Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Penyair Bicara Kekinian Manusia Madura - Nuril S. Zaini

Penyair Bicara Kekinian Manusia Madura - Nuril S. Zaini

Penyair Bicara Kekinian Manusia Madura
Oleh: Nuril S. Zaini
Nuril S. Zaini

KAWACA.COM Bertahan menulis puisi di lingkungan pedesaan yang tidak mengenal sastra tulis merupakan jalan hidup yang susah sekaligus mengagumkan. Menulis puisi bukanlah usaha logis untuk bertahan hidup dalam kriteria kebenaran zaman kapital. Namun mengapa Daviatul Umam mau bertahan melakukannya?
Ketika saya bertanya siapa saja orang rumahnya yang tahu tentang terbitnya antologi puisi pertamanya yang berjudul Kampung Kekasih itu. “Tidak ada” jawabnya, kecuali orang yang sudah rela ia pinjami uang. Lantas jika bukan terutama kepada orang-orang rumahnya antologi ini dipasarkan, lalu kepada siapa atau kemana? Tidak mungkin benda asing tak bernilai praktis ini ditujukan kepada lingkungan yang tidak mengenal nilai pentingnya.
Jawabannya adalah tempat asal mula ia belajar mencintai yang bernama puisi, yaitu PP. Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep. Ke sanalah persembahan ini meluncur, sebab di Annuqayah ...nyanyian tuhan teduh mengalun / bibit puisi tumbuh santun (“Annuqayah”).
Santri mempunyai kegelisahan yang lebih dalam yang disuguhkan oleh kapitalisme perihal mata pencarian kala ia sudah berhenti dari pesantrennya. Bertani – atau melaut – oleh orang-orang desa sendiri dicitrakan sebagai pekerjaan rendahan, sehingga mayoritas dari mereka berdoa agar para santri yang mereka hantar ke pesantren tidak melanjutkan menggarap sawah. Pilihan praktis yang ditawarkan adalah merantau ke Jakarta untuk menjaga toko. Namun Penyair tidak membiarkan definisi orang-orang desanya mendiktenya, ia berhak memaknai hidupnya. Seperti larik-larik puisi “Pemetik Buncis”, Penyair melihat dan menghayati: ...kuah kelor (yang) senantiasa bertuah tabah / (dan) nasi kuning (yang) selalu mengajarkan rendah.
Ini bukanlah pelarian dari rasa putus asa atau lebih ekstrem lagi sebagai fatalisme, ini adalah kemerdekaan jiwa seorang santri yang menegasi kemewahan tunggal lingkungannya. Penghayatan semacam ini begitu intens Penyair tulis dalam bagian pertama di bawah judul Kampung Halaman.
Dalam bagian ini pula termuat kritik sosial terutama di bawah puisi-puisi berjudul “Karapan Kambing”, “Suluk Ludruk”, “Rayuan Tayuban”, dan “Pulau Nirwana”. Sebagai pemuda berusia 23 tahun, Penyair tidak secara buta menerima dan beroperasi dengan budaya desa, namun berdiri sebagai pemberi nilai dan penggugat atas zamannya. Dalam “Bapak Kembali Melaut” ia menulis: ...perahu-perahu menggerutu / turut tenggelam ke lubang saku / disihir jadi bertumpuk-tumpuk toko jelita / berdesakan di jakarta.
Penyair juga menulis dalam bagian ini ode untuk orang-orang yang secara langsung atau tidak telah berjasa dalam hidupnya yang juga begitu ia kagumi. Dapat dinikmati di bawah judul “Pasarean Habib Yusuf”, “Hari Akhir Kiai Basyir”, “Di Samping Nisan Kiai Warits”, “Membaca Kopi Kiai Miming”, “Pekarangan Kiai Zawawi”, dan “Di Dekat Sekarat Nenek”. 

Memasuki bagian kedua berjudul Kekasih & Kenangan, perbedaan mencolok dari bagian pertama adalah bahwa pada bagian kedua ini Penyair tidak lagi berdiri sebagai penilai dan penggugat, namun ia berubah menjadi pelaku yang beroperasi dengan realitasnya secara wajar. Di sini Penyair menyuguhkan puisi-puisi dengan gaya nakal dan jenaka ala anak muda, menggoda kita untuk tersenyum dan tertawa mengikuti diksi-diksinya: ...sampai dan selama di rumahmu samar-samar aku berdoa / semoga benar ini alamat mertua (“Rumah Harapan”).
Puisi-puisi dalam bagian kedua ini dapat kita bagi dalam dua kelompok ciri. Yaitu puisi wisata yang ditulis dari momen-momen khusus perjalanan, seperti “Taman Adipura”, “Bakso Kangen”, “Di Bandara Trunojoyo”, “Goa Soekarno”, “Gersik Putih”, “Ponjhuk Barat” dan puisi imajis yang ditulis dari jeda atau spasi antar peristiwa perjalanan, seperti “Tiga Lanskap Cinta”, “Kopi Bulan Juli”, “Donat”, “Angin Agustus”, dan “Di Sajadah Subuh”. Kedunya dilakukan dalam nuansa romantika.
Dengan begitu nakal dan jujur Penyair menulis apa yang telah terjadi dalam rangka memupuk cinta remajanya, salah satunya dengan: sebagaimana persetubuhan khayali kita / dalam mojok tak kenal waktu (“Di Sajadah Subuh”), juga: ...menembus sudut kota / hingga tersendat pada iringan kendaraan (“Goa Soekarno”), dan: ini kali kesekian kau mentraktirku makan (“Bakso Kangen”).
Bukan hal aneh lagi bahwa di Madura keharusan membonceng tunangan adalah syarat agar hubungan pertunangan bercitra baik-baik saja dan tidak bermasalah, suatu hal yang dulu dilarang dan dijaga bersama. Hal ini di samping juga agar menumbuhkan bibit-bibit cinta guna kelanggengan pernikahan keduanya kelak.
Sebagai remaja, kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak terbayangkan bisa saja terjadi tanpa perenacanaan, sebab masa remaja atau adolesen adalah masa peralihan antara anak-anak dan dewasa, yang termasuk di dalamnya masa pubertas. Penyair menulis: ketika hasrat hendak menyergap / namun karena keadaan selalu darurat / terpaksa tetap kulanggar / sebebas ambulans di lalu lintas, dalam “Bakso Kangen”. Sesuatu yang mungkin tidak diketahui oleh orang tua, Penyair memberitahukannya dalam “Semalam Berdua”: rebahlah kita bukan untuk tidur / yang sia-sia. sepasang bibir serang- / menyerang bukan untuk saling mengalahkan / lengan bersilangan, jari-jari menjalar ke luar / batas kemesraan. 
Namun, Penyair adalah seorang santri yang belajar agama, jadi sedikit banyak ia tahu tauhid, syariat, dan akhlak Islam. Di sini terjadi ketegangan antara larangan agama dan perintah tradisi yang terwarisi. Konflik antara idealitas pengetahuan dengan realitas tuntutan budaya merupakan hal lumrah dalam masa adolesens.
Di bait akhir puisi “Semalam Berdua” yang juga menutup antologi ini, Penyair menulis larik-larik berikut: dingin luruh seiring lepuhnya kecemasan / terhadap hari setelah jiwaku dan jiwamu / pindah ke jiwa lain / jiwa yang mengintip celah iman / dari mana saja termasuk kaca jendela / yang menolak diberi gorden. Diksi ‘iman’ ini penting sebagai pangkal dari syariat dan akhlak dalam Islam yang ternyata telah benar-benar mengganggu keberlangsungan pelaksanaan romantikanya yang diterjemahkan dalam keseharian oleh kekinian budaya Madura.
Terakhir, mari kita kenang sebuah fragmen dalam “Goa Soekarno”:
banyak tempat mengajak selfie
banyak model dan ekspresi centil
yang kita sumbangkan pada zaman
yang sedang sakit jiwa;

Langgher Kesenian, 23 November 2019 M.

*anggota Sanggar Andalas.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.