Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Potret Manusia Bersahaja dalam Sajak-sajak Sam Mukhtar - Zaenuddin HM

Potret Manusia Bersahaja dalam Sajak-sajak Sam Mukhtar - Zaenuddin HM

Potret Manusia Bersahaja dalam Sajak-sajak Sam Mukhtar
Oleh Zaenuddin HM
Alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ/IKIP Jakarta, Penulis jurnalis senior Rakyat Merdeka Group (Holding Jawa Pos Group)


Titik Asal
KAWACA.COM | Menganalisis sebuah karya sastra dalam genre puisi, baik dari sudut apa pun juga, berarti menyelami batin penyairnya dan sekaligus berupaya mengalami seluruh fenomana kehidupan yang dirasakan, dicita-citakan, ataupun yang diinginkan sang penyairnya. Ia tidak bisa didikte oleh kekuasaan, lembaga, irokrasi, dan semua hukum yang berlaku dalam kegiatan kesusastraan, Jika kebebasan tersebut telah dibelenggu oleh struktur kekuasaan, maka seluruh aktivitas kesusastraan tidak lain berorinetasi pada masalah yang paling asasi dalam kehidupan, yakni masalah yang menyangkut kemanusiaan.

Apa yang saya ungkapkan di atas, pada hakikatnya merupakan seni manifesrasi dari keininan saya untuk lebih merdeka dalam memberikan persepsi terhadap cipta sastra sebagai kajian, sjauh tidak menyalahi kode etik yang berlaku. Pelbagai pembekalan formal yang banyak dipakai selama ini, kendati memiliki keseragaman dalam analisis, bagi saya adalah suatu hal yang membatasi kemerdekaan seseorang untuk menggunakan kemungkinan-kemungkinan lain dalam analisis itu.

Bertolak dari dasar pandangan di atas izinkanlah berikut ini saya mengupas sajak-sajak karya Sam Mukhtar Chaniago (selanjutnya disingkat SMC), seorang dosen muda di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS UNJ.

Titik Pembahasan
Di dalam membahas sajak-sajak SMC, terdapat dua kategori yang saya kira daat dijadikan titian untuk sampai kepada simpulan. Dua kategori tersebut masing-masing, kategori pertama, imajiimaji yang ditampilkan lewat media bahasa dalam sajak-sajaknya, merupakan potret atau usaha pengabadian kehidupan manusia dengan sgeala aktivitasnya yang ditangkap batin penyairnya. Kategori kedua, rekaman kehidupan yang dituangkan penyair dalam sajaknya itu, salah satu sebagai potret langsung pribadi penyairnya, dalam hal ini SMC berusaha menggungkap eksistensi dirinya dengan daya ucap/ ungkap yang seolah-olah bukan deskripsi dari kehidupan yang dialaminya. Antara kedua kategori tersebut, merupakan dikotomi yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan, namun tetap pada satu konklusi yakni sebagai potret manusia sederhana.

Pada kategori pertama, berarti SMC dengan mata batin mencoba menangkap nuasan-nuansa dan fenomena yang mewarnai kehidupan manusia, alam, serta tautan antara keduanya. Dalam hal ini realitas sebagai objeknya. Dan kehidupan yang diproyeksikannya adalah kehidupan yang datar, tak pernah ditandai gap-gap, ketimpangan, ketidakselarasan, dan prahara dalam dimensi ilmiah dan sosial. Sehingga manakala kita merambahi bait demi bait dalam sajak SMC, maka akan dijumpai lukisan atau katakanlah potret kehidupan yang penuh ketenangan dan ketentraman. lihat dahan dan daun tertunduk gelabah di hati bergayut pada helai nyiur pada celah kehidupan bersembunyi pada siangnya lenyap senyap pada gelapnya dia tersembul (Purnama) Bait di atas melukiskan proses kejadian alam yang silihberganti siang berganti malam, mala kembali berganti siang. 

Keadaan itu terus bergerak pada momen-momen yang berarti. Semua perjalanan, secara datar dan penuh kesederhanaan. Di sinilah SMC merekamnya, Apa yang dilihat pancaindera plus hatinya, semua diabadikan dalam sajak itu. Hanya saja SMC memilih fokus yang paling minim, yaitu lingkungan alam pedesaaan di lahan transmigrasi. Proses pengabadiannya pun tetap mematuhi unsur-unsur yang membangun sebuah puisi, Misalnya, musikalitas dan keseimbangan yang dijabarkannya lewat puisi tersebut.

Tentang kehidupan yang sederhana dan ketenangan itu, yang paling banyak kita jumpai adalah pada sajak yang berjudul “Tentang Padang Ilalang”. Dalam sajak ini, dapat kita lihat potret keseharian seorang manusia yang jauh dari kebisingan kotakota besar. Potret yant dimaksud adalah sosok bocah-bocah transmigran. Benda-benda alam yang terdapat di lingkungan tersebut, seperti padang ilalang, tanah merah, tangkai padi, angin utara, kaki telanjang, bukankah semua itu tanda kesederhanaan sebuah lapisan masyarakat? Dan manakala kita mendengar kata/ benda-benda tersebut, maka terbayanglah suatu tempat dan suasana yang nyaman, tentra walaupun benda-benda yang melengkapinya sangat sederhana. Lukisan hidup macam inilah yang banyak direkam dalam sajak-sajak SMC.

Sedangkan pada kategori kedua, secara implisit, sajaksajakna berarti potret kehidupan dari penyairnya, yang dialami secara langsung dan nyata (empiris). Saya berani mengatakan demikian atas dua pertimbangan. Pertama, sajak-sajak yang diulas di sini, ditulis SMC merelevansi dengan konteks sosial di mana ia berada pada suatu saat dan tempat, Tenta hal ini implikasinya secara konkret dapat dijumpai pada sajak “Tangkai Ilalang di Pelaaran”. Pertimbangan kedua, realitas yang diteropong SMC merupakan motor penggerak bagi inspirasinya yang diungkapkan dalam sajak-sajaknya. Dalam hal ini SMC tidak mereka-reka apa yang menjadi objek sajaknya. Sehingga kecenderungan untuk merefleksikan evidensi yang dihadapinya cukup dominan. Akan tetapi, kecenderungan seperti itu tidak berarti SMC berusaha penuh dengan narator dalam sajaknya di mana pun diajak masuk dan mencoba merasakan apa yang dialami batinnya, lalu kita mungkin memecahkan persoalan di dalamnya. Sebagai contoh, simaklah berikut ini:

sungguh malam ini bulan di atas rumahku
tangkai ilalang di latar rumah masih mendongakkan wajahnya menatap gelapnya mataku dan akarnya mejerat kakiku
(“Tangkai Ilalang di Pelataran” dalam buku Tembang Padang Lalang)
Ada yang Mengusik

Kedataran dan ketenangan hidup manusia yang tecermin dalam sajak-sajak SMC, jika dipreteli, akan dijumpai pula ketidakharmonisan santara harapan dan kenyataan hidup manusianya. Dalam hal ini saya lebih condong mengatakan bahwa SMC suatu ketiak juag mentalami kekecewaan, ketidakharmonisan, dan keresahan jiwa dalam hidupnya. Suatu hal yang menjadi risiko bagi manusia. Perhatikan berikut ini:
kesangsian tumbuhnya ilalang pada hati ini masih terbawa oleh ayunan langkahku yang terseok-seok meniti hari
(“Tangkai Ilalang di Pelataran” dalam buku Tembang Padang Lalang)
Kemudian bait lain berbunyi:

ketika menanti saat berbuba kau masih saja menatap kejauhan sambil bergumam: kapankah burung-burung itu mau berbuka bersamaan atau kau turut berbuka bersama 
mereka kapankah
(“Menanti Saat Berbuka” dalam buku Tembang Padang Lalang)

Ada pula sebait puisi lain yang cukup mewakili suasana itu:
jala dan ikan tak mau menyatu kenapa yang lalu
ketika kail tak lagi gerkait kau jumpai air mata anakmu
Di gelombang lautmu

(“Nyanyian Nelayan” dalam buku Tembang Padang Lalang)
Sederhana Bagian Mana?

Kecuali yang terseut di atas, ada beberapa sudut yang memperkuat konklusi bahwa sajak-sajak SMC merupakan potret manusia sederhana. kesederhanaan itu bisa juga digali dari diksi sajak-sajaknya, Misalnya pilihan kata seperti kaki-kaki telanjang tikar bambu, damar yang kurang minyak, ilalang, dan berpuasa tanpa sahur. Kata-kata yang disebutkan itu membawa kesepakatan bahwa itulah suasana atau tanda-tanda dari keadaan yang sederhana, tidak menunjukkan kemewahan. Segi lain adalah judul dan awal kalimat pada setiap bait dari sajak SMC, tidak memakai huruf kapital (besar). Saya tidak tahu pasti, apakah itu SMC mengikuti kecenderungan yang dilakukan penyair-penyair abad nuklir ini. Namun saya tetap menyatakan bahwa segala demikian merupakan potret manusia sederhana, yang polos, datar, dan tak cukup sebagaimana manusia Chairil. Bukan cuma itu, bahkan dalam menulis sama. SMC tidak pernah menggunakan huruf kapital. Apakah itu suatu kesengajaan atau bukan, yang pasti jiwa manusia semacam SMC, adalah jiwa yang mampu menahan dan dapat meredam emosi dari magnetik future shock yang kerap kali timbul dalam kehidupan masyarakat.

Kesederhanaan yang saya yakini di sini adalah juga kesderhanaan pengungkapan dalam sajak-sajaknya. Dalam hal ini, SMC tidak mempergunakan kata-kata dan daya ungkap bersembunyi di balik simbol-simbolnya yang rumit. Kata-katanya mengalir datar seirama kedataran hidup yang mewarnai harihari penyairnya.

Dan bentuk pengucapannya cukup konsisten. Artinya, sepanjang sajak-sajaknya SMC tetap menyuarakan laporan masyarakat terbawah/ kecil (the lover class), dalam pengertian ini bemakna kaum transmigran. Tentang hal ini lihat kembali dalam sajak tangkai ilalang di pelataran”, “sajak ini pernah bersajak”, “Tembang Padang Ilalang”, dan “Menanti Saat Berbuka”.

Kemungkinan-kemungkinan
Publik penikmat dari sajak-sajak SMC, akan mengalami kemungkinan-kemungkinan yang menyakut kejiwaan baik langsung maupun melalui proses pengaruh dari pelbagai pandangan. Kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa berupa ketenangan batin, nun berada di alam pedesaan, keakraban dengan alam, dan menawarkan ketegangan pikiran akibat dari komplikasinya, keruwetan dan konflik yang mewarnai kehidupan masyarakat perkotaan. Dapat kiranya saya contohkan di sini, pada tanggal 22 Oktober 1988, selesai mengikuti Seminar tentang Pengajaran Bahasa dan Sastra di IKIP Jakarta, seorang teman menghampiri saya dan meminjam bundel sajak SMC tersebut, kemudian dibacanya dalam tempat terpisah, Dua jam kemudian, ia mengatakan kepada saya bahwa sajak-sajak SMC telah membawa pikiran dan jiwanya pada pedesaan, alam yang jauh dari hiruk-pikuk dan kekotoran politik, ekonomi, serta birokasi yang banyak mewarnai lingkungan kota-kota gesar. Siapa yang diutarakannya saya paham. Ia memang telah lama tinggal di Jakarta, dan sekarang kuliah di IKIP Jakarta. Kesibukan-kesibukannya sebagai seorang penulis cerpen, kerap kali membuatnya stres. Dan ternyata sajak SMC yang dibacanya itu telah memberi kesejukan pada batinnya, batin yang selalu gemuruh akibat sistem policy yang otoriter. Dan sajak SMC juga telah mengingatkannya kepada kampung halamannya, Magelang. Dengan demikian, sajak-sajak SMC sejalan dengan pandangan Horace tentang fungsi seni yang “dulte et utile”, yakni menyenangkan dan berguna. Simaklah sebait sajak SMC berikut ini:

aku menyambut jemarimu dan kau menuruni tangga kereta api di setasiun pagi pukul tujuh kita telah menapakkan telapak kaki kita 
(Sajak Perjalanan)

Penutup
Begitu kira-kira pembahasan saya terhadap sajak-sajak SMC. Sosok kepenyairan SMC adalah sosok yang ingin menyuarakan kehidupan manusia yang sederhana, namun penuh keterangan dan kedamaian. Ia, meski berada dalam lingkungan kota yang kosmopollitan, tetapi cukup peka terhadap alam pedewaan yang menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Kompleksitas, keruwetan, dan konflik yang kerap mewarnai masyarakat perkotaan, tak kan mampu meluluhkan dinding kepenyairannya, yang terserak datar tapi punya kekuatan untuk pencerahan batin yang telah keruh. Baginya, sajak-sajak SMC bisa menjadi dorogan manusia mana pun, untuk menengok kembali, betapa alam pedesaan memiliki kekuatan untuk mencegah nafsu dari turut sertanya dalam aktivitas di lingkungan perkotaan di mana individu lebih banyak berbicara. Sehingga, kehidupan tak lagi diterjemahkan sebagai perombakan-perombakan yang acapkali mengorbankan satu pihak.
Buat Pak Sam, selamat bertugas.

Kebon Jeruk, 001088 

*  Tulisan ini pernah disampaikan pada Diskusi Perdana Lintgkaran Apresiasi Sastra (LAS), pada 28 Oktober 1988 di Teater Kecil, FBS UNJ.

ZAENUDDIN HM, 

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.