Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Sajak-Sajak Pemenang dan Nominasi Anugerah Sastra Litera 2018

Sajak-Sajak Pemenang dan Nominasi Anugerah Sastra Litera 2018



Kawaca - Portal sastra litera.co.id  yang dipimpin oleh Ahmadun Yosi Herfanda rutin memberikan penghargaan setiap tahunnya untuk puisi dan cerpen yang dimuat. Tahun 2018  litera.co.id (2018/06/03/) kembali merilis nominasi Anugerah Sastra Litera 2018 sebagai berikut:


PARA NOMINE ANUGERAH LITERA 2018

PUISI:
      
  1. Alex R. Nainggolan (Longitude, Lattitude)
  2. Armen S. Doang (Palung Ingatan)
  3. Eddy Pranata PNP (Mematangkan Gemericik Usia)
  4. Eddy Pranata PNP (Menghilirkan Sesayat Sunyi)
  5. Fitriawan Nur Indrianto (Hamburg yang Kau Kirim Kepadaku)
  6. Fitriawan Nur Indrianto (Bawalah Aku Pulang ke Minangkabau)
  7. Iman Sembada (Ruang Belakang)
  8. Irma Agryanti (Dalam Kobaran Api)
  9. Irma Agryanti (Sebelum Malam ke Empat Puluh Empat)
  10. Kim Al Ghozali AM (Rimba)
  11. Kim Al Ghozali AM (Angin Pertama)
  12. Raedu Basha (Jalan Lora)
  13. Setia Naka Andrian (Kampung Kita)
  14. Setia Naka Andrian (Kalang dan Kehidupan Kecil)
  15. Surya Gemilang (Mobil Tua yang Resah)
  16. Tjahjono Widarmanto (Berdiri di Kelokan)
  17. Wahyu Gandi G (Arung Pancana Toa)
  18. Willy Ana (Jejak Bocah Rakhine)
  19. Willy Ana (Petuah Kampung)
  20. Zabidi Zay (Tak Ada Lagi yang Kau Punya)


Selanjutnya litera.co.id (2018/07/28) mengumumkan pemenangnya sebagai berikut:

Puisi Terbaik:
Petuah Kampung karya Willy Ana

Puisi Unggulan:
Kampung Kita karya Setia Naka Andrian
Ruang Belakang karya Iman Sembada
Mobil Tua yang Resah karya Surya Gemilang.

Berikut puisi lengkap pemenang dan nominasi puisi Anugerah Sastra Litera 2018 yang dikutip dari litera.co.id dan ditetapkan oleh dewan juri: Mustafa Ismail, Iwan Kurniawan, dan Mahrus Prihany

Alex R. Nainggolan
Longitude, Lattitude

mestinya selalu kuhampiri dirimu, setiap senja. tapi alamat dirimu, selalu gagal untuk diberikan tanda. maka aku tentukan kordinat derajat, mencarimu. supaya kenangan tidak menjelma jadi banjir bandang yang besar. supaya masih ada catatan dari percakapan kita, meskipun hujan turun sepanjang hari dan cahaya kota semakin kecil.

mendadak alamat dirimu yang jauh terganti dalam sejumlah angka, yang mesti ditafsirkan oleh mesin pencarian dari data jaringan. ah, apakah betul engkau di sana? bersusah payah menulis puisi dan menyibak masa kanak yang tak pernah tanak di dalam otak. lalu aku akan berselancar lagi, menempukan setiap serpih, berupaya untuk menyingkirkan segala pedih.

bagaimana jika aku yang akan tandang? lalu kita bertahan di suatu tempat sekadar menyimpan semua luka, menikmati bising kota dan cuaca yang sekejap berubah jadi cemeti. berupa duri di tenggorokanmu.

2016

Armen S. Doang
Palung Ingatan

selalu ada yang datang dan hilang
yang singgah adalah ingatan
menjelma almanak tergantung di dinding ruang
menyerupai hari yang kucari di penghujung bulan,
dalam tanggal tanggal waktu bertalu
mengikuti irama ketukan palu
mengantarkan pada sebidang tanah lapang
di palung kenang paling dalam
kujumpai sejuta keriangan melompat serta berlari
mereka bertemu senyum di bawah kibar kebebasan
hingga petang naik ke ranjang
ibu memanggil pulang dengan kecupan
sebagai isyarat menutup halaman
semua lenyap dalam pikiran
aku kembali pulang setelah
meneguk rasa asam peradaban
dalam gelas zaman yang berkeringat
bekas hujan yang hilang semalam
Bekasi, 5 Mei 2016

Eddy Pranata PNP
Mematangkan Gemericik Usia

Bila suatu saat engkau pergi jauh ke pelosok desa
Dan melihat seorang lelaki bertelanjang dada
Tengah memecah batu di Sungai Cirebah
Lupakanlah. Anggap saja engkau tidak pernah melihat
Seorang pemecah batu itu
Lalu segeralah engkau pergi ke kota yang di sisi selatannya
adalah Laut yang menghampar
Di pantai yang senyap dengan karang-karangnya
yang serupa geraham
Akan kautemui seorang lelaki pemintal ombak
Temuilah. Dari legam kulit tubuhnya akan berlombatan
kata-kata serupa Puisi
Engkau boleh saja memungut kata-kata itu bila suka
Atau bila engkau justru muak karenanya
Segeralah menjauh. Menjauh saja

Atau biarkan aku jadi pemecah batu
Sepanjang sungai di kampungku. Sepanjang hidupku
Sendiri. Telah kubangun rumah kecil di pinggir sungai
Rumah kayu dengan atap rumbia
Tanpa dinding dan tanpa pagar
Aku biarkan angin menembus dari segala arah
Siapa pun boleh bertandang kapan saja
Tapi jangan sekali-kali kaubawakan aku bunga
Aku lebih suka bila kauberi sepotong senja
Sepotong senja yang jatuh dari langit gerimis
Atau biarkan aku sendiri selamanya
Menjauhi hiruk-pikuk kotamu
Debur ombak lautmu
Biarkan aku jadi pemecah batu. Sendiri
Mematangkan gemericik usia
Sepanjang sungai di kampungku.

Jaspinka, 27 April 2017

Eddy Pranata PNP
Menghilirkan Sesayat Sunyi

Dari pinggir kali Cirebah: kudengar suara tupai
bercericit, berdencir-dencir diterpa suara balam
ngganter-ngganter lalu suara air yang sesekali
berkecipak di bawah rumpun bambu

Dingin pagi serupa pintu yang tidak terkunci
pada ruang berpendar kilau cahaya

Aku memasukinya dengan penuh debar
: “dan matamu, menyimpan seribu duka!”

Matahari naik perlahan
engkau telah entah di mana, murca ditelan langit
Apakah telah menjadi cahaya, atau mungkin
menjadi batu kenangan yang memecah
di ketinggian langit
Dadaku berguncang, berdesau-desir
Aku pun menghilirkan sesayat hatiku di atas alir kali!

Jaspinka, 05 April 2017

Fitriawan Nur Indrianto
Hamburg yang Kau Kirim Kepadaku
      Ramayda Akmal

Hamburg yang kau kirim kepadaku
mungkinkah menjelma kampung halaman
salju putih dan daun daun pada menggigil
rumah rumah kecil berjajar rapi
dan orang orang sibuk membenarkan dasi
Di kotamu, kereta berjalan lebih cepat dari mulut yang kita buka
sebab di sana, orang orang lebih memilih diam
dalam keheningan masing masing

Hamburg yang kau kirim kepadaku
mungkinkah menjadi rumah untuk kembali
menjaga agar salam dan senyum sembunyi di ruang privasi
masih bisakah menulis puisi dan melukis pagi
sementara barangkali kita agar bergerak sepanjang hari
mengikuti kemana arah tergelincirnya matahari

Hamburg yang kau kirim kepadaku
mungkinkah menjadi alamat yang tepat untuk dituju
sementara di sini, di Jogja
puisi mengalir deras dan makna hidup begitu dalam
sedalam sungai Elbe dan Alster yang selalu kita bicarakan

Februari 2016

Fitriawan Nur Indrianto
Bawalah Aku Pulang ke Minangkabau
        Adek Risma Dedees

Bawalah aku pulang ke Minangkabau
menyusur jejak rumah para penyair
mendengar kisah dalam tambo
legenda asal muasal
bawalah aku pulang ke negeri Minang
menyandarkan tubuh pada tiang rumah Gadang
merebahkan harap pada hamparan sajadah
di surau surau tempat para syech sufi
berkhalwat dan bertemu para nabi
bawalah aku pulang ke tanah Minang
menyicip rasa daging rendang dan kuah santan
menyapa ibu dan mamakmu
sambil sesekali bicara menyoal masa depan
sebab sesunggunya aku hanya ingin
bersandar pada bahumu

Pada pertemuanku denganmu di tanah Jawa
mengalir sungai kampar di dalam matamu
membawaku jauh menelusup ke dalam
keheningan jiwa dimana aku
akan melayarkan masa depan
bawalah aku pulang ke Minangkabau
selayaknya puisi puisi yang di tulis para penyair
menyapa kembali bumi, manusia, dan cerita
yang teduh dalam keharuan rindu
seperti burung murai
yang ingin berjingkrak dari dahan ke dahan
mengepakkan sayap kebebasan
terbang menelusup jauh dalam hidupmu-hidupku

Januari 2017

Iman Sembada
Ruang Belakang

Pernah kita berseberangan pandang
Menghayati masing-masing bayang

Angin meluruhkan bunga kamboja
Usia terhimpun di sudut senja

Mungkin cuma kenang
Melekap di ruang belakang

Selebihnya, kita sembunyikan cerita
Dari telinga dan mata para tetangga

Pernah kita kehilangan percakapan yang wangi
Seperti bumi yang tak disentuh cahaya matahari

Ketika pintu dan jendela menutup diri
Dingin menyelinap di sela jemari

Segala sesal tiada arti lagi
Segala suara kembali ke sunyi

Depok, November 2016


Irma Agryanti
Dalam Kobaran Api

ia berjalan
di bawah atap yang seperti kertas
ia memerah
seperti tiang kayu yang terbakar

menjatuhkan helai rambut
menyerupai yang tak bisa lagi kuingat

dalam kobaran api
suara pekik datang dari arah tak terduga

pada tiap pecahan kaca
memisahkan harapan dari ketiadaan

bintik-bintik hitam menyerbu
dunia bagaikan abu

berlepasan

di tengah kepulan asap

2017

Irma Agryanti
Sebelum Malam ke Empat Puluh Empat

sebelum menggenapi
malam ke empat puluh empat
seseorang berkata

segalanya telah diturunkan kepada musa
ia menjadikan apa yang dijanjikan
agar para penzalim mengamini

si pembaca kitab yang gemetar
mengabarkan, laut terbelah
maut kian dekat

tapi dalam ketakutan
tak ada yang bisa dicecap
melainkan madu bagi dahaga

ia bayangkan selekeh yang kental
bagai darah dari tiap anak lelaki yang disembelih
dan putra ramses yang ditenggelamkan kedalamnya

2017

Kim Al Ghozali AM
Rimba

menyusuri hutan, memasuki hal hal
di luar rumusan
roh pepohonan bergentayangan
dan harum bunga menyeret langkah
ke arah yang salah
keganjilan pun bermula dari rimbun
dedaunan. juga pesta pora tak terbaca
telanjang mata

pohon pohon tua beratus tahun bertapa
kepalanya menyundul langit jingga
beratus tahun pula mengeja laju kala

mula mula kesunyian
tumbuh pepohonan jadi hutan
mengalir kali di dalamnya
tempat bulan membasuh muka
dan bercengkrama dengan malam

mula mula kesunyian
dan tuhan sebaik baik penanam
menjaga dan merawatnya
sebagai ruang firman diturunkan

hutan, cawan sunyi
tempat manusia pertama diletakkan
kuala gelap bagi senja sembunyi
dari cahayanya
angin takzim dan santun menerobos
celah barisan pepohonan
waktu pun mengental
pada ubi ubian yang menjalar

sampai ke arsy-nya paling rahasia


Kim Al Ghozali AM
Angin Pertama

yang mendahului musim ialah angin
berkejaran di dalam dan di luar dingin
menyapu segala yang ringan
—tapi tidak bagi kenangan—
menyentuh jemarimu yang dulu nakal
meraba leher dan bagian bagian tubuhku

melingkar, membelai, mengusap kau
mematung dalam hijau badai

ia datang padamu, melintasi sulur sulur
rahasia dan bendungan langit jingga
menabur aroma yang kau kenal
mengecup keningmu
mencium seluruh rambutmu
dan kau memejamkan mata, menikmati
sejuk jaketnya yang diselimutkan
ke telanjang tubuhmu

leli yang cantik! leli yang cantik!
mata dengan kedipan menarik

yang nakal tiba kepadamu
lewat celah pintu, lewat jendela tak berkaca
lewat kenangan kita di hijau perbukitan


Raedu Basha
Jalan Lora

telah kutapaki jalan
yang tak kau tunjukkan

jalan terlarang dalam pesan-pesan
sakit masa silam

dan kutanggung rintih sepanjang derap
sebab kau pergi sebelum aku benar-benar siap

untuk berangkat
mengiringi kesunyianmu

namun lafal-lafal di dadaku
senantiasa tancap

kueja terus di setiap
udara kuhirup
sebagai jawab

bagi isyarat tanya
yang degab
dalam degup

bait-bait alfiah
firman-sabda singkat

memagari ruh
dan nur lubang-lubang tubuh

bagaikan rajah-rajah
bertintakan sepertigamalam

menulis jimat langit subuh
menjelma syair yang mendesirkan aortaku

namun aku
belum bisa menyiapkan kertas baru

bagi lafal-lafal, menjamu santri dan tamu
sebasah kalbu menulis petuah

tentang pahala dan loba, sebab aku
masih betah bermain di jalan ini

jalan yang sama sekali
tak pernah terbayangkan

Lora: musik, celana, kopi, puisi,
dan menikahi gadis perantauan.

Ganding Pustaka, 2016


Setia Naka Andrian
Kampung Kita

I
Kita yang belum tunai, sejak lahir,
Bahkan sebelum udara dihembuskan
dari ubun-ubun ini

Di kampung Wanglu Krajan,
kita pejamkan telinga
Suara orang-orang berlalu-lalang
terbang tanpa kendara
Mereka memenggal tangan-tangannya
Lalu mengubur potongan-potongannya
di setiap penjuru mata angin
dan mata batin

Kita lah takdir itu
Dari mesin penanak besi
Kita lah diri paling sepi
Dari penyesalan yang tak kunjung berhenti

II
Di kampung, kita pejamkan dada
Dari ribuan degup
yang kerap dihujani mantra-mantra
Dari setiap kuburan dan sejarah orang-orang
Kita banyak menyesali ragam aroma bepergian

Di kampung, kita doakan sanak-saudara
Kita bertanya, siapa garis bapak kita
Seperti apa wujud kita jika urung dilahirkan

Di kampung, kita rayakan kematian
Ibu kita tak berdaya mendahsyatkan doa
Sejak ia ditikam
dan urung dihuni bapak yang sementara

Di kampung, kita lupakan dalam-dalam
diri kita ini yang setiap pagi ditulis dari suara gigi
Betapa gemeretak nyali,
diawali dengan kesungguhan
siapa yang lebih pantas memilih
Kita laki-laki atau kita perempuan
yang lebih dulu menarik panjang tubuh-tubuh luka

III
Di kampung, kita begitu lupa
Mengimani diri dalam sejarah derita
Sebelum semua membalik kegetirannya
Sebelum kedatangan agama-agama,
Sebelum Samawi dan segalanya mewabah tiba-tiba
Sebelum keyakinan dibentangkan di ujung telunjuk kita

Lihatlah, setiap pagi, arahnya kerap berkelahi
mereka ingin sesekali menjumpai
kegagalan yang luput direncanakan
sebab, kita lah yang dipegang kendali-kendalinya

Kita lihat, di kampung Wanglu Krajan
Perempuan dipasrahi memimpin upacara
Obong mitungdina menyembur ke langit,
Burung-burung seakan lepas
Mengendarai angin saban musim
Mereka lepas upacara mendhak,
Upacara ewuh bertebaran pula
Jalan-jalan penuh
Kemuliaan yang lupa dikubur-kubur
Kita saksikan di kampung kita
Roda berputar cepat, dengan sendirinya,
Tiada lagi kendali kita

Kendal, Agustus 2016

Setia Naka Andrian
Kalang dan Kehidupan Kecil

Kalang, aku kini kehidupan kecilmu
Didirikan dari tenda pengasingan
Dari doa yang dibayang-bayang

Lalu apa jadinya masa depan
yang kerap dilupakan di hari-hari kelahiran
Itukah tubuh, yang dihuni banyak senapan
Dialirinya seribu nyawa
Diunggah dalam belantara
yang tak lagi kasat mata

Dalam setiap kicauan-kicauannya
Apalah kehidupanmu
Sekecil aku
Sisa dari jutaan waktu
Yang direkam dengan sangat keliru
Yang ditinggalkan dengan begitu terburu

Kalang, bukankah aku kehidupan kecilmu
Yang melarikan diri
Melupakan banyak hari-hari besarmu

Kendal, Agustus 2016

Surya Gemilang
Mobil Tua yang Resah

di samping mobil tua yang resah:
anjing berjongkok,
katak berjongkok,
lelaki berjongkok (dan membakar
rokok)

di dalam mobil tua yang resah:
sejarah dan ingatan
bertengkar hebat—membikin riuh
di antara gedung-gedung
yang sedang dibangun dan tak akan
jadi

di kediaman pemilik mobil tua yang resah:
“tidak. kita bukan rahasia
yang sia-sia. sebab,
tersisalah cuma musim yang
amnesia.”

(Denpasar, 2016)


Tjahjono Widarmanto
Berdiri di Kelokan

inikah batas itu?
mengizinkan aku kembali pulang
bergegas sebelum petang bertukar kamar dengan siang

inikah batas itu, tempat
aku harus berpaling menoleh pulang

saku bajuku penuh dijejali teka-teki asing
sungai-sungai berubah warna
stasiun-stasiun jadi lorong lonjong
segala syair berterbangan
seperti kepak elang hilang sarang
asin garam bertukar rasa dengan asam cuka
: hambar seperti senyum sendiri.

inikah batas jalan pulang
segala kenang tinggal lengang
menatap harap yang lepas: sia-sia.

di jalan pulang resah berputar-putar
seperti pusing guruh melingkar-lingkar

bolehkah aku kembali!

(Ngawi, Tanah Ketanggi)

Wahyu Gandi G
Arung Pancana Toa
setelah pamit kepada Colliq Pujie

aku berjalan tanpa bayang
dan masih menyandang gelar matinroe ri tucae
setelah kematian lebih dulu luruh
menemani anumerta yang sempat
disemati orang-orang Tanete
bersama La Rumpang menemu ritus khayali
penumpas segala jenis penindasan.

kau menunggangi lontaraq untuk kembali
menemui La Makkawaru yang tak pernah sempat
diangkat menjadi Datu di tanah Tanete
“kau terlalu buruk ketimbang perempuan.” katamu
bersama I Gading kau semakin hilang atas kendali dewata
apalagi setelah ambo’ mu menggali makamnya.

–dan perempuan di generasimu adalah tiang penyangga
bagi kekuatan-kekuatan buta atas restu penghianatan

dan pada akhirnya sebelum pengasingan itu
setelah kematian La Tanampareq To Apatorang Arung Ujung
para keluarga mencium aroma penghianatan
dan pada akhirnya kau dibawa ke Jumpandang
sembari mencipta lontaraq tanete dan elong
dua puluh tahun membantu mereka menyalin
jauh setelah Galigo lahir diingatan-ingatan kami.

2017

Willy Ana
Jejak Bocah Rakhine

Bocah-bocah itu memandang surga dalam tidurnya
Matahari membiru seakan berduka pada bumi yang memerah

Tanah itu bungkam, daun-daun berguguran menjadi gundukan makam,
awan hitam pun terus menyelimuti hingga semakin kelam

Perempuan-perempuan itu tak lagi bisa bersendawa,
ketika perut mereka kenyang terisi gelak tawa
tatkala jari-jari mungil itu menyusup di puting payudara

Rakhine, nasib apa yang membawa raut wajah nisan pada bumi ini
hingga moncong senampan, bedil, menjadi  pengkerat nyali

Wajah-wajah lusuh itu menyisir malam  yang beku,
memeluk batu dan memikul gunung  dengan gagu

Lembah terjal, sungai, dan tebing mengurai jejak
bersama kaki-kaki telanjang tanpa arah
Mengadu pada takdir yang terselip di jagad entah

Depok, 14 September 2017

  
Willy Ana
Petuah Kampung

Pulanglah nak, kepada tanah, rimbun hutan,
dan kicau burung yang memberi melodi di kabut pagi

Meski detak arloji menghapus bayang
pada cerita yang kau gerus di ladang itu

Tapi napasmu masih melekat di kerumunan ikan mungkus
pada sungai yang tandus

Tak kan tanak periuk menggantung pada lipatan hari
tanpa kau siram dengan peluh yang mengupas waktumu

Pulanglah nak, pada rejung yang mengurai bait-bait
pada lembar hari

hingga sungai di sudut matamu seperti rawang di lubuk betung

Mungkin bola salju itu telah menjadi bara,
membakar sketsa pada diary tahun yang kau cipta

Pulanglah nak, menarilah bersama meriam bambu di gubuk itu,
pipit-pipit menanti tembangmu

Depok, 8 Juni 2017

Mungkus: ikan khas sumatera selatan yang tidak di temukan di daerah lain
Priuk: panci tempat menanak nasi

Zabidi Zay
Tak Ada Lagi yang Kau Punya

Barangkali engkau pohon yang teramat letih
Daun-daun di kepalamu telah rontok
Dan di senja sore tadi selembar daun terakhir
terlepas dari genggaman tangan ranting

Senja tak lagi menyimpan warna lembayung
Hanya putih dan hitam
Serupa kabut yang membungkus malam
Sementara tanah di tempatmu berpijak
Telah mengering dan retak

Tak ada lagi yang kau punya
Kecuali sebuah bangku kayu
Berwarna merah jingga
Di mana kau ingin sekali
Duduk dan bersandar di sana
: Sekali saja

2016

Penghargaan diserahkan pada Malam Anugerah Sastera Litera 2018, baik kategori Puisi maupun Cerpen di Resto Kampung Anggrek, Jalan Raya Victor, Buaran, Serpong, Tangerang Selatan, Jumat, 27 Juli 2018.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.