Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Diksi, Ekspresi, dan Imaji oleh Roja Murtadho

Diksi, Ekspresi, dan Imaji oleh Roja Murtadho

DIKSI, EKSPRESI, DAN IMAJI DALAM BUKU KUMPULAN PUISI NARATIF GENDING SUNYI KARYA ALVIN SHUL VATRICK
oleh Roja Murtadho



#KAWACA.COM - Di ruang ini, hampir setiap hari, kita menulis puisi. Puisi bagi kita adalah napas. Puisi bagi kita adalah hidup. Puisi memberikan ruang-ruang kosong di dalam hidup kita menjadi terisi. Puisi memberdayakan kata-kata, diksi, juga imaji yang kita miliki menjadi sarat makna. Puisi telah mewakili perasaan dan pikiran kita yang meletup-letup dengan memadatkan kata, mempersingkat, memberikan irama dan rima dengan bunyi-bunyi yang padu dengan berhiaskan bahasa-bahasa kias sebagai selimut dan pemanis kata menjadi sebuah puisi yang bernas dan kuat makna.

Puisi merupakan salah satu karya sastra yang menggunakan bahasa imajinatif. Ciri khas puisi karena kekuatan puisi terletak pada kata-katanya. Puisi sering juga menggunakan lambang-lambang untuk menambah kepuitisannya dan menggunakan berbagai macam majas. Menurut Waluyo (2003:1), puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi rima dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif).

Traugot dan Pratt (1980:8—9) menyatakan bahwa bahasa sebagai suatu sistem memiliki potensi kreativitas. Jumlah unsur dan kaidah dalam suatu bahasa terbatas, tetapi jumlah ujaran dan panjang ujaran yang dapat dihasilkannya tidak terbatas. Sistem bahasa dapat disamakan dengan sistem angka; yang membatasi kita dalam penggunaannya ialah waktu, tempat, ingatan, perhatian, dan banyak faktor lainnya. Mengingat potensi kreativitas yang ada pada bahasa, dapatlah dipahami bahwa makin baik penguasaan seseorang atas suatu bahasa, makin baik pula kemampuan dia memanfaatkan potensi yang terdapat di dalamnya.

Secara konteks, puisi sebagai sarana penyair dalam membangun ekspresi komunikasi, berbagai fungsi komunikatifnya tetap inheren, terutama fungsi yang bersifat emotif, referensial, puitik, dan konatif. Ekspresi puitik memang membutuhkan adanya proses konsentrasi dan intensifikasi. Di samping itu, secara ekspresif terdapat semacam kebebasan atau yang lebih dikenal dengan lisensia puitika bagi para penyair. Akan tetapi, di atas itu semua, tidak jarang pula dijumpai puisi-puisi yang dengan sengaja memanfaatkan kata-kata seperti halnya penggunaan bahasa sehari-hari, dan grammar normatif.

Diksi sebagai salah satu unsur yang ikut membangun keberadaan puisi. Pemilihan kata yang dilakukan penyair untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan-perasaan yang bergejolak dan menggejala dalam dirinya. Pemahaman terhadap penggunaan diksi menjadi salah satu pemandu pembaca menuju pemahaman makna puisi secara baik dan menyeluruh.

Peranan diksi dalam puisi sangat penting karena kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi. Bahkan untuk jenis puisi imajis, seperti dinyatakan Sapardi Djoko Damono, kata-kata tidak sekedar berperan sebagai sarana yang menghubungkan pembaca dengan gagasan penyair, seperti peran kata dalam bahasa sehari-hari. Di dalam puisi imajis, kata-kata sekaligus sebagai pendukung dan penghubung pembaca dengan dunia intuisi penyair. Dengan imaji-imaji yang konkrit pembaca dapat menghidupkan fantasi-fantasinya.

Begitu pentingnya pilihan kata dalam puisi sehingga ada yang menyatakan bahwa diksi merupakan esensi penulisan puisi. Bahkan ada pula yang menyebutnya sebagai dasar bangunan setiap puisi sehingga dikatakan pula bahwa diksi merupakan faktor penentu seberapa jauh seorang penyair mempunyai daya cipta yang asli.

Puisi imaji adalah gambaran, kesan, bayang-bayang, atau apa yang ada dalam pikiran ketika kita membayangkan atau mengingat sesuatu. Imaji bisa berupa gambaran visual, suara, bau, rasa, atau gabungan dari semua penginderaan tersebut. Imaji sebagai unsur yang penting dalam puisi. Imaji membuat puisi menjadi hidup dan bergerak, dengan menghadirkan benda-benda konkrit, memposisikannya dalam bentuk personifikasi atau metafora. Beberapa penyair bahkan menempatkan imaji sebagai unsur yang dominan dalam puisi mereka.


Puisi naratif adalah puisi yang mengandung suatu cerita yang terdapat pelaku-pelaku, perwatakan, setting/latar, atau rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin suatu cerita. Jenis puisi ini terbagi ke dalam beberapa macam di antaranya, yaitu balada dan romansa. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia naratif artinya bersifat narasi; bersifat menguraikan, menjelaskan, dan lain sebagainya. Naratif bisa juga merupakan prosa yang subyeknya merupakan suatu rangkaian kejadian.

Puisi balada adalah puisi yang mengungkapkan getaran tabir hidup dalam menggambarkan perilaku seseorang baik melalui dialog maupun monolog sehingga mengandung suatu gambaran kisah tertentu yang objektif.

Romansa adalah jenis puisi cerita yang menggunakan bahasa romantis berisi kisah percintaan yang diselingi pertikaian, petualangan, juga sakit hati. Puisi romansa juga sebagai luapan perasaan penyair terhadap cinta kasih dan dalam hal ini bisa kepada kekasih, saudara, orang tua, juga kepada pahlawan. Contoh puisi romansa “ Priangan Si Jelita” karya Ramadhan K.K., “Taman” karya Chairil Anwar, “Surat Cinta” karya W.S. Rendra.

Puisi romansa juga seringkali ditulis sebagai luapan paling romantis dan berkasihnya antara penyair dengan Tuhannya. Begitu menyatunya penyair dengan Tuhannya membuatnya merasa tidak berjarak lagi. Namun, sebagaimana manusia dengan manusia sering kali terjadi kesalahan-kesalahan begitu pula manusia terhadap Tuhan seringkali berbuat alpa, khilaf, dan dosa.

Shul Vatrick, dengan nama pena Alvin Shul Vatrick, adalah pria kelahiran Palopo Luwu, 18 Oktober 1977. Di dalam buku tunggal keduanya ini, dia berikan judul Gending Sunyi sebagai manifestasi sunyi yang dia wujudkan dalam pernyataan-pernyataan perasaan yang begitu sunyi. Karena sunyinya maka menjadikan kesunyian tersebut sebagai sebuah lagu kehidupannya. Alvin begitu mencintai kesunyian karena dalam kesunyian dia dapat mengerti dirinya sendiri, siapa dirinya, lingkungannya, juga Tuhannya. Gending Sunyi mengungkapkan getaran tabir hidup (balada) yang diperoleh Alvin dalam perenungan-perenungan di tempat tersunyinya menjadikan puisi-puisi terlahir sebagai sebuah gending.

Menurut Alvin Shul Vatrick, apa yang ditulisnya adalah kisah perjalanan hidup yang nyata tertuang dalam bait-bait sederhana dan apa adanya. Cinta menulis dan aktif berkarya puisi sejak di bangku SMA Negeri 1 Larompong, dia mulai mempublikasikan karyanya, di beberapa majalah remaja, koran harian, dan situs website. Menggagas beberapa buku antologi puisi bersama, dan buku puisi tunggal berjudul "Sepisau Rindu" telah terbit dengan tiga kali cetakan di tahun 2017. Menurutnya, ia sedang dalam persinggahan di planet Bumi dan sementara berproses mengenali diri untuk mengalami ke-Beradaan-Nya yang luput dari upaya pencarian-Nya. Selanjutnya berjumpa dan mengenali Yang Maha Agung.

Gending Sunyi adalah buku kumpulan puisi tunggal kedua hasil buah pikir dan perenungan Alvin Shul Vatrick. Buku kumpulan puisi ini begitu imajinatif dan menarasikan deru-dera kehidupan yang begitu dekat dengannya dalam perenungan di ruang-ruang sunyi, ruang paling sunyi hingga menjadi sebuah kumpulan kidung kesunyiannya. Narasi kesunyian dia tuliskan dengan begitu ekspresif dengan metafor-metafor dalam diksi yang begitu unik. Alvin Shul Vatrick memiliki potensi kreativitas dalam memanfaatkan bahasa. Hal ini dapatlah dipahami dari penggunaan diksi yang begitu rapi dia tuliskan ke dalam puisi-puisinya menandakan bahwa begitu baiknya penguasaan dia terhadap bahasa, begitu baiknya kemampuan dia memanfaatkan potensi yang terdapat di dalamnya.

Puisi-puisi yang dituliskan Alvin adalah puisi-puisi sebagai penggambaran peristiwa dengan berbagai macam watak perilaku, latar, dan terjalinlah sebuah cerita. Namun di dalam rangkaian peristiwa yang begitu naratif dan liris ini, Alvin begitu pandai membalut dan menyembunyikan apa yang sesungguhnya menjadi cerita hidup dengan menghadirkan perumpamaan-perumpamaan dan metafora-metafora cantik dan begitu imajinatif.

Tampak adanya karakteristik dalam bahasa yang digunakan, yaitu ketaksaan atau ambiguitas. Jika dalam matematika setiap lambang atau rangkaian lambang hanya memiliki satu makna, maka dalam bahasa tidak selalu ada “one-to-one correspondence” antara suatu pernyataan dengan maknanya. Misalnya dalam bahasa kita mengenal homonim dan polisemi. Penyair dapat memanfaatkan ketaksaan tersebut sebagai sarana stilistik.

Saya menemukan keindahan tersendiri setelah membaca puisi-puisi dalam buku kumpulan puisi ini. Keindahan dan kekuatan yang bukan hanya sekedar kidung keindahan dalam kesunyian, dalam pernik pedih perihnya, namun banyak hal yang dapat saya petik dari ungkapan-ungkapannya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang baku namun dia memilih diksi yang tidak biasa dalam puisi-puisinya. Hal ini dapat kita lihat dari diksi-diksi pada puisi pembuka dalam buku kumpulan puisi Kidung Sunyi. Memasuki puisi pertama dengan Perjalanan Sunyi berikut kita sudah diajak untuk bermain-main dengan imajinasi, bermain dengan diksi dan larut ke dalam suasana imaji yang digambarkan Alvin.

Mengawali pengenalan kita pada puisi ini pun kita sudah dihadapkan pada pilihan kata yang begitu elok. Alvin memilih judul Gending Sunyi bukan lagu sunyi, nyanyi sunyi, nyanyian kesunyian, atau syair sunyi. Dia lebih memilih diksi gending daripada nyanyi ataupun lagu karena rupanya kata gending lebih dia rasakan sebagai lagu yang benar benar lagu. Sunyi yang dirasakan bisa begitu sunyi dengan kata gending. Di dalam puisi berjudul Layung Cahaya kita dapat menemukan diksi selasar hari, bertilam gundah, sabitah kembara, rumpun awan, jemari senja, melukis langit,dan layung cahaya.

Perjalanan Sunyi

Malam berselindung risau, serupa bulan sayu melirik awan
putih menuju hitam. Ditinggalkannya rupa kumulus ketika
seperempat cahaya pamit sebelum senja. Masih kulihat gurat
samar aurora di punggungnya. Kudekap sunyi dalam peluk
paling hening, dingin membening!

Perlahan benak ayun kenang, mengejar bayang berloncatan di ranting mata.
Teramat indah kusaksikan gemulai bibirmu
menenun teja dari benang-benang cahaya.

Embus angin berbisik merdu di telinga anak malam yang
gelisah menanti hangat. Mengajakku bermain rindu.
Akh, senduku mendesah lirih!

Lalu, aku menjelma sekunar johar!
Melayari angan di kegamangan samudra usia,
berharap menemu dermaga.
Pelabuhan engkau dan aku!

Puisi di atas menyajikan beberapa diksi yang begitu apik dipilih, yaitu dengan menggunakan kata-kata sebagai berikut: berselindung, kumulus, aurora, ayun kenang, teja, embus, dan sekunar johar. Hal ini saya yakini betapa penyair begitu dekat dan begitu mengakrabi Kamus Besar Bahasa Indonesia sehingga dia tidak sembarangan dalam memilih diksi. Diksi yang benar-benar dipilih dengan penuh kehati-hatian dalam perenungan sunyinya. Diksi yang dipilih memberikan kekuatan metafor yang membentuk imajinasi keindahan juga betapa kesunyian telah begitu dia akrabi.

Penyair lebih memilih kata berselindung yang dia persandingkan dengan kata risau ketimbang kata bersembunyi. Berselindung risau lebih memiliki nilai puitika sebagai kedalaman rasa dan makna puisi ini. Malam, berselindung risau, serupa bulan sayu melirik awan putih menuju hitam. Pada malam hari risau bersembunyi seperti bulan yang tenggelam di dalam awan hitam. Penglihatan menjadi gelap. Seperti inilah risau disembunyikan yang menjadikannya tidak tampak dalam pandangan orang lain.

Ditinggalkannya rupa kumulus ketika seperempat cahaya pamit sebelum senja. Pada kalimat ini penyair menggunakan kata kumulus sebagai diksi. Bukan timbunan, tumpukan, atau awan padat dengan garis pinggir yang jelas yang timbulnya ke atas dalam bentuk onggokan seperti stupa atau menara, bagian atasnya menyerupai bunga kol namun cukuplah baginya dengan memilih diksi kumulus sebagai,wakil dari pemaknaan yang bisa begitu panjang tersebut. Rangkaian perjalanan risau yang disembunyikan dengan begitu rapi serapi bulan diselimuti awan bermula dari ditinggalkannya kumulus ketika seperempat cahaya pamit sebelum senja. Ketika seperempat penuhnya cahaya matahari mulai meninggalkan siang menuju sore hari. Saat itulah, semburat cahaya matahari mulai redup menuju senja. Ini seperti penanda usia si aku lirik yang telah matang menuju ke perjalanan masa-masa tua (senja).

Pada pemandangan redupnya cahaya si aku lirik masih dapat melihat pancaran cahaya yang menyala-nyala di lapisan ionosfer akibat interaksi antara medan magnetik dengan pertikel cahaya yang dipancarkan oleh matahari. Imaji yang ingin digambarkan oleh penyair dari mulai redupnya cahaya ini dia mengajak kita untuk melangkah pada imaji selanjutnya yaitu dengan diikatkannya diksi aurora dalam diksi puisinya. Masih kulihat gurat samar aurora di punggungnya. Aurora adalah cahaya yang tercipta dari udara yang dikarenakan oleh atom-atom dan juga molekul yang bertumbukan dengan partikel yang memiliki muatan, terutama elektron dan proton yang berasal dari dalam matahari. Partikel-partikel tersebut terlempar dari matahari dengan kecepatan hingga lebih dari 500 mil/detik dan kemudian terhisap oleh magnet bumi di sekitar kutub Utara dan juga kutub Selatan.

Perlahan benak ayun kenang, mengejar bayang berloncatan di ranting mata. Teramat indah kusaksikan gemulai bibirmu menenun teja dari benang-benang cahaya. Diksi ayun kenang, ranting mata, dan teja menjadi warna indahnya diksi dalam hening yang dinarasikan dan dinyanyikan menjadi sebuah rangkaian narasi yang padu. Perlahan-lahan benak terayun-ayun dalam kenangan mengejar bayangan yang berkejaran di ranting mata. Diksi ranting mata sebagai metafor dari apa yang sesungguhnya tergambar berkelebat-kelebat dan berseliweran di pelupuk mata dalam bentuk wajah-wajah dan peristiwa. Hal ini menjadikan sebuah pemandangan batin dan imaji dari keindahan senja yang tergurat menjadi sebuah teja. Teja merupakan cahaya atau awan berwarna merah kekuning-kuningan yang tampak di kaki langit sebelah barat ketika matahari mulai terbenam. Semburat warna teja tersebut mengguratkan benang-benang cahaya/garis-garis cahaya. Inilah warna indah yang terlintas dalam kenangan yang berayun-ayun dalam imajinasi penyair menjadi warna indah kehidupannya yang mulai bergulir menua.

Embus angin berbisik merdu di telinga anak malam yang gelisah menanti hangat. Mengajakku bermain rindu. Akh, senduku mendesah lirih!

Lalu, aku menjelma sekunar johar!
Melayari angan di kegamangan samudra usia, berharap menemu dermaga. Pelabuhan engkau dan aku!

Pada bait ini cerita senja berlanjut ke malam. Malam yang digambarkan menambah kesunyian yang dingin. Waktu terindah untuk mengukir kerinduan. Rindu pada hening jiwa setelah hiruk-pikuknya siang bergelut dengan kerja. Kerinduan menjelma sunyi yang begitu hening, membawa penyair pada rindu jiwanya, rindu kekasihnya, rindu Tuhannya sehingga dia mengumpamakan dirinya seumpama sekunar johar. Sekunar johar adalah kapal layar bertiang dua yang terbuat dari pohon johar. Pohon yang tumbuh di daerah topis yang tingginya mencapai 20 meter, biasa ditanam sebagi pohon peneduh atau tanaman pagar, berbunga sepanjang tahun, bunganya malay, kuntumnya berwarna kuning.


Kesunyian-kesunyian terus menjelma gending, melarutkan penyair terhadap nyanyian-nyanyian rindu. Kerinduan yang begitu pilu namun nikmat. Kerinduan terhadap sesuatu yang pernah begitu jauh. Kerinduan atas kedamaian dan ketenangan jiwa dalam pelukan jiwa yang utuh dalam satu ikatan transendensi dengan Tuhan yang begitu memeluk.
....
Kupinang sebatang kamboja memudar ungu, pada wanginya kusanggamai rebak jantungmu yang hilang renyut. Pilu itu nikmat, Kekasihku!

Walau sembilu sepi menyayat hayat kusesapi jua semanis tebu. Meresap, hingga palung sunyi teramat agung. Desah napasmu, gending paling merdu di heningku. Sungguh!

Keningku ranting bertunas patah, mataku serpih bulan pecah. Lidahku tertidur di rahim altokumulus. Namun, di sudut bibir kukulum rimbun cahaya. Pada senyum paling simpul, engkaulah kejora semata wayang!
Sunyi Teramat Agung

Bunga kamboja atau plumeria adalah salah satu bunga yang sangat manis dan menyenangkan. Bunga ini memiliki banyak makna dan simbolisme. Makna khusus dalam budaya hawai karena dia melambangkan segala sesuatu yang positif. Kamboja juga dapat diartikan sebagai lambang dedikasi dan pengabdian, kekuatannya untuk tetap kuat bertahan meskipun pohonnya telah tumbang. Kamboja dipinang oleh si aku lirik dan menikmati keharuman dan keindahannya sebagai bentuk cinta yang dia lekatkan di jantung hatinya pada kekhususan Tuhan. Cinta yang pernah kehilangan denyutnya mengembalikannya kembali pada cinta dari sunyi yang membenamkannya pada penghambaan dan kembalinya dia pada jiwa yang telah lama dirindukan mengembalikannya pada diri dan siapa sesungguhnya dirinya sendiri.

Penggunaan kosakata aneka diksi dalam puisi memang didasari oleh persepsi masing-masing penyair. Kata-kata tertentu dipilih dan dipakai oleh penyair karena kata-kata itu memang bersifat “siap pakai”, yang bagi penyair mungkin lebih kaya dan lebih bervariasi guna mengapresiasikan berbagai jenis emosi yang memang merupakan aspek yang sangat mengedepan pada bahasa puisi. Inilah yang tampak dalam tiap-tiap diksi yang dipilih Alvin dalam meramu aksara menjadi bait-bait kidung.

Saya memahami untuk menjadi penikmat puisi yang baik tentu saja kita harus memiliki banyak pengetahuan termasuk di dalamnya adalah pengetahuan kebahasaan. Puisi-puisi Sitor Situmorang, Wing Karjo, dan Abdul Hadi, misalnya sering mempergunakan judul atau kata-kata dalam puisinya dengan bahasa Perancis. Sementara itu, banyak pula penyair lainnya yang menggunakan bahasa Inggris dalam karya-karyanya. Yang penting untuk dicatat sebagai seorang pembaca tidak boleh berhenti pada pemahaman kata sebagai seorang penikmat, bahwa pada saat berhadapan dengan sebuah puisi, pembaca tidak boleh berhenti pada pemahaman kata sebagaimana adanya saja, tetapi hendaknya dicari pula kemungkinan-kemungkinan atau konotasi lain yang tersirat di dalamnya. Dengan demikian, keutuhan pemahaman dimungkinkan. Pelacakan menjadi begitu penting untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh. Pelacakan-pelacakan inilah yang semestinya kita lakukan dalam memahami isi puisi Alvin karena begitu taatnya Alvin dalam memilih-milih diksi meskipun diksi dari bahasa Indonesia.
Pemilihan diksi yang dia lakukan bukan sembarang kata namun sudah melalui penelusuran fonologi dengan konotasi yang begitu kental seolah merupakan makna bahasa denotasi semata.

Lidahku tertidur di rahim altokumulus. Namun, di sudut bibir kukulum rimbun cahaya. Pada senyum paling simpul, engkaulah kejora semata wayang!

Alvin memilih diksi lidahku tertidur di altokumulus di mana altokumulus adalah awan yang berbentuk pipih seperti gumpalan kapas. Altokumulus terbentuk karena naiknya air bermassa besar pada ketinggian sedang yang diikuti oleh kondensasi yang tidak stabil. Di situlah mungkin, Alvin meletakkan bagian tubuh sunyi hidupnya seumpama lidah yang dia tidurkan dari rasa manis, asin, tawar, juga pahit kehidupan. Kembali langitlah yang dia tengadahi sebagai simbol keaguangan dan kebesaran Sang Kuasa juga betapa tingginya ciptaan-Nya. Namun, di sudut bibir kukulum rimbun cahaya. Pada senyum paling simpul, engkaulah kejora semata wayang! Inilah kunci dari peletakan lidah pada altokumulus kehidupan. Di sudut bibir kukulum rimbun cahaya, cahaya yang ternyata itu adalah cahaya Tuhan. Cahaya tersebut adalah penuntun sebagaimana bintang kejora dijadikan sebagai penuntun oleh para nelayan. Sebagai penunjuk arah ketika nelayan berada di tengah lautan tanpa kompas navigasi. Bintang kejora adalah harapan bagi nelayan yang sedang menanti datangnya pagi. Bintang kejora ini sebagai pedoman arah bagi masa depan yang cerah, secerah matahari terbit. Tersimpullah pada akhirnya kejora semata wayang yang disimbolkan adalah penuntun satu-satunya kehidupan yaitu Tuhan.

Dari puisi-puisi yang ditulis dalam Gending Sunyi ini, saya mendapati adanya kedisiplinan Alvin dalam memilih dan memanfaatkan kata dalam puisi yang dituliskannya. Alvin hampir selalu memperhitungkan hal-hal sebagai berikut; kaitan kata tertentu dengan gagasan dasar yang akan diekspresikan atau dikomunikasikan, wujud kosakatanya, hubungan antarkata dalam membentuk susunan tertentu sebagai sarana retorik sehingga tercitra kiasan-kiasan yang terkait dengan gagasan, dan kemungkinan efeknya bagi pembaca.

Kata-kata demikian dipilih dan diperhitungkan secara cermat untuk membangkitkan suasana imajis. Pilihan kata-kata yang tepat dan cermat yang dilakukan Alvin dalam mengukuhkan pengalamannya dalam puisi, membuat kata-kata tersebut terkesan tidak hanya merekat dan menempel, tetapi dinamis dan bergerak serta memberikan kesan yang hidup. Diksi yang dia pilih tidak hanya sekadar menjadi tanda tertentu, tetapi sekaligus menjadi sebuah dunia puitik itu sendiri. Bagaimana Alvin terus konsiten membagun imaji dengan tidak mengabaikan bahasa kiasan, kosakata, bangunan citra, dan sarana retorika begitu tampak dalam puisi-puisinya.

Perhatikan puisi Hitam Itu Mungkin Aku berikut ini.

Hitam Itu Mungkin Aku

Rebah mimpi, lidah hilang kata. Doa patah satu-satu menimpa
gugusan minda di tebing hati yang batu. Benakku gagu, menerjemah wasiatmu pada detik yang putus asa memahat pualam.

Silam jalan dalam kembaraku memang belukar selindung duri, luka kuperam di balik runcingnya hingga terlupa serupa apa perih itu. Masihkah akan kautikam aku dengan duri yang sama?

Jika saga pada layung senja yang merah di dadamu adalah kulminasi bara membakar punggung ilalang, ke mana lagi embun di mata ini hendak kuranggaskan? Bukankah engkau tahu, telah kucintai senja sebagaimana aku merindukan malam-malam hening lindap cahaya.

Jingga di langit mana yang tak kulukis dengan namamu?
Biru di laut mana yang tak kukisahkan gemulai riaknya?
Hitam itu mungkinkah aku!

Lasusua, 18 Januari 2018

Secara keseluruhan puisi tersebut dihadirkan dalam bentuk naratif. Pada awal puisi, diungkapkan mimpi dan doa-doa kemudian bait berikutnya diungkapkan tentang kisah silam yang kini mengkristal menjadi kenangan. Melalui metafora dan asosiasi dalam perumapamaan-perumpamaan kefanaan alam yang daimati, dialami, dan dihayati oleh Alvin dalam baris-baris tersebut. Selanjutnya disusul dengan baris-baris yang mengungkapkan dimensi kewaktuan. Waktu selalu saja ditandakan dengan senja dan malam, seolah-olah waktu baginya adalah batas siang sehingga bertemulah kesunyian itu dalam senja dan malam-malam yang panjang, malam yang terasa lebih lama dari siang dalam cahaya jiwa bertemu dengan kesunyian Tuhan. Jika saga pada layung senja yang merah di dadamu adalah kulminasi bara membakar punggung ilalang, ke mana lagi embun di mata ini hendak kuranggaskan? Bukankah engkau tahu, telah kucintai senja sebagaimana aku merindukan malam-malam hening lindap cahaya. Selanjutnya disusul dalam larik-larik yang mengungkapkan dimensi ruang Jingga di langit mana yang tak kulukis dengan namamu? Biru di laut mana yang tak kukisahkan gemulai riaknya? Penggunaan kata ganti orang kedua adalah sebuah penunjukan arah siapa yang dituju dalam larik-larik puisi. Begitu dekatnya penyair dengan “kau” hingga si aku lirik mempertanyakan di siang dan malam kapan, di langit dan laut mana si aku lirik tidak menyebut dan mengisahkan “kau” dalam kehidupannya. Kemungkinan-kemungkinan ini muncul berbagai penafsiran bahwa si aku lirik sedang menunjuk seseorang yang selalu di hatinya, jiwanya sendiri, atau Tuhan yang telah begitu dekat menyatu dengan jiwanya. Skeptisisme hidup terus bergumul di dalam diri penyair hingga titik tanya terakhirnya sebuah tanya banyak dosakah dirinya Hitam itu mungkinkah aku! Entah mengapa penyair menggunakan tanda seru di larik terakhirnya dan bukan tanda tanya sebagai pertanyaan terhadap keragu-raguannya yang ditunjuk dengan kata mungkinkah di dalam lariknya. Ataukah penandaan tersebut sebagai seruan bahwa dia telah menemukan apa yang sesungguhnya dia cari yaitu sebuah kemungkinan bahwa dirinya penuh dosa dengan penggunaan kata hitam sebagai lambang kegelapan hidup.

Demikianlah pengalaman kefalsafahan sebagai lapisan jiwa yang tertinggi telah diungkapkan Alvin ke dalam puisi-puisinya yang terkumpul dalam Gending Sunyi. Pengalaman seperti ini hanya dapat dicapai apabila penyair telah secara khusus menyediakan waktu untuk itu melalui sembahyang, berdoa, atau merenungkan hakikat kehidupan secara intensif. Pengalaman ini terekspresikan pada puisi sehingga tampak dia telah mengedepankan persoalan hubungan manusia dengan Tuhan, renungan-renungan filosofis, mistik, dan hakikat hidup serta pengintroduksian doa. Efeknya adalah perenungan terhadap hakikat hidup, dunia, sampai hakikat ilahiah. Karena inilah puisi-puisinya menjadi sangat kontemplatif.

Selamat membaca buku ini, selamat kepada Alvin Shul Vatrick, jaya dan sentosa di dunia dan akhirat.

Lampung, 27 Februari 2018

Roja Murtadho adalah nama pena Yeni Sulistiyani, lahir pada tanggal 03 Desember di Lampung Timur, Lampung. Selain menulis puisi Roja juga menulis cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di beberapa media di antaranya adalah Dinamika News (Sastra Dinamika) dan Fokus Investigasi. Puisi puisinya juga tergabung dalam Antologi Puisi Penyair 66 Teras Puisi. Kini dalam kesehariannya Roja adalah seorang pendidik di SMP Negeri 1 Sekampung Udik. Roja juga aktif sebagai tutor di UPBJK Universitas Terbuka, Bandar Lampung Pokja Sekampung Udik dan Bandar Sribhawono.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.