilmu khusus mana pun, 
3.Sikap intelektual tidak dapat diciptakan oleh latihan formal yang berorientasi pada disiplin ilmu dalam arti silabus dan sejumlah jam pelajaran yang telah ditetapkan, 
4. Sasaran kegiatan intelektual selalu bertalian dengan konteks kehidupan dan pemikiran yang lebih luas, yang meresap ke nilai dan komitmen yang mendasar, 
5. Hal yang dikejar kaum intelektual bukanlah suatu profesi, dan karenanya tidak tunduk pada jenis faktor yang menentukan tampil dan berkembangnya profesi, 
6. Minat intelektual melibatkan masa lampau, kini dan masa depan. 

Yang juga penting untuk didengar ialah, apa yang oleh Hussein Alatas disodorkan dalam bentuk peringatan, bahwa suatu masyarakat tanpa kelompok intelektual yang berfungsi, akan kehilangan tingkat kesadaran dan wawasan tertentu atas masalah-masalah pokok. 

Tampaknya Hussein Alatas begitu Prihatin dan begitu simpatinya kepada kaum intelektual di negeri berkembang, dan karena itu ia juga berpesan, ” Agar seorang intelektual itu berfungsi, ia pertama-tama harus mengadakan kontak intelektual dengan rekan sejawat melalui sarana publikasi, ceramah, rapat, dan pertemuan kelompok kecil. Kelompok acuannya haruslah dari lingkungan masyarakatnya sendiri, tetapi bersamaan itu dia harus menaruh perhatian pada apa yang sedang berlangsung di luarnya. Haruslah ada perdebatan mengenai masalah nasionalnya.” (hlm. 83). 

Berkaitan dengan itu Hussein Alatas menambahkan, standar bagi perdebatan ini haruslah cukup tinggi tetapi mudah dipahami khalayak ramai. Mereka harus berdasarkan fakta dan informatif, dan harus membangkitkan realisasi masalah, cara dan sarana baru untuk mengatasinya. Alatas juga mempersoalkan masyarakat mana yang ”menghasilkan” pengisi lapisan intelektual. 

Menurut pengamatannya, pengisi lapisan intelektual ini biasanya adalah masyarakat kelas atas atau menengah. Namun, sayangnya, di negeri jajahan, kelas ini tidak berfungsi sebagai sumber penyediaan. Sebab, mereka tidak memiliki upaya yang kuat untuk mempopulerkan ilmu, dan kegiatan intelektual. Mereka ini tidak mendirikan perpustakaan, mendorong kegiatan membaca, tidak mengenang dan menghormati para pemikir masa lampau mereka, tidak mengembangkan percakapan intelektual di rumah, memelopori ceramah intelektual, atau mendorong usaha penerbitan. Dan akibatnya: Tidak ada prasarana bagi kegiatan intelektual! 

Hussein Alatas juga melihat berbagai indikasi bahwa tidak ada minat intelektual di banyak negara berkembang. Salah satu indikasi yang paling jelas baginya ialah, ”. .. tidak adanya filsafat politik yang maju — suatu filsafat yang digarap secara konsekuen dan rasional melalui sarana buku-buku dan penerbitan yang lain.” 

Ia pun seringkali menekankan, bahwa kehadiran kelompok intelektual sangat penting dalam masyarakat. ”Kelompok intelektual menjadi suatu keharusan karena kehidupan masyarakat sosial menjadi kompleks, semakin banyaknya masalah yang diajukan masyarakat, berkembangnya kehidupan kota, pembentukan kelas-kelas, pembagian kerja — singkatnya, karena manusia mengembangkan suatu sistem sosial yang kompleks.” (hlm. 87). 

Sempat pula Hussein Alatas yang jeli ini, mengeluh atau bahkan menyindir, bahwa "Sebagian besar masyarakat berkembang, termasuk para ilmuwan dan sarjananya, masih percaya magis dan takhayul.” Lalu kaum intelektual yang berbuat bagaimanakah yang dibutuhkan masyarakat berkembang sekarang ini? 

”Kaum intelektual yang kini dibutuhkan di masyarakat berkembang harus memusatkan perhatian pada pembaharuan, sistem sosial dan analisis sejarah mengenai situasi yang tidak mengenakkan sekarang ini. Kerangka kerja yang luas ini akan meliputi topik-topik seperti eksploitasi, revolusi atau evolusi, pendidikan, etika, perencanaan ketenagaan, Ideologi, sistem-sistem pemerintahan, nilai-nilai sosial, dan tak kalah pentingnya adalah pengembangan kelompok intelektual itu sendiri,” tulisnya. 

Ada perlunya, kalau kita juga bertanya tentang sikap ' atau pendirian Hussein Alatas sendiri. Adakah ia seorang intelektual yang netral di tengah masyarakatnya atau di hadapan pembaca karyanya? Atau adakah ia berpihak sebagai pemikir? Mari kita simak dulu kesimpulan dalam bukunya tersebut.

"Sebagai kesimpulan, di banyak negara berkembang, dari semua kondisi yang diketahui, tidak ditemukan kondisi bagi kelahiran kelompok intelektual. Tidak ada pengakuan atau tuntutan umum akan keberadaan kaum intelektual.” Pernyataan atau kesimpulan ini tentu memerlukan argumentasi. Dan inilah argumentasi Hussein Alatas: 
"Media masa berada di tangan pemerintah atau kelompok-kelompok yang cenderung tidak intelektual. Universitas tidak menciptakan iklim intelektual. Rumahtangga tidak berlaku sebagai lembaga yang mengkondisikan intelektual. Sekolah juga tidak menyumbang ke arah ini. Para penulis dan penerbit tidak mendorong bangkitnya minat intelektual.”
Dan di sinilah terdapat lingkaran setan dalam uraian Alatas. 

Ia mengatakan, dalam keadaan seperti yang dilukiskannya itu, diperlukan gerakan pembaharuan, yang mengilhami minat intelektual, mencoba membangkitkan kesadaran intelektual mengenai berbagai masalah. Siapa pula yang diharapkan akan melakukan gerakan pembaharuan seperti yang dikatakannya itu dalam sarannya? Dan kepada kaum intelektual yang menurutnya "tidak ditemukan kondisi bagi kelahiran”-nya, ia menulis berbau agitasi: 

”Kaum intelektual Asia yang ditekan dan ditindas harus menuntut hak mereka untuk hidup dan berfungsi sebagai kelompok dalam masyarakat mereka masing-masing. Mereka seharusnya melaksanakan revolusi intelektual sebagai lawan dari revolusi kaum pandir.” (hlm. 182) 

Demikianlah buku karya Syed Hussein Alatas yang hampir tuntas berbicara masalah intelektual dalam masyarakat (belum) berkembang. Yang tidak atau belum tuntas ialah, bahwa ia tidak memberikan suatu atau beberapa metodologi, sebagai jalan keluar. 

Jalan keluar apa bagi masyarakat berkembang, bila kondisi bagi kelahiran kaum intelektual tidak bisa ditemukan, agar lahir juga kelompok intelektual? Apakah misalnya harus lewat penyusunan dan pelaksanaan konsekuen sebuah strategi kebudayaan bagi suatu bangsa atau masyarakat berkembang tertentu? Mungkinkah dalam masyarakat atau bangsa yang tidak memiliki (menyusun dan melaksanakan) strategi kebudayaan yang memadai, akan melahirkan kaum intelektual? 

Atau adakah Syed Hussein yang cerdas itu ingin mengatakan bahwa dalam masyarakat berkembang tidak pernah ada golongan intelektual? Tetapi bukankah ia menyebut beberapa nama golongan intelektual di Indonesia, India, Filipina, justru pada saat negara-negara tersebut belum merdeka? 

Syed Hussein Alatas juga tidak menyatakan bahwa beberapa nama dari kaum intelektual itu, yang menjadi pemimpin perjuangan kemerdekaan, menjadi intelektual karena kontaknya dengan peradaban Barat, misainya. 

Bagaimanapun, seorang intelektual bukanlah dilahirkan. Ia "dicetak”. Ia bukan produk alamiah belaka, tetapi ia adalah produk suatu peradaban yang konkret, pada suatu ruang dan waktu tertentu. Saya yakin sekali Prof. Syed Hussein Alatas menyadari itu semua. Tetapi untuk membicarakan masalah pendidikan sebagai bagian integral suatu strategi kebudayaan memang terlalu luas untuk buku seukuran itu.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.