Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Menikmati Keindahan Karya Thantowi Tohir - Sugiono MPP

Menikmati Keindahan Karya Thantowi Tohir - Sugiono MPP

MENIKMTATI KEINDAHAN KARYA THANTOWI TOHIR
oleh Sugiono MPP



KAWACA.COM | Pusai, puisi bonsai, adalah puisi yang dibonsai. Ia mutlak kudu puitika. Artinya indah. Estetis. Enak dibaca, diucap, didengar dan dirasa. Ia juga diminiaturkan. Dalam hal bentuk fisik. Pembentukan miniatur ini bukan berarti dia harus mungil. Sebab ada bonsai yang pas dipajang di dalam ruangan, ada juga untuk penghias halaman. Jenis bonsai palem (termasuk kelapa) unumnya sebagai penghias taman. Pengertian 'bonsai' terhadap pusai mengacu pada penghematan (efektif efesien) kata tanpa memangkas keindahan makna. Kalau terjadi perapian, perampingan, penataan yang membonsai, justru dimaksudkan agar tata keindahannya lebih dominan.

Ada yang mengatakan bahwa pembonsaian adalah pengerdilan. Konotasinya tidak hanya pendek tetapi kerdil. Yang dimaksudkan pemasungan kebebasan berpuisi. Kebebasan berkreasi. Sesungguhnya, sama sekali tidak. Tak ada pemasungan. Yang terjadi adalah pengriyaan, penataan estetis, sehingga mampu mentransformasikan unikumnya yang estetis. Oleh karenanya, pilihan kata yang tepat untuk pembonsaian puisi adalah peminiaturan. Miniaturisasi puisi. Pilihan kata sebagai penanda merupakan sikap rasa dan indikasi di mana positioning pengistilah terhadap objek yang ditandainya tersebut.
Adalah Ernst Friedrich Schumacher (1911-1977) yang menyatakan bahwa "small is beautiful". Bukunya dinyatakan oleh The Times Literary Supplement merupakan rujukan dari 100 buku paling berpengaruh sejak Perang Dunia II. Sungguhpun istilah itu diluncurkan pada ranah ekonomi dan menempatkan  Schumacher sebagai filsuf ekonomi yang human-ekologis, namun "kecil itu indah" juga sudah ada di seni bonsai, puisi tao (China), puisi-puisi Jepang (hailu, tanka, dsb).

Dan, saya bisa merasakan getar keindahan puisi-puisi yang 'kecil itu indah' pada pusai-pusai anggitan Thantowi Tohir unggahan kawaca.com 30/03/20. Jujur, sebagai pencetus pusai, saya belum tentu mampu menggurit pusai seindah yang dilakukan oleh penyair dan penyiar radio ini. Mari kita nikmati karya-karya bonsai tang apik ini (saya nukil tanpa titimangsa; judul dan isi pun saya rapatkan agar tertib membacanya).

AYAH

amarahnya

duri mawar
perih menusuk
menebar harum

ANUGERAH


pelukis bulan

sebatang kail
tujuh keturunan

PELUANG


ada celah

cahaya menyeruak
di selubang benang

UPAYA


akar melilit

ke pucuk tinggi
berkelindan
di tangkai bulan

TANGGUH


laki-laki itu

berteriak lantang
menahan gelombang
di kakinya
payung kehidupan

REVOLUSI


bocah kecil

membuka kitab
dua tangannya
membawa bulan
menerangi bangsa

PERJUANGAN


hitunglah

tetes peluhmu
ketika matahari
menyinari

Secara keseluruhan diksi tak teragukan keindahannya. Enak dibaca, diucap, dudengar, dirasa. Tanpa menpedulikan pesan pun diksi sudah cukup menghibur. Kita terninabobo, hanyut, oleh lantunan kata-kata yang begitu "bonsai" namun mencekau rasa. Ini hanya mungiin dilakukan oleh seorang penyair yang benar-benar telah mampu menjinakkan kata (kata-kata). Istilah panitia nobel sastra adalah memiliki kejeniusan linguistik.
Ayah selalu lelaki. Tapi tidak semua lkai-laki adalah ayah. Seorang ayah, imam keluarga, pengayom, pengarah, pembimbing, pembina. Maka biar pun berduri yang tusukannya terasa perih, tapi ia mutlak harum seperti aroma mawar. Ini pesan kemanusian pada pusai "Ayah",  pesan untuk para pemuka, para pemimpin yang bukan pemimpi.

Pusai "Anugerah" mengingatkan pada puisi zen,  puisi yang bertolak dari ajaran Buddha Mahayana, Zen (dari kata bahasa China 'Chan') di Jepang. Prinsip-prinsip ajarannya adalah: meditasi, pencarian di dalam diri, pengalaman langsung, laku hidup, kesederhanaan, jalan tengah, berhenti mengejar, pragmatis, diam (action in no action). Intinya terletak pada keteguhan, jangan terombang-ambing  keadaan. Banyak dianut oleh orang Cina lama, misalnya kalau dagang satu komoditi ya fokus ke komoditi itu saja, jangan silau oleh yang lainnya.

Saya pernah mewawancara keturunan ke 23 dari penjual hio (kemenyan) di sekitar Masjid Sunan Gunungjati, Cirebon, yang tetap dijalaninya usaha nenek moyang itu sampai kini. Tapi sekarang lebih modern karena beberapa generasi sudah ada yang meraih MBA dari Amerika. Hal yang bertolak belakang dengan generasi non-China di rulal area. Yang anak petani pengen jadi priyayi (birokrat, pejabat) atau militer. Yang anak pejabat dan militer pengen jadi pengusaha. Akibatnya di desa tidak ada lagi generasi pelanjut petani. Para petani tua diajari tukang insinyur pertanian yang tidak fasih mencangkul. Itulah fenomena sikap hidup yang bertolak belajang dari Zen.

"Peluang" adalah cahaya di selubang benang. Harus segera ditangkap. Kalau tidak maka ia akan terbang dan hilang. Ini jelas pesannya, walau tidak dinarasikan. Juga pada "Upaya" yang adalah jawaban untuk menangkap peluang. Akar yang melilit sampai puncak pohon berkelindan ke bulan (capaian gapaian) lewat upaya. Ini penjelasan secara Zen, bahwa akar (budaya) haruslah melilit puncak agar berhasil mencapai bulan. Tapi realitas masyarakat kita adalah pucuk lupa akarnya.

Di "Tangguh" pesannya jelas bahwa seorang lelaki haruslah tangguh menghadapi gelombang hidup karena dia adalah payung kehidupan (imam). Sedangkan pusai berjudul "Revolusi"  (perubahan yang mendasar dan berlangsung secara cepat) bisa tak terperkirakan seperti bocah membuka kitab (ingat Syaidina Ali) namun kedua tangannya membawa bulan (kedamaian). Kemusykilan yang bisa nyata. Untuk pusai ini, catatan saya, baris akhir overlaping.

Pusai "Perjuangan" menyandang pesan agar dalam usaha (berjuang) senantiasa ada perhitungan, kalkulasi, antara out put (keringat) dan in put (hasil). Era esok memang harus dihadapi dengan perjuangan yang penuh perhitungan, tidak asal-asalan, atau terhanyut oleh gelombang pasang perubahan.

Nah, itulah kuranglebihnya bacaan saya atas pesan neofuturisme (yang meski sederhana, lugas, namun layak, sama sekali tidak, dan jauh dari kenaifan) atas tujuh pusai apik ini. Salam pusai.

300320

__
Sugiono MP/Mpp adalah wartawan, penulis biografi, memori, dan histori yang lahir di Surabaya, 9 Desember 19530. Sempat meraih Hadiah Junarlistik Adinegoro untuk metropolitan (1984) dan Penulis Pariwisata Terbaik (1984). Bukunya yang sudah terbit: Belajar dan Berjuang (1985), Srikandi Nasional dari Tanah Rencong (1987), Sang Demokrat Hamengku Buwono IX (1989), Jihad Akbar di Medan Area (ghost writer, 1990), Menjelajah Serambi Mekah (1991), Ketika Pala Mulai Berbunga (ghost writer, 1992), Melati Bangsa, Rangkuman Wacana Kepergian Ibu Tien Soeharto (1996, Persembahan Wiranto),  Pancaran Rahmat dari Arun (1997), Biografi Seorang Guru di Aceh (2004, biografi Prof. DR. Syamsuddin Mahmud), Anak Laut (2005, biografi Tjuk Sukardiman), Selamat Jalan Pak Harto (2008), Pengabdi Kemanusiaan (2010), dan Aceh dalam Lintasan Sejarah 1940-200 (2014).  Dia pernah bekerja di beberapa penerbitan, antara lain: Sinar Harapan (s/d 1984), Majalah Sarinah (1984-1988), Majalah Bridge Indonesia (1990-1995), Harian Ekonomi Bisnis Indonesia (1996), dan Komunikasi (1998). Kini dia sebagai Pemimpin Redaksi majalah online NEOKULTUR. 

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.