Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Jebule Sigit Susanto, Khalwat, dan Gus Dur - Sofyan RH. Zaid

Jebule Sigit Susanto, Khalwat, dan Gus Dur - Sofyan RH. Zaid

Jebule Sigit Susanto, Khalwat, dan Gus Dur
oleh Sofyan RH. Zaid



Sunan Bromo

"Mas, Ini pertama kalinya datang ke Kendal?" Tanya Mas Tomy Hendra Sutara (keponakan Mas Sigit Susanto dan owner Lokatara Cafe) yang menjemput saya pagi itu, turun dari bus Laju Prima di terminal Boja.

 

"Secara fisik, iya.” saya jawab sambil menyantap bubur khas Boja (bubur kuah santan dengan topping sayur bumbu kacang) di pertigaan jalan Makam Sunan Bromo. Kata Mas Tomy, Sunan Bromo, merupakan orang yang 'babat alas' pertama Desa Bebengan, Boja yang berasal dari Cirebon.

 

Saya mengunjungi Kendal, tepatnya Bebengan, Boja dalam rangka Diskusi Buku Khalwat yang digelar oleh Komunitas Sastra Lereng Medini dengan pembicara Setia Naka Ardian (penyair dan dosen di FPBS UPGRIS), Siraj Lintang Wicaksono selaku moderator, serta Mas Heri Cs dan Mbak Anis Hidayati selaku duo katalisator program. Acara ini terlaksana berkat kebaikan Mas Sigit Susanto, salah seorang pendiri Apresiasi Sastra (Apsas), penulis, dan penerjemah yang lahir Boja dan kini tinggal di Swiss, atau bisa juga disebut "orang Eropa yang lahir di Indonesia".

 

Utang Proses Kreatif

Dalam proses kreatif, saya banyak berutang pada Mas SIgit. Tahun 2015, Mas Sigit pernah memasukkan buku puisi saya, Pagar Kenabian (2015), ke dalam rangkaian acara Bedah 10 Buku Puisi dalam Semalam di Yogyakarta yang digelar Apsas. Saya pun datang pada waktu itu, bertemu Mas Sigit untuk pertama kali dan menyaksikan secara langsung bagaimana Bang Sunlie Thomas Alexander (sastrawan dan kritikus sastra) mengupas buku pertama saya tersebut. Tahun 2018, Mas Sigit meminta puisi saya -dalam bahasa Inggris- untuk turut dipajang dalam acara tahunan; Jemuran Poesie Danau Zug, Swiss.



Di Boja, tanah kelahiran Mas Sigit ini, saya tahu Sigit Susanto lebih jauh berdasarkan informasi yang beredar. Sebagai salah seorang 'putra terbaiknya', Mas Sigit jebule (seperti ucapan Subagio Sastrowardoyo kepada Satyagraha Hoerip: "Barat bianget, jebule!" perihal Sutan Takdir Alisjahbana) tidak benar-benar pergi dari kampung halamannya dan itu yang membuat saya iri kepada penulis buku puisi Jejak-Jejak yang Tertinggal (2024) itu.

 

Penghargaan Sastra Berhadiah Kambing

Sambil menunggu acara pukul 15.30 WIB, saya istirahat di Pondok Maos, rumah perpustakaan yang berisi buku-buku berbagai bahasa yang didirikan Mas Sigit untuk anak-anak dan masyarakat setempat. Di rumah itu, saya disambut begitu familiar oleh Mbak Lusy dan Ibunda, serta berbagai poster dinding para sastrawan dunia dan foto-foto sastrawan Indonesia yang pernah berkunjung, seperti Iman Budhi Sentosa, D. Zawawi Imron, F. Rahardi, Martin Aleida, Puthut EA, Eka Kurniawan, dan lain-lain.

 

Di rumah tersebut, saya juga mendapatkan anugerah dengan kunjungan Anugrah Prasetya beserta puisinya yang bernapas (Mbak Silvia) dari Semarang. Seorang ‘penyair muda asal Medan’ -dalam istilah Mas Sigit- yang tersesat ke Semarang. Anugrah banyak bercerita soal iklim perpuisian di Semarang dan Kendal. Dia juga menyinggung soal program tahunan berupa Kendal Award yang memberikan penghargaan bagi manuskrip sastra terbaik yang berbeda kategori setiap tahun dan “hadiahnya itu adalah kambing atas ide Mas Sigit,” paparnya. Tentu saja, saya sanang atas hadiahnya tersebut, tetapi jebule itu benar. Haha.

 

Meja dan Kursi Buku hingga Pemerintah Menjinakkan Sastrawan

Sebab gerimis, acara yang semula akan digelar dipinggir kali, akhirnya dipindahkan ke Gedung Sastra & Sosial Guyub. “Gedung ini dibangun khusus oleh Mas Sigit untuk keperluan acara sastra dan aktivitas masyarakat, seperti senam dan lainnya,” kata Mas Heri Cs, penggiat literasi dan cerpenis asal Kendal itu setibanya di lokasi. Diskusi berlangsung santai di awal dan panas di akhir dengan pertanyaan yang menyengat. Salah seorang peserta mempertanyakan sikap kepenyairan melihat fenomena pemerintah berupaya menjinakkan sastra(wan) dengan cara menggelontokan banyak bantuan dana. Mas Naka pun menjawab dengan bijak bahwa hal itu bukanlah penjinakan, tetapi bentuk perhatian pemerintah terhadap sastra(wan) dan bla bla bla.



Peserta hadir dari beragam latar, mulai dari penyair, penerbit, guru, dosen, aktivis organisasi sosial keagamaan seperti NU, sampai pemuda setempat.  Selain ulasan dari Mas Naka (yang sopan, tapi dalam) dan pembacaan puisi dari peserta, ada satu hal yang menjadi perhatian saya, yakni adanya 'kursi dan meja buku' sebagai properti acara. Sekilas, benda ini seperti buku-buku yang dibentuk menjadi meja dan kursi. Namun kalau kita raba adalah kayu yang dibentuk menyerupai buku dan dilukis secara manual. Lagi-lagi, kata Mas Heri Cs "Ini ide Mas Sigit dengan menantang Muhammad Rozak selaku pengrajin kayu di sini". Ah, Mas Sigit pencinta Kafka itu.

 

Kos Sosial dan Mie Ayam Boja

Selepas acara, saya berdiri dan melihat-lihat sekitar bersama Mbak Anis Hidayati (koordinator KLM Boja dan penggiat literasi), di samping halaman gedung, ada semacam kamar berderet seperti pagar ayu. “Mbak Anis, ini apa ya?” Saya tanya. “Ini anu, Mas...Kos sosial punya Mas Sigit yang diperuntukkan gratis bagi anak-anak yang sekolah di Boja dan rumahnya jauh”. Saya mengangguk sambil menahan iri pada penulis buku berseri Menyusuri Lorong-Lorong Dunia itu.



“Mas, minta waktu sebentar untuk wawancara,” kata Mas Heri. Saya pun masuk ke gedung lagi. Mas Bambang Rakhmanto (mantan jurnalis Metro TV dan Net TV yang kini menjadi dosen Ilmu Sejarah di Unnes) telah siap dengan kameranya. Saya diminta duduk di kursi buku itu, dan mulai menjawab beberapa pertanyaan Mas Bambang, salah satunya tentag harapan pada komunitas Sastra Lereng Medini. “Saya berharap komunitas ini ke depan dapat membuat kerja sama dengan sekolah-sekolah dan pesantren di Kendal dalam berbagai kegiatan sastra”. Eh, mereka sudah pernah melakukan. Namun, tak ada salahnya saya menyarankan kembali. Hehe.



Geser dari lokasi acara, bersama Mas Heri dan kawan-kawan, saya diajak makan bareng mie ayam yang cukup legend di Boja. “Mas Heri, Mas Sigit kapan pulang kampung?” Obrolan kembali berlangsung. Kata Mas Heri, Mas Sigit akan pulang ke Boja Januari mendatang. “Biasanya kalau Mas Sigit pulang akan membuat acara Apsas dan Kemah Sastra di lereng gunung, dan istrinya akan banyak diundang oleh sekolah-sekolah di Kendal untuk acara praktik langsung bahasa Inggris bersama para siswa,” terang Mas Heri Cs. Di acara Kemah Sastra itu biasanya melibatkan para sastrawan dari luar Kendal. Pernah Umbu Landhu Paranggi bersedia hadir beberapa tahun lalu, walau akhirnya gagal. Namun “Umbu sempat memberi Mas Sigit sebuah teka-teki:  Siapa pencipta salah satu lagu nasional yang lahir di Kendal?” Lanjut Mas Heri. Rupanya beliau adalah Prohar Sudhartono yang menciptakan Lagu Nasional “Garuda Pancasila”.



“Iya, Insya-Allah saya akan ke Boja lagi Januari,” ucap saya, sesaat sebelum beranjak pergi dari Boja menuju Krapyak, Semarang mencari bus untuk balik ke Bekasi. Malam itu, saya diantar Mas M. Lukluk Atsmara Anjaina (penyair dan aktivis sastra Pelataran Sastra Kaliwungu asuhan Mas Bahrul Ulum A. Malik) bersama Mas Ahmad Sofyan Hadi (guru dan tokoh teater Kendal), Mas Cipto Roso, dan Mas M. Afthonil Atqo.

 

Drama Mengejar Bus dan Gus Dur

Setelah drama mengejar bus Sinar Jaya seperti mengejar mantan dan juga ditinggal bus yang sama ‘saat sayang-sayangnya’, saya mendapatkan tiket bus terakhir, PO Safari Lux. Masih ada waktu sekitar 40 menit dari perkiraan bus datang. Mas M. Lukluk dan Mas Ahmad Sofyan menenami saya menunggu dan nongkrong di teras Indomaret. “Mas, dulu kalau tak salah ingat, saya pernah mengirimkan puisi untuk buku antologi puisi bersama tentang Gus Dur yang digagas oleh Pelataran Sastra Kaliwungu, cuma saya belum punya bukunya, atau mungkin saya tidak lolos kurasi ya?” saya membuka pembicaraan kepada Mas Lukluk selaku salah seorang tim penyusun buku tersebut.



Sebab penasaran, Mas Lukluk langsung mengambil laptop dari mobil putihnya. Benar, saya termasuk salah seorang penulis dalam buku itu bersama Mbak Alissa Wahid dan lainnya. Buku berjudul Gus punk: antologi puisi untuk Gus Dur (Editor: Bahrul Ulum A. Malik dan M. Lukluk Anjaina Atsmara) yang diterbitkan Pelataran Sastra Kaliwungu, 2019. Dalam buku setebal 202 halaman itu, puisi saya berjudul “Songkem”, puisi  yang juga saya masukkan ke dalam buku Khalwat, buku yang dibedah di Kendal ini.

 

Bekasi, 6 November 2024

 

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.