Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Sejarah: Passion dan Insiprasi - Kurnia Effendi

Sejarah: Passion dan Insiprasi - Kurnia Effendi

Sejarah: Passion dan Insiprasi
Oleh Kurnia Effendi

Saya ingin mulai dari kata “sesal sejarah”.

Ini menarik. Sebab, setelah semua yang berlalu, sebagai manusia yang “tinggal” menjalani blue print gelaran Tuhan (menurut keyakinan teori Stephen Hawking), apa daya kita? Semua tersurat sudah, tak ada daun gugur tanpa izin Allah, maka dengan kata lain: semesta menjadi takdir. Dalam pemahaman lain melalui tafsir para ulama salaf, takdir memiliki dua jenis. Takdir untuk memilih (dalam hal ini manusia diberi “kebebasan”) yang memberikan akibat takdir sebagai kepastian. Jauh lebih menarik: masa depan hidup ini tidak sanggup kita ketahui kecuali dengan prediksi berdasarkan pengalaman (mungkin melalui pola atau siklus) dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu ada kewajiban lain sebagai insan, melalui perintah membaca (Alalaq, Alquran), untuk mengetahui segala hal yang memudahkan hidup sekaligus menyelamatkan hidup. Semua penemuan diniatkan untuk mempermudah dan melanjutkan kebertahanan (survive) makhluk hidup, namun kerja alam yang kerap tak terduga menambahi “takdir baru” pada setiap zaman. Asyiknya lagi, berbeda dengan malaikat, manusia diberi nafsu yang boleh jadi mirip iblis, sehingga keinginan untuk menguasai atas yang lain menumbuhkan perang dengan dendam tak sudah (meminjam nama danau di Bengkulu).

Apakah harus ada penyesalan dari setiap langkah yang kita (secara bersamaan dalam galaksi ini) lalui? Mengingat semua yang kita inginkan belum tentu terpenuhi karena Tuhan lebih memilih memberi yang kita butuhkan: barangkali perang dan perpisahan juga sebuah kebutuhan. Ah, bukankah seperti kata Malaikat Jibril, manusia hanya akan membuat kerusakan di bumi?

Namun demikian, Rida K Liamsi yang menulis puisi dengan inspirasi sejarah, wajib berterima kasih kepada masa lalu. Setiap kali menengok ke belakang selalu muncul kegelisahan, tersebab langkah kakinya atau hal yang telah diperbuatnya dalam menambah corak hidup beserta sumbangan usianya atas gerakan bumi ini. Bisa jadi setiap penyair punya sentimen masing-masing atas masa lalu sesuai dengan ranah pijakannya. Di sinilah Rida menunjukkan warna Melayu. Bukan berarti berpantun-pantun, melainkan majas repetisi yang bahkan dalam sajak-sajak prosais ditunjukkan dengan kesadaran alias kesengajaan. Termasuk pilihan diksi lokal yang khas dan asing bagi daerah lain di Tanah Air. Boleh mengambil contoh beberapa kata: cacak, bahang, keladak, merapah, sekotah, sakal, segak, sadai, warkah, depang, dondang, jerambah, mejan, kinja, sundang, padah… dan beberapa yang lain.

Tentu tidak banyak yang tahu hubungan antara darah Melayu dan darah Bugis. Terutama bagi saya pribadi. Ternyata itu dimulai sejak awal abad ke-12. Dalam sejumlah puisi, sang penyair menjelaskan keterhubungan itu. Meski bukan sesuatu yang harmonis, ketika satu ras harus mengalahkan ras yang lain. Namun seperti yang selalu terjadi pada silang sengketa antarkaum, ada di antara anak dara dan bujang kedua pihak beroleh anugerah cinta. Asmara atau pertautan hati (yang kemudian melahirkan istilah cinta buta) tidak lagi memandang warna kulit, sesembahan, atau bangsa. Peristiwa itu memiliki dua mata pedang: berakhir tragis (tragedi) atau kedamaian. Dalam tragedi lain, Hayam Wuruk yang jatuh cinta pada Dyah Pitaloka melalui paras yang digambarkan jurusungging utusan Majapahit, berakhir dengan perang paling dramatis di Bubat. Selamanya (oh dendam tak sudah), di Priangan tak ada nama jalan Majapahit atau Hayam Wuruk, terlebih Gajah Mada. Politik telah mengatasi cinta dan menyemburkan darah.  Hal ini semakin menunjukkan bahwa di masa lalu, Nusantara telah mengabdikan dirinya dalam keberagaman alias kebhinekaan (yang kelak dipersatukan oleh peradaban pemikiran abad ke-20) meskipun secara geografis daratannya terpisah-pisah oleh genangan air lautan (archipelago).

Rida sebagai penyair yang memiliki passion khusus terhadap sejarah sejak muda, tentu tak dapat dipisahkan dari hasil karyanya. Seperti pendaki gunung yang akan memilih idiom-idiom alam dan petualangan pada prosa dan puisinya, penyair dari pesantren tak akan luput pula dari berbagai ungkapan yang merujuk ayat-ayat suci dan ketauhidan. Sekaligus, hal yang demikian, menjadi torehan karakter bagi seorang sastrawan. Maka sesuram apa pun sejarah, tak perlu kita sesali, kecuali untuk merancang “sejarah kemudian”.

Penyair besar pun (misalnya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad – untuk menyebut beberapa nama) memiliki keterikatan kepada Tuhannya dengan ketidakberdayaan yang puitis. Setiap sastrawan dalam perenungannya masing-masing memiliki kecemasan yang diupayakan menjadi kepasrahan. Maka, jika diminta menunjukkan puisi yang paling saya suka dalam kumpulan ini, adalah “Tebing Waktu”. Saya kutip utuh saja, karena setiap bait mengandung pengalaman masa lalu dan “pengalaman masa datang”. 

Tebing Waktu

Pagi ini gugur lagi sehelai daun di sidratulmunthaha.
Punya siapa? Dingin menyambar. Nadi berdebar.
Kita gundah. Selalu.
Seperti gundah Arjuna yang menatap helai terakhir
di pohon tarzandha, ingat Abimanyu, anaknya.
Kaukah itu, Nak?
Arjuna bersimpuh dan memandang helai daun itu
menuju luruh.
Cemasnya penuh. Luluh

Di ujung jalan, Wikana sang pandita datang
berlari sekencang angin,
dengan mantranya yang bisa mengubah ingin.
Belasan tahun dia ngembara
rindu menemukan tarzandha
menyelamatkan meski sehelai dari tujuh yang ada

Di tebing waktu
Izrail menunggu
dengan wajah dingin, membeku
Pulanglah, Wikana. Bangunlah, Arjuna
Tak sesiapa pun dapat mengubahnya.
Tidak juga waktu yang pernah memaksa
Tuhan menunggu enam hari
untuk menciptakan bumi
Kita kini di tebing waktu. Semua.
Menunggu

Menunggu daun kehidupan kita gugur
di sidratulmunthaha.
Entah bila
Barangkali lewat firasat,
dada berdebar atau dingin menyambar.
Tapi kita tahu Izrail menunggu di tebing waktu,
sambil membaca surat kabar.
: Waktumu!

2017

Dengan memadukan kisah perwayangan yang beberapa petikannya mengungkapkan tentang perubahan atau bahkan penajaman takdir dengan risalah yang diturunkan melalui lintas agama samawi, sang penyair sedang meyakini sesuatu: menunggu (waktu) mati. Wafat bagi seorang penyair tidak serta-merta mengubur karya-karyanya. Malahan, banyak contoh, puisi-puisi itulah yang mewakili firasat yang membuat dada berdebar atau dingin menyambar.

Keinginan kuat Rida K Liamsi sebagai seorang penyair, seperti ditulis dalam kata pengantar, adalah “mensyair sampai mati”. Apakah mendiang Hamid Jabbar pernah bercita-cita meninggal dunia di podium pembacaan puisi? Wallahualam bisawab.

Saya ikut meyakini hal ini: Hanya puisi besar yang kita tulis jejaknya akan kekal melintas batas dan kelak ada nama kita di sana dan tak hanya di pusara. (puisi “Suatu Hari di Munsi”, percakapan Rida dengan LK Ara). ***

(Ditulis sebagai pengantar peluncuran dan diskusi buku puisi Secangkir Kopi Sekanak karya Rida K Liamsi, pada 15 November 2015, di Perpustakaan Nasional Jakarta)

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.