Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Perspektif Tunggal Manusia Indonesia - Chudori Sukra

Perspektif Tunggal Manusia Indonesia - Chudori Sukra

Perspektif Tunggal Manusia Indonesia
oleh Chudori Sukra
(Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), Jakarta, dan pengasuh ponpes Riyadlul Fikar, Banten)


KAWACA.COM | Dialektika berpikir dalam analisis filosof Jerman Hegel, memiliki beberapa tahapan yang dinamis. Bermula dari tesis, antitesis, hingga menuju sintesis. Proses dialogis antara tesis dan antitesis akan menghasilkan jalan tengah pemikiran, yakni sintesis. Tetapi, tidak menutup kemungkinan, pada ruang dan waktu yang berbeda, sintesis akan menjelma sebagai tesis baru, yang layak diadakan antitesis, hingga pada gilirannya akan menemukan sintesisnya yang terbaru.
               Begitulah dinamika pemikiran terus mengalami peningkatan, hingga manusia dikenal sebagai satu-satunya makhluk yang proses berpikirnya mampu mencapai tahap-tahap multidimensional. Di samping itu, sifat dari ilmu pengetahuan serba terbuka. Penemuan terbaru sangat dimungkinkan, meskipun pada awalnya mengacu dari temuan-temuan sebelumnya. Temuan paling baru juga sangat terbuka untuk dikritik dan dikoreksi oleh temuan berikutnya. Proses saling koreksi harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang benar secara ilmiah. Tidak boleh hanya atas dasar asumsi dan keyakinan pribadi yang kemudian melahirkan perspektif tunggal semata.
               Di era medsos ini, banyak orang yang fokusnya hanya pada satu titik pemikiran tanpa kesanggupan membandingkannya dengan jenis pemikiran lainnya. Akibatnya, ketika seorang individu memercayai adanya “tesis”, ia bersikukuh meyakininya mati-matian. Alih-alih menemukan dan mencapai sintesis yang membawa perbaikan dan kemaslahatan, justru untuk membandingkannya dengan antitesis saja, sudah terbentuk penolakan pada dirinya.

Riwayat tumpulnya imajinasi

               Adalah keliru memahami novel Pikiran Orang Indonesia, jika mengandalkan satu titik perspektif yang dikaitkan dengan dukung-mendukung kandidat presiden tertentu. Novel itu bicara tentang adanya ketidakadilan yang sistemik dirancang oleh penguasa-penguasa militerisme di masa pemerintah Orde Baru. Ia mengacu dari petuah-petuah Pramoedya Ananta Toer bahwa manusia-manusia berakal sehat memiliki kewajiban untuk menggugat dan melawan ketidakadilan dan kesewenangan, kapanpun, di manapun, dan siapapun pelakunya. Tak terkecuali penguasa militer maupun sipil. Karena yang menjadi sasaran kritik dan gugatan itu adalah “ketidakadilan” yang merugikan dan merusak prinsip-prinsip kemanusiaan.
               “Kritik atau gugatan terhadap perilaku yang tidak adil, mungkin saja tidak berlaku bagi orang-orang yang tidak waras,” tegas Pramoedya Ananta Toer, “tetapi selama manusia atau makhluk hidup diperlakukan sewenang-wenang, bahkan cacing pun menggeliat bila terinjak oleh kaki kita.”
               Di masa Orde Baru, selama 32 tahun proses berpikir dan menalar seakan dikebiri di negeri ini. Bangsa Indonesia merasa kesulitan beranjak ke taraf pemikiran antitesis, selama tesis itu dilontarkan pihak pemerintah melalui pernyataan-pernyataan politiknya. Jika antitesis saja sulit ditempuh, proses pencapaian menuju sintesis mustahil untuk diharapkan. Kita hanya berhenti sebagai bangsa yang terisolasi dari dialektika pemikiran dunia. Lalu, bermuara pada hipotesa-hipotesa di saat bangsa-bangsa lain sudah mencapai tingkat dialektika pemikiran yang saling bersinambung antara dimensi yang satu dengan dimensi-dimensi lainnya.
            Hal ini tak berhubungan dengan soal penghargaan terhadap kepakaran dan keahlian tertentu, tetapi selama para pakar terkungkung imajinasinya oleh kekuasaan yang mendikte cita-rasa pada kehendak-kehendak politis (political will), maka tepatlah apa yang dinyatakan Albert Einstein bahwa, “Kepakaran dari para ilmuwan seringkali bertumpu pada batas-batas logika ilmiah, sedangkan imajinasi melanglang buana melintasi batasan-batasan logika keilmuan.”
               Terkait dengan ini, generasi milenial cenderung mencari alternatif-alternatif baru yang memungkinkan pemekaran nalar dan imajinasinya secara independen. Mereka senang berbagi (share) dan senang melemparkan gagasan menarik (forward) kepada sahabat dan handai taulan. Sebagian dari gagasan itu barangkali bermuatan politis, menyusupkan kepercayaan dan keyakinannya, tetapi tidak sedikit yang penuh ketelitian mencari prioritas terbaik untuk dibagikan dan disebarluaskan sehingga berkembang menjadi gagasan besar yang saling memperkaya wawasan keilmuan (baca: "Perang Gagasan dalam Sastra Indonesia" di http://www.apjake.id).

Kita adalah modifikator
             
               Dalam pandangan filosof dan ulama besar Imam Al-Ghazali, apa-apa yang kita ucapkan dan tuliskan pada dasarnya pernah disampaikan oleh orang lain dalam bahasa berbeda. Hakikat ilmu yang kita bagikan sebenarnya adalah hasil adaptasi dari pola pikir pendahulu dalam bahasa yang berbeda. Tidak ada sesuatu yang baru dari karya-karya yang kita ciptakan, kecuali hasil modifikasi dari karya terdahulu yang merupakan pergelutan dan pergulatan pemikiran dari zaman ke zaman. “Karena itu, jika Anda bukan anak seorang brahmana (ulama), juga bukan anak seorang raja, maka belajarlah menulis untuk keabadian,” demikian tegas Al-Ghazali.
               Tetapi, bagi bangsa yang lumpuh (lebih tepatnya: dilumpuhkan) daya nalar dan akal sehatnya selama 32 tahun, memang kurang terdidik untuk terampil mengolah imajinasinya untuk bersaing dalam inovasi, atau membuat temuan baru di ranah keilmuan maupun kesusastraan. Jadi, bukanlah sebuah anomali jika bangsa besar ratusan juta penduduk, dengan kekayaan alam gemah ripah loh jinawi ini, memang belum pernah melahirkan para ilmuan besar peraih nobel yang diakui dunia. Juga di bidang sastra, tak pernah satu pun dari ribuan seniman dan sastrawan kita – terutama yang senior – yang karya-karyanya menembus batas-batas geografis, serta mampu menjawab tantangan universalitas, kecuali Pramoedya Ananta Toer.
               Saat ini, kita semua bisa dan berhak menggali kemampuan diri hingga menjadi ahli dan pakar di bidang yang digeluti. Semua perbendaharaan tentang keilmuan tinggal klik lalu ketik kata kuncinya di mesin pencari. Lewat perjalanan waktu, tentu kita akan mampu mengadakan sanering tentang karya-karya berkualitas, di samping karya-karya sampah yang berseliweran dan layak dikesampingkan. Kita tidak harus memburu semua sumber ilmu melalui perpustakaan dan membuka literatur satu persatu dalam bentuk kertas. Usia manusia sangat terbatas untuk mengarungi semua perbendaharaan kata dan kalimat secara manual. Bahkan perbandingan ilmu manusia, secerdas apapun, hanyalah setetes air di lautan samudera yang maha luas.
               Karya-karya sastra yang tampil pada puluhan koran-koran dalam minggu ini – baik daerah maupun nasional – dapat diakses langsung melalui internet, termasuk wacana dan karya sastra bermutu dari penulis dan intelektual terkemuka di dunia. Puluhan resensi dan kritik-kritik sastra, misalnya tentang tanggapan dan perbincangan di seputar novel Pikiran Orang Indonesia dengan mudah dapat diakses melalui mesin pencari. Hanya tinggal mengetik judul novelnya saja, sudah bisa ditemukan puluhan opini yang berkaitan dengan novel tersebut.
               Selain itu, ada jurnal-jurnal ilmiah, e-book, data dan informasi bermutu dan berkualitas kelas wahid. Untuk dapat selektif, dan tidak tergoda pada konten-konten sampah, dibutuhkan kecerdasan dan kehati-hatian ekstra dalam memilih sumber yang valid dan akurat. Karena bagaimanapun, karakter teknologi memang diikhtiarkan penciptaannya untuk mempermudah aktivitas manusia, termasuk untuk kerja-kerja kaum akademisi, budayawan maupun intelektual.

Gejala post power syndrom
             
               Dengan memperoleh data dan informasi yang benar, manusia diharapkan bisa menciptakan karya-karya terbaru yang lebih baik. Kita tak perlu mendramatisir wacana yang berlebihan mengenai buku Tom Nichols mengenai kematian para pakar (The Death of Expertise). Fenomena itu menjadi lumrah adanya, mengingat banyak pakar bertitel doktor dan profesor (di masa rezim Orde Baru) kemudian tak tahan godaan oleh terjangan tsunami informasi, lalu terburu nafsu memihak kandidat presiden tertentu, sampai-sampai ikut-ikutan terjerat pidana dalam kasus hoaks, kebohongan, dan fitnah kolektif.
               Profesor dan akademisi seperti itulah yang – saya bilang tadi – miskin nalar dan imajinasi, hingga tak mampu membedakan mana informasi sampah dan mana yang layak diprioritaskan demi kemaslahatan dan kemajuan peradaban. Silakan saja ia menyebut dirinya pakar dan cendikiawan muslim, yang pernah mendapat penghargaan tertentu dari Presiden Orde Baru, tetapi saat ini zaman sudah lain. Proses yang harus ditempuh untuk pencapaian gelar akademik juga sudah berbeda. Boleh saja ia bermimpi tentang kesuksesan dan kejayaan masa lalu. Tetapi, bukankah fanatisme pada kejayaan masa lalu dengan mengembangbiakkan sikap resisten terhadap era milenial, dapat dikategorikan orang yang mengidap post power syndrome.
                Akhir-akhir ini, sering kita temukan orang Indonesia yang terserang delusi kejiwaan ini, justru pada mereka yang tergolong akademisi yang terlampau bergantung pada kepakarannya. Seumumnya, pelarian mereka justru pada fantasi-fantasi tentang dunia politik dan kekuasaan.
Konon, sebagian dari tokoh dan pakar tersebut memang pernah mengalami masa puncak kejayaan di panggung politik. Tetapi kemudian, di usia senjanya menderita gejala-gejala kejiwaan seakan menolak kodrat dan memaksakan diri berpaling dari ruang-waktu yang berproses sesuai hukum alam. Sebagaimana tokoh-tokoh dalam novel Dostoyevski, Tolstoi maupun Franz Kafka, dalam menelusuri relung batin manusia hiper modern yang keranjingan popularitas dan syahwat kekuasaan. Mereka terserang deformasi jiwa yang tak bisa menghindar dari segala keangkuhan dan kebanggaan prestasinya masa lalu.
                Oleh karena itu, lumrah saja maraknya pembicaraan di kalangan kaum muda milenial, mengenai buku “Matinya Kepakaran” (The Death Of Expertise). Orang-orang yang dianggap ahli dan pakar semasa rezim Soeharto, mungkin saja ada yang sudah diragukan kepakarannya. Mesin pencari di internet boleh jadi menggantikan posisi mereka. Kecuali kualitas kepakaran mereka tidak menggantungkan diri pada political will kekuasaan yang serba mendikte cita-rasa, kemudian mampu berkreasi secara independen, serta memberi jarak dari ambisi-ambisi rezim yang bersifat tiran dan paternalistik.
               Penemuan-penemuan keilmuan di masa kekuasaan rezim Soeharto – terlebih pada ilmu sejarah dan sastra – memang layak digugat dan direhabilitasi dengan sebaik mungkin. Fenomena matinya kepakaran tak lepas dari banyaknya penemuan angkatan muda yang mudah beradaptasi dengan kemajuan, lalu muncul keraguan dan gugatan pada keabsahan kualitas ilmu yang semula dianggap mapan di masa Orde Baru. Banyak ahli yang melecehkan generasi milenial ini, meski kemudian mereka tergoda oleh isu-isu politik dari kabar hoaks yang menjerumuskan citra dan nama baiknya sendiri (baca: "Karya-karya Sastra yang Turut Andil Membongkar Hoaks di Indonesia" di http://www.ilami.co).
               Para penderita post power syndrome itu seakan tidak mengakui kredibilitas anak-anak muda yang sebenarnya punya kesempatan emas untuk mengembangkan bakat dan potensinya di era hiper modern ini. Mereka punya banyak waktu dan kesempatan untuk berbenah dan memperbaiki diri. Seperti halnya tokoh Aris dalam novel Pikiran Orang Indonesia, meskipun pernah terjerumus dalam aksi-aksi radikalisme atas nama kekuasaan Orde Baru, namun ia dapat bangkit kembali menemukan cahaya dan fajar baru peradaban Indonesia yang lebih cemerlang.
               Di tangan para generasi mudalah kita bisa berharap munculnya karya dan kreasi dari pikiran dan tangan-tangan terampil mereka. Saat ini, sedang menyongsong para ahli dan pakar-pakar baru yang akan menghidupkan nalar publik. Mereka akan membangkitkan kredo untuk berpikir analitis, ilmiah dan terbuka. Kematian para pakar yang dihasilkan dari tempurung anak-anak emas Orde Baru, boleh jadi akan mengalami kematian yang abadi bersama para induk semangnya. Namun demikian, anak-anak muda harus senantiasa optimistis, dan jangan terjebak kepada sikap-sikap skeptis yang tidak produktif.
               Kini, matinya cara berpikir dialektis, matinya cara berpikir dialogis, sedang dijawab dan dicarikan solusinya menuju kredo saling berbagi ilmu, berbagi ide dan gagasan, sekaligus menerima pemikiran dari sumber manapun yang lebih kredibel, ilmiah, inovatif, dan saling memekarkan nilai-nilai keadaban dan kemanusiaan yang universal. ***

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.