Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Sebuah Pengantar: Kotak-Kota Maut Oleh Indra Intisa

Sebuah Pengantar: Kotak-Kota Maut Oleh Indra Intisa

SEBUAH PENGANTAR: KOTAK-KOTA MAUT
Oleh Indra Intisa

Selain sebagai karya sastra paling tertua, puisi pun memiliki perjalanan dan perubahan paling drastis dibandingkan prosa. Puisi semula berisi doa-harap; puji-pujian yang dihantarkan ke kekuatan Maha Dahsyat: dewa-dewa, roh-roh, Tuhan, dst., yang didengungkan melalui rajut bunyi: gemuruh layaknya suara lebah—menusuk psikologis—serupa mantra yang berisi magis—bisa pula kepada pohon-pohon, alam, dst.,--terus mengalami perubahan. Baik unsur bentuk, permainan bunyi, dan tentu saja temanya yang terus melebar dan luas.
            Beberapa pakar tidak bersepakat terkait makna puisi. Ada yang mengatakan puisi adalah A. Pakar yang lain mengatakan puisi adalah B. Belahan yang lain mengatakan C. Begitu seterusnya dengan pemahaman dan pengertian yang berbeda. Tetapi mereka tidak mampu membantah pendapat dan pemaknaan dari setiap pakar—mereka pun setuju dan mengangguk. Kenapa bisa terjadi? Itu karena puisi itu luas. Bisa pula dari cara menyimak dan menelaahnya belum sempurna—subjektif dari pelbagai macam sudut. Mari kita umpamakan kepada hewan yang bernama ayam. Ayam bisa dikatakan sebagai hewan bernama unggas; hewan berkaki dua; hewan bersayap yang tidak bisa terbang seperti burung; hewan berparuh; hewan yang mampu berkokok; dst. Kesemuanya juga terciri kepada hewan. Begitulah puisi, kalau kata Sapardi, puisi adalah bunyi. Padahal bunyi adalah bagian dari puisi.
            Secara umum puisi adalah karya sastra yang sangat terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik-bait. Atau bisa pula dikatakan sebagai gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata dengan secara cermat sehingga dipertajam kesadaran orang akan pengalaman hidup dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama dan makna khusus (KBBI edisi ke-5. 2016). Jadi, pengertian yang dimaksud juga dalam bentuk kajian umum (luas). Jika orang-orang berkata, karya sastra dalam bentuk larik-bait tentulah sebuah puisi. Bagaimana jika sebuah percakapan biasa; lagu-lagu, disusun dalam bentuk larik-bait? Tentu tidak bisa kita putuskan sebagai puisi, bukan? Atau bagaimana jika tidak disusun dalam bentuk larik-bait? Apakah luntur sebagai puisi? Kajian-kajian ini telaahnya luas, seperti halnya juga bunyi-bunyi. Bukankah awalnya puisi dirapalkan, dibacakan dan didengungkan melalui mulut-ke mulut. Lalu berubah menjadi teks. Lalu dilagukan, di dramakan, di gambarkan, dst., berkembang, bukan? Kita bisa melihat luar angkasa. Bisakah kita batasi perkembangannya? Seberapa luas luas angkasa ini? Berapa banyak galaksi, planet dan benda-benda lain di luar sana yang belum tercatat dan terdata oleh kita sebagai manusia yang berpikir?
            Di Indonesia, puisi-puisi yang berpola pada simbolik gambar (grafis), bukan bunyi juga sudah berkembang sejak lama. Anggap saja puisi konkret, yaitu puisi yang mementingkan bentuk grafis atau tata wajah yang disusun mirip gambar (menyerupai sesuatu). Atau ada pula susunan-sunan tersebut hanya berisi simbol, karakater huruf, dst., yang memaknakan sesuatu. Seperti titik-titik yang menyerupai turun hujan, dst. Karya fenomenal miliknya Sutardji, pada puisi “Tragedi Winka dan Sihka” ditulis dalam bentuk zig-zag; turun-naik. Menandakan simbol dan makna sesuatu pada puisi. Seperti kasih sayang dan perubahan terhadap sesuatu. Puisi seperti ini telaahnya luas. Tidak bisa pula disimak dari sisi bunyi, rima, dst. Atau ketika dipanggungkan tentu saja pemaknaan grafisnya menjadi hilang. Tetapi jangan lupa, sebenarnya ada ritma dan irama tertentu dari bentuk puisi-puisi ini, yang bukan disimak dari bunyi, tetapi irama jalan dan irama bentuk yang teratur. Mari kita simak:

Tragedi Winka dan Sihka

kawin
           kawin
                      kawin
                                 kawin
                                            kawin
                                                       ka
                                                 win
                                              ka
                                      win
                                  ka
                           win
                      ka
              win
         ka
 winka
              winka
                           winka
                                           sihka
                                                    sihka
                                                             sihka
                                                                      sih
                                                                  ka
                                                             sih
                                                        ka
                                                   sih
                                               ka
                                          sih
                                      ka
                                 sih
                             ka
                                 sih
                                      sih
                                           sih
                                                sih
                                                     sih
                                                          sih
                                                               ka
                                                                   Ku
 

Di zaman serba digital ini, puisi merasuk ke ranah-ranah digital: media sosial, blog, web, e-book, dst. Sebagian ada yang berkata bahwa puisinya dalah puisi digital. Bahkan salah satu pencetus puisi paling heboh (pro-kontra), yaitu Deni JA, yang dikenal dengan puisi esainya, juga mencoba mencetuskan puisi mini digital. Lupakan itu, Sapardi juga pernah berkata bahwa masa depan puisi akan terus berubah menjadi gambar. Tetapi, sebenarnya kita tidak perlu mengutip dan mengambil dua pendapat tersebut sebagai acuan, sebab perkembangan puisi itu harusnya bisa lebih meledak lagi—tidak perlu dibatas-batasi seperti batasan jumlah larik, bait, permainan rima, jumlah kata, dst., seperti puisi lama: pantun, gurindam, syair, dst., karena hakikatnya kita hidup di zaman modern: era puisi modern seharusnya bisa lebih mendentum lagi.
Afrizal Malna salah satu penyair yang sangat eksis menulis eksperimen-eksperimen pada puisinya. Ia cenderung memilih dan mencari metafor dan diksi unik, baru, yang tidak biasa, tetapi ada di sekitar. Seperti pada puisi berikut ini:

anonymox aurat

klik: anonymox
unduh >> add to firefox
instal
aplikasi sudah terpasang pada aurat kita

next

http://www.berangkat-ke-batas-sepi.com
tancap
doa-doa digital

<<->>

koyak
immaterial bahasa

tinggalkan makna
di luar batu nisanmu

Betapa puisi bisa hidup dan menyerupai bentuk apa saja. Ia bisa berubah serupa sebuah surat, sebuah mobil, menyerupai jalan, atau mengambil proses-proses terjadinya sebuah hidup manusia, hewan, bongkar-pasang kendaraan, virus, dst. Bahasa kasarnya ia berkembang layaknya bunglon. Menyamar dan menyerupai tetapi tetap ada pesan-pesan besar yang diselipkan oleh aku lirik. Ini mengingatkan kita pula pada konsep sebuah malware dalam dunia IT. Ia bisa berubah menjadi penunggang (trojan horse), jadi virus yang merusak jaringan dan data, menjadi spam, atau dia bisa hidup dalam sebuah data: menipu mata pengguna awam, padahal ada program tertentu yang telah menyusup dalam data tersebut untuk menginfeksi data-data lain. Serupa parasit?
Beberapa tahun terakhir 2010—2017, di dunia digital (web, blog, media sosial), muncul pula gerakan puisi pola tuang. Yaitu sebuah proses pengenalan genre baru yang berpangkal kepada batasan-batasan fisik. Secara umum puisi ini kita katakan saja sebagai puisi pola tuang. Atau puisi yang disimak dan dibedakan dalam bentuk pola tuang (wadah), seperti puisi dukotu (dua koma tujuh) oleh Imron Tohari, puisi Sonian oleh Soni Farid Maulana, dsb., dengan gaya-gaya serupa. Dari sekian banyak perkembangan dan penciptaan tersebut, sebagian besar gagal memberikan penyegaran yang baru dalam dunia perpuisian Indonesia. Karena aturan yang dibuat hanya terfokus kepada batasan larik, bait, kata atau suku kata. Sekalipun ditulis dengan alasan filosofi tertentu.
Lain daripada itu, muncul pula seorang penyair pemikir, penulis muda yang sedang menekuni dunia filsafat, yaitu Shiny. Penyair muda ini termasuk salah satu angkatan digital yang sangat tekun dan produktif dalam menulis. Menulis prosa seperti cerpen, esai dan tentu saja puisi. Puisi-puisi yang ia tulis membawa ruh dan gaya tertentu. Berbeda dengan angkatan digital lainnya, ia tidak bertujuan untuk membagikan dan mengajarkan kepada orang lain—mengajak beramai-ramai menulis puisi seperti apa yang ia tulis—ia lebih cenderung kepada dirinya sendiri. Barangkali kebebasan dan ke-akuan dari puisinya adalah sebuah kenikmatan tersendiri sehingga ciri khas tersebut tetap melekat pada dirinya saja.
Seperti pada buku ini “Kotak Cinta”, Shiny sengaja membawa pembaca ke sebuah alam baru—alam tertentu yang dibatasi oleh batasan yang ia buat sendiri. Kita seperti masuk ke sebuah daerah yang baru, lingkungan baru, anggap saja seperti pergi ke danau Toba, sedangkan sebelumnya kita belum pernah mengujungi daerah tersebut. Apa yang kita rasakan? Takjub, aneh, senang, bahagia, sedih, atau cemas? Di sebalik itu, tentu ada aturan, larangan atau batasan ketika kita masuk ke area tersebut, sama halnya dengan mitos Nyi Roro Kidul. Dilarang memakai pakaian hijau selama di pantai laut selatan. Bagaimana kalau melanggar?
Kotak Cinta yang ia buat merupakan sebuah jebakan tersendiri untuk pembaca. Puisinya cenderung rumit dan gelap. Berisi simbol-simbol unik, baru dan bahkan tak terduga. Jika salah-salah, kita bisa tersesat layaknya kita masuk ke dalam hutan. Bagaimana jika kita belum menguasai medan, tak bawa kompas, sepatu hutan, pisau, makanan, dsb., apakah kita siap? Tapi kita harus bersiap-siap. Tak boleh lengah, sebab kotak yang ia aturkan bukan sembarang kotak. Ada banyak harta karun tersembunyi di dalamnya. Kita harus mampu memecahkan teka-teki, simbol-simbol yang disembunyikan di dalamnya untuk sampai pada tujuan. Rumitkah? Pemikiran Shiny memang termasuk rumit dan luas. Tetapi ia ingin memadatkan dalam sebuah puisi pendek dan terbatas dengan diksi yang benar-benar dipangkas dalam sebuah kotak. Karena jika kita mampu mengendusnya, maka muncullah cinta. Kotak Cinta.

KITA BICARA
danaku bicaraparau padagerimismati
tetapirindu diami ribuankabut;-kabut
menunggujawaban dijendela dijen(...-
kitaperang dengansiapa sayang(...)(...)
dengandada kitasendiri (...)(...)(...-dila
danaku bicaraparau padagerimismati
tapirindu menunggujanh lagi,lagi,lagi!
diami ribuankabut danjatuh; h
                                                            u     a
                                                                j
                                                                    a
                                                                  n
                                                                      .
     (Kotak Cinta: Mukaddimah Hujan)
                                    2015
Mari kita perhatikan susunan dari puisi di atas. Terlihat sudut-sudut yang sama persis, berbentuk persegi empat atau panjang. Di setiap sisinya seperti dibatasi garis lurus supaya berbentuk kotak, sekalipun di dalam isinya ada yang memanjang, tetapi tetap tidak keluar dari batasan kotak. Itu seperti sebuah cermin, kardus, atau bungkus. Ke semuanya dibatasi dan direkat oleh sesuatu. Sedang di dalamnya terserah mau bergerak seperti apa. Seperti sebuah penjara. Sedang manusia di dalamnya—manusia yang terkurung—bisa saja bertengkar, berkelahi, berbaikan, tertawa, dsb, tetapi dalam satu batasan jeruji besi.
Coba kita lihat pada isi: beberapa kata disusun menyatu-padu dengan kata lainnya. Kesengajaan ini tentu saja untuk membatasi kata supaya sama panjang—tidak berlebih—keluar dari batasan kotak. Selain itu, tentu juga ada maksud-maksud tertentu dari penggabungan itu. Diksi yang telah terpilih itu menjadi simbol tertentu, seperti (pada larik pertama): //danaku bicaraparau// gabungan dari empat kata menjadi dua kata: dan, aku, bicara, parau. Dua kata pertama menyatu padu. Begitu juga dengan dua kata berikutnya. Secara awam, kita bisa saja berpikir, kenapa tidak disatukan dengan pola lain? Seperti menjadi: //dan akubicara parau//. Tetapi coba kita resapi dalam-dalam, rasa dan pesannya berbeda, loh. Mari kita telaah pelan-pelan:
 Danaku = konjungsi “dan” menyatu dengan kata “aku”.
Penyatuan konjungsi dengan aku lirik (simbol aku) bisa menimbulkan penyatuan yang dalam dari pernyataan.
 Bicaraparau = kata “bicara” dan “parau” menyatu-padu.
Menandakan parau yang benar-benar tak terpisah. Benar-benar rekat.
Coba kita pisahkan menjadi: dan akubicara para. Pemaknaannya bisa berbeda, bukan? Mana yang merekat dan mana yang terpisah. Kehebatan Shiny tidak hanya pandai-pandai dalam mengakali kata supaya menjadi sebuah kotak, tetapi juga bisa menjadi simbol.
Pergerakan puisi di dalam kotak juga terlihat sangat dinamis dan berlari-lari. Coba kita simak pada larik-larik ini:

diami ribuankabut danjatuh; h
                                                            u     a
                                                                j
                                                                    a
                                                                  n
                                                                      .

Sangat jelas dan pandai ia meletakkan diksi hujan seperti sebuah hujan yang benar-benar jatuh. Jatuhnya tidak beraturan (dalam artian garis lurus). Bentuknya sedikit acak dan mengarah ke samping kanan. Posisi kanan juga menyiratkan sesuatu. Kemudian dua buah huruf “a” ditulis terpisah dari urutan (gerakan) jatuh. Ia terpisah lebih ke kanan dibandingkan huruf lainnya dari kata hujan, seperti: h, u, j, dan n. Benar-benar pintar dan dalam. Tanpa kita sadari, ada ritma tersendiri di dalamnya. Pun, ia telah mengelabui kita dalam-dalam, bukankah selain gerak jatuh pisah-pisah itu juga memunculkan rima tersendiri? Lihatlah permainan rima “a” yang disengaja terpisah. Belum pula kalau kita kaji unsur bunyi vokal terbuka “a”. Kenapa pula hanya suara vokal “a” yang disengaja terpisah dan dijadikan serima? Coba pelan-pelan kita suarakan huruf “a” melalui mulut kita kisaran beberapa detik. Kemudian ulangi. Apa kira-kira yang terasa? Ingat-ingat pula bunyi hujan yang jatuh. Posisinya yang kadang dibawa angin—sedikit menyamping—bukan jatuh lurus. Secara simbolik, kanan dan kiri pun memiliki makna yang beda. Baik atau buruk. Lurus atau bengkok. Dst. Coba pula kita simak pada bagian terbawah (seolah seperti titimangsa): mukadimah hujan, sebenarnya juga simbol dari permukaan atau kulit dari puisi-puisi di naskah. Sebab pada puisi-puisi berikutnya ditandai dengan penomoran yang berurut. Seperti penomoran surah atau ayat dalam Alquran. Atau pasal dalam KUHP. Coba kita simak pada puisi berikutnya:

KAU BAWA
kausertakan mer-apipada cintamu
danhidup matirahasa punpercuma
dadaku bergetarseperti jantungini
laluaku dankamu berpasangandini
berpasangandingin laluku dan,kau
(Kotak Cinta : 1)
Coba simak pada penanda paling bawah: Kotak Cinta: 1. Lalu mari kita simak pada puisi berikutnya:

SEPI I
malamter-tinggal dikepalaku
masihkamu. tarlelapdikamar
malamter-tinggal dikepalaku
masihkamu. tarkesipdicamar
menghitungdetik, dariwaktu
menghitun(g)elicik kewaktu
dandindingpun mabukrindu
(Kotak Cinta : 1b)
Ada penanda angka 1b. Masih dalam satu pasal yang sama. Karena pada puisi berikutnya sudah pindah ke penomoran 2:

GELAP GARIS
gelapgaris- -gariskata diataskertas
langitlalu menunggu(i)mu danpagi
tiadabintang punseratu jatuhdisini
takbahkan berlubangmata ku,juga!
(Kotak Cinta : 2)
Pada pasal kedua, muncul sebuah simbol-simbol baru dari larik-lariknya, coba lihat:

HUJAN
(5:3—2) hujannaik -turun—suara awan;me-jatuh
(5:3—2) apakahmereka sebabsedang; salingcium
(5:3—2) hujannaik -turun—suara awan;menjauh
(5:3—2) apakahmereka cintasayang? makamalu?
(5:3—2) ataubingung anginkemung makamarah?
(5:3—2) hujannaik -turun—suara awan;me-jatuh
(5:3—2) apakahmereka sukasayang? hilangarah?
(5:3—2) apakahmereka tahusayang? makagesah?
(5:3—2) atauia diamdipelataran hanyamenunggu
(5:3—2) sambilm’bayangkan aku; kau salingcium
Pondok Gede, Oktober—(Kotak Cinta: 2b)
Ada simbol awal yang harus disimak baik-baik oleh pembacanya di setiap awal larik (5:3—2). Dan semakin kelam dan simbolik pada ayat berikutnya: Cuma ada simbol tanpa kata yang bisa diterjemahkan langsung

HUJAN
(5:3—2)(5:3—2)

(5:3—2)(5:3—2)
                 (5:3—2)

    (5:3—2)
    (5:3—2)(5:3—2)
    (5:3—2)(5:3—2)
Pondok Gede, Oktober—

(Kotak Cinta: 2c)





Percyalah, kalau kita telaah dalam-dalam, tak cukup ditulis dengan esai-esai sederhana dan pendek. Bisa-bisa menjadi satu buku. Pada hakikatnya, puisi-puisi Shiny memang cenderung memainkan unsur simbolik kata, tanda baca, huruf, dst. Saya pikir juga perkembangan dari puisi konkret, tetapi ia lepuhkan menjadi gaya tersendiri. Ia tautkan dalam satu kotak batasan. Coba simak puisi simbolik ini:

SANTANA II; MAN RUN AMOK

EL-I(!) # EL-I(!) 
MR

A!

T---- ; ----T
;
;
;
T

TNKS R T N

(Kotak Cinta:  58B)

Dua kata di larik paling atas kalau kita simak dalam-dalam itu seperti bacaan atau ucapan saat Yesus disalib: “Eli, eli”. Tapi dibatasi pagar. Apa pun fungsi dari pagar? Lupakan itu dulu, mari kembali kita simak makna dari kata Eli ini. Atau sebelum itu kita bisa melihat simbol dari gambar salib memanjang di bawahnya, sebelum di atasnya ada ucapana Elia. Sejarahnya mencatat, saat Yesus disalib, ia sempat berkata “Eli, Eli, lama sabakhtani? “, yang artinya: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Matius 27:46 & Markus 15:34). Kajian kristologi ini tentu akan berbeda penafsirannya antara umat Kristiani dan Islam. Masing-masing punya alibi dalam menafsirkan. Karena kita bukan sedang membahas kajian tentang kristologi, maka yang kita bahas adalah pemikiran aku lirik dalam puisi ini.
Mari kita telaah kembali terkait larik pertama itu “Eli(a) ditulis dua kali. Selain berfungsi sebagai ucapan yang memang diucapkan yesus sebanyak dua kali (Allah-Ku) pada saat disalib, juga secara tidak langsung menyiratkan bahwa, ayat ini adalah yang dicatat di dua Injil, dan satu-satunya yang dicatat di dalam kisah penyaliban Yesus di Injil Matius dan Markus. Lalu bagaimana dengan simbol MR, A!, T, dst? Apa pula fungsinya? Begitulah luasnya puisi Shiny dan pemikirannya yang bergerak-gerak. Tetapi mau dipadatkan.
Atau kita bisa pula menyimak pada puisinya yang lain:

Apa yang dapat kita tangkap, rasa dan pikirkan dari puisi di atas? Bagaimana cara membacanya? Sederhana saja, kira-kira saya pinjam perkataan Shiny yang mungkin tidak terucap: jangan padang sederhana sesuatu yang terlihat kecil. Ia jauh lebih luas dari pikiranmu. Jangan pikir sesuatu yang terkotak tidak berkembang seperti katak dalam tempurung. Sesungguhnya masing-masing hal punya dunianya sendiri. Seperti kita yang hidup di bumi ini, bisa saja di luar angkasa sana ada kehidupan yang lain. Atau, jangan kira di dunia ini hanyalah kita satu-satunya makhluk paling berkuasa. Karena sesungguhnya kita adalah tetesan air dalam lautan yang luas. Begitulah Kotak Cinta.  Mari kita bercinta di kotak-kotak yang disedikan oleh Shiny. Ini adalah kota yang dipimpinnya dalam sebuah kotak yang besar. Sebesar cintanya kepada puisi. Sebesar pemikirannya yang luas.

Pulau Punjung, 19 Agustus 2017

Indra Intisa, Penikmat dan Pemerhati Puisi, dari Dharmasraya.


Baca Juga:

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.