Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Ulasan Karya Eko Windarto - Sugiono MPP

Ulasan Karya Eko Windarto - Sugiono MPP

DARI KARYA EKO WINDARTO
oleh Sugiono MPP



KAWACA.COM | Puncak penulisan puisi adalah futuristik. Demikian Sofyan RH Zaid kepada Sugiono Mpp dalam mengantar copy unggahan artikel lawasnya yang berjudul "Puisi Bahasa Kebangkitan Jiwa". Ia menyebut ada empat tataran puisi yakni ekspresif, reflektif, filosifis, dan futuristik.

Menurutnya, puisi ekspresif adalah puisi yang ditulis berdasarkan gambaran perasaan atau emosi semata (melankolis, ratapan, pujian, pernyataan cinta, hujatan, dsb). Tidak ada yang bisa ditawarkan oleh puisi seperti ini selain isi perasaan.

Puisi reflektif berisi perenungan, pemikiran, yang ditulis berdasar pikiran (bisa ke teman atau puisi yang bisa dijadikan alat untuk menyampaikan sesuatu).

Puisi filosofis lebih kepada kedalaman atau 'cinta kebajikan' sebagaimana definisi filsafat secara bahasa. Puisi ini ditulis berdasar perasaan (ekspresif) dan pikiran (reflektif) secara harmonis. Dalam puisi ini hadirnya perasaan adalah perasaan yang sublim, dan hadirnya pemikiran adalah pemikiran yang 'murni'.

Puisi futuristik lebih pada pentingnya ke depan atau visioner. Puisi ini ditulis berdasarkan pengetahuan fisik dan pengetahuan batin. Puisi semacam ini menyampaikan 'kenyataan yang belum terjadi' atau semacam 'suara dari masa depan'.

Sofyan juga menyarankan bahwa setiap penyair perlu mempunyai pengalaman menulis puisi ekspresif, reflektif, filosofis, sebelum sampai pada puisi futuristik. Nah, bagaimana dengan neofuturistik (futuristik baru)? Ia tidak hanya suara dari masa depan yang hambar (sekadar penyampaian kenyataan yang akan terjadi), melainkan juga dan sekaligus memberikan solusinya. Jadi semacam lembaga riset publik yamg menjadi konsultan pemenangan kantestan pemilu atau pilkada. Jadi memprediksi problem masa depan dan sekaligus solusinya. Inilah yang memang tidak terlalu mudah dan banyak unggahan pusai yang belum mencapai kadarnya.

Dengan uraian seperti di atas mari kita masuki enam pusai Eko Windarto yang ditayangkan di kawaca.com sebagai berikut.

"HIDUP: Di hadirat Kekasih/ Aku bagai benih/ Menanti musim semi//". Jelas ini puisi ekspresif. Lalu "MENGEJA WARNA: serasa mkhluk/ hitam putih fotonya/pilihan hidup//". Ini puisi filosofis. Selanjutnya "PERJALANAN: kupanen puisi di ladang sunyi/ saat manusia sibuk mencari matahari//". Ini pun puisi filosofis. Dan, " ZIARAH RINDU: di antara ruang dan waktu/ kugenggam jejak tiada/ aromanya mengundang cinta-Mu//". Jelas ekspresif, perasaan yang mengundang cinta-Mu.

Ada struktur fisik puisi yang menarik pada "NAPAS TANAH AIR: hidup setegek/hu//". Judul demikian mengundang perhatian karena berupa pernyataan (bisa juga pertanyaan) tentang eksistensi kesinambungan Tanah Air. Boleh jadi jawabannya akan kontroversi, atau "jongko" yang tepat seperti yang tersirat dalam "Jongko Jojoboyo". Hidup seteguk merupakan terjemahan dari ""wewaler" atau "pitutur" versi Jawa yakni "urip mung sadermo ngombe" (hidup hanya seteguk minum). Ini jelas bermuatan filosofis. 

Pada baris kedua (hu) ditulis dengan huruf "h" kecil, artinya bukan "Huwa" (asma Allah), melainkan khat (huruf Arab) hu, yang menurut esai Eko sebelumnya multitafsir (bisa berarti apa saja). Maka tiada korelasi yang pas dengan futur (masa depan) yang tercantum pada judul. Apalagi jika yang dumaksudkan adalah pesan neofuturustik seperti pada uraian sebelumnya (di atas).

Pada puisi "MALAM INI: tetesan embun berdoa/ membongkar renungan dan rahasia/ menyingkap cinta di puncak aksara//" pun belum mengusung pesan neofuturistik.
Secara keseluruhan, kesimpulannya, meski penyair ini sadar sepenuhnya bahwa menulis pusai tidak mudah (bahkan dari beliaulah yang menyatakan sebaiknya sebelum sesorang menulis pudai lebih baik terampil menulis puisi bebas lebih dahulu) namun penyair senior ini pun belum berhasil mengguritkan pusai yang neofuturistik. Ya, ini memang tantangan bagi kita semua karena pusai baru muncul di persada perpuisian. Salam sastra.

260320

__
Sugiono MP/Mpp adalah wartawan, penulis biografi, memori, dan histori yang lahir di Surabaya, 9 Desember 19530. Sempat meraih Hadiah Junarlistik Adinegoro untuk metropolitan (1984) dan Penulis Pariwisata Terbaik (1984). Bukunya yang sudah terbit: Belajar dan Berjuang (1985), Srikandi Nasional dari Tanah Rencong (1987), Sang Demokrat Hamengku Buwono IX (1989), Jihad Akbar di Medan Area (ghost writer, 1990), Menjelajah Serambi Mekah (1991), Ketika Pala Mulai Berbunga (ghost writer, 1992), Melati Bangsa, Rangkuman Wacana Kepergian Ibu Tien Soeharto (1996, Persembahan Wiranto),  Pancaran Rahmat dari Arun (1997), Biografi Seorang Guru di Aceh (2004, biografi Prof. DR. Syamsuddin Mahmud), Anak Laut (2005, biografi Tjuk Sukardiman), Selamat Jalan Pak Harto (2008), Pengabdi Kemanusiaan (2010), dan Aceh dalam Lintasan Sejarah 1940-200 (2014).  Dia pernah bekerja di beberapa penerbitan, antara lain: Sinar Harapan (s/d 1984), Majalah Sarinah (1984-1988), Majalah Bridge Indonesia (1990-1995), Harian Ekonomi Bisnis Indonesia (1996), dan Komunikasi (1998). Kini dia sebagai Pemimpin Redaksi majalah online NEOKULTUR. 

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.