Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Ekspresivisme Sastra Pusai - Eko Windarto

Ekspresivisme Sastra Pusai - Eko Windarto

Ekspresivisme Sastra Pusai
Eko Windarto

KAWACA.COM | Karya sastra pusai sebagai ekspresi dunia batin pengarangnya. Karya sastra pusai bisa diasumsikan sebagai curahan gagasan, angan-angan, cita-cita, cita rasa, pikiran, kehendak dan pengalaman batin pengarang. Tentu saja, pengalaman itu telah dimasak dan diendapkan dalam waktu yang relatif panjang, sehingga bukan berupa pengalaman mentah yang terputus-putus. Pengalaman batin itu akan menjadi pendorong kuat bagi lahirnya karya sastra pusai atau sastra lainnya. Pengalaman tersebut lebih individual dan bersifat imajinatif yang disintesiskan dalam sebuah karya sastra. Terutama dalam sastra pusai yang baru berumur serambut jagung.

Ciri khas dan ukuran seni sastra pusai dan sastra lainnya yang bermutu adalah keluhuran yang luhur, agung, unggul, mulia sebagai sumber utama pemikiran dan perasaan pengarang. Sumber keluhuran itu antara lain karya yang mengekspresikan daya wawasan yang agung, emosi yang mulia, retorika yang unggul, pengungkapan dan penggubahan yang mulia. Sumber-sumber itu akan membawa semangat Illahi yang menjadi dorongan luar biasa bagi pencipta. Di samping itu, bobot karya juga ditentukan oleh pemakaian gaya bahasa yang manis dan sesuai, memiliki emosi yang intens dan terpelihara, serta harus tahan dimakan zaman. 

Jika penyair ( pemusai) hanya sekedar menulis puisi pendek (bonsai) tanpa ada perenungan, maka ia akan berusia pendek seperti bayi tabung kurang gizi. Saya menyadari hal itu karena grup pusai masih baru dan banyak penulis dari pola tuang puisi pendek seperti haiku dan tanka, bukan dari pola tuang puisi bebas, imajis, pamflet, atau gurindam. Maka dari itu kita masih perlu mengasah diri dalam menulis sastra pusai.

Idealnya, seorang penyair (pemusai) memiliki pemancar dan radar seperti pemancar dan radar satelit yang sinyalnya sangat kuat dan istemewa. Pemancar dan radar memiliki kemampuan menyerap segala sesuatu yang berkelebat di udara terbuka.  Sebab di udara terbuka tampaknya banyak sekali kata-kata berterbangan, melayang-layang, dan kadang saling berbenturan. Seorang penyair mestilah mau mengusung pemancar dan radar kemana pun ia melangkah. Dengan pemancar dan radar terpasang di dada, di kepala, dan di segenap jiwa serta ditunjang kepekaan menangkap sinyal-sinyal kreatif, intuitif, imajinatif, lalu seorang penyair (pemusai) dapat menyaring dan menjaring kata-kata, serta mengembangbiakkannya melalui pusai-pusai yang ditulisnya.

Bagi penyair (pemusai) pemancar dan radar merupakan piranti untuk mengadopsi berbagai realitas-imajinatif dan realitas faktual untuk menangkap tanda-tanda zaman, serta menangkap berbagai makna yang berlaku sesuai dengan tata nilai yang berlaku. Tugas penyair selanjutnya ialah menangkap dan memantulkan kembali perasaan pikiran, perasaan, dan perasaan keutamaan dasar kebenaran dan keluhuran. Di sinilah letaknya nilai-nilai yang diselipkan oleh penyairnya, baik itu berupa nilai etis, nilai fisolofis, nilai edukatif, maupun nilai religius untuk mencapai nilai neofuturisme.

#celotehsastra2622020

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.