Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Tafsir Puisi Mana Suka: Tak Ada Lagi yang Kau Punya

Tafsir Puisi Mana Suka: Tak Ada Lagi yang Kau Punya

oleh M. Faizi




Tak Ada Lagi yang Kau Punya (karya Zabidi Zay)


Barangkali engkau pohon yang teramat letih
Daun-daun di kepalamu telah rontok
Dan di senja sore tadi selembar daun terakhir
terlepas dari genggaman tangan ranting
Senja tak lagi menyimpan warna lembayung
Hanya putih dan hitam
Serupa kabut yang membungkus malam
Sementara tanah di tempatmu berpijak
Telah mengering dan retak
Tak ada lagi yang kau punya
Kecuali sebuah bangku kayu
Berwarna merah jingga
Di mana kau ingin sekali
Duduk dan bersandar di sana
: Sekali saja
2016
Puisi ini merupakan refleksi ketuaan. Penyair menggambarkan hidup seseorang itu tak ubahnya sebatang pohon yang semakin hari, rambutnya semakin rontok, seperti daun-daun. Tenaganya pun kian berkurang, juga hal lainnya.
#tafsirpuisimanasuka

"Tak Ada Lagi yang Kau Punya"

Barangkali engkau (itu seperti sebatang) pohon yang teramat letih (dalam menjalani hari-harimu. Kira-kira demikian gambaran penyair melihat seseorang yang telah tua usianya. Dia lantas membuat perumpamaan rambut dengan daun. Katanya,)

Daun-daun di kepalamu telah rontok (mengumpamakan rambut dengan daun karena memiliki unsur kedekatan dalam persamaannya, ikonik. Dalam teori penyerupaan, kedekatan referensi ini termasuk salah satu unsur penilaian)
Dan di senja sore tadi (menunjukkan bahwa waktu renungan si penyair, yakni ketika inspirasi menulisi puisi ini turun, terjadi pada malam hari) selembar daun terakhir 

terlepas dari genggaman tangan ranting (nyatanya, ungkapan "daun terakhir" ini bukanlah ungkapan sejati, melainkan konotatif. Artinya, barangkali daun yang dimaksud bukan daun yang benar-benar terakhir, melainkan daun-daun yang tersisa. Penyair menggunakan frase ini untuk "penyangatan" saja sebagaimana lazim ditemukan di dalam puisi. Jika gaya asosiasi disebut insanan karena penggunaan istilah manusia untuk benda-benda, yang ini sebaliknya)

Senja tak lagi menyimpan warna lembayung (seperti suasana alam di waktu normal)
Hanya putih dan hitam (seolah-olah, panorama yang semestinya semakin indah di waktu senja, di mata seorang tua, terlebih pengidap rabun senja, suasana tak ubahnya monokrom: hitam dan putih saja. Suasana itu dibandingkan secara terbalik oleh penyair dengan kondisi malam hari, yaitu)
Serupa kabut yang membungkus malam
(Suasana kesedihan ini diperkuat oleh gambaran berikutnya) Sementara tanah di tempatmu berpijak
Telah mengering dan retak (tanah kering dan retak adalah gambaran ketandusan bagi tumbuhan. Jika yang 'tumbuh' adalah manusia, maka ia adalah gambaran lingkungan yang sudah tidak lagi menopang hidupnya dalam banyak hal)

Tak ada lagi yang kau punya (mengulang judul untuk mengingatkan sekaligus menguatkan kesan kesedihan yang dalam, tentang betapa murungnya ihwal ketidakpunyaan dan ketidakberdayaan itu)
Kecuali sebuah bangku kayu
Berwarna merah jingga (bangku kayu mengindikasikan redezvous dan pertamanan, nostalgia, romantisme ala Romantisisme. Adapun warna jingga adalah perlambang kematangan yang biasanya juga berpadu dengan serat pada kayu, yakni setelah tua secara usia. Ungkapan ini bermakna ketidakmungkinan setelah dipadukan dengan baris penutup)
Di mana kau ingin sekali
Duduk dan bersandar di sana
: Sekali saja (artinya, tempat duduk itu juga berasal dari sejenismu, berasal dari 'diri'-mu, berasal dari kayu. Ia adalah hasil karya, tapi sayang tidak bisa kamu rasakan dan nikmati, bahkan meskipun satu kali saja. Secara umum,, hal ini merupakan kiasan ironis, seperti seorang penemu yang hasil penemuannya dipalsukan dan dia tidak mendapatkan apa pun, atau seorang ayah bagi anak yang di masa tuanya tak pernah merasakan sujud baktinya, atau gambaran umum orang-orang tua yang didera kesepian dan ketakbedayaan).

Wallahu a'lam

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.