Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Warisan Sastra dari Masa Pandemi - Jamal T. Suryanata

Warisan Sastra dari Masa Pandemi - Jamal T. Suryanata

WARISAN SASTRA DARI MASA PANDEMI 

Jamal T. Suryanata




Ketika pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) mulai melanda dunia, setidaknya mulai merebak sejak awal 2020 yang lalu dan telah menimbulkan goncangan dahsyat berwujud krisis multidimensional, diakui atau tidak kehadiran badai global tersebut telah mendorong—bahkan memaksa—kita semua untuk menemukan strategi baru dalam upaya bertahan hidup dan terus melakukan berbagai aktivitas kehidupan. Dan, bersama dengan munculnya beragam strategi yang kita coba lakukan, secara tidak langsung kita pun menemukan spirit baru.

Di tengah himpitan kondisi yang penuh keterbatasan dan ketakpastian itu—dalam konteks Indonesia, antara lain sebagai dampak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan penerapan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 yang lebih populer dengan sebutan “5M” (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas)—kita bahkan masih mencoba untuk terus berupaya mempertahankan dan mengembangkan peradaban. Beragam bentuk aktivitas kebudayaan yang selama ini sudah kita lakoni, tak terkecuali bentuk-bentuk aktivitas (kreativitas) seni, juga terus kita lakukan dengan segala keterbatasannya. Di masa pandemi Covid-19 yang sudah belangsung selama dua tahunan ini (2020-2021), seluruh insan kebudayaan (para seniman dan sastrawan pada khususnya) semakin banyak terlibat dalam berbagai perhelatan budaya yang digelar secara online atau daring (dalam jaringan)—komunikasi jarak jauh berbasis internet.

Padahal, sebelum memasuki masa pandemi Covid-19, sebagian di antara kita (baca: para pelaku budaya) mungkin masih ada yang merasa ogah-ogahan untuk berakrab-ria dengan beragam media informasi dan komunikasi berbasis internet itu. Namun, begitu pandemi Covid-19 telah hadir sebagai realitas tak terelakkan dalam kehidupan kita, mau tidak mau kita semua dipaksa untuk belajar menguasai beragam teknologi informasi dan komunikasi mutakhir tersebut. Sebab, jika tidak mau memasuki dunia baru tersebut niscaya kita akan segera terkubur digilas laju perkembangan zaman yang kini terasa demikian cepat—sekalipun, kita tahu, media internet itu sebenarnya sudah bukan merupakan dunia baru lagi bagi kita. 

*  *  *

Dalam konteks kreativitas sastra, seiring dengan “paksaan” pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi mutakhir yang kian masif sejak pertengahan 2020 lalu, meski dengan agak terbata-bata (antara lain karena faktor keterbatasan pengetahuan dan keterampilan teknis) kita pun memaksa diri untuk mengikuti berbagai pertemuan virtual yang dulu terasa asing bagi kita (misal: webinar, zoom meeting, dan entah apa lagi istilahnya).

Memasuki tahun kedua masa pandemi Covid-19 (2021), even-even pertemuan virtual itu tampaknya semakin sering digelar, bahkan dengan jadwal kegiatan yang seringkali tumpang-tindih. Pertemuan virtual ini tidak saja dilakukan dan diikuti oleh kaum akademisi di kampus-kampus, tetapi para seniman (sastrawan) pun tak mau ketinggalan—baik secara individual maupun sebagai perwakilan komunitas tertentu. Berbagai perhelatan sastra yang biasa digelar secara berkala maupun yang sifatnya insidental (semisal pertemuan sastrawan, pembacaan puisi, diskusi sastra, atau pelucuran buku), kini semua itu terpaksa dilakukan secara virtual (minimal semi-virtual) karena kondisi yang memang belum memungkinkan untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang dapat menimbulkan kerumunan massa.

Selain itu, kehadiran pandemi Covid-19 juga telah menjadi faktor pemicu semakin pesatnya perkembangan media sosial yang kini nyaris tak terpisahkan dari kehidupan kita (Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, Telegram, YouTube, TikTok, dan lain-lain). Dalam kaitan ini, para sastrawan pun berlomba ikut memanfaatkan beragam media sosial tersebut sebagai sarana komunikasi dan publikasi karya sastra. Namun, karena beragam media sosial tersebut memiliki keterbatasan ruang (umumnya hanya menampung karya-karya puisi), maka beberapa sastrawan maupun komunitas sastra mencoba memanfaatkan kondisi ini dengan mengembangkan media daring (jurnal atau majalah berbasis website) karena memiliki kapasitas ruang maya yang lebih besar untuk menampung karya-karya yang lebih panjang (semisal cerpen, cerbung, novel, esai, dan kritik sastra). Maka, hadirlah sejumlah portal online baru memperpanjang deretan media daring yang bahkan sebagian di antaranya sudah muncul sejak akhir dekade 90-an atau awal tahun 2000-an, atau paling tidak sebelum memasuki masa pandemi Covid-19 (misal: basabasi.co, mojok.co, tirto.id, sufinesia.com, kurungbuka.com, bacapetra.co, balairungpress.com, buruan.co, satupena.id, simalaba.net, dan beberapa lagi).

Sekali lagi, kita semua tahu bahwa kehadiran berbagai media sastra digital itu bukan lagi merupakan sesuatu yang baru di Indonesia, tetapi harus kita akui bahwa pandemi Covid-19 telah menjadi semacam katalisator perkembangannya yang demikian pesat dalam dua tahun terakhir. Oleh karena itu, di antara banyak sisi negatifnya, kehadiran pandemi Covid-19 masih memiliki sisi positif bagi siapa saja yang mampu memberi makna dan memanfaatkan kondisi khusus ini. Di masa yang penuh keterbatasan ini, banyak penyair Indonesia yang justru menjadi semakin produktif menulis puisi. Banyak cerpenis yang kemudian mampu menulis novel-novel tebal. Banyak sastrawan yang daya kreativitasnya kian terungkit sehingga mampu menghasilkan karya-karya baru dengan warna baru. Selain itu, tidak sedikit pula penulis yang mampu mengukir berbagai prestasi dan meraih beragam penghargaan di bidang kepenulisan. 

Bahkan, kalau saja kita mau bergerilya untuk melakukan pelacakan dokumenter, dalam dua tahun terakhir ini banyak sekali buku-buku sastra (antologi puisi, kumpulan cerpen, novel, kumpulan kritik dan esai) yang telah diterbitkan. Dengan demikian, berdasarkan semua kefaktaan tersebut, jelaslah bahwa kehadiran masa pandemi Covid-19 bukan merupakan alasan utama mundurnya kreativitas dan produktivitas bagi para sastrawan dalam berkarya. Jadi, dapat dikatakan bahwa masa pandemi Covid-19 tidak identik sebagai titik awal senjakala perkembangan sastra Indonesia. Sebab, sebagaimana pernah dikatakan Sapardi Djoko Damono di salah satu status Instagram-nya (sebelum meninggal pada 19 Juli 2020), “Pandemi bukan penghalang untuk menulis karena imajinasi tidak bisa dikurung.”

*  *  *

Sejauh yang dapat saya cermati, setidaknya ada satu fenomena kesastraan baru yang dapat kita catat. Sejak masa awal pandemi Covid-19, karya-karya sastra yang muncul dalam dua tahun terakhir ini tampaknya memperlihatkan satu kecenderungan tematis yang dominan. Kehadiran pandemi Covid-19 tampaknya telah menjadi pemantik inspirasi bagi para sastrawan Indonesia untuk menulis karya-karya sastra bertema Covid-19 dengan segala dampak yang ditimbulkannya. Sejumlah komunitas sastra menebitkan buku kumpulan puisi, cerpen, atau esai yang secara khusus mensyaratkan tema Covid-19 sebagai dasar penulisan. Sekadar contoh, berikut ini akan saya sebutkan beberapa karya di antaranya dengan sedikit uraian penjelas.

Ketika pandemi Covid-19 belum lama melanda negeri ini pada awal 2020 yang lalu, Tengsoe Tjahjono—sang pelopor genre cerpen tiga paragraf (pentigraf)—melontarkan sebuah gagasan untuk menulis pentigraf bersama. Dalam waktu satu bulan (antara 15 Maret s.d. 15 April 2020) telah terhimpun sebanyak 269 judul pentigraf karya para penulis yang tergabung dalam sebuah komunitas sastra bernama Kampung Pentigraf Indonesia. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia (antara lain dari pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Bali), bahkan beberapa di antaranya berasal dari luar negeri (khususnya Malaysia dan Singapura). Menariknya, karya-karya tersebut kemudian dibacakan oleh penulisnya masing-masing (sebagian warga Kampung Pentigraf Indonesia) dalam sebuah even temu sastra virtual bertajuk Malam Baca Pentigraf “Sepersejuta Milimeter dari Corona” yang saat itu ditayangkan secara live streaming di kanal YouTube Tipi Kampung (Rabu, 20 Mei 2020).

Kemudian, masih dalam kisaran awal 2020, sejumlah penulis Indonesia yang tergabung dalam Persatuan Penulis Indonesia (SATUPENA) yang didirikan oleh Badan Ekonomi Kreatif sejak 2018 lalu juga berinisiatif mengumpulkan karya-karya sastra bertema Covid-19 dari para anggotanya. Setelah berhasil dihimpun, karya-karya dalam berbagai genre (terutama puisi, cerpen, dan esai) dari 110 penulis anggota SATUPENA ini kemudian diterbitkan dalam sebuah buku tebal (920 halaman) bertajuk Kemanusiaan pada Masa Wabah Corona (2020). Menurut Nasir Tamara (sang editor), buku ini menghimpun ingatan-ingatan manusia pada masa pandemi.

Selanjutnya, masa-masa awal pandemi Covid-19 ini ditandai lagi dengan hadirnya sebuah antologi puisi bersama yang dinamai Peradaban Baru Corona (2020). Buku setebal 134 halaman dengan tampilan edisi mewah berwarna penuh ini menghimpun sejumlah puisi bertema Covid-19 karya 99 penyair Indonesia yang sekaligus juga berprofesi sebagai jurnalis (wartawan), baik yang tercatat masih aktif maupun yang sudah purnatugas. Buku ini dibuka dengan dua puisi tamu, masing-masing bertajuk “Satu” karya Sutardji Calzoum Bachri dan “Sabda Bumi” karya Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). Prolog ditulis oleh Remy Sylado yang sekaligus bertindak sebagai kurator, sedangkan epilognya ditulis oleh penyair Abdul Hadi W.M.

Lalu, berbeda dengan karya-karya sebelumnya, karya lainnya yang juga diterbitkan pada tahun pertama masa pandemi Covid-19 di Indonesia ini adalah sebuah buku kumpulan cerpen bertajuk Pesan Penyintas Siang (2020). Dikatakan berbeda karena buku ini menghimpun 50 cerpen terpilih dalam sayembara “Nulis dari Rumah” (bagian dari Program Nulis dari Rumah) yang diinisiasi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), diterbitkan atas kerja sama dengan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Secara tematis, buku ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama terdiri dari cerpen-cerpen yang khusus bertema Covid-19, bagian kedua berisi sejumlah cerpen yang menggali nuansa Nusantara, dan bagian ketiganya menghimpun karya-karya cerpen yang merefleksikan secara kritis tema kebangsaan. Selain itu, dari sayembara bertajuk “Nulis dari Rumah” ini juga berhasil ditebitkan sebuah buku kumpulan esai dengan judul Saatnya Menjadi Bangsa yang Tangguh (2020).

Terakhir, satu lagi buku sastra bertema Covid-19 yang bisa saya sebutkan di sini adalah sebuah antologi puisi bertajuk Jaga Jarak Puitis (2021). Buku setebal 160 halaman yang digagas dan dibidani oleh dua editor ini (Fatchul Muin dan Sainul Hermawan dari UPT Bahasa, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin) memuat 93 judul puisi karya 35 penyair Kalimantan Selatan plus seorang penyair asal Bandung (Jawa Barat). Menurut catatan editor, buku ini seyogianya akan diterbitkan pada tahun sebelumnya (2020), tetapi rencana tersebut sedikit terkendala sehingga baru dapat diwujudkan pada tahun 2021.

Kecuali beberapa karya yang telah disebutkan di atas, saya sangat menyadari bahwa daya jangkau pengamatan saya sangat terbatas untuk mencatat semua karya sastra bertema Covid-19 yang terbit dalam dua tahun terakhir. Karena itu, saya pun sangat meyakini jika dalam catatan singkat ini masih ada sederet karya (buku) sastra Indonesia lainnya dengan pesan tematik serupa yang luput dari perhatian saya. Di antaranya ada bunga rampai puisi Curhat Covid-19 di Negeriku (2020), kumpulan puisi Komunikasi Melawan Pandemi (2020), dan antologi puisi Covid-19 bertajuk Radang dan Ladang Kehidupan (2020). Namun, sekalipun angka tahun penerbitannya lebih banyak menunjukkan tahun 2020, tetapi beberapa karya yang telah disebutkan di atas kiranya sudah cukup representatif untuk membuktikan kecenderungan faset tematis tertentu dalam karya-karya sastra Indonesia pada dua tahun terakhir (2020-2021).

*  *  *

Alhasil, bagaimanapun bentuk rupanya, kehadiran karya-karya semacam itu menjadi penting bagi perkembangan sejarah sastra Indonesia bukan saja karena karya-karya tersebut menyuarakan kegelisan dan kecemasan penyair (baca: manusia) dalam menghadapi badai Covid-19, melainkan juga sebagai penanda historis jejak peradaban umat manusia di muka bumi. Puluhan tahun kemudian atau bahkan dalam abad-abad selanjutnya, keberadaan buku-buku semacam itu mungkin saja tidak lagi dilihat sekadar suatu kumpulan karya sastra, tetapi juga bisa dibaca sebagai catatan sejarah bagi generasi mendatang. Melalui karya-karya sastra yang kini ditulis oleh sejumlah sastrawan Indonesia, kelak mereka akan mengetahui bahwa pada suatu masa sebelumnya (setidaknya sepanjang 2020-2021) masyarakat di negeri ini pernah mengalami wabah penyakit yang sangat mengerikan bernama Covid-19. 

Lebih dari itu, diperkaya dengan beragam data dan referensi lainnya, warisan buku-buku sastra yang ditulis (diterbitkan) pada masa pandemi Covid-19 tersebut kelak juga dapat dijadikan bahan rujukan penelitian—minimal sebagai rujukan pendamping—bagi para ilmuwan pada masa-masa mendatang yang sedang melakukan kajian di bidang epidemologi, sosiologi, psikologi, ekonomi, politik, kebudayaan, atau bidang-bidang keilmuan lainnya. Dan, lebih khusus lagi, warisan buku-buku sastra tersebut tentu saja akan menjadi sangat penting kehadirannya dalam rangka penyusunan sejarah sastra Indonesia sendiri.

Maka, bertitik tolak dari pemikiran di atas, satu tugas besar yang kini sangat urgen dan seyogianya harus kita (baca: para pegiat sastra-budaya) lakukan adalah berupaya seoptimal mungkin untuk menggali, menghimpun, dan mendokumentasikan semua karya sastra bertema Covid-19 dari seluruh pelosok tanah air (mencakup genre puisi, cerpen, novel, drama, dan esai sastra). Hal ini dapat dilakukan dengan menyusun dokumentasi cetak maupun digitalisasi karya sastra. Namun, tugas besar dan relatif berat ini mesti menjadi tugas bersama karena kini begitu sulitnya untuk memantau perkembangan sastra dan penerbitan buku di berbagai daerah. Dan, untuk lebih mudahnya, upaya pengumpulan karya ini setidaknya dengan menyisir kota-kota tertentu yang selama ini dikenal sebagai kantong-kantong sastra Indonesia. 

Barangkali, sebagai langkah awal yang mesti kita lakukan adalah membentuk sebuah tim ad hoc dengan jaringan yang tersebar luas di berbagai daerah—khususnya di kota-kota provinsi dan kabupaten/kota—dengan tugas yang sama: menggali, menghimpun, dan mendokumentasikan karya-karya sastra Indonesia dalam berbagai genre, khasnya yang mengusung tema Covid-19 dengan segala kemungkinannya. Jika langkah awal ini dapat diwujudkan, maka langkah-langkah selanjutnya niscaya akan lebih mudah dilakukan. Untuk itu, lembaga-lembaga atau komunitas sastra yang terbentuk (misalnya Komunitas Dari Negeri Poci, Komunitas Sastra Indonesia, Mimbar Penyair Indonesia, atau Yayasan Hari Puisi Indonesia) dapat bertindak sebagai pihak pemrakarsa sekaligus menjadi pusat komandonya. []

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.