Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Jalur Solidaritas Sosialisme: Kuba – Vietnam – Birma – China – Swedia (Syarkawi Manap)

Jalur Solidaritas Sosialisme: Kuba – Vietnam – Birma – China – Swedia (Syarkawi Manap)


oleh Sigit Susanto

Pulau Sumatera

Pulau Sumatera yang amat kucinta,
Tanah kami
Tempat kami diam, siang serta malam
Satu bahagian Indonesia

Pulau Sumatera pulau tempat saya
Di lahirkan
Tempat tumpah darah, tempat ibu ayah
Engkau tiada pernah kulupakan
0o0

Paket itu datang dengan prangko ekspres dari Swedia. Segera aku buka dan langsung aku baca.

Aku tak mengenal Syarkawi Manap yang bereksil di Swedia. Namun beberapa teman eksil yang disebut di buku ini pernah kubaca karyanya dan bertukar informasi di media internet. Mereka antara lain Sobron Aidit, Umar Said, Kohar Ibrahim, bahkan dengan JJ Kusni sudah pernah bertemu dua kali di Restoran Indonesia di Paris.

Usep Hamzah, teman asal Cianjur yang berdomisili di Swiss ini yang mengenalkanku dengan Syarkawi. Ia bilang, Syarkawi membaca bukuku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 3 dan mencari jilid 1 yang ada kisah Kuba, mengingat ia dikirim Soekarno untuk belajar di Kuba. Lewat WA akhirnya aku bertukar kabar dan sekaligus barter buku. Aku kirim ke dia 2 buku, Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 1 (Fotokopian, karena tak punya aslinya) dan Kesetrum Cinta. Aku mendapat kiriman Kisah Perjalanan terbitan Ultimus tahun 2009.
Biasanya kalau aku ke Bandung, selalu tidur di Ultimus. Bilven sering memberi buku aku terbitan terbaru, seperti Das Kapital 3 jilid juga beberapa buku terjemahan pengarang Rusia. Tapi buku ini belum dikasih Bilven.

Bertemu Mister Samsir
Aku terhibur juga karena pengantar buku ini Samsir Mohamad. Aku mengenal lelaki gaek ini beberapa tahun dan biasanya terlibat diskusi sampai pagi di ruangan pengap Ultimus. Ia suka merokok dan minum kopi. Samsir ini berpikiran maju dan suka berdiskusi dengan anak-anak muda. Ia tidak mau dipanggil Pak Samsir atau Mbah Samsir. Panggilan tersebut dianggap feodal. Maka dengan berkelakar aku sering panggil Mister Samsir dan ia tak menolak.

Pada April 2008 aku membedah bukuku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia Jilid 2 di Ultimus bersama Anwar Holid dan Puthut EA. Puthut EA hendak mewawancari Mister Samsir, tapi lupa karena terlibat debat seru. Bilven membisiki aku, kalau Samsir itu orang bekas anggota Konstituante dan pernah bertemu Mao Tze Tung di China.

Ultimus berjasa sekali menyediakan tempat tidur dan diskusi untuk Mister Samsir. Karya puisinya pun juga diterbitkan Ultimus. Pertemuanku terakhir dengan Mister ini pada subuh gelap, April 2008, ketika aku pamit meninggalkan Ultimus menuju stasiun kereta api. Ia keluar dari kamar tidur gelap dekat WC dan salling mendekap ibarat kakek dan cucu.
Pengantar Mister Samsir di buku ini agak kurang tepat. Ini kisah orang klayaban yang terhalang pulang dengan setting cerita dominan di luar negeri. Barangkali jika buku ini dikasih pengantar Pak Ibrahim Isa atau JJ Kusni, sebagai pelaku sendiri, mungkin akan lebih punya ruh.

Kisah pilu sebagai orang klayaban di negeri orang ini sudah sering aku baca di internet pada tulisan Sobron Aidit bertajuk Serba-Serbi secara bersambung. Kebetulan dulu kami satu komunitas di mailing list sastra. Lebih lengkap lagi aku baca buku terbaru berjudul Tanah Air yang Hilang karangan Martin Aleida. Kisah para eksil PKI di berbagai negara di Eropa.
Untuk itu aku tak akan membahas lagi tragedi 65 beserta liku-liku perseteruan politik. Kekejaman Orde Baru dan perpecahan di tubuh PKI. Aku lebih tertarik melacak jejak Syarkawi selama di Havana, Hanoi dan Stockholm. Mengingat aku pernah mengunjungi ke 3 kota itu, tentu hanya sebagai pelancong.

Dua Tahun di Kuba
Syarkawi meninggalkan tanah air menuju Kuba dengan satu tujuan, belajar. Pada 5 Mei 1965 ia naik pesawat Rusia Aeroflot dari Halim Perdana Kusuma, lewat Kolombo (Sri Lanka), Karachi (Pakistan), Moskow (Rusia), Praha (Cheko), Shanon (Inggris), Gender (Kanada), Havana (Kuba). Dalam setiap perhentian di bandara itu, Syarkawi selalu ditemui perwakilan dari Indonesia. Perjalanan dari Jakarta ke Havana ditempuh selama 2 hari, tepatnya pada 7 Mei 1965 ia tiba di negeri Paman Castro itu.

Ia dari Jakarta tidak sendirian, tetapi ada 4 teman lain, seluruhnya berlima. Ketika mereka tiba di Havana, langsung menginap di Hotel Habana Libre. Namun ketika Bung Karno berkunjung ke Kuba menginap di hotel nasional.

Di sekolah mereka satu kelas dengan pemuda lain dari Mongolia, Korea, China, Bulgaria, dan Aljazair. Seluruhnya ada 10 mahasiswa. Sebagai modal pertama mereka diwajibkan belajar bahasa Spanyol, sebelum belajar ilmu lain.

Baru dua bulan di Kuba, mereka harus periksa gigi, itu kewajiban setiap setahun sekali, baik sakit gigi atau tidak.

Pada sebuah ruang tanpa lampu, dubes A.M Hanafi membocorkan kepada 5 mahasiswa adanya tragedi 30 September 1965 di tanah air.  Sementara pihak staf KBRI belum ada yang tahu. Sedianya mereka akan belajar selama 5 tahun, praktis baru 5 bulan sudah buram jalan ke depan.

Apa yang diceritakan A.M Hanafi kemudian menjadi kenyataan. Insting A.M Hanafi cemerlang, ia mulai dengan menurunkan sendiri gambar besar Bung Karno di kantor KBRI. Pertimbangannya, akan lebih sakit hati, jika yang menurunkan gambar Bung Karno dari pihak lawan yang sudah pro Soeharto.

Satu kalimat A.M Hanafi kepada Syarkawi dan teman-teman seperti sebuah sabda sakti, “Keadaan kita seperti ini akan berlangsung lama.“

Mereka awalnya tak begitu paham dengan kalimat dubes A.M Hanafi. Belakangan mereka sadari bahwa mereka akan menjadi manusia stateless yang kehilangan tanah air tercinta. Otomatis mereka akan tinggal di negeri orang pada waktu yang tak tentu.
Dengan begitu berantakanlah rencana anak-anak muda Indonesia untuk belajar di Kuba. Sebab PKI sudah dinyatakan sebagai partai dilarang di Indonesia. Bung Karno perlahan lengser dan Soeharto tampil sebagai Yang Maha Penguasa Baru.

Dubes A.M Hanafi di Kuba mulai lengser dan digantikan pejabat KBRI pro penguasa baru. Lalu ke mana Syarkawi dan teman-teman hendak berlabuh? Ternyata solidaritas antarnegara komunis sangat tinggi. Meskipun PKI sudah ambruk di dalam negeri, namun utusan-utusan anak muda PKI yang sudah berada di luar negeri untuk belajar, mereka dibantu.

Pada buku ini disebutkan, bahwa Soebandrio membeberkan 4 tahap strategi Soeharto. Pertama, menghabisi saingan-saingan utamanya dalam tentara. Kedua, membubarkan dan melarang PKI serta ajaran-ajarannya. Ketiga, menangkapi para menteri pendukung Bung Karno. Keempat, menyingkirkan Bung Karno sepenuhnya dari kekuasaan negara.
Terpetik berita ketua PKI Aidit dibunuh di Boyolali, reaksi Mao Tze-Tung dengan menuliskan sajak yang diterjemahkan oleh Kohar Ibrahim.

Belasungkawa untuk Aidit
Di jendela dingin berdiri reranting jarang
beraneka bunga di depan semarak riang
apa hendak dikata kegembiraan tiada berlangsung lama
di musim semi malah jatuh berguguran
Kesedihan tiada bandingan
mengapa gerangan diri mencari kerisauan
Bunga telah berguguran di musim semi nanti
pasti mekar kembali
simpan harum wanginya sampai di tahun mendatang
0o0

Sebelum Syarkawi dan teman-teman meninggalkan Kuba, mereka dikirim untuk berlibur ke pantai Varadero. Sebuah pantai pasir putih yang agak terisolasi seperti area pantai Nusa Dua di Bali.

Pada akhir Oktober 1966 Syarkawi meninggalkan Kuba. Di Bandara Jose Marti mantan dubes A.M Hanafi sempat mengantarkan sambil membelikan tas untuk menaruh buku-buku pelajaran Syarkawi dan teman lain. Mengingat buku-buku itu hanya dipegang di tangan.
Syarkawi tak lupa mengirim surat singkat kepada keluarganya di kampung halamannya di Sumatra. Celakanya surat yang tak sampai 3 kalimat itu menjadi petaka keluarganya. Pihak keluarga menjadi berurusan dengan kodim dan harus melaporkan secara berkala sampai lama.

Yang membuat Syarkawi jengkel, karena yang melapor ke kodim itu temannya sendiri yang menjadi tentara. Sebab itu ketika Syarkawi berkesempatan mudik setelah tiga puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1995, ia berhasrat menemui teman lamanya itu. Tapi keluarganya melarang, karena temannya itu juga sudah sakit-sakitan.
Syarkawi dengan teman-temannya meninggalkan Kuba menuju Vietnam, atas undangan pemerintah Vietnam guna belajar kemiliteran. Adapun rute perjalanannya persis seperti saat berangkat, yakni berhenti di beberapa negara dan bertemu para aktivis PKI yang bernasib sama.

Akan tetapi jumlah orang yang sedianya cuma 5, sesampai di Moskow ditambah 4 lagi dan kelak tambah 1 lagi di China, jadi total 10 orang.

Kuba 36 Tahun Kemudian
Syarkawi berada di Kuba selama 2 tahun dan aku bersama istri berada di Kuba selama 2 Minggu. Itupun ia sebagai seorang pelajar yang dikirim pemerintah Soekarno, sedang aku hanya sebagai pelancong.

Secara waktu, tentu juga sangat berbeda. Ia datang di saat Kuba masih berjaya tahun 1965, sedang aku datang tahun 2001 Kuba sudah mulai bangkrut ekonominya. Akibat embargo Amerika selama 40 tahun lamanya, nyaris kebutuhan makan rakyat Kuba dirasionalisasi. Di super mercato gang-gang sempit di Havana yang aku datangi, warga hanya boleh membeli roti beberapa gram saja, agar warga lain punya kesempatan.

Meski waktu yang jauh berbeda, namun aura sosialisme tetap masih membara. Ada tiga tempat yang sama-sama Syarkawi dan aku datangi.

Pertama, Havana Old Town dengan gedung-gedung kolonialis dan mobil-mobil tua.
Kedua, pantai Babi, sebuah pantai bersejarah, tempat serdadu Amerika diringkus saat mendarat. Cemerlangnya Castro, tahanan Amerika itu dibarter dengan obat-obatan untuk menambah logistik kesehatan Kuba.

Ketiga, pantai Varadero. Zaman pascarevolusi Kuba memang pelancong dari sesama negeri komunis datang ke Kuba. Di Kuba saat itu sedang gencar promosi wisata sosial, yakni mengunjungi tempat-tempat berbasis sosial. Tetapi saat aku datang dan tinggal selama seminggu di pantai Varadero sudah menjadi kompleks kaum borjuis. Makanan di hotel bintang diimport, sebaliknya infrastruktur Kuba diembargo oleh Amerika. Sebuah dunia paradoks.

Saat aku berada di Kuba, Raul Castro belum gantikan Castro. Sayang waktu aku ke Kuba belum banyak informasi tentang keberadaan Syarkawi dan teman-temannya. Tapi aku sudah mengira, bahwa pasti ada kegiatan solidaritas antara PKI atau pemerintah Soekarno dengan Castro di Kuba. Apalagi Che Guevara pernah bertandang ke Indonesia bertemu Soekarno dan mengunjungi candi Borobudur.

Kuba bagiku sebagai negara kecil yang punya pengaruh besar di dunia. Sebagai orang yang tinggal di Swiss, aku merasakan pemberitaan Kuba tentang keteguhannya memegang sosialisme selama Castro masih hidup sangat dominan.  Tak ada negara di Amerika Latin yang diberitakan secara historis maupun gerakan, sebesar Kuba.

Che Guevara punya sopir pribadi di Swiss bernama Profesor Jean Ziegler, jika Che berkunjung ke kantor PBB di Jenewa. Bahkan Ziegler dari Partai Sosial Swiss ini juga menjalin hubungan dengan keluarga Che di Kuba sampai saat itu. Che mencuat namanya menjadi ikon gerakan dunia, juga karena di Kuba.

Ha ke Negeri Ho
Kembali melanjutkan jejak Syarkawi dan kawan-kawannya menuju Vietnam. Mereka memasuki Vietnam lewat China dengan naik kereta api. Ada kejadian unik, saat di kereta api Syarkawi kebetulan bertemu perempuan cantik. Tak disangka, ketika Syarkawi menonton film layar lebar di Vietnam, perempuan cantik di kereta api itu ternyata bintang film yang di bioskop.

Sesampai 10 delegasi PKI di Ha Noi, mereka namanya diganti semua hanya dengan 2 suku kata. Syarkawi punya nama baru Vietnam yaitu Ha yang artinya sungai. Teman lain bernama; An, Cao, Bac, Lang, Thai, Thuyen, Thanh, Thien, Binh, Tri, Nghe, Tinh, dan Ha.
Bagi telinga Indonesia, lucu juga ya, nama orang cuma satu suku kata Ha. Sebagai orang yang pernah mengunjungi negeri Paman Ho, maksudnya Ho Chi Min, dengan mudahnya aku sebut Syarkawi dengan Ha saja, seperti orang Vietnam memanggilnya.

Syarwani alias Ha berada di negeri Paman Ho bersama teman-temannya untuk belajar kemiliteran. Hampir mirip dengan buku Tanah Air yang Hilang karya Martin Aleida, ada kisah tokoh seperti Ha ditempatkan di hutan Vietnam. Ha dan teman-teman harus waspada menyalakan lampu di malam hari, bisa jadi sasaran tembak oleh pasukan Amerika.
Yang menarik ternyata Ha mendapati warga Vietnam juga takut hantu dari orang yang sudah mati. Ia sejenak membandingkan, ternyata bangsa yang takut hantu tidak hanya Indonesia, Vietnam juga.

Peserta sekolah militer dan warga setempat terbiasa memakai sandal dari bekas ban mobil. Hal ini mengingatkanku ketika aku di Kenya, menyaksikan suku Massai dan Samburu memakai sandal dari bekas ban mobil. Menurut mereka sandal ban mobil ini memang kuat. Aku jadi ingat kampung halamanku di Jawa, sampai kini masih ada orang jual sandal dari ban mobil di pasar.

Apa yang masih membekas di ingatanku tentang Ha Noi, ada tiga:
Pertama, saat aku menyaksikan 2 pohon kelapa kembar berdiri di depan rumah kayu Paman Ho. Kedua kelapa itu adalah oleh-oleh Paman Ho dari kunjungannya di Indonesia.
Kedua, Sartre dan Simon de Beauvoir pernah mengunjungi Paman Ho di rumahnya Ha Noi. Kenapa Paman Ho dianggap begitu penting buat dua tokoh eksistensalisme ini ? Jika dilacak jejak Paman Ho di Paris, sangat berbeda dengan Pol Pot di Paris. Paman Ho ternyata pernah kecewa dengan Partai Sosialis Prancis, karena beberapa kali ia hadiri pertemuannya, lebih banyak diskusi. Paman Ho hengkang keluar dan bersama kaum revolusioner di Paris mendirikan Partai Komunis Prancis. Tercatat dalam sejarah berdirinya Partai Komunis Prancis, Paman Ho ikut membidani. Untuk itu di kartu pos yang aku beli di Ha Noi, tampak Sartre, Simon dan Paman Ho foto bertiga.

Ketiga, meja kursi menulis Paman Ho di kebun dekat rumahnya. Paman Ho punya kebiasan menulis di luar. Ia biasa menulis sambil menghadap alam terbuka. Kolam ikan di samping rumahnya, menjadi kegiatan tersendiri. Ketika ia hendak memberi makan ikan, seperti sudah menjadi ritual para ikan, cukup Paman Ho bertepuk tangan dan ikan-ikan itu mendekat, baru diberi makan. Dan jangan lupa sebelum Vietnam bersatu, kelompok dari yang masih pro Amerika, sering datang dan diberi ikan peliharaan Paman Ho. Musoleum Paman Ho setaraf dengan musoleum Lenin di Moskow dan Mao di Beijing.

Lagi-lagi Ha bersama rombongannya harus meninggalkan Vietnam dan berpindah ke China. Mereka berada di Wunan dan Nan King. Kali ini mereka tidak di daratan, tetapi dengan kapal di laut untuk belajar menjadi nahkoda.

Ha mengisahkan, sempat jatuh cinta dengan gadis China yang cantik. Sialnya, ia tersandung 2 rintangan. Menurut sang ayah gadis itu, kalau orang Indonesia suka poligami. Ha meyakinkan, bahwa ia sungguh mencintai anaknya dan tak akan kawin lagi. Kedua, sang ayah anggap orang Indonesia rata-rata hidupnya tidak lama, karena iklimnya panas. Ha meyakinkan lagi, bahwa dirinya sudah sejak muda berada di luar negeri.

Masih terkait kawin cara China ini aku menemukan sumber lain tentang perkawinan Kamerad Mao. Ia disarankan oleh orang tuanya untuk kawin dengan perempuan yang usianya lebih tua, karena adat China menganggap perempuanlah yang lebih dewasa daripada laki-laki.

Ketika rombongan Ha yang berjumlah 11 orang itu tiba di Shang Hai bertambah seorang, hingga menjadi 12 orang. Ia adalah wakil komandan batalyon Cakrabirawa. Saat pecah tragedi 30S, ia sedang mengawal rombongan MPRS yang dipimpin Chairul Saleh. Terbetik berita meninggalnya Bung Karno pada 21 Juni 1970 atas tahanan rumah oleh Soeharto.
Berikutnya bertambah lagi rombongan Ha ini menjadi 18, setelah ditambah teman-teman dari laut Birma. Ibrahim Isa mengantar 2 orang bernama Than Mien dan Than Thien. Keduanya adalah putri-putri D.N. Aidit.

Ia dan kawan-kawan bertugas di Ku Han, Teritorium Timur Laut Birma. Pada 10 Maret 1978 diperingati 10 tahun berdirinya wilayah itu di Pang San. Pada 1 Agustus 1978 Ha melangsungkan pernikahan dengan perempuan Birma bernama Salwiana dari marga Han. Upacara perkawinan dibiaya pemerintah, karena Ha hidupnya juga masih kekurangan. Selain Ha masih ada 6 teman Indonesia yang kawin dengan perempuan Birma.
Di Pan San tinggal beberapa orang Indonesia saja. Sebagian teman sudah pergi ke China, ke Macau atau ke Eropa barat. Jika akan mudik pun tertutup, pada tahun itu 1981, pemerintah Soeharto masih berkuasa.

Ha termasuk orang Indonesia pertama dan terakhir yang kerasan sampai 6 tahun tinggal di Pang San, Birma. Sebelum Ha bersama anak dan istri meninggalkan Birma, mereka berpamitan dulu dengan beberapa orang di kampung halaman sang istri di Ku Han.

Sweetdia
Sungai Bengkuang jangan dilayar,
Sungai Musi tetap menanti.
Hutang uang sudah dibayar,
Hutang budi kubawa mati.

Ha dan teman-temannya diundang ke China untuk ikut merayakan 30 tahun berdirinya negara China yang jatuh pada 1 Oktober 1979. Pada perayaan itu hadir pula kepala negara Kamboja Norodom Sihanuk. Juga ada Deng Xiao Ping. Ia merasa perayaan itu mewah, sementara selama dia dan keluarganya tinggal di Birma dengan rumah ilalang dan dinding tanah.

Ha beserta keluarga dan teman-teman lain dipindah ke China dan menempati perumahan 510. Tempat ini sangat terkenal di antara para eksil PKI di China. Ada 2 peristiwa yang terjadi di perumahan 501.

Pertama, anak Ha mulai masuk sekolah taman kanak-kanak. Diketahui oleh Ha ternyata orang China sering menanam sayur dengan pupuk kotoran manusia. Suatu hari dia pernah belanja sayur kangkung di pasar dan ternyata di dalam ikatan sayur itu terselip ada kotoran manusia.

Kedua, ada penjahit langganan Ha yang dianggap bagus jahitannya, harus didepak keluar, gara-gara si penjahit sering usil jika mengukur pakaian perempuan.
Mengingat hubungan Indonesia makin dekat dengan China dan Soeharto mensyaratkan kepada China agar para eksil PKI di China tidak diberi tempat lagi. Sementara itu PKI di tanah air sudah dianggap dilarang, maka tak ada jalan lain, ketua PKI di China, Yusuf Ajitorop membubarkan diri.

Sejak peristiwa itulah para eksil PKI di China di rumah 501 mencari suaka ke negara-negara Eropa.

Sampai di sini aku ingat karya Utuy Sontani yang terkenal dengan judul Di Bawah Langit Tak Berbintang. Kisah Utuy sungguh membetot naluri.
Ha pun mengikuti teman-temannya yang sudah duluan mencari suaka politik ke Eropa. Swedia, Sweet dia akan memanen kepedihan selama di negara-negara komunis lain akibat terhalang pulang.

Sepertinya Ha mendapat penghormatan yang cukup dari pemerintah China. Tak hanya surat-surat dipersiapkan, namun ongkos pesawat untuk keluarga dan uang sakupun dibekali.

Kali ini perjalanan Ha dan keluarga cukup mendebarkan, selain harap-harap cemas, apakah ia dan keluarganya akan diterima hidup di negeri kapitalis? Selama ini ia berpindah ke negeri komunis semua, dari Kuba, Vietnam, Birma, China, tapi Swedia negerinya Pak Nobel, perakit bom?

Bagi Ha sudah mengantongi banyak pengalaman ke negara Eropa saat pesawatnya transit di Praha, London bahkan Moskow, tapi buat istrinya yang asli Birma dan kedua anaknya yang belum pernah ke Eropa?

Nasib baik berpihak padanya. Ia dan keluarga masuk Swedia dengan diperlakukan sangat sopan. Itu ia paparkan detil sekali sejak dari bandara, tempat penampungan pengungsi, sampai mendapatkan pekerjaan.

Nila masuk sekolah dan mendapat julukan sebagai murid yang pandai. Terbukti ketika Ha mendatangi undangan ke sekolahnya, guru berseloroh, ”Bapak dari anak yang pandai itu sudah datang.”

Setelah Ha mendapatkan pekerjaan dan hidup cukup, kini jatuh pada situasi yang salit, yakni selama 26 tahun berstatus stateless alias tanpa paspor, untuk mengambil paspor Swedia. Tanpa punya paspor Swedia, ia tak akan bisa leluasa bergerak. Sebab dalam surat izin tinggal sementara disebut, bahwa ia boleh bepergian ke mana saja, kecuali negerinya sendiri yang dicintai yaitu Indonesia.

Pada 17 Juli 1991, ia resmi berwarga negara Swedia. Setahun berikutnya, pada Juli 1992 ia mudik setelah 27 tahun tidak tengok kampung halamannya di Sumatra. Disusul tahun 1995 pertama kalinya ia mudik membawa anak istri.

Sebagai anggota PKI biasa dan seorang muslim, ia merasa wajib menjalankan rukun Islam ke 5, yakni beribadah haji ke Mekkah. Ia lakukan bersama rombongan dari Stokholm pada 8 April 1997. Sementara pada 1998 Salwiana beserta Nila dan Stella anaknya mudik ke Birma.
Pada 17 Agustus 2004 Ha mendapat undangan pertama ikut upacara peringatan HUT RI ke 59 di KBRI Stockholm. Atas uluran tangan pihak dubes RI, HA diundang lagi tahun 2005 pada perayaan HUT RI ke 60 bahkan mendapat penghormatan untuk membacakan pembukaan UUD`45.

Ia beserta teman-teman eksil Swedia lain, termasuk Tom Ilyas mendirikan wadah Rukun Keluarga Indonesia di Stockholm (RKIS). Sebuah wadah berjejaring sosial antarwarga RI di Stockholm.

Pada 1 Juli 2007 Ha resmi memasuki masa pensiun, atas permintaan sendiri karena alasan kesehatan. Atas ketelitiannya, ia anggap hutang kepada pemerintah Swedia sudah dibayar lunas. Ia menyimpan semua kwitansi santunan sosial sebelum ia mendapatkan pekerjaan dan semua kwitansi pajak yang ia bayarkan selama bekerja. Ini merupakan kalkulasi logis humanis yang dipaparkan Ha. Secara materi ia tidak punya hutang dengan Swedia, tetapi secara budi, ia akan bawa mati, seperti pantun di atas.

Ha menuliskan pada hal 209; Saya berkeyakinan bahwa tanpa PKI, rakyat Indonesia pasti mampu menemukan cara-cara baru, menemukan jalannya sendiri, yang sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang, untuk mengubah sistem masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat modern, mengubah kehidupan rakyat yang miskin menjadi rakyat yang cukup makan, cukup pakaian, memiliki tempat tinggal yang layak, mendapat pelayanan kesehatan yang mudah dan murah, serta pendidikan yang cuma-Cuma sebagaimana yang dicita-citakan dan diperjuangkan oleh PKI.

Buatku Stockholm, sebuah kota pelabuhan yang punya kekhasan indah. Gugusan pulau kecil berserakan di mulut kota. Pak Nobel menghibahkan bunga bank dari coyprightnya atas temuan alat peledak untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Sisi lain mungkin ia akan menebus dosanya, atas temuan yang bisa melumatkan hajat hidup manisia itu. Saat aku masuk museum Nobel di Stockholm, ada diaroma yang menggambarkan di mana Pak Nobel pernah mendirikan pabrik perakit alat ledak di seluruh dunia. Yang membuat aku kaget, di zaman kolonial Belanda itu ada pabrik bahan peledak di kepulauan Sunda, sekitar NTT. Mungkinkah  Pak Nobel dan Belanda punya kepentingan di sana ? Allahualam.
Buku ini ditutup dengan semacam flash-back, kisah kegiatan HA semasa masih di tanah air.
Begitulah kisah HA yang tampak gamblang, bahwa pasca G30 S itu meskipun ia terhalang pulang, uluran tangan dari negara-negara komunis lain, sebagai bentuk solidaritas sosialisme. Jalur yang Ha lalui, Kuba, Vietnam, Birma, China yang end-station di Swedia, sebagai bukti bahwa solidaritas itu murni.
Kelebihan pada buku ini:

Beberapa kisah orang terhalang pulang yang pernah aku baca, biasanya dimulai dari China kemudian langsung bereksil ke Eropa. Kisah mereka di China hanya ditulis sepintas dan sedikit buram. Namun buku ini sebuah buku yang dengan sabar mengisahkan perjalanan Ha berawal dari Kuba, Vietnam, Birma, China, dan berakhir di Swedia. Dalam kurun waktu 26 tahun hidup menggelandang tanpa paspor Indonesia. Buku ini merupakan kisah tunggal diri sendiri, seorang Ha yang juga menyinggung keluarga dan teman-temannya, tapi porsi cerita tentang dirinya sendiri lebih dominan.

Kritik:
Nama-nama kota di swedia, hematku, tidaklah penting untuk disebut. Toh, pembaca yang berada di tanah air akan susah membayangkan. Berbeda, kalau kita sebut kota Yogya, Klaten, dan Bandung, misalnya, pembaca mudah meraba suasana kota. Apalagi jika kota-kota di Swedia itu tidak ada yang spesifik untuk diungkapkan.

Ciri khas tulisan Travel Writing adalah moving, lekas bergerak dari tempat ke tempat lain. Pada buku ini aku baca begitu banyak flash-back kecil-kecil yang mengganggu pembaca sedang menikmati kisah baru. Seolah penulis akan menumpahkan semua yang ia alami secara paralel. Pembaca harus dibawa ke kisah lampau ke belakang jauh yang kadang hanya penulisnya saja yang secara pribadi mengalami. Pada umumnya pembaca tidak mau berlama-lama di suatu tempat, kecuali ada kisah yang sangat membetot suspense.

Sebagai pembaca aku mengalami kesulitan untuk fokus pada tempat yang sudah diceritakan. Dalam pikiranku, mungkin Ha terbiasa menuliskan laporan kerja yang detil, sehingga laporan detil teknis itu memang diperlukan sekali. Travel writing punya karakter traveling atau bergerak, baik penulis maupun pembacanya.

Zug, Switzerland: 30 Agustus 2018.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.